Indonesia,
sebuah Negara yang terletak di 6 derajat LU (Lintang Utara) – 11 derajat LS (Lintang
Selatan) dan antara 95 derajat BT (Bujur Timur) – 141 derajat BT (Bujur Timur)
dan terletak diantara Benua Asia dan Benua Australia, serta diantara Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik ini, sekali lagi akan merayakan Hari Ulang Tahunnya
(HUT) yang ke 69 tahun pada tanggal 17 Agustus 2014 . Kondisi realitas
sosial termasuk didalamnya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia
yang masih rendah tentunya sudah menjadi pemaparan dan evaluasi wajib
segerombolan bangsa Indonesia yang menyadari posisi tersebut. Mengapa saya
katakan segerombolan bangsa Indonesia yang “sadar”? maka hal itu akan saya
rinci nanti. Meskipun lebih banyak angka yang bisa kita temukan dari
keseluruhan jumlah bangsa Indonesia yang mengalami langsung kondisi realitas
dengan tingkat kesejahteraan hidup yang serendah-rendahnya, namun hanya
segerombolan saja yang mampu memahami dan berupaya “merubah” kondisi realitas
itu dengan berbagai cara-ideologis sebagai jembatan realisasi atas penglihatan
hidupnya terhadap hukum-hukum yang berlaku di atas bumi Indonesia, sehingga
menghasilkan kondisi realitas saat ini (kesejahteraan adalah ilusi bagi
kelompok masyarakat kelas bawah).
17 Agustus
sebagai hari lahir Negara Indonesia diwujudkan dalam bentuk Proklamasi
Kemerdekaan yang telah kita ketahui dengan sangat prinsipil bahwa Ir.Soekarno
didampingi Moh.Hatta yang mengatas namakan bangsa Indonesia pada 69 tahun
lampau telah membacakan naskah teks Proklamasi atas desakan para pemuda
Revolusioner Indonesia yang menghendaki Indonesia Merdeka, lepas dari jajahan
bangsa kolonialis Belanda dan fasis Jepang dengan tangan sendiri, dengan
perjuangan sendiri, bukan sebagai hadiah dari penjajah. Namun apakah Indonesia yang akan mengalami 69
kali tanggal 17 Agustus telah benar-benar lepas dari penjajahan dan
ketertindasan sesuai dengan semangat dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945?
Sebelum
menjawab hal itu, mari kita kenali terlebih dahulu sejarah pembentukan
Indonesia beserta karakter mental masyarakat Indonesia. Saya akan membaginya ke
dalam tiga periode, yakni Pra Kemerdekaan (sebelum tanggal 17 Agustus 1945),
periode Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (masa Revolusioner Indonesia 1945-1960an)
dan pasca Kemerdekaan (tumbangnya rezim Soekarno dan lahirnya Orde baru hingga
tumbangnya Orde Baru oleh era Reformasi). Saya akan membahas sederhana dan
singkat saja sebagai bahan refleksi kita terhadap hidup dan berjalannya
Indonesia sebagai sebuah Negara.
Pra Kemerdekaan
Garis waktu
saya mulai dari tahun 1900 an, dimana kondisi masyarakat Indonesia telah
bertekuk lutut dalam dominasi kekuasaan pemerintahan kolonialisme
Hindia-Belanda, yang disokong oleh kekuatan modal dari Kapitalisme dagang atau Merkantilisme.
Indonesia yang jika kita bedah menurut cara pandang filsafat untuk mengetahui “sejarah
perkembangan masyarakatnya” baik berupa system yang berlaku, kebudayaan yang
terbentuk hingga kemunculan kelas-kelas masyarakat dalam internal Indonesia itu
sendiri, ternyata belumlah sampai kontradiksi yang terjadi hingga ke tahap
perkembangan masyarakat berupa system kemodalan (Kapitalisme). Sesungguhnya Indonesia
(meskipun saat itu belum bernama Indonesia) telah mengalami masa kolonialisasi
jauh sebelum Belanda mendirikan pemerintahan Administratif di Indonesia (sekitar tahun 1602) oleh persekutuan dagang
bernama VOC.
Sejak abad
ke 16 ( sekitar tahun 1509) Portugis telah memasuki wilayah Indonesia dan
membangun pabrik-pabrik guna pemenuhan kebutuhan pasar International. Namun kegiatan
bangsa Portugis tersebut mendapatkan perlawanan dari masyarakat
kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa itu, sehingga Kolonisasi Portugis tak
bertahan lama di bumi Indonesia. Berbeda dengan Portugis, Kaum borjuis Belanda
yang tergabung dalam VOC meskipun berawal dari kesepakatan atau perjanjian
kerja sama perdagangan dengan pihak kerajaan yang sudah kuat dan besar di bumi
Indonesia, namun dengan siasat mengadu-domba atau memecah belah (devide et
impera), Belanda mampu menghancurkan system kerajaan di Indonesia dan menggantinya
dengan administrasi Negara (borjuis). Praktis dari situ kita bisa melihat bahwa
sesungguhnya Indonesia belum menemukan kontradiksi atau pertentangannya dalam
masyarakat Indonesia terhadap system yang berlaku (Feodalisme-kerajaan). Berbeda
dengan kondisi system masyarakat di Eropa yang telah mencapai klimaksnya hingga
mampu membentuk mental dan pemahaman mendasar di masyarakat terkait system yang
sudah usang tersebut dan digantikan dengan system baru yang mempunyai kedudukan
(kualitas) bertingkat dari yang sebelumnya, (system feodalisme-kerajaan yang usang-digantingan
dengan system Kapitalisme berupa Negara demokrasi (borjuis) dengan perangkat
pelaksana pemerintahan lebih mutakir). Bangsa Indonesia yang kala itu masih
mengalami masa “kesejateraan” dibawah kepemimpinan raja-raja, dipaksa untuk
menghancurkan system yang bahkan mereka (bangsa Indonesia) belum mengetahui
pertentangan yang terjadi dan mengharuskan untuk menghancurkan feodalisme. Pemerintahan
Belanda yang telah mendirikan Hindia-Belanda sebagai daerah kolonialisasinya di
timur jauh ini dijadikan sebagai wilayah modal guna pemenuhan kebutuhan pasar International,
baik berupa eksploitasi terhadap sumber daya alam (rempah-rempa dan lainnya)
maupun tenaga kerjanya (buruh kerja paksa dan lainnya). Pasca hancurnya
kekuasan Feodalisme di Indonesia, ternyata masih menyisakan kebudayaan yang
terbentuk oleh system masyarakat kerajaan (feodalisme) yaitu mental penghamba
terhadap yang lebih berkuasa atas dirinya dan bermuka manis-manja terhadap
penguasa (pragmatis-opportunis), bahkan corak produksi masyarakat dan ilmu
pengetahuan masyarakat Indonesiapun kala itu belumlah mampu menjawab tantangan
dunia dengan system kemodalan. Masyarakat Indonesia kala itu masih “mampu”
hidup dengan produksi kebutuhan berbasis materialkan pertanian-perkebunan,
sehingga kualitas ilmu pengetahuan dalam menjawab kebutuhan material hidup
sehari-hari belumlah secanggih masyarakat Eropa yang telah mencapai kontradiksi
system Feodalisme nya dengan penyelidikan mendalam terhadap hal-hal yang harus
dirubah dalam berjalannya pemerintahan tersebut.
Saya lewati bagian
tentang penerapan Kapitalistik pemerintahan Belanda di Indonesia dalam
aspek-aspek kehidupan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan
kebutuhan primer dan ketenaga kerjaan. Di sekitar era 1920 an putra-putri
Indonesia yang mampu mengenyam pendidikan bahkan hingga keluar negeri menyadari
bahwa keberadaan suatu bangsa yang mandiri dan menentukan nasib kehidupannya
sendiri dalam Indonesia harus ada, sejak saat inilah periode perlawanan rakyat
Indonesia untuk memerdekakan Indonesia massif digalakkan oleh rakyat Indonesia
melalui organisasi-organisasi perjuangan Kemerdekaan Indonesia, meskipun pada
awal periode 1900 an telah lahir pula organisasi modern yang menghimpun satu bangsa
Indonesia dengan semangat Nasionalisme, namun organisasi pada masa ini masih
belumlah kuat landasan perjuangan yang berupa gagasan politik untuk
menumbangkan Kolonialisme-Imperialisme Belanda, organisasi pada masa ini masih
berwajah demokrat-konservatif terhadap pemerintahan Hindia-Belanda, hanya saja
organisasi pada masa ini mengedepankan aspek sosial, yakni melindungi dan
menjamin taraf hidup bangsa Indonesia akan lebih baik, seperti kebutuhan
pendidikan dan sebagainya.
Tersebutlah organisasi
politik bernama Sarekat Islam (yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam dan
karena beberapa konfik Internal maka pecah dan menjadi cikal-bakal berdirinya
Partai Komunis Indonesia) yang mampu menjadi ancaman serius bagi kekuasaan Kapitalistik
Pemerintahan Hindia-Belanda yang mengkolonialisasi dan mengimperialisasikan
Indonesia. Sarekat Islam (dan setelah menjadi SI merah-PKI) adalah organisasi
politik perjuangan kemerdekaan Indonesia yang berhasil memahami mata rantai
penjajahan di Indonesia adalah disebabkan oleh sebuah system, dimana kekuasaan
modal menjadi hal yang primus untuk menentukan berjalannya pemerintahan, sebuah
system yang menciptakan pertentangan kelas-kelas dalam masyarakat (kontradiksi
antagonis-tak terdamaikan) dimana satu kelas menindas kelas lainnya dalam wadah
bernama Negara sebagai alat penindasnya. Terdapat dua kelas yang bertentangan
dalam system masyarakat kemodalan (Kapitalisme), yakni kelas borjuis sebagai
representasi dari kelas penindas-penguasa modal dan kelas pekerja dalam system ini
berada pada posisi sebagai kelas tertindas. Sehingga bangsa apapun, suku
apapun, agama apapun yang berkuasa atas bangsa Indonesia dengan menerapkan system
Kapitalisme, maka sejatinya ia tetap menjadi penindas bagi kelas pekerja
Indonesia yang mayoritas itu. Salah satu tokoh penggiat untuk menyebarkan pendidikan
dan pemahaman ini kepada bangsa Indonesia dalam tahapan menemukan arah
perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah
Semaoen yang juga sebagai anggota Sarekat Islam dan pendiri Partai Komunis
Indonesia. Sehingga dapat kita pahami kenyataan sejarah bahwa gerakan komunisme
sejatinya adalah paham yang menjadi ancaman serius bagi penghamba dan pelaku system
penindas bernama Kapitalisme, bukan paham yang anti agama seperti yang di
dengungkan Orde Baru (nanti akan kita ulas kembali di bagian Orde Baru).
Semaoen adalah salah satu anggota serikat buruh kereta api dan Trem (atau dalam
bahasa Belanda adalah Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel-VSTP) yang
pada kemudian hari (1921) PKI dipercayakan kepada Tan Malaka sebagai penerus
semangat Revolusioner kelas pekerja melaksanakan tugas historisnya, yaitu
menumbagkan Kapitalisme, Tan Malaka meneruskan pemahaman tentang perlawanan
terhadap system Kapitalisme dengan membangun persatuan bagi seluruh rakyat
Indonesia, bahkan Tan Malaka sangat dekat dengan kelompok Pan Islamis sebagai
kelompok besar Masyarakat Indonesia yang terjajah, beliau pun (Tan Malaka)
sangat senang saat diminta untuk menjadi pembicara diskusi-diskusi kelompok Pan
Islamis mengenai Sosialisme dan Komunisme. Bagi Tan Malaka, tidak ada perbedaan
sedikitpun antara Perjuangan Pan Islamis dengan Komunisme dalam menumbangkan
Kapitalisme, hanya saja Pan Islamis adalah sebuah wadah gerakan yang sudah
mengkerucut dalam satu keyakinan spiritual yang sama (Agama Islam), sedangkan
Komunisme tidak membatasi keyakinan spiritual masing-masing pengikutnya, karena
urusan keyakinan spiritual (Agama) dalam komunisme adalah hubungan vertical seseorang
dengan Tuhannya dan itu bersifat Privat atau pribadi saja, sedangkan urusan
menumbangkan Kapitalisme sebagai system penindas rakyat adalah hubungan horizontal
dan bersifat kolektif atau bersama-sama. Terdapat banyak tokoh Agama Islam yang
memahami bahwa semangat Komunisme adalah demi kesejahteraan sosial dan
kesetaraan masyarakat dalam berkehidupan,salah satunya adalah Haji Misbach,
bahkan Soekarno yang kala itu masih teramat muda (dan kelak menjadi pemimpin
besar Revolusi Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia) memahami
gagasan tersebut dan mengerti arah perjuangan Kemerdekaan Indonesia adalah
menuju Sosialisme Indonesia. Namun sayangnya Tan Malaka tidaklah lama memimpin
PKI dengan program-program Revolusionernya seperti Sekolah Rakyat yang menjadi
Anti-thesis dari model pendidikan diskriminatif ala Belanda saat itu,
Pemerintahan Hindia-Belanda yang telah terancam dengan penyebaran Komunisme
tersebut menangkap, membuang dan menjadikan Tan Malaka sebagai buronan
International yang mengganggu kepentingan hegemoni Kapitalisme di wilayah Asia
Tenggara. Sehingga PKI kemudian banyak melakukan kesalahan dalam merencanakan
aksi perlawanan terhadap Kapitalisme (seperti contoh kegagalan putch PKI
prambanan tahun 1926) yang sebenarnya telah dilarang oleh Tan Malaka dalam
karyanya Thesis dan Massa Aksi yang tidak dipahami oleh Petinggi-Petinggi PKI
kala itu. Sehingga hal ini berdampak kepada kemunduran Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia bahkan berimbas kepada organisasi-organisasi nasionalis Indonesia
kala itu dengan penangkapan-penangkapan anggota-anggota structural organisasi
perlawanan di Indonesia. Hal inilah kemudian yang menjadi kesempatan bagi
Pemerintahan Belanda untuk kembali “membodohkan” rakyat Indonesia dengan
menggunakan siasat mengadu dombanya, yaitu dengan memecah belah persatuan
rakyat Indonesia, mengadu domba antara Pan Islamis dengan Komunisme, dan
menciptakan opini bahwa Komunisme adalah anti agama dan perusak perdamaian. Sejak
kegagalan Putch Prambanan PKI itu, Tan Malaka telah menarik diri dari PKI dan
membentuk PARI (Partai Republik Indonesia) sebagai kelanjutan Perlawanan
Ideologis bangsa Indonesia melawan Kapitalisme Belanda di Indonesia meskipun
dirinya (Tan Malaka) menjadi buronan dan selama 20 tahun tidak bisa memasuki
Indonesia, namun beliau tetap bersumbangsih besar terhadap perjuangan
Kemerdekaan Indonesia, melalui buku-buku pendidikan yang ditulisnya sebagai
pedoman dan nasihat untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia .
Periode Kemerdekaan 1945
Perang Dunia
kedua telah membuat Belanda harus angkat kaki dari bumi Indonesia, namun hal itu
bukan berarti Indonesia lepas dari Penjajahan, sekitar taun 1942 Jepang
mendarat di Indonesia dan menancapkan Fasisme di bumi Indonesia serta memulai
era penjajahan Pemerintahan Jepang di Indonesia dengan tetap menghembuskan
nafas Kapitalisme yang menindas kelas pekerja Indonesia (dalam bentuk Romusha).
Bangsa Indonesia yang terbodohkan oleh system kapitalistik masa penjajahan
Belanda, belumlah cukup kemampuannya untuk mendirikan Negara sendiri dan
melawan Jepang, ditambah pola pikir mistis dari hasil peradaban masa Feodalisme
yang “dipelihara” oleh Belanda menjadikan bangsa Indonesia kembali bertekuk
dibawah kekuasaan Fasis Jepang yang mengatas namakan dengan semboyan Jepang
Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia yang awalnya menjadi
harapan bagi masyarakat Indonesia yang telah beratus tahun dijajah oleh
Pemerintahan Kapitalistik Belanda, karena Jepang memberikan kesempatan
seluasnya kepada masyarakat Indonesia untuk bergabung dan atau mendirikan
organisasinya, namun tetap harus di bawah pantauan dan kendali Pemerintahan
Jepang. Memasuki masa perang Asia-Pasifik, Jepang yang telah menyerah tanpa
syarat kepada sekutu setelah 2 Bom Atom di jatuhkan untuk melululantakkan Hirosima
dan Nagasahaki terpaksa harus meninggalkan kekuasaannya atas Indonesia,
kesempatan inilah yang digunakan oleh para Pemuda Revolusioner Indonesia untuk
melakukan Proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan memaksa
Ir.Soekarno dan Hatta yang masih mempercayai janji Jepang akan memberikan
kemerdekaan untuk Indonesia dalam waktu dekat itu. Salah satu pemuda
Revolusioner yang memaksa Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia adalah Soekarni beserta rekan sejawatnya yang tergabung dalam
organisasi pemuda Menteng 31, dan Soekarni adalah salah satu pemuda yang benar-benar
mempelajari berbagai buku teori Tan Malaka, salah satunya adalah Massa Aksi,
yang menurutnya Periode 17 Agustus 1945 adalah saatnya melaksanakan Massa Aksi
demi Revolusi Indonesia. Inilah hari yang telah dinantikan rakyat Indonesia
selama beratus-ratus tahun. Hari dimana bangsa Indonesia menyatakan kepada
dunia tentang Kemerdekaannya untuk membangun Negara sendiri yang beradab dan
berkedaulatan penuh menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, (paling
tidak itulah semangat yang coba diungkapkan oleh kalimat pembukaan UUD 1945).
Namun bangsa
Indonesia yang secara sejarah perkembangan masyarakat belum mencapai klimaks
dari kontradiksi antagonis fase Feodalisme, namun dipaksa hidup dan berkembang
dengan corak masyarakat Kapitalistik yang dibawa Belanda, melahirkan satu kelas
borjuis dalam masyarakat Indonesia, namun kelas borjuasi ini bukanlah kelas
borjuis yang sejajar dari segi kualitas dengan kelas borjuasi Eropa. Kelas borjuis
yang lahir dari Revolusi Agustus ( 17 Agustus 1945) adalah bangsa Indonesia
yang lama mengenyam gaya hidup borjuis yang penuh foya-foya dan
bermewah-mewahan dan jauh dari merasakan penderitaan rakyat-pekerja Indonesia. Kelas
borjuis inilah yang memanfaatkan revolusi Agustus dan menjadikannya sebagai
Revolusi borjuis, yakni penguasaan atas sejengkal tanah berikut dengan
penduduknya dalam bentuk Negara berdaulat lepas dari penjajahan (atau kelas
borjuasi International). Sesungguhnya Soekarno telah mengerti arah Revolusi Kemerdekaan
Indonesia dan Pendirian Negara Indonesia adalah untuk menuju Sosialisme
Indonesia, hal ini bisa dipahami dari Manipol-USDEK nya. Namun di beberapa titik
tertentu, Soekarno yang juga lahir dari kelas borjuis dan belum membunuh secara
penuh watak kelas borjuasinya melakukan tindakan yang ragu-ragu dan cenderung
plin-plan dalam mengambil keputusan, seperti saat Belanda-Inggris mencoba
memasuki Indonesia dan melakukan Agresi militer untuk menguasai Indonesia (yang
sudah Proklamasi Kemerdekaan) kembali. Sejatinya pada periode masa ini Rakyat
Indonesia siap sedia menghadapi bangsa Penjajah itu demi mempertahankan
kemerdekaan, namun Soekarno beserta kaum borjuis lainnya memilih jalan kompromi
dengan perundingan yang menghasilkan kekalahan yang merugikan bagi bangsa
Indonesia. Sejatinya pula Inggris dan Belanda telah mengakui kekalahannya dalam
menghadapi perlawanan yang sekeras-kerasnya dari bangsa Indonesia sebagai upaya
mempertahankan kemerdekaan. Soekarno dengan pengaruh kaum borjuasi di
sekitarnya telah melepaskan Revolusi sebagai bagian proses dari perjuangan
rakyat-pekerja melawan Kapitalisme dengan membentuk Negara merdeka untuk
mencapai tatanan masyarakat Sosialistik, sehingga kaum borjuasi nasional yang
mempunyai kepentingan guna menguasai tampuk kekuasaan Indonesia dan
menghentikan perjuangan Revolusi rakyat-pekerja di titik Indonesia telah
merdeka dari Imperialisme barat.
Periode pasca Revolusi Agustus (Lahirnya
Orde Baru dan tumbangnya oleh era Reformasi)
Pengaruh Borjuasi
Asing yang menghinggapi kelas borjuasi Indonesia berdampak terhadap perebutan
kekuasaan guna melancarkan kepentingan borjuasi tersebut, Soekarno yang pada
periode 1965 menentukan garis politik Indonesia menuju blok timur (Komunis) menjadi
ancaman bagi kepentingan borjuasi (Kapitalis) di Indonesia, untk itu Soekarno
harus dilengserkan dan digantikan dengan pemimpin Indonesia yang berwatak
komparador (menghamba kepada Kapitalisme International). Dan sejak saat itu di
mulailah Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto yang dengan jelas
membuka selebar-lebarnya cabang-cabang kesejahteraan rakyat Indonesia berupa Sumber
Daya Alam yang melimpah ruah untuk di jarah oleh pemodal asing dengan watak
eksploitatifnya. Hal ini tertuang dalam UU PMA (Udang-Undang Penanaman Modal
Asing) tahun 1967. Selama Rezim Orde Baru masyarakat Indonesia harus diredam
kecerdasan sosialnya, dengan membangun pemerintahan yang militeristik, Soeharto
mampu menjadi symbol seorang Raja yang kejam. Kritik social yang dilontarkan
oleh masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Orde Baru, akan selesai dengan
penculikan dan ledakan senjata api oleh aparaturnya. Rezim Orde Baru yang
Kapitalistik dan menghamba kepada kekuasaan pemodal International mengerti
betul bahwa ajaran Komunisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan system pemerintahannya
yang Kapitalistik, korup, kolutif dan nepotistik, sehingga Soeharto menciptakan
momok kepada masyarakat Indonesia bahwa Komunisme ibarat Iblis kejam yang harus
diganyang, terlebih setelah peristiwa G 30 S/PKI yang mampu menciptakan
kebencian (keliru) di masyarakat Indonesia selama 32 tahun kekuasaannya dan
mendarah daging hingga saat ini. Bahkan Komunisme dikaitkan dengan paam anti
agama, sebuah doktrin yang pernah digunakan oleh pemerintahan kolonialisme
Belanda tahun 1920an untuk memecah belah persatuan bangsa Indonesia guna
melawan Kapitalisme penindas.
Namun Kapitalisme
adalah system yang telah using dan telah terbukti gagal dalam upaya mensejahterakan
seluruh masyarakat, Kapitalisme hanya menciptakan kesejahteraan bagi kelas
borjuis dengan cara menindas kelas pekerjanya, dan menciptakan krisis yang
merugikan bagi kehidupan masyarakat. Hal ini terwujud pada tahun 1998 saat
badai krisis moneter melanda Indonesia, kesempatan inilah yang digunakan kaum
progresif Indonesia baik dari kelompok pemuda-mahasiswa beserta komponen
masyarakat lainnya untuk menggulingkan Rezim Kapitalistik dan otoritarian
bernama Orde baru, namun sayangnya saat itu belum lahir partai Pelopor dari
kelas Pekerja yang siap untuk melaksanakan tugas historisnya menumbangkan
Kapitalisme, sehingga momentum perjuangan rakyat 1998 kembali jatu kepada kaum
reformis, borjuasi nasional yang cacat mental.
Berdasarkan penjelasan
singkat tersebut kita dapati benang merah terkait kualitas pola pikir bangsa
Indonesia akibat perkawinan haram feodalisme yang belum selesai dengan
Kapitalisme yang dipaksakan oleh Belanda melahirkan pola pikir mistis yang
sulit memahami kenyataan akan system yang menindas dan sulit menyadarkan bahwa kelas
pekerja adalah kelas masyarakat yang menjadi kunci keberlangsungan Kapitalisme,
artinya kelas Pekerja adalah penentu apakah Kapitalisme masih dapat berjalan
atau harus dihentikan saat ini juga. Namun hal itu menjadi tugas “segerombolan
yang sadar” akan realitas kondisi hari ini untuk terus menyebarkan pemahaman
kepada masyarakat Indonesia lainnya tentang system yang sesungguhnya menjadi
penindas rakyat dan jelaskan pula kepada masyarakat luas solusi untuk lepas
dari penindasan atas system itu adalah dengan membangun tatanan Sosialistik
yang sesungguhnya sejalan dengan semangat pendirian Republik Indonesia yang
telah berulang kali di jelaskan Soekarno, yakni menuju Sosialisme Indonesia
guna mencapai keadilan social bagi seluru masyarakat Indonesia yang tertuang
dalam sila ke lima Pancasila.
69 tahun Indonesia berjalan sebagai Negara telah menjauhkan masyarakat
Indonesia dari visi membangun Revolusi Sosialis, kerangka berpikir masyarakat
Indonesia telah menjadi borjuasi yang senang dengan gaya hidup mewah,
konsumtif, hedonis, apatis, pragmatis-opportunis, meskipun bermentalkan budak
terhadap kekuasaan Kapitalisme Indonesia.
Mari sejenak
kita hayati bait lagu ini, masihkah kita mempunyai semangat perjuangan seperti pejuang
terdahulu?
Sorak-sorak bergembira
Bergembira semua
Sudah bebas negeri kita
Untuk s’lama-lamanya
Indonesia merdeka! (Merdeka!)
Menuju bahagia! (Bahagia!)
Itulah tujuan kita
Untuk s’lama-lamanya
Barangkali
kita tidak merasa asing dengan lagu “Sorak-sorai Bergembira”, yang biasa kita
dengar atau nyanyikan dalam suasana perayaan HUT kemerdekaan Indonesia. Lagu
ini singkat, namun penuh gelora. Ya, gelora kegembiraan, harapan, dan tekad.
Kegembiraan karena merasa telah merdeka. Harapan akan apa yang terjanji di
seberang jembatan emas yang bernama kemerdekaan. Tekad untuk merealisasikan
janji kemerdekaan.
Tapi,
setelah sekian lama “merdeka” bukan tidak mungkin lagu ini telah kehilangan
geloranya. Atau lebih tepat, banyak orang tidak merasakan lagi gelora
“Sorak-sorak Bergembira.” Tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi rakyat Indonesia
sudah sedemikian terbiasa dengan kata “merdeka”, meski kata tersebut tidak
berarti apa-apa kecuali tidak adanya lagi pemerintahan kolonial yang bercokol
di Negeri ini.
Atau, bisa
juga kebanyakan rakyat Indonesia sudah merasa apatis dengan istilah “merdeka”,
“kemerdekaan”, atau yang sejenisnya. Biasanya orang-orang yang bergelut dengan
realitas kemiskinan yang berpangkal pada kesewenang-wenangan, penindasan, dan
penghisapan mengerti betul apa artinya kemerdekaan. Bagi mereka, istilah
“merdeka”, “kemerdekaan”, atau yang sejenisnya yang memenuhi udara setiap
Agustusan tak lebih dari ungkapan-ungkapan ironis yang tidak memiliki makna
kecuali menutupi kenyataan yang sesungguhnya: rakyat Indonesia masih terjajah,
rakyat Indonesia belum merdeka.
Kemerdekaan bagi Kaum Moralis Borjuis
Para moralis
borjuis sering berkata bahwa selama kemiskinan masih ada, selama itu pula
rakyat Indonesia belum sungguh-sungguh merdeka. Sepintas, pernyataan mereka
kedengaran benar. Tapi ketika mereka berbicara tentang sebab-musabab kemiskinan
dan solusi untuk mengatasinya, terungkaplah bias kelas yang disadari atau tidak
menelanjangi kemunafikan mereka.
Bagi para
moralis konservatif, akar kemiskinan adalah kemalasan. Memerdekakan orang
miskin berarti mengubah mentalitasnya, dari malas menjadi rajin dan suka
bekerja keras. Dengan itu orang terbebas dari kemiskinan. Bagi para moralis
liberal, akar kemiskinan adalah kebodohan. Memerdekakan orang miskin berarti
memberinya pendidikan, supaya pandai, inovatif, dan kreatif. Dengan itu, orang
terbebas dari kemiskinan.
Dalam
kenyataannya, para moralis konservatif dan liberal harus membuka mata terhadap
kenyataan yang justru berkebalikan dengan pandangan mereka tentang akar
kemiskinan dan solusinya. Meski ada beberapa orang kerja keras dan/atau
kepandaiannya berhasil meloloskan mereka dari kemiskinan dan menjadi kaya-raya,
toh jauh lebih banyak orang yang meski pandai dan bekerja mati-matian dari pagi
hingga petang yang tetap hidup dalam kemiskinan! Bukankah seharusnya semua
orang yang suka bekerja keras dan/atau pandai menjadi kaya? Atau haruskah kita
membawa-bawa “takdir”, konsep relijius yang teramat sering digunakan untuk
menjelaskan bahkan membenarkan suatu ketimpangan – dan dengan demikian bercorak
reaksioner?
Menurut filsuf
Karl Marx yang melahirkan teori Revolusioner, struktur masyarakat, yang
bertumpu pada hubungan-hubungan produksi, di situlah letaknya akar dan solusi
terhadap kemiskinan. Segelintir orang yang memiliki dan mengontrol alat-alat
produksi sudah barang tentu memiliki peluang yang sangat besar untuk menumpuk
kekayaan. Segelintir orang yang tidak memiliki alat-alat produksi mungkin
beruntung untuk luput dari kemiskinan. Tapi sebagian terbesar justru “harus”
merelakan dirinya dieksploitasi untuk memperkaya segelintir pemilik dan
“menikmati” kemiskinan abadi.
Justru
struktur masyarakat kelas itulah yang diabaikan oleh para moralis burjuis baik
yang konservatif maupun yang liberal! Mengapa? Ini: bila struktur masyarakat,
yang terpilah ke dalam kelas-kelas berdasarkan hubungan-hubungan produksi,
dilihat sebagai akar sekaligus solusi terhadap kemiskinan, maka kesimpulan
tidak bisa tidak selain mentransformasi hubungan-hubungan produksi itu sendiri.
Itu berarti, mengakhiri masyarakat kelas dan membangun masyarakat baru tanpa kelas.
Dalam konteks Indonesia dan negeri-negeri lainnya sekarang ini, memerdekakan
rakyat berarti mengakhiri kapitalisme dan mendirikan sosialisme! Tepat pada
titik inilah para moralis konservatif dan liberal, betapapun santun pembawaan
mereka, akan berkata tegas: Tidak! Mereka yang terbiasa hidup dari jatah yang
disisihkan borjuasi dari nilai lebih (surplus value) yang diperoleh dari
cucuran keringat pekerja (proletariat) tentulah tidak akan suka bila
hubungan-hubungan produksi yang menjamin kenyamanan mereka harus diakhiri dan
digantikan dengan hubungan-hubungan produksi yang justru akan membuat moralisme
idealistik mereka tidak laku di telinga rakyat pekerja!
Kemerdekaan bagi Borjuasi Nasional
Bagi kaum borjuis
nasional, kemerdekaan berarti kekuasaan atas “sejengkal tanah berikut
penduduknya.” Kekuasaan itu, yang tertubuh dalam “wujud negara yang berdaulat”
mutlak penting bagi borjuasi nasional. Dengan itu kaum borjuis nasional bisa mengejar
kepentingan ekonomi-politiknya atas “sejengkal tanah berikut penduduknya.”
Dengan kekuasaan itu, “sejengkal tanah berikut penduduknya” dimasukkan ke dalam
hubungan-hubungan produksi kapitalis. “Sejengkal tanah” berfungsi sebagai
lahan, yang dari dalamnya ia bisa berinvestasi, menggali tambang, atau beroleh
bahan mentah untuk produksi. Sedangkan “penduduknya” berfungsi sebagai pemasok
tenaga kerja (kaum buruh) sekaligus pasar yang menyerap komoditi.
Di atas
bangunan dasar hubungan-hubungan produksi kapitalis ini, melalui para
cendikiawannya borjuasi nasional memproduksi sejumlah konsep ideologis. Di
antaranya: nasionalisme, yang menuntut kedaulatan suatu bangsa atas tanah
airnya sendiri. Betapapun kedengaran benar, konsep ini bersayap. Rakyat pekerja
akan memandang diri mereka sebagai “bangsa”, dan demikian mereka turut
berdaulat atas tanah air mereka. Tapi bagi burjuasi, “bangsa” adalah istilah
hegemonik. Sejatinya, burjuasilah yang berdaulat atas “sejengkal tanah”. Namun
dengan mencakupkan rakyat pekerja ke dalam konsep “bangsa”, burjuasi beroleh
keuntungan berlipatganda. Dengan itu, borjuasi bisa menggalang solidaritas
(“persatuan nasional”) dan menggerakkan rakyat pekerja untuk memerdekakan dan
mempertahankan tanah air mereka (misalnya dalam perang-perang kemerdekaan),
padahal sesungguhnya membela kepentingan ekonomi-politik borjuasi.
Dalam kasus
borjuasi Barat, nasionalisme merupakan salah satu senjata ideologis yang ampuh
untuk menumbangkan feodalisme. Nasionalisme juga yang menjadi pretext (dalih)
perebutan koloni-koloni sebagai lahan investasi, sumber bahan-bahan mentah dan
tenaga kerja, dan pasar produk para kapitalis. Dengan kata lain, perang-perang
imperialis. Nasionalisme juga bertransformasi menjadi fasisme ketika burjuasi
nasional berusaha menyelamatkan kapitalisme mereka dari keruntuhan. Satu
bangsa, satu negara, satu pemimpin.
Dalam kasus
borjuasi negeri-negeri dunia ketiga, nasionalisme pernah menjadi daya pikat
ideologis yang ampuh untuk menarik dukungan rakyat pekerja. Di Indonesia, nasionalisme
mendorong rakyat pekerja mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), mendukung
pemerintah membatalkan persetujuan Konferensi Meja Bundar, menasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing (1957, yang kemudian dikuasai oleh
petinggi-petinggi militer), merebut Irian Barat dari Belanda, dan
berkonfrontasi dengan negara boneka Inggris -- Malaysia.
Akan tetapi
borjuasi nasional negeri-negeri dunia ketiga, termasuk Indonesia, dalam
keterlambatannya muncul di panggung sejarah, terikat beribu benang dengan
imperialisme dan feodalisme. Secara khusus di Indonesia, borjuasi nasional
lahir dari perkawinan dua sistem yang eksploitatif: birokrasi kolonial dengan
hirarki feodal. “Hasil”-nya adalah burjuasi nasional yang cacat, yang berwatak
komprador (menghamba kepada imperialisme; istilah Mao Tse-tung: “anjing-anjing
imperialis”), kapitalis-birokrat yang korup dan manipulatif, dan
kapitalis-kroni yang nepotistik dan kolusif. Sementara Indonesia telah menjadi
negeri kapitalis dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang tinggi (rata-rata 6%
pertahun) karena membuka diri lebar-lebar untuk dijarah-rayah oleh
imperialisme, Indonesia juga tergolong di antara negeri yang paling korup
dengan tingkat manipulasi hukum yang tinggi dan kesenjangan kaya-miskin yang
semakin melebar.
Tapi dalam
batasan cakrawala pemikiran dan mentalitas burjuasi nasional Indonesia, yang
memahami kemerdekaan sebagai “kekuasaan atas sejengkal tanah berikut
rakyatnya”, kenyataan itu tidaklah menjadi soal. Kendati mereka harus “berbagi”
dengan imperialis di negeri mereka “sendiri”, toh watak cacat mereka
terakomodir. Klas penguasa nasional ini hidup mewah di tengah penderitaan
rakyat pekerja yang semakin tak tertanggungkan.
Merdeka Seratus Persen
Tanpa
bermaksud menafikan Revolusi Agustus 1945, dari perspektif Sosialis kiranya
jelas bahwa kemerdekaan Indonesia tak kurang tak lebih dari berdirinya
kekuasaan burjuasi nasional di atas “sejengkal tanah” berupa arkipelago
Nusantara alias eks Hindia Belanda “berikut penduduknya.” Di atas sejengkal
tanah itu berlakulah hubungan-hubungan produksi kapitalis. Di sanalah para
komprador, kapitalis birokrat, dan kapitalis kroni menjarah raya negeri ini,
menghisap dan menindas rakyat pekerja, seraya menghamba pada imperialisme.
Almarhum
Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, mencetuskan Indonesia yang merdeka
seratus persen. Maksud Tan Malaka jelas, “kemerdekaan seratus persen” tidak
terpisahkan dari kekuasaan proletariat dan transformasi hubungan-hubungan
produksi dari yang bercorak kapitalistik menjadi sosialistik. Sebagaimana dikemukakan
Lenin dalam Negara dan Revolusi, transformasi hubungan-hubungan produksi
mengisyaratkan penggantian “mesin” negara sebagai pelembagaan kekuasaan, dari
negara kapitalis-kolonial birokrasinya menjadi negara klas pekerja. Hanya
dengan jalan itulah rakyat pekerja benar-benar merdeka.
Dalam
risalah yang ditulisnya pada tahun 1930-an, Mencapai Indonesia Merdeka, Bung
Karno berkata-kata tentang kekuasaan Marhaen alias wong cilik Indonesia.
Menggambarkan kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju masa depan Marhaen yang
adil dan makmur, Bung Karno menandaskan bahwa di seberang jembatan emas itu
hanya ada dua kemungkinan bagi Marhaen: masa depan yang bahagia karena
terwujudnya keadilan dan kemakmuran, atau masa depan yang celaka karena tidak
terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Menurut Bung Karno, keadilan dan
kemakmuran tidak akan terwujud bagi Marhaen bila di seberang jembatan emas,
bukannya Marhaen melainkan kaum burjuis yang berkuasa. Sebaliknya, keadilan dan
kemakmuran akan terwujud bagi Marhaen bila kekuasaan negara ada di tangan
Marhaen.
Kedengarannya
visi Bung Karno sangat mirip dengan visi Tan Malaka. Meski demikian,
perbedaannya sangat besar. Bung Karno tidak mengemukakan bagaimana Marhaen bisa
berkuasa. Dalam kenyataannya, negara yang lahir melalui Revolusi Agustus 1945
sekadar mengambilalih mesin negara kapitalis kolonial dengan birokrasinya –
dengan pegawai dan aparat yang berbeda, semula berkulit putih sekarang berkulit
sawo matang. Sebaliknya, sejalan dengan Lenin, Tan Malaka menggagaskan
Indonesia Merdeka dalam wujud Republik yang mesin negaranya
bertulangpunggungkan soviet-soviet atau dewan-dewan pekerja. Jadi bukan sekadar
“buruh berkuasa,” tapi juga mesin negara yang dikemudikannya haruslah merupakan
mesin negara yang baru, negara buruh, lengkap dengan demokrasinya, demokrasi
pekerja, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang sejati. Dengan jalan
itulah, kemerdekaan seratus persen akan menjadi milik rakyat Indonesia:
masyarakat yang adil dan makmur.
Lalu Bagaimana?
Kita
mengerti bahwa Revolusi Agustus tidak bertransformasi menjadi revolusi
sosialis. Revolusi tersebut bermuara pada negara borjuis. Dalam negara ini,
“kemerdekaan” tinggal menjadi wacana para moralis, atau sarana borjuasi
nasional mengeksploitasi “sejengkal tanah berikut penduduknya.” Karena itu,
bila kita ingin memberi makna yang sejati pada “kemerdekaan,” kita perlu
melihat prospek revolusi sosial yang tidak sekadar bermuara pada penyelesaian
tugas-tugas demokratik (yang toh gagal diselesaikan oleh borjuasi nasional
karena terikat beribu benang dengan imperialisme dan feodalisme). Revolusi
sosial itu harus bermuara pada konsekuensi yang paling jauh dan taat asas dari
tugas-tugas demokratik, yakni tugas-tugas sosialis. Dengan kata lain, revolusi
sosial bertransformasi menjadi revolusi sosialis.
Dengan
semakin mengglobalnya kapitalisme, krisis parah yang sedang melanda kapitalisme
Barat akan menjalar ke seluruh dunia. Indonesia bukan pengecualian, mengingat Eropa
sebagai pasar bagi ekspor bahan mentah Indonesia di satu sisi, sementara
Indonesia merupakan salah satu lahan besar bagi investasi kapitalis Barat di
sisi lain. Krisis yang kelak akan menghantam Indonesia akan menjadi kondisi
obyektif meletusnya revolusi sosial. Kondisi obyektif itu akan meledakkan
faktor subyektif yang semakin mendidih karena kemiskinan yang parah,
kesenjangan sosial yang semakin melebar, dan korupsi yang merajalela.
Revolusi
sosial tidak dengan sendirinya menjadi revolusi sosialis. Ada kekuatan-kekuatan
yang, seturut dengan kepentingan faksi kelasnya, akan membajak revolusi sosial.
Borjuasi nasional yang sudah kehilangan pamor di mata rakyat akan berusaha
mati-matian untuk mengarahkan revolusi sosial pada reformasi – seperti yang terjadi
sejak Mei 1998 – dengan mengorbankan orang-orang tertentu di pihaknya sembari
melakukan tambal sulam terhadap sistem yang telah memberikan banyak privilese
kepada mereka. Di pihak lain burjuasi Islamis yang akhir-akhir ini semakin
berani unjuk gigi dengan perda-perda syariah, intoleransi, bahkan kekerasan
atas nama agama, tentu akan berupaya sekuat tenaga untuk menggelar
konter-revolusi – dengan menyingkirkan faksi borjuis nasional dari kekuasaan
tanpa mengubah hubungan-hubungan produksi kapitalis. Dalam kedua kemungkinan
itu, revolusi sosial akan gagal menjadi jalan pemerdekaan rakyat pekerja.
Revolusi
sosial akan menemukan muara sejatinya bila kelas buruh atau proletariat tampil
dengan garis kepemimpinan revolusioner – dengan dukungan unsur-unsur rakyat
pekerja lainnya: kaum tani, kaum miskin kota, dan para pemuda. Untuk itu,
proletariat harus didampingi oleh sebuah partai pelopor revolusioner dengan
idea, tradisi, program, dan metode perjuangan yang tepat. Suatu partai para
kader yang mempunyai interaksi yang intens dengan massa rakyat pekerja, akan
sanggup memperlengkapi proletariat secara ideologis, strategis, dan taktis
untuk menunaikan tugas sejarahnya: memerdekakan rakyat pekerja dan menumbangkan
Kapitalisme.
Sekarang,
bila Saudara tergugah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sejati,
bergeraklah! Mari kita mendidik diri kita dengan teori dan praksis revolusioner
kelas pekerja (proletariat). Mari kita perkenalkan teori dan praksis ini kepada
teman-teman kita sesama rakyat pekerja. Mari kita bangun organisasi perjuangan
yang berusaha mengejewantahkan teori dan praksis revolusioner itu.
Dengan mengepalkan tinju ke udara,
mari kita bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati!
Jadikan gelora lagu Sorak-sorak
Gembira hidup kembali dan menggetarkan hati sanubari segenap rakyat
pekerja Indonesia dengan kegembiraan, harapan, dan tekad memenangkan
kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan seratus persen!
Di bawah kibaran panji proletariat
revolusioner, rakyat pekerja Indonesia bersatulah!
Merdeka sepenuh-penuhnya!