IV.
MATTERIALISME dan IDEALISME
Aku rasa, selanjutnya aku perlu mengulas sedikit tentang pemahaman
tentang cara pandang manusia terhadap kondisi dalam filsafat, karena aku tidak
ingin penjelasan di atas menimbulkan ke salah pahaman, karena terkait juga
dalam masalah kerohanian. Nah untuk memulai BAB ini, aku akan coba menjelaskan
sedikit esensi dari cara pandang filsafat itu sendiri.
Filsafat adalah sebuah ilmu cara pandang seseorang terhadap segala
sesuatu (kondisi) bahkan menjadi induk dari segala sumber ilmu yang sekarang
tercerai berai, karena pada awalnya seseorang yang memandang bumi misalnya,
maka ia pun akan memandang masyarakat, kehidupan masyarakat, dan gejala-gejala
pergerakan bumi dan masyarakat, sekarang dari cara pandang seseorang terhadap
sebuah (kondisi) bumi, itu telah tercerai berai, ilmu bumi bisa kita pelajari
lebih khusus dengan ilmu geografinya, ilmu tentang kehidupan masyarakat bisa
kita temukan dalam ilmu antropologi, sosiologi, dll, artinya adalah filsafat
awalnya merupakan sebuah cara pandang manusia terhadap kondisi yang ada di
sekitarnya.
Kubu filsafat terbagi menjadi dua sudut pandang, yang pertama adalah
Idealisme, dan yang kedua adalah Matterialisme, Dalam memandang sebuah kondisi
itu, seorang filsuf (sebutan untuk seseorang yang berfilsafat) itu menemukan
dua metode pandang dan ini lah yang menjadi perdebatan selama beratus-ratus
tahun lamanya, perdebatan itu adalah perdebatan ANTARA MANA YANG LEBIH DULU/PRIMER, IDE kah (IDEALISM) atau
MATTER-kondisi (MATTERIALISM). Kedua cara pandang itu adalah BUKAN YANG MANA
YANG BENAR, TAPI MANA YANG LEBIH DULU. Sehingga kita tidak bisa mengatakan
salah satu diantara cara pandang itu salah dan salah satu itu lah yang benar,
seorang IDEALIS mengatakan bahwa
Ide-lah yang utama, dan dia akan berdiri di sebuah ide-nya itu, bahkan dia
mengesampingkan sebuah kondisi (matter) realitas yang ada, menurutnya (idenya)
sebuah kondisi itu akan berubah jika ia melakukan sebuah tindakan sesuai dengan
idenya itu. Seperti contoh di penjelasan sebelumnya (tentang golongan kanan) .
meskipun misalkan dalam pembangunan sebuah mall (pasar modern) ia juga
memperhitungkan kondisi(matter) nya, namun yang pertama kali diutamakannya
adalah sebuah ide yg dilihatnya untuk memodernisasikan sebuah tempat, meskipun
secara kondisi (matter) masyarakat
setempat belum sanggup menerima/ bersaing dengan modernisasi itu, maka akan ia
paksakan sesuai ide (yang menurutnya baik atau cemerlang itu). Perkara nanti
misalkan banyak masyarakat yang tertindas, tersiksa dalam hidup miskin karena
ide-nya itu, maka ia akan me-nina bobokan masyarakat dengan mengatakan “bahwa
ini adalah kehendak TUHAN, segala rezeki sudah di atur TUHAN, jika miskin dan
menderita di dunia, bersabarlah, di surga nanti akan di balas” seperti itu lah
kaum idealis mengapa di katakan menjadi kaum penindas, karena janji surga yang
dia lontarkan adalah demi menjaga kekuasaan dan ide-nya, padahal jika kita
bersedia mendengarkan perintah TUHAN dalam sebuah alkitab, maka kita akan
menemukan bahwa TUHAN TIDAK AKAN MERUBAH NASIB SESEORANG, JIKA BUKAN ORANG ITU
SENDIRI YANG MERUBAH NASIBNYA, artinya sederhana,, TUHAN tidak pernah
menganjurkan kepada kita untuk menyerah, namun harus terus berjuang…namun
seorang IDEALIS dalam kesehariannya adalah seorang yang menggenggam teguh
pendiriannya, karena ide yang menurutnya ideal itulah yang akan dilakukannya,
sampai kita bisa mengatakan beberapa orang idealis adalah seorang keras kepala,
itu karena menurutnya ide-nya itulah yang paling ideal untuk sebuah kondisi
(berdiri di atas ide-nya sendiri) padahal realitasnya manusia hidup (yang
normal dan berfikir) itu berdiri di atas sebuah benda (kaki-nya) bukan ide-nya
(otaknya, karena otak lah yang mengeluarkan sebuah ide) namun realitasnya kembali otak adalah sebuah
benda, nyata, konkrit yang dapat di lihat, bukan sebuah ide dalam angan-angan
belaka.
Idealisme adalah cara pandang
yang memposisikan Ide lah yang utama/primer. Berasal dari kata “ided” atau “ideal” atau ide-pemikiran atau idaman, dan isme yang berarti paham
atau mahzab, idealisme berarti memabayangkan sebuah pemikiran atau ide yang
paling ideal dalam memahami dan membentuk gejala-gejala alam dan perkembangan
masyarakat. Dalam hal ini yang pokok adalah ide, sedangkan matter(kondisi atau
kenyataan) adalah hasil dari sebuah ide, jadi idelah yang pokok/primer/utama.
Pemikiran Idealisme ini telah muncul pertama kali oleh undang-undangnya filsuf
Plato pada masa yunani kuno, di sini Plato menyimpulkan bahwa alam semesta
dengan segala isinya adalah produk/hasil dari ide yang berasal dari luar ide manusia, ide yang tak mampu di
jangkau oleh ide manusia, yang akhirnya membentuk kemasyarakatan yunani dalam
mitologi/mitos-mitos tentang dewa-dewa, dimana dikatakan Plato bahwa dewa zeus
lah sang pencetus ide kehidupan alam semesta dengan segala isinya, dan segala
apapun yang dilakukan oleh manusia adalah produk ide diluar ide manusia
tersebut, praktis disitu Plato mengatakan bahwa manusia hanyalah pelaku dari
ide yang telah di hasilkan tersebut, sehingga apa yang telah di capai oleh manusia
(ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan segala perkembangannya) adalah hasil dari
ide yang sudah ada, yaitu ide diluar ide manusia tersebut atau bisa kita sebut
ide dewa/yang berkehendak. Manusia adalah perantara dari ide dewa/yang
berkehendak tersebut dalam menghasilkan sebuah produk/barang/ilmu pengetahuan.
Pandangan Idealisme ini adalah salah satu cabang Idealisme, yang disebut
Idealisme Obyektif, yang berarti Ide diluar ide manusia itu adalah “obyek” karena manusia lah yang
membayangkan adanya “obyek” tersebut
atau manusialah yang sebenarnya ber ide bahwa ada “ide yang berkehendak/dewa”, sehingga posisi manusia adalah “subyek” yang melontarkan adanya “ide yang berkehendak(obyek)”. Dan
pandangan Idealisme ini dipergunakan dalam system pemerintahan pada masa
perbudakan hingga feodalisme abad kegelapan. Dimana rakyat ditenggelamkan dalam
takhayul-takhayul yang di titahkan oleh penguasa pemerintahan pada masa itu,
bahkan rakyat dipaksa mempercayai bahwa Raja(pada masa feodalisme) adalah
titisan dewa, sehingga rakyat harus tunduk patuh terhadap semua ucapan sang
raja, meskipun rakyat harus tersiksa dan sengsara dengan nafsu biadab sang
raja, namun itulah alas an paling rasional mengapa raja sanggup bercokol kuat
memerintah ribuan rakyat dengan sikapnya yang penuh arogansi tinggi serta
keserakahan, karena rakyat telah tenggelam dalam dogma bahwa raja mereka adalah
titisa dewa, sehingga rakyat tidak pernah berani berusaha tuk melawan titisan
dewa yang telah memberi mereka makan, berkah, rejeki, dan kehidupan. Rakyat tak
mau menerima amuk dari sang dewa dan tak mau menikmati kesengsaraan yang
diberikan oleh raja dan aparatur pemerintahan yang lain, peristiwa yang telah
di alami oleh Copernicus dan Galileo yang mengkumandangkan sebuah keberhasilan
ilmu pengetahuan ilmiah memecahkan misteri alam yang saat itu bertentangan
dengan kepercayaan yang di anut kerajaan dan gereja yang telah membentuk pola
pikir masyarakatnya, sehingga teori ilmiahnya tentang alam dan perkembangan
ilmu pengetahuan itu dianggap sebagai ajaran sesat oleh gereja dan bertentangan
dengan kerajaan. Saat itu pemahaman masyarakat mempercayai kepada pandangan
gereja dan kerajaan bahwa “Bumi adalah
pusat tata surya” dan “bumi itu
datar, sehingga jika kita berjalan jauh maka akan jatuh ke suatu tempat tanpa
ruang dan dimensi”, dan pemahaman itu di bantah oleh Copernicus dan Galileo
yang telah merumuskan ilmu pengetahuan ilmiah tentang “matahari adalah pusat tata surya dan bumi adalah planet-planet yang
mengitari matahari” serta teori “
bahwa bumi itu bulat, dapat dibuktikan dengan melihat kapal yang datang dari
kejauhan maka yang pertama kali nampak adalah ujung tiangnya, lalu kemudian
kelihatanlah seluruh badan kapal”. Namun sebenarnya jika kita kaji lebih
dalam dan mungkin masyarakat pada saat itu bersedia meluangkan waktu dan
pikirannya untuk memahami teori yang dikemukakan oleh Copernicus dan Galileo,
saya yakin sepenuhnya, maka kredibilitas gereja dan raja sebagai titisan dewa
akan hancur runtuh di pukul oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Dan itulah Idealisme
yang menjadi senjata ampuh untuk menenggelamkan masyarakat dengan mitos-mitos
dan menina bobokan kecerdasan social masyarakat dengan takhayul yang diciptakan
oleh yang penguasa pemerintahan untuk memenuhi kepuasan dan kepentingannya
semata, walau telah menyengsarakan rakyatnya yang berlimpah ruah. Idealisme tak
mengijinkan apapun mengancam ide yang telah menguntungkannya tersebut. Rakyat
dipertunjukkan dengan keganasan murka penguasa kerajaan dan gereja yang terancam keuntungannya oleh pemahaman yang
bertentangan dengannya, sehingga Copernicus dan Galileo menjadi tontonan
sekaligus percontohan kepada seluruh masyarakat yang menentang pandangan raja
dan gereja maka akan bernasib malang
seperti Copernicus dan Galileo. Dan rakyat hanya meng-amini apa yang terjadi
kepada Copernicus dan Galileo, serta tak mempunyai landasan berpikir yang kuat
untuk membelanya, karena ternyata kita bisa melihat dari sisni bahwa Idealisme
mampu membentuk masyarakat sesuai dengan Ide-nya atau Idealnya bagi si penguasa
pemerintahan atau bagi si pemegang pandangan filsafat ini dengan mengatas
namakan ide “obyektif” yang mengatur kehidupan manusia.
Dalam kasuistik yang lain pada masa kejayaan Feodalisme, Idealisme
obyektif digunakan untuk menentukan hirarki dalam strata social masyarakat,
karena dipercaya bahwa tatana dewa-dewapun memiliki hirarki tertentu, dimana
zeuslah sebagai dewa tertinggi dan diikuti dewa-dewa lainnya sebagai pelengkap
kerajaan langit. Seperti adanya dewa laut, dewa perang, dewa cinta, dewa
kesejahteraan, dewa padi, dll. Maka implementasi Idealisme Obyektif ini adalah
skolastisisme yang membentuk hirarki masyarakat feudal, dimana raja lah yang
tertinggi, diikuti bangsawan dan ksatria, serta tuan-tuan tanah dan di bawahnya
adalah petani-budak. Filosof skolastisisme adalah Thomas Aquinas. Dan penerapan
Idealisme yang paling bobrok adalah penerapan kebijakan gereja katholik dalam
hal penjualan “………(surat
penebusan dosa)” yang mengatur tentang tata cara menghapus dosa yang telah
dilakukan manusia dengan cara membeli surat
penebusan dosa tersebut, dengan harga yang begitu mahal, dari sisni kita tetap
bisa melihat penggunaan Idealisme untuk meraup keuntungan dan kepentingan bahkan dari segi ekonomi.
Yang pada klimaksnya nanti terjadi pemberontakan oleh kaum petani-budak karena
tidak mampu membeli surat
penebusan dosa tersebut karena harganya begitu mahal, sedangkan penghasilan
petani-budak begitu kecil karena diperas oleh kaum bangsawan dan tuan tanah
serta upeti untuk raja. Kaum yang memberontak dalam hal ini disebut “protestan-kristen Protestan”.
Seiring berjalannya waktu dan makin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka
manusia sudah memulai era baru dalam berpikir yang disebut era berpikir
rasional, manusia rasional, yang dikemukakan oleh Descartes (1590-1650),Dalam
pandangan yang paling terkenal adalah semboyannya “cogito ergo sum(saya berpikir, maka saya ada)”. Ini adalah cabang
dari Idealisme yang lain, yaitu Idealisme subyektif, dimana menempatkan ide
manusia adalah subyeknya, segala hal yang membentuk alam semesta dan segala
isinya berikut perkembangannya adalah produk/hasil dari ide manusia. Karena
memang yang bisa membantah ide yang diciptakan dari idealisme obyektif adalah
hanya dengan pembuktian ilmu pengetahuan seperti (yang sebenarnya) yang telah
dilakukan Copernicus dan Galileo. Maka di sini muncul mahzab eksistensialisme
yang justru mendewakan manusia itu sendiri sebagai penghasil ide. Tokohnya
adalah Nietzche dengan ungkapannya yang paling radikal “ Tuhan telah mati”.
Puncak dari Idealisme adalah hukum dialektika dari Hegel (1770-1831),
yang terkenal dengan paham Idealisme Dialektika. Yang meyakini perubahan
ide-ide yang membentuk kenyataan(alam semesta dan isinya). Hegel menjelaskan
dialektika ide menurutnya dalam model/rumus thesis-antithesis-sinthesis , bahwa
ide yang membentuk masyarakat(kenyataan) adalah sebuah thesis yang kelak akan
di tentang oleh ide lain yang berkembang dalam masyarakat (antithesis) yang
kemudian menghasilkan ide yang lebih tinggi(synthesis). Namun synthesis ini
akan kembali ditentang dan seterusnya
menjadi synthesis baru. Dengan demikian, perjuangan manusia adalah
pertentangan ide-ide yang membentuk kenyataan.
Matterialisme adalah kubu
filsafat yang lain dan sekaligus menjadi lawan dari filsafat Idealisme.
Matterialisme berasal dari kata “matter”
atau “material” dan “isme” yang berarti benda-bahan-bahan
atau sebuah keadaan-kondisi-kenyataan. Matterialisme adalah cara pandang
filsafat yang meyakini bahwa “matter”
lah yang utama-pokok-primer, matterialisme memandang ide/pikiran bersumber dari
materi(benda). Karena pada kenyataannya ide adalah produk dari otak, dan otak
adalah sebuah materi-benda konkrit. Sehingga matterialisme menempatkan materi
yang pokok-utama-primer.
Matterialisme pertama muncul adalah pada masa sekitar 600 SM, yang bisa
kita sebut matterialisme primitive. Sesuai dengan namanya, maka pandangan
matterialisme ini masih sangat sederhana namun tetap memberikan sumbangsih yang
besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan., yaitu Thales (640-546 SM) lah
yang memulai nya dengan menyatakan bahwa segala sesuatu bersumber pada air.
Alas an yang dikemukakannya adalah karena air merupakan sumber pokok kehidupan.
Manusia hidup membutuhkan air (minum) unsur utama dunia (bumi) adalah air, alas
an yang dikemukakan nya sangat rasional, karena air tidak hanya terlihat di
laut atau sungai, namun terdapat di dalam tanah dan lapisan batuan. Ada pula Anaximenes
(sekitar 500 SM) yang mengemukakan bahwa hakikat dunia adalah udara,
dikarenakan seluruh makhluk hidup membutuhkan udara untuk bernafas. Bahkan
Democritus (sekitar 500SM) berpendapat bahwa atom adalah unit-unit terkecil
dari benda-benda. Dari segi jumlah dan susunan atomnya, setiap benda
berlain-lainan. Democritus juga menegaskan hal penting yang disebut ruang.
Ruang dianggapnya sebagai tempat bagi atom-atom bergerak, saling mendorong dan
bertubrukan, sehingga menimbulkan berbagai gejala tentang gerak. Pemikiran
Democritus ini dilanjutkan oleh Epicurus (341-270SM) yang menegaskan bahwa
segala gejala pikiran dan perasaan manusia bersumber dari perwujudan gerak
atom-atom. Dalam hal ini Epicurus menyebut atom-atom itu adalah material
(materi-bahan-bahan-benda) dan menegaskan pandangannya bahwa materi lah yang
membentuk ide (pikiran) bahkan perasaan.
Matterialisme primitive dalam pandangannya masih sebatas melihat aspek
fisik atau bendawi, artinya pendirian materialistisnya masih di dasarkan atas
benda-benda seperti, air, udara dan atom. Namun penemuan yang terpenting adalah
ruang. Pandangan tentang ruang inilah yang merupakan sebuah perluasan dari
matterialisme dalam memandang dunia. Bahkan ruang yang di maksud berhubungan
dengan atom-atom dan benda-benda yang bergerak.
Pandangan materialistik seperti ini sangat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengertahuan, karena mampu memecahkan berbagai misteri alam yang menaungi
kehidupan manusia. Namun perkembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
cara pandang materialistik ini tidak mampu bertahan lama, karena Idealisme
telah menciptakan “zaman kegelapan”-jaman
kebodohan yang diperuntukkan demi kepentingan dan keuntungan segolongan orang
yang menduduki puncak pemerintahan dalam suatu system masyarakat. Seperti yang
telah kita pelajari sebelumnya tentang penggunaan Idealisme untuk membentuk
kondisi masyarakat. Kita bisa memulai dari percontohan pemerintahan Fir’aun
yang menyebut dirinya adalah Tuhan, namun kenyataan yang dilihat oleh Musa A.S
adalah bahwa fir’aun juga merupakan manusia biasa yang secara struktur tubuh
dan kebutuhan untuk hidup(makan,minum,bernafas) sama dengan manusia pada umumnya.
Disini kita bisa melihat cara pandang Musa yang secara materialistik
(kebendaan-kenyataan) memberontak ide yang di bentuk Fir’aun untuk
masyarakatnya. Kemudian kita bisa melompat ke jaman jahiliyyah pada masa Nabi
Muhammad S.A.W, yang mengibarkan bendera perang untuk meruntuhkan kediktaktoran
penguasa Mekah dan membebaskan budak-budak serta menghapuskan system perbudakan
yang menyengsarakan masyarakat. Karena Nabi Muhammad berpandangan bahwa setiap
manusia harunya mempunyai kedudukan dan keadilan yang sama satu sama lainnya,
namun tidak begitu “kenyataannya” dalam masyarakat yang di bentuk oleh penguasa
mekah. Pandangannya yang materialistik ini dengan melihat kenyataan-matter
mendapat dukungan besar dari para pengikutnya dan perang-perang pembebasan pun dilakukannya
selama bertahun-tahun. Kemenangan dari perlawanan ini membangkitkan perjuangan
penting dalam sejarah dunia, karena setelah wafatnya Muhammad terjadi ekspansi
besar-besaran dari kaum muslimin untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh
dunia dengan cara berdagang dan menguasai ekonomi-politik di seluruh dunia. Dan
makin memantapkan pandangan matterialisme untuk laju perkembangan ilmu
pengetahuan, karena semakin masiive nya para penyebar ajaran dan perdagangan
(yang saat itu menggunakan perahu layar) maka sangat dibutuhkan pembekalan ilmu
prkatis keilmiahan dari sudut pandang matterialisme seperti ilmu astronomi
untuk mendapatkan gambaran tentang waktu, ilmu ukur untuk mengetahui berapa
jauh jarak yang mereka tempuh, ilmu tentang arah mata angin, serta uang sebagai
alat tukar barang dagangan mereka.
Namun matterialisme tidak selalu mendapatkan tempat yang belenggang
leluasa penuh kejayaan di dalam masyarakatnya, karena pada suatu masa
feodalisme berjaya di Eropa, pendidikan atau sekolah-sekolah yang menjadi
tempat berbasiskan ilmu pengetahuan yang (sebenarnya) di dasarkan dari cara
pandang matterialisme, tidak merata di rasakan seluruh masyarakatnya, karena
untuk mendapatkan ilmu/pendidikan di sekolah-sekolah pada masa itu haruslah
membayar mahal, dan sebagai petani-budak pada masa feudal tidak akan mampu
mengenyam pendidikan yang mahal tersebut. Sehingga hanya golongan borjuis lah
yang mampu menikmati pendidikan yang (sebenarnya) di dasarkan secara
matterialistik. Padahal kita sudah memahami bahwa dalam tatanan masyarakat
feudal, gologan borjuis selalu berada di atas petani-budak dan selalu berusaha
mempertahankan keuntungan dan kepentingannya walaupun menindas dan
menyengsarakan gholongan masyarakat bawah(petani-budak). Praktis pada masa
kejayaan feodalisme Eropa, kembali matterialisme tenggelam dari kehidupan
masyarakat yang telah terdoktrin dan terdogma oleh Idealisme penguasa-Borjuis.
Kemunculan kembali filsafat matterialisme ditunjukkan oleh kelahiran
pemikiran filsuf perancis Paul d’ Holbach (1723-1789) yang melakukan
pemberontakan pikiran mistik yang di hembuskan oleh nafas Idealisme. Ia
beranggapan bahwa Idealisme menghanyutkan masyarakat kepada hal mistik dan
takhayul, sehingga masyarakat terpaksa harus patuh dan tunduk kepada hal mistik
dan takhayul yang di ciptakan oleh penguasa lalim, dan membuat masyarakat
“menerima” kesengsaraan hidupnya adalah “kehendak” hal yang mistik tersebut dan
tenggelam dalam kemistikannya hingga melupakan bahwa raja lalim berada di
hadapannya-yang seharusnya bertanggung jawab atas kesengsaraannya, kesengsaraan
masyarakat perancis demi meraup keuntungan ekonomi yang berlimpah ruah atas
darah dan keringat masyarakat golongan bawah terutamanya.
Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya Revolusi Perancis yang
dilakukan oleh petani-budak yang memberontak terhadap kerajaan otoriter
perancis. Dan matterialisme kembali muncul dalam periode-periode tertentu
perkembangan masyarakat serta mengawali lahirnya “Renaissance-zaman pencerahan-zaman berpikir kembali” yang kemudian
berurutan munculnya Revolusi Industri di Inggris yang menjadi klimaks
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu dengan cara pandang
matterialistiknya mampu merombak dengan singkat sturktur dan system masyarakat
dalam kegiatan ekonomi yang bisa kita sebut system Kapitalisme.
Namun lahirnya Kapitalisme (bisa dipelajari dengan materi terkait) bukan
berarti puncak kesejahteraan manusia dengan peradaban yang tinggi, karena dalam
masyarakat Kapitalisme ternyata masih banyak golongan masyarakat yang tertindas.
Dalam hal ini kita sebut kelas pekerja atau buruh. Hal ini dikarenakan
masyarakat yang terdogma dengan Idealisme penguasa belum memahami betul bahwa
ilmu pengetahuan yang berlandaskan cara pandang matterialisme lah yang berperan
penuh dalam menentukan bentuk struktur dan system bermasyarakat. Namun lebih
tepatnya masyarakat yang belum memahami ini dikarenakan tidak diberikannya
kesempatan bagi masyarakat tersebut untuk belajar dan menggali kemampuan
berpikirnya secara matterialisme-ilmiah-ilmu pengetahuan, karena masyarakat
tersebut adalah budak pada masa perbudakan, petani-budak pada masa feodalisme,
dan buruh pada masa kapitalisme. Yang mengandung arti bahwa golongan masyarakat
tersebut adalah kelas pekerja, yang berubah-ubah bentuk sesuai dengan bassis
matter hubungan produksinya. Petani-budak basis matter hubungan produksinya
adalah pertanian/pengelolaan-berproduksi dengan tanah, sedang buruh adalah
industrialisasi karena telah berkembangnya mesin-mesin produksi komoditi pasca
Revolusi Industri. Namun yang harus di pahami adalah kelas pekerja tersebut
dari masa ke masa adalah penggerak ekonomi sebuah system masyarakat yang
dipegang oleh golongan penindas-penguasa pemerintahan. Yang kelak secara
histories buruh/kelas pekerja mempunyai tugas historis untuk menumbangkan
kapitalisme, seperti yang telah dipercontohkan oleh empiric pada masa revolusi
perancis. Pemahaman inilah yang di cetuskan oleh Karl Marx, seorang filsuf yang
mengibarkan bendera matterialisme-Dialectica.
Di sini Marx melandaskan cara pandangnya melihat gejala alam dan masyarakat
menggunakan matterialesme dan menggunakan hukum dialektika nya Hegel serta
membuang cara pandang Idealisme nya Hegel. Marx menganggap bahwa semesta adalah
hasil dari pergerakan benda-benda/materi-materi di dalam sebuah ruang, dan
pergerakan itulah yang menentukan atau membentuk sebuah kondisi atau kenyataan.
Hukum Dialektika Marx dalam matterialisme dialektikanya meliputi, ruang, waktu,
kontradiksi, negasi, dan perubahan (kuantitas ke kualitas) dari
benda-benda/materi-materi yang bergerak. Bahkan Marx secara Kritis melihat
matter-kenyataan pada system kapitalisme tentang hubungan produksi antara
tenaga produksi (SDM) dengan alat produksi (SDA dan perkakas) yang memunculkan
sebuah “nilai lebih” yang dihasilkan
dari proses produksi tersebut, dimana nilai lebih ini diuntungkan bagi
pemodal-kapitalis dan merugikan pekerja-buruh. Gagasan tentang nilai lebih ini
telah Marx sampaikan dalam bukunya “Das
Capital” tentang teori nilai lebih. Hal inilah yang meneguhkan prinsip Marx
tentang penindasan di masa Kapitalisme, dimana pekerja haruslah bekerja keras
untuk mendapatkan gaji dan dibenamkan kecerdasan sosialnya tentang nilai lebih
tersebut, ini tak lain adalah hasil dari Idealisme yang digunakan oleh
borjuis-kapitalis untuk menina bobokan kesadaran sosialnya, bahkan menciptakan
paradigma tentang konsumsi barang-barang yang sesungguhnya bukan prioritas yang
dibutuhkan masyarakat, namun karena barang tersebut mampu menguntungkan
kapitalis maka barang tersebut dijadikan alat untuk membentuk masyarakat yang konsumtif.
Bahkan Kapitalis dengan Idealismenya mampu membentuk paradigma, semakin tinggi
jenjang/tittle pendidikan masyarakat maka akan mendapatkan posisi yang tinggi
pula dalam sebuah perusahaan, setelah paradigma itu tercipta, maka kapitalis
akan memanfaatkan aspek yang lainnya yaitu menjadikan sekolah/instansi
pendidikan menjadi dunia bisnis, dengan harga pendidikan yang harus dibayar
mahal oleh peserta didiknya, karena manusia akan berlomba-lomba memasuki
pendidikan yang tinggi walaupun dengan harga tinggi namun akan mendapatkan
posisi pekerjaan yang tinggi pula nantinya. Namun tidak hanya selesai sampai di
situ saja, kapitalisme ternyata lebih kejam dengan menciptakan pengangguran
massal yang bertujuan mendapatkan tenaga kerja/buruh dengan upah yang rendah.
Karena lapangan pekerjaan atau industri yang diciptakan oleh kapitalis terbatas
jumlahnya dibandingkan dengan membludaknya pelajar/calon buruh segar, maka
kapitalisme menciptakan system kerja kontrak, bagi pekerja yang telah habis
masa kerjanya maka akan di PHK (pemutusan hubungan kerja) untuk digantikan
posisinya dengan calon buruh segar/pelajar yang telah lulus masa pendidikannya.
Sehingga sangat terancam bagi buruh untuk memberontak menuntut upah yang layak,
karena kapanpun kapitalis bisa memecatnya dan menggantinya dengan buruh yang
masih segar, sehingga wajar jika buruh hari ini harus rela menerima gaji kecil
dari kapitalis walau buruh sudah bekerja keras tak kenal lelah, karena nasibnya
saat ini masih bergantung di tangan kapitalis.
Atas dasar itulah Marx bermaksud menyadarkan kelas pekerja di seluruh
penjuru dunia untuk memahami tentang siapa yang sebenarnya pemegang kunci
berputarnya roda ekonomi? Atas dasar itulah Marx bermaksud membangkitkan
kembali “roh” matterialisme
memberontak melawan musuh abadinya-Idealisme. Atas dasar itulah Marx menulis
secara sejarah bahwa kapitalisme akan tumbang oleh kelas pekerja nya-sama
seperti feodalisme tumbang oleh kelas pekerjanya- dan setelah kapitalisme
tumbang, maka akan lahir sebuah tatanan masyarakat Sosialisme. Dimana kelas
pekerja akan menjadi pemimpin pemerintahan. Namun kembali tak semudah yang kita
bayangkan, ternyata Idealisme tidak memberi kesempatan dan belajar dari
pengalaman sebelumnya untuk meredam perlawanan kaum matterialisme, kali ini
dengan cara membunuh karakter esensi dari matterialisme. Idealisme mencitrakan
dirinya dengan baik, yaitu membentuk paradigma bahwa Idealisme adalah berpegang
terhadap prinsip ide nya dan Idealnya, tanpa tersentuh atau tergoda dengan keadaan
dan benda. Sedang matterialisme di citrakan sebagai paham kebendaan/materi
(dalam hal ini di pandang sebagi harta-kekayaan) sehingga matterialisme
menduduki posisi negative dalam pandangan masyarakat, bahwa pengikutnya adalah
seorang yang mempersoalkan tentang benda-harta-kekayaan-materi-uang.
Jika merunut dari pemahaman demi pemahaman hingga saat ini kita masih
bisa mengkorelasikan pengertian kiri dalam arti perlawanan, yaitu pandangan
buruk yang di arahkan kepada matterialisme, adalah salah satu bentuk perlawanan
dari kaum matterialisme terhadap Idealisme-karena pada kenyataannya
matterialisme selalu memberontak dan melawan Idealisme, sejarah telah
menjelaskan hal itu. Semoga sampai detik ini kita mampu memahami bahwa
Idealisme adalah Filsafatnya kaum penindas yang menjadi senjata ampuh untuk
meredam perlawanan kecerdasan sosial masyarakat dengan ide-ide yang bertaburan
di alam imajinasi-ide-angan-angan, sedangkan Matterialisme adalah filsafatnya
kaum tertindas untuk melawan pembodohan yang di hembuskan oleh
Idealisme-Penindas atau secara singkat matterialisme
adalah senjata kaum kiri untuk melawan tirani.
V. EPILOG
Saat ini saya hanya mencoba merefleksikan kembali pemahaman yang mungkin
sudah sedemikian cara saya ungkapkan lewat kata per kata, kalimat per kalimat,
dan beberapa analogi yang sekiranya bisa membuka ruang berpikir kita untuk
mengenal, memahami, dan menentukan sikap diri atau posisi dalam arus kondisi
pada hari ini. Mungkin beberapa pembaca langsung memberikan sebuah pandangan,
bahwa saya (penulis) adalah seseorang dari golongan kiri. Sehingga memaparkan
segala yang (mungkin) pembaca tangkap adalah propaganda positif tentang gerakan
kiri. Jika benar muncul pernyataan seperti itu, secara tegas saya jawab IYA.
Namun dengan catatan bahwa IYA setelah kita memahami arti kiri yang
sesungguhnya. Kiri yang saya paparkan adalah sebuah empiric atau secara
historical sebuah perjuangan dan perlawanan kelompok (kiri) terhadap segala
bentuk penindasan. Karena berdasarkan pengertian kelompok (kiri) secara historis
memang begitu adanya, begitu kenyataannya-realitasnya, bahwa manusia-manusia
dalam kubu kiri adalah manusia-manusia yang melawan terhadap segala benuk
penindasan. Kita bisa membaca kembali sejarah perjuangan kemerdekaan nasional,
setiap “mereka” yang melawan adalah seorang yang di cap kiri oleh pemerintahan
colonial, pahlawan yang telah berjasa mengusir penjajah dari tanah air kita
adalah mereka yang mempunyai roh kiri-roh perlawanan terhadap tirani. Dan makna
itulah yang sesungguhnya ingin saya angkat dari tulisan saya ini. Sebenarnya
secara gamblang saya tidak pernah mempermasalahkan penamaan untuk manusia sadar
yang hendak melawan terhadap penindasan. Yang terpenting adalah kita saat ini
memiliki roh kiri-roh perlawanan, karena pada kenyataannya penindasan masih
terjadi di negeri kita, bahkan dunia. Penindasan dengan tangan halus berkuku
tajam, invisible hand tiran. Di Indonesia ada sebuah problematika yang
begitu kabur, yaitu permasalahan tentang golongan kanan-dan kiri. Yang
sesungguhnya manusia Indonesia masih banyak yang belum paham betul makna
pembagian kelompok tersebut. Masih banyak dari sodara kita yang masih termakan
dengan dogma kuno, yang mengatakan bahwa golongan kiri adalah binatang buas,
kejam, tak bermoral, dan siap memangsa manusia……..KAWAN…!!!! Pemahaman seperti
itu adalah black propaganda dari ilmu politik kuno———politik mengadu
domba-pemecah belah perjuangan,,dan itu terbukti benar...saat ini kita sulit
bersatu hanya karena kita mengangkat tangan yang berbeda dalam memperjuangkan kesejahteraan
nasional...sedangkan isu yang kita usung sama-masalah yang kita usung sama,
yaitu anti penindasan-anti kapitalisme-anti neo liberalism– menuntut
kesejahteraan sosial, tapi hanya karena banyak yang termakan dogma kuno, maka
kita saling menutup diri, saling menjaga diri, tercerai berai dalam “medan aksi
massa”, yang angkat tangan kanan, berkumpul dengan yang sesama angkat tangan
kanan, begitupun yang angkat tangan kiri. Yang seharusnya kita bersatu kanan
dan kiri menjadi tinju besar untuk memukul tirani!... Tapi itu tidak kita
lakukan, karena dogma kuno telah menjadi makanan kita sehari-hari, dogma kuno
tersebut telah menjadi dinding penyekat di antara kita yang sedang berjuang.
Kembali saya coba melihat dalam sebuah rezim ORBA yang gencar melakukan agitasi
hitam terhadap golongan kiri, ORBA mengatakan bahwa golongan kiri adalah setan
berwujud manusia yang terkejam, tak bermoral dan tidak menghargai norma-norma
agama. Masyarakat rezim ORBA di bentuk menjadi takut dengan golongan kiri,
ketakutan tersebut kemudian di jaga oleh penguasa rezim dan kondisi ini
membuatnya berperan sebagai pahlawan, sebagai seorang yang mampu melindungi
masyarakat dari kejamnya golongan kiri, masyarakat dibuatnya tunduk dan takluk
kepadanya, memanfaatkan ketakutan masyarakat yang dibuat olehnya….POLITIK itu
KEJAM bung..!!!. Namun inilah yang seharusnya menjadi bahan renungan kita,
golongan yang sadar kemudian bergerak berontak terhadap rezim otoritarian
tersebut, harus mempertaruhkan nyawa mereka, diculik-dibunuh-dibuang, hanya
karena mereka (golongan yang melawan) memberikan kritik (dalam ruang demokrasi)
terhadap kinerja pemerintahan yang bobrok dan korup! Namun golongan yang sadar
akan penindasan ini kemudian hendak bergerak melawan, tetap berjuang dalam
represifitas senapan yang setiap detik mampu memecahkan kepala mereka. Mereka
tetap bekerja di bawah tanah secara rahasia menyusun kekuatan untuk menggempur
kekuatan militerisme ORBA, meskipun nyawa adalah taruhannya. ITULAH KIRI..!!!!
kelompok yang sadar akan penindasan dan bergerak MELAWAN penindasan tersebut.
Kisah seperti itu bisa kembali kita lihat dalam masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia, golongan-golongan yang sadar penjajahan merencanakan kemerdekaan
Indonesia di bawah tanah-lolos dari intaian pemerintah colonial. Mereka adalah kiri
yang tetap berjuang di medan area peperangan melawan tirani, yang terus
dibayang-bayangi dogma kuno tentang mereka (kiri) yang membuat pejuang tersebut
termarjinalkan dari bassis massa nya…ironis.
Dan satu realita yang saya lihat hari ini adalah…….manusia sadar yang
melawan penindasan namun dia mengangkat tangan kanan, selalu menutup diri dan
menjauhi serta enggan berkawan (perjuangan) dengan manusia sadar dan melawan
penindasan, namun ia mengangkat tangan kiri…..namun mereka yang mengangkat tangan kiri secara
sabar mendekati dan bersekawan dengan mereka yang mengangkat tangan kanan,
dengan catatan garis perjuangannya sama, anti penindasan-anti kapitalisme.
Karena yang kita butuhkan adalah persatuan roh perjuangan-roh kiri yang melawan,
bukan tampilan fisik tangan apa yang kita angkat untuk melawan. Jika esensi
sesungguhnya telah kita pahami betul, maka kita akan tahu bahwa golongan kanan
(dalam makna yang sesungguhnya) tidak akan pernah bersatu dengan golongan kiri
(dalam makna yang sesungguhnya). Karena garis perjuangannya bertolak belakang.
Golongan kanan “diam ditempat” dan golongan kiri “melawan penindasan dan
merubah kondisi menjadi lebih baik”.