Saturday, August 16, 2014

Refleksi 69 tahun Indonesia : analisa-tantangan membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Indonesia, sebuah Negara yang terletak di 6 derajat LU (Lintang Utara) – 11 derajat LS (Lintang Selatan) dan antara 95 derajat BT (Bujur Timur) – 141 derajat BT (Bujur Timur) dan terletak diantara Benua Asia dan Benua Australia, serta diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik ini, sekali lagi akan merayakan Hari Ulang Tahunnya (HUT) yang ke 69 tahun pada tanggal 17 Agustus 2014 . Kondisi realitas sosial termasuk didalamnya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia yang masih rendah tentunya sudah menjadi pemaparan dan evaluasi wajib segerombolan bangsa Indonesia yang menyadari posisi tersebut. Mengapa saya katakan segerombolan bangsa Indonesia yang “sadar”? maka hal itu akan saya rinci nanti. Meskipun lebih banyak angka yang bisa kita temukan dari keseluruhan jumlah bangsa Indonesia yang mengalami langsung kondisi realitas dengan tingkat kesejahteraan hidup yang serendah-rendahnya, namun hanya segerombolan saja yang mampu memahami dan berupaya “merubah” kondisi realitas itu dengan berbagai cara-ideologis sebagai jembatan realisasi atas penglihatan hidupnya terhadap hukum-hukum yang berlaku di atas bumi Indonesia, sehingga menghasilkan kondisi realitas saat ini (kesejahteraan adalah ilusi bagi kelompok masyarakat kelas bawah).
17 Agustus sebagai hari lahir Negara Indonesia diwujudkan dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan yang telah kita ketahui dengan sangat prinsipil bahwa Ir.Soekarno didampingi Moh.Hatta yang mengatas namakan bangsa Indonesia pada 69 tahun lampau telah membacakan naskah teks Proklamasi atas desakan para pemuda Revolusioner Indonesia yang menghendaki Indonesia Merdeka, lepas dari jajahan bangsa kolonialis Belanda dan fasis Jepang dengan tangan sendiri, dengan perjuangan sendiri, bukan sebagai hadiah dari penjajah.  Namun apakah Indonesia yang akan mengalami 69 kali tanggal 17 Agustus telah benar-benar lepas dari penjajahan dan ketertindasan sesuai dengan semangat dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945?
Sebelum menjawab hal itu, mari kita kenali terlebih dahulu sejarah pembentukan Indonesia beserta karakter mental masyarakat Indonesia. Saya akan membaginya ke dalam tiga periode, yakni Pra Kemerdekaan (sebelum tanggal 17 Agustus 1945), periode Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (masa Revolusioner Indonesia 1945-1960an) dan pasca Kemerdekaan (tumbangnya rezim Soekarno dan lahirnya Orde baru hingga tumbangnya Orde Baru oleh era Reformasi). Saya akan membahas sederhana dan singkat saja sebagai bahan refleksi kita terhadap hidup dan berjalannya Indonesia sebagai sebuah Negara.

Pra Kemerdekaan
Garis waktu saya mulai dari tahun 1900 an, dimana kondisi masyarakat Indonesia telah bertekuk lutut dalam dominasi kekuasaan pemerintahan kolonialisme Hindia-Belanda, yang disokong oleh kekuatan modal dari Kapitalisme dagang atau Merkantilisme. Indonesia yang jika kita bedah menurut cara pandang filsafat untuk mengetahui “sejarah perkembangan masyarakatnya” baik berupa system yang berlaku, kebudayaan yang terbentuk hingga kemunculan kelas-kelas masyarakat dalam internal Indonesia itu sendiri, ternyata belumlah sampai kontradiksi yang terjadi hingga ke tahap perkembangan masyarakat berupa system kemodalan (Kapitalisme). Sesungguhnya Indonesia (meskipun saat itu belum bernama Indonesia) telah mengalami masa kolonialisasi jauh sebelum Belanda mendirikan pemerintahan Administratif di Indonesia  (sekitar tahun 1602) oleh persekutuan dagang bernama VOC.
Sejak abad ke 16 ( sekitar tahun 1509) Portugis telah memasuki wilayah Indonesia dan membangun pabrik-pabrik guna pemenuhan kebutuhan pasar International. Namun kegiatan bangsa Portugis tersebut mendapatkan perlawanan dari masyarakat kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa itu, sehingga Kolonisasi Portugis tak bertahan lama di bumi Indonesia. Berbeda dengan Portugis, Kaum borjuis Belanda yang tergabung dalam VOC meskipun berawal dari kesepakatan atau perjanjian kerja sama perdagangan dengan pihak kerajaan yang sudah kuat dan besar di bumi Indonesia, namun dengan siasat mengadu-domba atau memecah belah (devide et impera), Belanda mampu menghancurkan system kerajaan di Indonesia dan menggantinya dengan administrasi Negara (borjuis). Praktis dari situ kita bisa melihat bahwa sesungguhnya Indonesia belum menemukan kontradiksi atau pertentangannya dalam masyarakat Indonesia terhadap system yang berlaku (Feodalisme-kerajaan). Berbeda dengan kondisi system masyarakat di Eropa yang telah mencapai klimaksnya hingga mampu membentuk mental dan pemahaman mendasar di masyarakat terkait system yang sudah usang tersebut dan digantikan dengan system baru yang mempunyai kedudukan (kualitas) bertingkat dari yang sebelumnya, (system feodalisme-kerajaan yang usang-digantingan dengan system Kapitalisme berupa Negara demokrasi (borjuis) dengan perangkat pelaksana pemerintahan lebih mutakir). Bangsa Indonesia yang kala itu masih mengalami masa “kesejateraan” dibawah kepemimpinan raja-raja, dipaksa untuk menghancurkan system yang bahkan mereka (bangsa Indonesia) belum mengetahui pertentangan yang terjadi dan mengharuskan untuk menghancurkan feodalisme. Pemerintahan Belanda yang telah mendirikan Hindia-Belanda sebagai daerah kolonialisasinya di timur jauh ini dijadikan sebagai wilayah modal guna pemenuhan kebutuhan pasar International, baik berupa eksploitasi terhadap sumber daya alam (rempah-rempa dan lainnya) maupun tenaga kerjanya (buruh kerja paksa dan lainnya). Pasca hancurnya kekuasan Feodalisme di Indonesia, ternyata masih menyisakan kebudayaan yang terbentuk oleh system masyarakat kerajaan (feodalisme) yaitu mental penghamba terhadap yang lebih berkuasa atas dirinya dan bermuka manis-manja terhadap penguasa (pragmatis-opportunis), bahkan corak produksi masyarakat dan ilmu pengetahuan masyarakat Indonesiapun kala itu belumlah mampu menjawab tantangan dunia dengan system kemodalan. Masyarakat Indonesia kala itu masih “mampu” hidup dengan produksi kebutuhan berbasis materialkan pertanian-perkebunan, sehingga kualitas ilmu pengetahuan dalam menjawab kebutuhan material hidup sehari-hari belumlah secanggih masyarakat Eropa yang telah mencapai kontradiksi system Feodalisme nya dengan penyelidikan mendalam terhadap hal-hal yang harus dirubah dalam berjalannya pemerintahan tersebut.
Saya lewati bagian tentang penerapan Kapitalistik pemerintahan Belanda di Indonesia dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan primer dan ketenaga kerjaan. Di sekitar era 1920 an putra-putri Indonesia yang mampu mengenyam pendidikan bahkan hingga keluar negeri menyadari bahwa keberadaan suatu bangsa yang mandiri dan menentukan nasib kehidupannya sendiri dalam Indonesia harus ada, sejak saat inilah periode perlawanan rakyat Indonesia untuk memerdekakan Indonesia massif digalakkan oleh rakyat Indonesia melalui organisasi-organisasi perjuangan Kemerdekaan Indonesia, meskipun pada awal periode 1900 an telah lahir pula organisasi modern yang menghimpun satu bangsa Indonesia dengan semangat Nasionalisme, namun organisasi pada masa ini masih belumlah kuat landasan perjuangan yang berupa gagasan politik untuk menumbangkan Kolonialisme-Imperialisme Belanda, organisasi pada masa ini masih berwajah demokrat-konservatif terhadap pemerintahan Hindia-Belanda, hanya saja organisasi pada masa ini mengedepankan aspek sosial, yakni melindungi dan menjamin taraf hidup bangsa Indonesia akan lebih baik, seperti kebutuhan pendidikan dan sebagainya.
Tersebutlah organisasi politik bernama Sarekat Islam (yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam dan karena beberapa konfik Internal maka pecah dan menjadi cikal-bakal berdirinya Partai Komunis Indonesia) yang mampu menjadi ancaman serius bagi kekuasaan Kapitalistik Pemerintahan Hindia-Belanda yang mengkolonialisasi dan mengimperialisasikan Indonesia. Sarekat Islam (dan setelah menjadi SI merah-PKI) adalah organisasi politik perjuangan kemerdekaan Indonesia yang berhasil memahami mata rantai penjajahan di Indonesia adalah disebabkan oleh sebuah system, dimana kekuasaan modal menjadi hal yang primus untuk menentukan berjalannya pemerintahan, sebuah system yang menciptakan pertentangan kelas-kelas dalam masyarakat (kontradiksi antagonis-tak terdamaikan) dimana satu kelas menindas kelas lainnya dalam wadah bernama Negara sebagai alat penindasnya. Terdapat dua kelas yang bertentangan dalam system masyarakat kemodalan (Kapitalisme), yakni kelas borjuis sebagai representasi dari kelas penindas-penguasa modal dan kelas pekerja dalam system ini berada pada posisi sebagai kelas tertindas. Sehingga bangsa apapun, suku apapun, agama apapun yang berkuasa atas bangsa Indonesia dengan menerapkan system Kapitalisme, maka sejatinya ia tetap menjadi penindas bagi kelas pekerja Indonesia yang mayoritas itu. Salah satu tokoh penggiat untuk menyebarkan pendidikan dan pemahaman ini kepada bangsa Indonesia dalam tahapan menemukan arah perjuangan kemerdekaan Indonesia  adalah Semaoen yang juga sebagai anggota Sarekat Islam dan pendiri Partai Komunis Indonesia. Sehingga dapat kita pahami kenyataan sejarah bahwa gerakan komunisme sejatinya adalah paham yang menjadi ancaman serius bagi penghamba dan pelaku system penindas bernama Kapitalisme, bukan paham yang anti agama seperti yang di dengungkan Orde Baru (nanti akan kita ulas kembali di bagian Orde Baru). Semaoen adalah salah satu anggota serikat buruh kereta api dan Trem (atau dalam bahasa Belanda adalah Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel-VSTP) yang pada kemudian hari (1921) PKI dipercayakan kepada Tan Malaka sebagai penerus semangat Revolusioner kelas pekerja melaksanakan tugas historisnya, yaitu menumbagkan Kapitalisme, Tan Malaka meneruskan pemahaman tentang perlawanan terhadap system Kapitalisme dengan membangun persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan Tan Malaka sangat dekat dengan kelompok Pan Islamis sebagai kelompok besar Masyarakat Indonesia yang terjajah, beliau pun (Tan Malaka) sangat senang saat diminta untuk menjadi pembicara diskusi-diskusi kelompok Pan Islamis mengenai Sosialisme dan Komunisme. Bagi Tan Malaka, tidak ada perbedaan sedikitpun antara Perjuangan Pan Islamis dengan Komunisme dalam menumbangkan Kapitalisme, hanya saja Pan Islamis adalah sebuah wadah gerakan yang sudah mengkerucut dalam satu keyakinan spiritual yang sama (Agama Islam), sedangkan Komunisme tidak membatasi keyakinan spiritual masing-masing pengikutnya, karena urusan keyakinan spiritual (Agama) dalam komunisme adalah hubungan vertical seseorang dengan Tuhannya dan itu bersifat Privat atau pribadi saja, sedangkan urusan menumbangkan Kapitalisme sebagai system penindas rakyat adalah hubungan horizontal dan bersifat kolektif atau bersama-sama. Terdapat banyak tokoh Agama Islam yang memahami bahwa semangat Komunisme adalah demi kesejahteraan sosial dan kesetaraan masyarakat dalam berkehidupan,salah satunya adalah Haji Misbach, bahkan Soekarno yang kala itu masih teramat muda (dan kelak menjadi pemimpin besar Revolusi Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia) memahami gagasan tersebut dan mengerti arah perjuangan Kemerdekaan Indonesia adalah menuju Sosialisme Indonesia. Namun sayangnya Tan Malaka tidaklah lama memimpin PKI dengan program-program Revolusionernya seperti Sekolah Rakyat yang menjadi Anti-thesis dari model pendidikan diskriminatif ala Belanda saat itu, Pemerintahan Hindia-Belanda yang telah terancam dengan penyebaran Komunisme tersebut menangkap, membuang dan menjadikan Tan Malaka sebagai buronan International yang mengganggu kepentingan hegemoni Kapitalisme di wilayah Asia Tenggara. Sehingga PKI kemudian banyak melakukan kesalahan dalam merencanakan aksi perlawanan terhadap Kapitalisme (seperti contoh kegagalan putch PKI prambanan tahun 1926) yang sebenarnya telah dilarang oleh Tan Malaka dalam karyanya Thesis dan Massa Aksi yang tidak dipahami oleh Petinggi-Petinggi PKI kala itu. Sehingga hal ini berdampak kepada kemunduran Perjuangan Kemerdekaan Indonesia bahkan berimbas kepada organisasi-organisasi nasionalis Indonesia kala itu dengan penangkapan-penangkapan anggota-anggota structural organisasi perlawanan di Indonesia. Hal inilah kemudian yang menjadi kesempatan bagi Pemerintahan Belanda untuk kembali “membodohkan” rakyat Indonesia dengan menggunakan siasat mengadu dombanya, yaitu dengan memecah belah persatuan rakyat Indonesia, mengadu domba antara Pan Islamis dengan Komunisme, dan menciptakan opini bahwa Komunisme adalah anti agama dan perusak perdamaian. Sejak kegagalan Putch Prambanan PKI itu, Tan Malaka telah menarik diri dari PKI dan membentuk PARI (Partai Republik Indonesia) sebagai kelanjutan Perlawanan Ideologis bangsa Indonesia melawan Kapitalisme Belanda di Indonesia meskipun dirinya (Tan Malaka) menjadi buronan dan selama 20 tahun tidak bisa memasuki Indonesia, namun beliau tetap bersumbangsih besar terhadap perjuangan Kemerdekaan Indonesia, melalui buku-buku pendidikan yang ditulisnya sebagai pedoman dan nasihat untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia .

Periode Kemerdekaan 1945
Perang Dunia kedua telah membuat Belanda harus angkat kaki dari bumi Indonesia, namun hal itu bukan berarti Indonesia lepas dari Penjajahan, sekitar taun 1942 Jepang mendarat di Indonesia dan menancapkan Fasisme di bumi Indonesia serta memulai era penjajahan Pemerintahan Jepang di Indonesia dengan tetap menghembuskan nafas Kapitalisme yang menindas kelas pekerja Indonesia (dalam bentuk Romusha). Bangsa Indonesia yang terbodohkan oleh system kapitalistik masa penjajahan Belanda, belumlah cukup kemampuannya untuk mendirikan Negara sendiri dan melawan Jepang, ditambah pola pikir mistis dari hasil peradaban masa Feodalisme yang “dipelihara” oleh Belanda menjadikan bangsa Indonesia kembali bertekuk dibawah kekuasaan Fasis Jepang yang mengatas namakan dengan semboyan Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia yang awalnya menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia yang telah beratus tahun dijajah oleh Pemerintahan Kapitalistik Belanda, karena Jepang memberikan kesempatan seluasnya kepada masyarakat Indonesia untuk bergabung dan atau mendirikan organisasinya, namun tetap harus di bawah pantauan dan kendali Pemerintahan Jepang. Memasuki masa perang Asia-Pasifik, Jepang yang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah 2 Bom Atom di jatuhkan untuk melululantakkan Hirosima dan Nagasahaki terpaksa harus meninggalkan kekuasaannya atas Indonesia, kesempatan inilah yang digunakan oleh para Pemuda Revolusioner Indonesia untuk melakukan Proklamasi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan memaksa Ir.Soekarno dan Hatta yang masih mempercayai janji Jepang akan memberikan kemerdekaan untuk Indonesia dalam waktu dekat itu. Salah satu pemuda Revolusioner yang memaksa Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah Soekarni beserta rekan sejawatnya yang tergabung dalam organisasi pemuda Menteng 31, dan Soekarni adalah salah satu pemuda yang benar-benar mempelajari berbagai buku teori Tan Malaka, salah satunya adalah Massa Aksi, yang menurutnya Periode 17 Agustus 1945 adalah saatnya melaksanakan Massa Aksi demi Revolusi Indonesia. Inilah hari yang telah dinantikan rakyat Indonesia selama beratus-ratus tahun. Hari dimana bangsa Indonesia menyatakan kepada dunia tentang Kemerdekaannya untuk membangun Negara sendiri yang beradab dan berkedaulatan penuh menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, (paling tidak itulah semangat yang coba diungkapkan oleh kalimat pembukaan UUD 1945).
Namun bangsa Indonesia yang secara sejarah perkembangan masyarakat belum mencapai klimaks dari kontradiksi antagonis fase Feodalisme, namun dipaksa hidup dan berkembang dengan corak masyarakat Kapitalistik yang dibawa Belanda, melahirkan satu kelas borjuis dalam masyarakat Indonesia, namun kelas borjuasi ini bukanlah kelas borjuis yang sejajar dari segi kualitas dengan kelas borjuasi Eropa. Kelas borjuis yang lahir dari Revolusi Agustus ( 17 Agustus 1945) adalah bangsa Indonesia yang lama mengenyam gaya hidup borjuis yang penuh foya-foya dan bermewah-mewahan dan jauh dari merasakan penderitaan rakyat-pekerja Indonesia. Kelas borjuis inilah yang memanfaatkan revolusi Agustus dan menjadikannya sebagai Revolusi borjuis, yakni penguasaan atas sejengkal tanah berikut dengan penduduknya dalam bentuk Negara berdaulat lepas dari penjajahan (atau kelas borjuasi International). Sesungguhnya Soekarno telah mengerti arah Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan Pendirian Negara Indonesia adalah untuk menuju Sosialisme Indonesia, hal ini bisa dipahami dari Manipol-USDEK nya. Namun di beberapa titik tertentu, Soekarno yang juga lahir dari kelas borjuis dan belum membunuh secara penuh watak kelas borjuasinya melakukan tindakan yang ragu-ragu dan cenderung plin-plan dalam mengambil keputusan, seperti saat Belanda-Inggris mencoba memasuki Indonesia dan melakukan Agresi militer untuk menguasai Indonesia (yang sudah Proklamasi Kemerdekaan) kembali. Sejatinya pada periode masa ini Rakyat Indonesia siap sedia menghadapi bangsa Penjajah itu demi mempertahankan kemerdekaan, namun Soekarno beserta kaum borjuis lainnya memilih jalan kompromi dengan perundingan yang menghasilkan kekalahan yang merugikan bagi bangsa Indonesia. Sejatinya pula Inggris dan Belanda telah mengakui kekalahannya dalam menghadapi perlawanan yang sekeras-kerasnya dari bangsa Indonesia sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan. Soekarno dengan pengaruh kaum borjuasi di sekitarnya telah melepaskan Revolusi sebagai bagian proses dari perjuangan rakyat-pekerja melawan Kapitalisme dengan membentuk Negara merdeka untuk mencapai tatanan masyarakat Sosialistik, sehingga kaum borjuasi nasional yang mempunyai kepentingan guna menguasai tampuk kekuasaan Indonesia dan menghentikan perjuangan Revolusi rakyat-pekerja di titik Indonesia telah merdeka dari Imperialisme barat.

Periode pasca Revolusi Agustus (Lahirnya Orde Baru dan tumbangnya oleh era Reformasi)
Pengaruh Borjuasi Asing yang menghinggapi kelas borjuasi Indonesia berdampak terhadap perebutan kekuasaan guna melancarkan kepentingan borjuasi tersebut, Soekarno yang pada periode 1965 menentukan garis politik Indonesia menuju blok timur (Komunis) menjadi ancaman bagi kepentingan borjuasi (Kapitalis) di Indonesia, untk itu Soekarno harus dilengserkan dan digantikan dengan pemimpin Indonesia yang berwatak komparador (menghamba kepada Kapitalisme International). Dan sejak saat itu di mulailah Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto yang dengan jelas membuka selebar-lebarnya cabang-cabang kesejahteraan rakyat Indonesia berupa Sumber Daya Alam yang melimpah ruah untuk di jarah oleh pemodal asing dengan watak eksploitatifnya. Hal ini tertuang dalam UU PMA (Udang-Undang Penanaman Modal Asing) tahun 1967. Selama Rezim Orde Baru masyarakat Indonesia harus diredam kecerdasan sosialnya, dengan membangun pemerintahan yang militeristik, Soeharto mampu menjadi symbol seorang Raja yang kejam. Kritik social yang dilontarkan oleh masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Orde Baru, akan selesai dengan penculikan dan ledakan senjata api oleh aparaturnya. Rezim Orde Baru yang Kapitalistik dan menghamba kepada kekuasaan pemodal International mengerti betul bahwa ajaran Komunisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan system pemerintahannya yang Kapitalistik, korup, kolutif dan nepotistik, sehingga Soeharto menciptakan momok kepada masyarakat Indonesia bahwa Komunisme ibarat Iblis kejam yang harus diganyang, terlebih setelah peristiwa G 30 S/PKI yang mampu menciptakan kebencian (keliru) di masyarakat Indonesia selama 32 tahun kekuasaannya dan mendarah daging hingga saat ini. Bahkan Komunisme dikaitkan dengan paam anti agama, sebuah doktrin yang pernah digunakan oleh pemerintahan kolonialisme Belanda tahun 1920an untuk memecah belah persatuan bangsa Indonesia guna melawan Kapitalisme penindas.
Namun Kapitalisme adalah system yang telah using dan telah terbukti gagal dalam upaya mensejahterakan seluruh masyarakat, Kapitalisme hanya menciptakan kesejahteraan bagi kelas borjuis dengan cara menindas kelas pekerjanya, dan menciptakan krisis yang merugikan bagi kehidupan masyarakat. Hal ini terwujud pada tahun 1998 saat badai krisis moneter melanda Indonesia, kesempatan inilah yang digunakan kaum progresif Indonesia baik dari kelompok pemuda-mahasiswa beserta komponen masyarakat lainnya untuk menggulingkan Rezim Kapitalistik dan otoritarian bernama Orde baru, namun sayangnya saat itu belum lahir partai Pelopor dari kelas Pekerja yang siap untuk melaksanakan tugas historisnya menumbangkan Kapitalisme, sehingga momentum perjuangan rakyat 1998 kembali jatu kepada kaum reformis, borjuasi nasional yang cacat mental.

Berdasarkan penjelasan singkat tersebut kita dapati benang merah terkait kualitas pola pikir bangsa Indonesia akibat perkawinan haram feodalisme yang belum selesai dengan Kapitalisme yang dipaksakan oleh Belanda melahirkan pola pikir mistis yang sulit memahami kenyataan akan system yang menindas dan sulit menyadarkan bahwa kelas pekerja adalah kelas masyarakat yang menjadi kunci keberlangsungan Kapitalisme, artinya kelas Pekerja adalah penentu apakah Kapitalisme masih dapat berjalan atau harus dihentikan saat ini juga. Namun hal itu menjadi tugas “segerombolan yang sadar” akan realitas kondisi hari ini untuk terus menyebarkan pemahaman kepada masyarakat Indonesia lainnya tentang system yang sesungguhnya menjadi penindas rakyat dan jelaskan pula kepada masyarakat luas solusi untuk lepas dari penindasan atas system itu adalah dengan membangun tatanan Sosialistik yang sesungguhnya sejalan dengan semangat pendirian Republik Indonesia yang telah berulang kali di jelaskan Soekarno, yakni menuju Sosialisme Indonesia guna mencapai keadilan social bagi seluru masyarakat Indonesia yang tertuang dalam sila ke lima Pancasila.
69 tahun Indonesia berjalan sebagai Negara telah menjauhkan masyarakat Indonesia dari visi membangun Revolusi Sosialis, kerangka berpikir masyarakat Indonesia telah menjadi borjuasi yang senang dengan gaya hidup mewah, konsumtif, hedonis, apatis, pragmatis-opportunis, meskipun bermentalkan budak terhadap kekuasaan Kapitalisme Indonesia.

Mari sejenak kita hayati bait lagu ini, masihkah kita mempunyai semangat perjuangan seperti pejuang terdahulu?
Sorak-sorak bergembira
Bergembira semua
Sudah bebas negeri kita
Untuk s’lama-lamanya
Indonesia merdeka! (Merdeka!)
Menuju bahagia! (Bahagia!)
Itulah tujuan kita
Untuk s’lama-lamanya
Barangkali kita tidak merasa asing dengan lagu “Sorak-sorai Bergembira”, yang biasa kita dengar atau nyanyikan dalam suasana perayaan HUT kemerdekaan Indonesia. Lagu ini singkat, namun penuh gelora. Ya, gelora kegembiraan, harapan, dan tekad. Kegembiraan karena merasa telah merdeka. Harapan akan apa yang terjanji di seberang jembatan emas yang bernama kemerdekaan. Tekad untuk merealisasikan janji kemerdekaan.
Tapi, setelah sekian lama “merdeka” bukan tidak mungkin lagu ini telah kehilangan geloranya. Atau lebih tepat, banyak orang tidak merasakan lagi gelora “Sorak-sorak Bergembira.” Tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi rakyat Indonesia sudah sedemikian terbiasa dengan kata “merdeka”, meski kata tersebut tidak berarti apa-apa kecuali tidak adanya lagi pemerintahan kolonial yang bercokol di Negeri ini.
Atau, bisa juga kebanyakan rakyat Indonesia sudah merasa apatis dengan istilah “merdeka”, “kemerdekaan”, atau yang sejenisnya. Biasanya orang-orang yang bergelut dengan realitas kemiskinan yang berpangkal pada kesewenang-wenangan, penindasan, dan penghisapan mengerti betul apa artinya kemerdekaan.  Bagi mereka, istilah “merdeka”, “kemerdekaan”, atau yang sejenisnya yang memenuhi udara setiap Agustusan tak lebih dari ungkapan-ungkapan ironis yang tidak memiliki makna kecuali menutupi kenyataan yang sesungguhnya: rakyat Indonesia masih terjajah, rakyat Indonesia belum merdeka.

Kemerdekaan bagi Kaum Moralis Borjuis
Para moralis borjuis sering berkata bahwa selama kemiskinan masih ada, selama itu pula rakyat Indonesia belum sungguh-sungguh merdeka. Sepintas, pernyataan mereka kedengaran benar. Tapi ketika mereka berbicara tentang sebab-musabab kemiskinan dan solusi untuk mengatasinya, terungkaplah bias kelas yang disadari atau tidak menelanjangi kemunafikan mereka.
Bagi para moralis konservatif, akar kemiskinan adalah kemalasan. Memerdekakan orang miskin berarti mengubah mentalitasnya, dari malas menjadi rajin dan suka bekerja keras. Dengan itu orang terbebas dari kemiskinan. Bagi para moralis liberal, akar kemiskinan adalah kebodohan. Memerdekakan orang miskin berarti memberinya pendidikan, supaya pandai, inovatif, dan kreatif. Dengan itu, orang terbebas dari kemiskinan.
Dalam kenyataannya, para moralis konservatif dan liberal harus membuka mata terhadap kenyataan yang justru berkebalikan dengan pandangan mereka tentang akar kemiskinan dan solusinya. Meski ada beberapa orang kerja keras dan/atau kepandaiannya berhasil meloloskan mereka dari kemiskinan dan menjadi kaya-raya, toh jauh lebih banyak orang yang meski pandai dan bekerja mati-matian dari pagi hingga petang yang tetap hidup dalam kemiskinan! Bukankah seharusnya semua orang yang suka bekerja keras dan/atau pandai menjadi kaya? Atau haruskah kita membawa-bawa “takdir”, konsep relijius yang teramat sering digunakan untuk menjelaskan bahkan membenarkan suatu ketimpangan – dan dengan demikian bercorak reaksioner?
Menurut filsuf Karl Marx yang melahirkan teori Revolusioner, struktur masyarakat, yang bertumpu pada hubungan-hubungan produksi, di situlah letaknya akar dan solusi terhadap kemiskinan. Segelintir orang yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi sudah barang tentu memiliki peluang yang sangat besar untuk menumpuk kekayaan. Segelintir orang yang tidak memiliki alat-alat produksi mungkin beruntung untuk luput dari kemiskinan. Tapi sebagian terbesar justru “harus” merelakan dirinya dieksploitasi untuk memperkaya segelintir pemilik dan “menikmati” kemiskinan abadi.
Justru struktur masyarakat kelas itulah yang diabaikan oleh para moralis burjuis baik yang konservatif maupun yang liberal! Mengapa? Ini: bila struktur masyarakat, yang terpilah ke dalam kelas-kelas berdasarkan hubungan-hubungan produksi, dilihat sebagai akar sekaligus solusi terhadap kemiskinan, maka kesimpulan tidak bisa tidak selain mentransformasi hubungan-hubungan produksi itu sendiri. Itu berarti, mengakhiri masyarakat kelas dan membangun masyarakat baru tanpa kelas. Dalam konteks Indonesia dan negeri-negeri lainnya sekarang ini, memerdekakan rakyat berarti mengakhiri kapitalisme dan mendirikan sosialisme! Tepat pada titik inilah para moralis konservatif dan liberal, betapapun santun pembawaan mereka, akan berkata tegas: Tidak! Mereka yang terbiasa hidup dari jatah yang disisihkan borjuasi dari nilai lebih (surplus value) yang diperoleh dari cucuran keringat pekerja (proletariat) tentulah tidak akan suka bila hubungan-hubungan produksi yang menjamin kenyamanan mereka harus diakhiri dan digantikan dengan hubungan-hubungan produksi yang justru akan membuat moralisme idealistik mereka tidak laku di telinga rakyat pekerja!

Kemerdekaan bagi Borjuasi Nasional
Bagi kaum borjuis nasional, kemerdekaan berarti kekuasaan atas “sejengkal tanah berikut penduduknya.” Kekuasaan itu,  yang tertubuh dalam “wujud negara yang berdaulat” mutlak penting bagi borjuasi nasional. Dengan itu kaum borjuis nasional bisa mengejar kepentingan ekonomi-politiknya atas “sejengkal tanah berikut penduduknya.” Dengan kekuasaan itu, “sejengkal tanah berikut penduduknya” dimasukkan ke dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis. “Sejengkal tanah” berfungsi sebagai lahan, yang dari dalamnya ia bisa berinvestasi, menggali tambang, atau beroleh bahan mentah untuk produksi. Sedangkan “penduduknya” berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja (kaum buruh) sekaligus pasar yang menyerap komoditi.
Di atas bangunan dasar hubungan-hubungan produksi kapitalis ini, melalui para cendikiawannya borjuasi nasional memproduksi sejumlah konsep ideologis. Di antaranya: nasionalisme, yang menuntut kedaulatan suatu bangsa atas tanah airnya sendiri. Betapapun kedengaran benar, konsep ini bersayap. Rakyat pekerja akan memandang diri mereka sebagai “bangsa”, dan demikian mereka turut berdaulat atas tanah air mereka. Tapi bagi burjuasi, “bangsa” adalah istilah hegemonik. Sejatinya, burjuasilah yang berdaulat atas “sejengkal tanah”. Namun dengan mencakupkan rakyat pekerja ke dalam konsep “bangsa”, burjuasi beroleh keuntungan berlipatganda. Dengan itu, borjuasi bisa menggalang solidaritas (“persatuan nasional”) dan menggerakkan rakyat pekerja untuk memerdekakan dan mempertahankan tanah air mereka (misalnya dalam perang-perang kemerdekaan), padahal sesungguhnya membela kepentingan ekonomi-politik borjuasi.
Dalam kasus borjuasi Barat, nasionalisme merupakan salah satu senjata ideologis yang ampuh untuk menumbangkan feodalisme. Nasionalisme juga yang menjadi pretext (dalih) perebutan koloni-koloni sebagai lahan investasi, sumber bahan-bahan mentah dan tenaga kerja, dan pasar produk para kapitalis. Dengan kata lain, perang-perang imperialis. Nasionalisme juga bertransformasi menjadi fasisme ketika burjuasi nasional berusaha menyelamatkan kapitalisme mereka dari keruntuhan. Satu bangsa, satu negara, satu pemimpin.
Dalam kasus borjuasi negeri-negeri dunia ketiga, nasionalisme pernah menjadi daya pikat ideologis yang ampuh untuk menarik dukungan rakyat pekerja. Di Indonesia, nasionalisme mendorong rakyat pekerja mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), mendukung pemerintah membatalkan persetujuan Konferensi Meja Bundar, menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (1957, yang kemudian dikuasai oleh petinggi-petinggi militer), merebut Irian Barat dari Belanda, dan berkonfrontasi dengan negara boneka Inggris -- Malaysia.
Akan tetapi borjuasi nasional negeri-negeri dunia ketiga, termasuk Indonesia, dalam keterlambatannya muncul di panggung sejarah, terikat beribu benang dengan imperialisme dan feodalisme. Secara khusus di Indonesia, borjuasi nasional lahir dari perkawinan dua sistem yang eksploitatif: birokrasi kolonial dengan hirarki feodal. “Hasil”-nya adalah burjuasi nasional yang cacat, yang berwatak komprador (menghamba kepada imperialisme; istilah Mao Tse-tung: “anjing-anjing imperialis”), kapitalis-birokrat yang korup dan manipulatif, dan kapitalis-kroni yang nepotistik dan kolusif. Sementara Indonesia telah menjadi negeri kapitalis dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang tinggi (rata-rata 6% pertahun) karena membuka diri lebar-lebar untuk dijarah-rayah oleh imperialisme, Indonesia juga tergolong di antara negeri yang paling korup dengan tingkat manipulasi hukum yang tinggi dan kesenjangan kaya-miskin yang semakin melebar.
Tapi dalam batasan cakrawala pemikiran dan mentalitas burjuasi nasional Indonesia, yang memahami kemerdekaan sebagai “kekuasaan atas sejengkal tanah berikut rakyatnya”, kenyataan itu tidaklah menjadi soal. Kendati mereka harus “berbagi” dengan imperialis di negeri mereka “sendiri”, toh watak cacat mereka terakomodir. Klas penguasa nasional ini hidup mewah di tengah penderitaan rakyat pekerja yang semakin tak tertanggungkan.

Merdeka Seratus Persen
Tanpa bermaksud menafikan Revolusi Agustus 1945, dari perspektif Sosialis kiranya jelas bahwa kemerdekaan Indonesia tak kurang tak lebih dari berdirinya kekuasaan burjuasi nasional di atas “sejengkal tanah” berupa arkipelago Nusantara alias eks Hindia Belanda “berikut penduduknya.” Di atas sejengkal tanah itu berlakulah hubungan-hubungan produksi kapitalis. Di sanalah para komprador, kapitalis birokrat, dan kapitalis kroni menjarah raya negeri ini, menghisap dan menindas rakyat pekerja, seraya menghamba pada imperialisme.
Almarhum Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, mencetuskan Indonesia yang merdeka seratus persen. Maksud Tan Malaka jelas, “kemerdekaan seratus persen” tidak terpisahkan dari kekuasaan proletariat dan transformasi hubungan-hubungan produksi dari yang bercorak kapitalistik menjadi sosialistik. Sebagaimana dikemukakan Lenin dalam Negara dan Revolusi, transformasi hubungan-hubungan produksi mengisyaratkan penggantian “mesin” negara sebagai pelembagaan kekuasaan, dari negara kapitalis-kolonial birokrasinya menjadi negara klas pekerja. Hanya dengan jalan itulah rakyat pekerja benar-benar merdeka.
Dalam risalah yang ditulisnya pada tahun 1930-an, Mencapai Indonesia Merdeka, Bung Karno berkata-kata tentang kekuasaan Marhaen alias wong cilik Indonesia. Menggambarkan kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju masa depan Marhaen yang adil dan makmur, Bung Karno menandaskan bahwa di seberang jembatan emas itu hanya ada dua kemungkinan bagi Marhaen: masa depan yang bahagia karena terwujudnya keadilan dan kemakmuran, atau masa depan yang celaka karena tidak terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Menurut Bung Karno, keadilan dan kemakmuran tidak akan terwujud bagi Marhaen bila di seberang jembatan emas, bukannya Marhaen melainkan kaum burjuis yang berkuasa. Sebaliknya, keadilan dan kemakmuran akan terwujud bagi Marhaen bila kekuasaan negara ada di tangan Marhaen.
Kedengarannya visi Bung Karno sangat mirip dengan visi Tan Malaka. Meski demikian, perbedaannya sangat besar. Bung Karno tidak mengemukakan bagaimana Marhaen bisa berkuasa. Dalam kenyataannya, negara yang lahir melalui Revolusi Agustus 1945 sekadar mengambilalih mesin negara kapitalis kolonial dengan birokrasinya – dengan pegawai dan aparat yang berbeda, semula berkulit putih sekarang berkulit sawo matang. Sebaliknya, sejalan dengan Lenin, Tan Malaka menggagaskan Indonesia Merdeka dalam wujud Republik yang mesin negaranya bertulangpunggungkan soviet-soviet atau dewan-dewan pekerja. Jadi bukan sekadar “buruh berkuasa,” tapi juga mesin negara yang dikemudikannya haruslah merupakan mesin negara yang baru, negara buruh, lengkap dengan demokrasinya, demokrasi pekerja, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang sejati. Dengan jalan itulah, kemerdekaan seratus persen akan menjadi milik rakyat Indonesia: masyarakat yang adil dan makmur.

Lalu Bagaimana?
Kita mengerti bahwa Revolusi Agustus tidak bertransformasi menjadi revolusi sosialis. Revolusi tersebut bermuara pada negara borjuis. Dalam negara ini, “kemerdekaan” tinggal menjadi wacana para moralis, atau sarana borjuasi nasional mengeksploitasi “sejengkal tanah berikut penduduknya.” Karena itu, bila kita ingin memberi makna yang sejati pada “kemerdekaan,” kita perlu melihat prospek revolusi sosial yang tidak sekadar bermuara pada penyelesaian tugas-tugas demokratik (yang toh gagal diselesaikan oleh borjuasi nasional karena terikat beribu benang dengan imperialisme dan feodalisme). Revolusi sosial itu harus bermuara pada konsekuensi yang paling jauh dan taat asas dari tugas-tugas demokratik, yakni tugas-tugas sosialis. Dengan kata lain, revolusi sosial bertransformasi menjadi revolusi sosialis.
Dengan semakin mengglobalnya kapitalisme, krisis parah yang sedang melanda kapitalisme Barat akan menjalar ke seluruh dunia. Indonesia bukan pengecualian, mengingat Eropa sebagai pasar bagi ekspor bahan mentah Indonesia di satu sisi, sementara Indonesia merupakan salah satu lahan besar bagi investasi kapitalis Barat di sisi lain. Krisis yang kelak akan menghantam Indonesia akan menjadi kondisi obyektif meletusnya revolusi sosial. Kondisi obyektif itu akan meledakkan faktor subyektif yang semakin mendidih karena kemiskinan yang parah, kesenjangan sosial yang semakin melebar, dan korupsi yang merajalela.
Revolusi sosial tidak dengan sendirinya menjadi revolusi sosialis. Ada kekuatan-kekuatan yang, seturut dengan kepentingan faksi kelasnya, akan membajak revolusi sosial. Borjuasi nasional yang sudah kehilangan pamor di mata rakyat akan berusaha mati-matian untuk mengarahkan revolusi sosial pada reformasi – seperti yang terjadi sejak Mei 1998 – dengan mengorbankan orang-orang tertentu di pihaknya sembari melakukan tambal sulam terhadap sistem yang telah memberikan banyak privilese kepada mereka. Di pihak lain burjuasi Islamis yang akhir-akhir ini semakin berani unjuk gigi dengan perda-perda syariah, intoleransi, bahkan kekerasan atas nama agama, tentu akan berupaya sekuat tenaga untuk menggelar konter-revolusi – dengan menyingkirkan faksi borjuis nasional dari kekuasaan tanpa mengubah hubungan-hubungan produksi kapitalis. Dalam kedua kemungkinan itu, revolusi sosial akan gagal menjadi jalan pemerdekaan rakyat pekerja.
Revolusi sosial akan menemukan muara sejatinya bila kelas buruh atau proletariat tampil dengan garis kepemimpinan revolusioner – dengan dukungan unsur-unsur rakyat pekerja lainnya: kaum tani, kaum miskin kota, dan para pemuda. Untuk itu, proletariat harus didampingi oleh sebuah partai pelopor revolusioner dengan idea, tradisi, program, dan metode perjuangan yang tepat. Suatu partai para kader yang mempunyai interaksi yang intens dengan massa rakyat pekerja, akan sanggup memperlengkapi proletariat secara ideologis, strategis, dan taktis untuk menunaikan tugas sejarahnya: memerdekakan rakyat pekerja dan menumbangkan Kapitalisme.
Sekarang, bila Saudara tergugah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sejati, bergeraklah! Mari kita mendidik diri kita dengan teori dan praksis revolusioner kelas pekerja (proletariat). Mari kita perkenalkan teori dan praksis ini kepada teman-teman kita sesama rakyat pekerja. Mari kita bangun organisasi perjuangan yang berusaha mengejewantahkan teori dan praksis revolusioner itu.

Dengan mengepalkan tinju ke udara, mari kita bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati!
Jadikan gelora lagu Sorak-sorak Gembira hidup kembali dan menggetarkan hati sanubari segenap rakyat pekerja Indonesia dengan kegembiraan, harapan, dan tekad memenangkan kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan seratus persen!
Di bawah kibaran panji proletariat revolusioner, rakyat pekerja Indonesia bersatulah!
Merdeka sepenuh-penuhnya!
          

Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner