Oleh : monesvova
Dari mana aku memulai?
Apakah kumulai dari bagaimana caraku menjaga nyawa ini
setiap harinya?
Akh... agaknya itu terlalu melankolis untukmu.
Karena bagimu, kehidupan adalah persaingan, dan keluhan hanyalah
siulan ode golongan yang kalah. Yang mainstream sebut sebagai kemiskinan, beban
dari pembangunan dan kemajuan.
Pertanyaanku adalah :
1. Kemanjuankah bila lahan tanam makanan rakyat dirombak
menjadi beton berundak? Dan hak-hak hidup banyak terabaikan karenanya?
2. Kemajuankah bila hanya secuil saja perut dapat terisi
oleh hasil tanam makanan, yang beroleh dari penukaran kertas dan logam
bernilai? Sedang sebanyak lainnya menahan rasa dan hanya menghirup nyawa
berserakan.
Tidak kemajuan... itu kemunduran. Kutegaskan padamu, itu
kemunduran. Beratus tahun lalu, spesies kita telah melaluinya. Nenek moyang kau
dan aku sama, pernah bertarung di alam raya menjaga nyawa. Bahkan, mereka
bertarung demi kelangsungan hidup spesies kita.
Ya... kita, kau dan aku sama.
Manusia.
Perasaanmu tentu aku punya. Lapar, akupun juga. Dingin aku
pun rasa.
Namun, kau membangun sesuatu yang tak dapat kupunya.
Real estate, luxury apartmen, glamorious residence.
Tak..tak.. aku tak sanggup membelinya. Kenapa tak kau buat
saja duma hangat untukku, yang akan kuisi dengan pawon pemasak sayur asam
untukmu. Menyegarkan dan menyehatkan. Karena ia terdiri dari hasil bumi subur
kita.
Atau kubuat saja bubur, agar semua dapat menikmatinya,
karena luas lahan tanam padi untuk spesies kita telah banyak kau ambil buat
akumulasi kertas-logam bernilai itu.
Sejatinya, aku masih ingin menulis untuk menggoda nuranimu.
Tapi aku takut kau melewatkan sikapku. Karena aku tahu, bagimu waktu adalah
uang. Dan ini bukan tentang uang.
Ini tentang perlawanan.
Aku harus terus melanjutkan kehidupan, berjalan kedepan. Aku
harus bekerja keras untuk melanjutkan nyawa dan memperoleh kekuatan. Jangan
khawatir, aku tetap menyimpanmu dalam tagar kata dan perlawanan. Aku yakin kau
disana dalam keadaan bahagia.
Ini surat dariku hanya untukmu, ya. Aku mendeklarasikannya
sebagai surat perlawanan. Adalah namamu yang menjadi kepingan surat ini. Aku
harap suatu saat nanti kita akan berhadapan secara langsung dan saat itu aku
berizin untuk memukulmu, kapitalisme.
Jakarta, 26 maret 2017