Thursday, June 19, 2014

Demokrasi di Indonesia adalah Komoditas

Indonesia adalah negara yang lahir atas Proklamasi di tahun 1945, adalah iya. Kemerdekaan Indonesia saat itu masih menjadi kemenangan bagi kaum Borjuis Nasional pun juga iya. Artinya Revolusi di tahun 1945, bukanlah Revolusi yang dipimpin kelas pekerja yang membangun kekuatan melawan sistem Kapitalisme yang sejatinya itulah musuh rakyat yang hingga hari ini masih menindas dan terus menciptakan kesengsaraan bagi kelas pekerja. Revolusi 1945 adalah Revolusinya Kaum borjuasi Nasional yang telah terkekang “kemerdekaan” sifat kelasnya di bawah pemerintahan Kapitalistik-Imperialisme Belanda selama sekitar 3,5 abad dan “terkebiri” kepentingan Pragmatismenya pada saat Indonesia dikuasai pemerintahan Fasisme Jepang kurang lebih 3,5 tahun.
Pasca Proklamasi 1945 yang seharusnya menjadi momentum bersejarah dalam perjuangan kelas pekerja di Indonesia yang menjadi representatif dari perjuangan rakyat tertindas melawan sistem penindasnya, justru oleh kaum Borjuasi Nasional dijauhkan peranannya kelas pekerja dalam membangun pondasi pendirian negara Republik Indonesia yang anti Kapitalisme. Harus kita akui dengan penuh kejujuran dan bersih bahwa Republik Indonesia lahir dari founding father yang didominasi oleh kaum cendekiawan dan bagian kelas Borjuasi Nasional yang menikmati momentum “kemerdekaan” kelasnya untuk menguasai Indonesia tanpa cengkraman dari Imperialisme Bangsa asing. Meskipun artinya tidak semua pendiri Negara Indonesia adalah kaum borjuasi saja, tanpa adanya perwakilan dari cendekiawan kelas pekerja yang revolusioner. Kita mengenal Soekarno-Hatta sebagai cendekiawan dari kelas Borjuis yang anti Imperialisme-Kolonialisme, iya itu benar, namun dengan pendekatan humanisme yang tinggi dan Jiwa kebangsaan yang tinggi, serta kecintaan yang mendalam terhadap Indonesia, maka kita dapati bahwa kedua tokoh itu merupakan kelompok Borjuis Nasional yang berpihak di garis Kemerdekaan bangsanya yang diperas oleh penjajah meskipun kedua tokoh tersebut tidak pernah melepas dan membunuh sifat kelas borjuasinya, sehingga dapat terlihat jelas implementasi kepentingan kelasnya ditelurkan dalam racikan membuat pondasi Negara Indonesia seperti konsepsi Revolusi dua tahap atau pembangunan ekonomi Liberal yang dicanangkan kedua tokoh tersebut. Yang berarti mereka menunda kepemimpinan kelas pekerja sebagai kelas revolusioner yang akan menumbangkan Kapitalisme dan memberikan ruang sebesarnya untuk kelas Borjuis Nasional bangkit dan memperkuat posisi kelasnya hingga menjalankan Pemerintahan Nasional (yang masih Kapitalistik). Hal ini sesungguhnya telah lepas dari semangat dan gagasan Negara Republik dalam analisis Dialektika Tan Malaka, sebagai bapak Republik Indonesia dan pencetus konsepsi Negara Republik Indonesia saat ia menulis buku Naar De Republiek Indonesia (1925), sebagai ide dasar rujukan para Founding Father lainnya mendirikan Negara Indonesia ini. Tan Malaka yang sesungguhnya bisa menjadi kelas Borjuasi, saat ia melanjutkan pendidikan ke Belanda dan akan menjadi Ahli bahasa untuk kepentingan Imperialisme Belanda, justru membunuh sifat dan kelas Borjuasinya demi memilih berjuang di garis massa rakyat pekerja, yang dinamakan oleh dia kemudian sebagai kelas Murba, kelas sosial dalam masyarakat yang mayoritas dan tidak mempunyai alat produksi sehingga harus menjual tenaga nya kepada kaum pemodal dalam sistem Kapitalisme di Indonesia. Pendirian Republik Indonesia kemudian diteruskan oleh kelas borjuasi Nasional yang tidak akan bisa lepas dari kekangan Kapitalisme International. Meskipun berbentuk Republik, namun Penggerak roda Pemerintahan Indonesia bukanlah dari kelas kontra Kapitalisme yaitu kelas Pekerja revolusioner. Penguasa Pemerintahan (Republik) Indonesia adalah kelas borjuis Nasional yang tunduk terhadap kekuasaan Kapitalisme International yang menggagas konsep ekonomi penghapus peran Negara dalam melindungi masyarakatnya, Neo-Liberalisme. Soekarno yang sempat menyadari akan hal itu kemudian memantapkan garis pembentukan Negara menuju Sosialisme Indonesia, namun karena sebelumnya ia telah menunda kepemimpinan kelas pekerja dengan Revolusi dua tahap yang memberi kesempatan kepada kelas Borjuasi Nasional penghamba kelas Borjuasi International, maka akar gerakan rakyat yang terbangun sangat rapuh dan tidak mampu melawan kudeta 1965 yang dilakukan oleh kelas borjuis lainnya (Soeharto) melalui bentuk militeristik patriotisme dalam momentum gerakan Reaksioner saat itu (NASAKOM, poros Peking-Jakarta, Angkatan ke V, G 30 S) yang di pimpin oleh Soekarno dengan maksud mengcounter  Indonesia dari NEKOLIM (Neo Kolonialisme-Imperialisme).
Negara Republik idealnya harus mengandung dan menjunjung tinggi Demokrasi Rakyat sejati, yaitu kekuasan Negara berada di tangan rakyat, sehingga gagasan dari, oleh dan untuk rakyat dapat terwujud sepenuhnya. Namun karena akar Idealisme sebuah negara Republik dikuasai oleh kelas Borjuasi, maka Demokrasi sebagai produk dari sebuah Negara Republik (borjuis) pun juga merupakan alat untuk memenuhi kepentingan borjuis itu sendiri dan menjadi “ilusi” bagi rakyat agar mendukung segala kebijakan yang dilahirkan oleh kelas borjuasi beserta instrument pelengkap kepentingannya, Negara Republik Borjuis Indonesia.
Demi mendapatkan kepentingan kelasnya (borjuasi) maka Pemerintahan pun dijalankan dengan menginjak esensi Demokrasi rakyat. Setidaknya saat Rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia dalam bentuk pemerintahan totalitarian-militeristiknya, jutaan rakyat Indonesia “dibinasakan” demi menjaga aset dan kepentingan kelasnya (borjuis). Saat seharusnya Demokrasi dijunjung tinggi oleh trias politica Negara guna melaksanakan tugasnya mensejahterakan rakyat, justru dijadikan alas kaki sang komparador (*hanya istilah yang saya gunakan untuk menjelaskan posisi Borjuasi Nasional sebagai agen perpanjangan tangan dari Kapitalisme International). Soeharto adalah bapak Pembangunan (kapitalisme) Nasional, melalui produk Undang Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 merupakan jalur luas bagi Kapitalis asing untuk “menjajah” kembali SDA sekalian SDM Indonesia.
Orde Baru berjalan bukannya tanpa perlawanan rakyat yang memahami perjuangan Kelas tertindas dalam sistem Kapitalisme, namun dengan bentuk Totalitarian-Militeristiknya, rakyat yang melawan mendapatkan represifitas yang sekeras-kerasnya. Ada beberapa periode tertentu saat rakyat hidup dalam Negara Demokrasi dibawah acungan senjata ala Orde Baru, tahun 70 an tepatnya 15 Januari 1974 rakyat yang menolak dan melawan dominasi modal asing harus diredam hak demokrasinya dengan timah besi panas. Lalu hal yang sama juga dialami rakyat pada periode 1997-1998, saat  gerakan rakyat generasi berikutnya terus melawan dan berupaya menghancurkan Orde Baru sebagai simbol pemerintahan Kapitalistik di Indonesia yang telah membodohi rakyat selama 32 tahun. Penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Aparatur Negara (Pengaman Modal Kapitalis) telah menjadi tantangan bagi rakyat yang melawan Tirani.
Itu membuktikan bahwa Negara Republik yang dikuasai kaum Borjuasi tidak akan melahirkan Demokrasi rakyat yang sejati, namun hanya Demokrasi Semu yang menenangkan sementara kegelisahan rakyat dan meredam kecerdasan sosial rakyat. Secara logis saat demokrasi dalam perspektif sesungguhnya bahwa kekuasaan di tangan rakyat, maka rakyat bisa menjadikan siapapun Presidennya, dan saat rakyat menghendaki Presiden itu turun maka dia akan turun. Namun hal itu tidak terjadi di Indonesia, karena Demokrasi Semu telah menjadi “pendidikan” yang membodohkan rakyat selama 32 tahun, sehingga membentuk masyarakat hasil Rezim Orde Baru yang berwatak Pragmatisme-Opportunisme. Begitupun terjadi di segala aspek yang lainnya, seperti bidang pendidikan, kesehatan, hukum dan sebagainya yang hingga hari ini masih terjadi dan dapat kita sebut Demokrasi Semu ala Reformasi.
Pemilihan Umum Presiden 2014 nanti harusnya menjadi refleksi di tingkat gerakan rakyat yang berjuang di garis massa pekerja Revolusioner anti Kapitalisme untuk merubah paradigma masyarakat yang terbuai aroma Demokrasi Semu dalam bentuk Pragmatisme-Opportunisme. Tidak ada satupun dari kandidat calon tersebut yang berasal dari kelas Pekerja Revolusioner, mereka dan dibalik mereka adalah Borjuasi Nasional yang “tidak mati” saat “Pohon Beringin” ORBA runtuh. Terlebih salah satu dari kandidat itu adalah Pelaku yang “membunuh” Demokrasi rakyat pada era Reformasi 1997-1998 tentang kejahatan manusia dalam konteks pelanggaran HAM berat  dan masih banyak yang lainnya yang hingga kini belum mempertanggung jawabkan tindakannya kepada rakyat serta seakan terbebas dari jerat hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan penyelesaian kasus itupun hanya menjadi bola bekel yang terus memantul di lingkaran Birokrasi Negara yang dipenuhi para Pelaku penindas Rakyat atas nama Demokrasi (semu). Dan janganlah kita sebagai Rakyat yang melawan mempercayakan Demokrasi Rakyat sejati akan di usung dan dilaksanakan oleh siapapun kelak yang jadi penguasa Rezim Reformasi ini. Karena mereka semua adalah bayi Tirani Orde Baru yang telah tumbuh dewasa dan siap menjadi regenerasi dari kelas Borjuasi Nasional penghamba Kapitalisme International penindas rakyat-pekerja. Dan Demokrasi di mata mereka (kelas borjuis) adalah komoditas, barang yang dagangan yang bisa dibeli dengan kekuasaan Tuhan mereka, Modal-uang.

Baca Selengkapnya

Thursday, June 5, 2014

Kelas Pekerja Revolusioner adalah pelaksana tugas historis, Menumbangkan Kapitalisme!

Telah diajarkan dalam filsafat materialisme dialectika, bahwa hubungan antara Borjuis/pengusaha/pemodal/kelas borjuasi dengan proletar/pekerja adalah kontradiksi antagonis, artinya pertentangan antar kelas tersebut TIDAK akan pernah terdamaikan, hingga salah satu diantara kelas tersebut memenangkan pertarungan ideologis dan memimpin berjalannya sistem bermasyarakat di dunia. ideologi yang diusung masing-masing adalah Kapitalisme yang merupakan representatif dari kepentingan Kelas Borjuasi, dimana modal sebagai basis material yang utama dikuasai oleh segelintir kaum borjuasi untuk menguasai hak dan kehidupan masyarakat banyak atau kelas yang menggerakkan perputaran modal tersebut yaitu kelas pekerja, namun kesejahteraan bagi kelas pekerja adalah ilusi yang diberikan oleh kelas borjuasi dalam menerapkan sistem ekonomi-politik yang kapitalistik, dengan bentuk demokrasi "semu" yang di usung oleh alat penindas terstruktur bernama Negara dengan segala jajaran birokrasi dan aparatur penjaga sistem kapitalistiknya. hal ini telah diurai lengkap oleh Karl Marx dalam Das Kapital serta banyak pula tokoh Revolusioner menjelaskan posisi Negara sebagai alatnya Kapitalisme untuk penindas Rakyat, salah satunya adalah V.I Lenin.
Kepentingan yang mewakili pertarungan prinsipil kontradiksi antagonis berikutnya adalah ideologi sosialisme-komunisme, dimana komunisme yang dimaksud adalah secara substansial sebagai tahapan tertinggi dari perkembangan masyarakat yang setara, tanpa kelas, tanpa penindas dan yang tertindas, tidak ada penguasaan manusia atas manusia lainnya, tidak ada bangsa dan Negara yang menjadi sekat sosial dan saling membeda-bedakan dalam kepentingan tertentu, yang ada hanyalah kelompok masyarakat dunia yang saling memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini bagi sebagian orang yang belum memahami filsafat materialisme dialektika, maka hanya akan menjadi utopis atau angan-angan saja, mimpi indah bagi kaum yang merasa dirinya tertindas dan sengsara hidup di dunia ini. Namun materialisme dialektika mengajarkan kita menuju Sosialisme Ilmiah, dimana tatanan masyarakat setara tersebut dapat terwujud dengan jalan yang berdialektis, yaitu membangun kekuasaan kelas pekerja dalam bentuk Negara Dictator Proletariat, ini berfungsi untuk membunuh segala perangkat dan sifat borjuis-kapitalistik yang telah tertanam dalam diri masyarakat selama beratus-ratus tahun Kapitalisme berjaya dan memimpin sistem bermasyarakat dunia. maka dalam ideologi sosialisme-komunisme, setelah hancurnya Negara Kapitalisme, maka kelas pekerja yang memimpin masih membutuhkan Negara sebagai "alat" namun bukan untuk menindas dan melanjutkan sistem yang kapitalistik dengan watak exploitatif, akumulatif, dan ekspansifnya, tetapi Negara dibutuhkan sebagai alat yang digunakan oleh dictator proletariat untuk menghancurkan sisa-sisa Kapitalisme yang akan bangkit kembali melalui sifat borjuasi yang melekat pada diri masyarakat.
Ini menjadi pemahaman mendasar yang harus dipahami oleh kelas pekerja yang tersebar diseluruh dunia, untuk berhimpun dan bersatu menggalang kekuatan demi melaksanakan tugas historisnya, yaitu menumbangkan kapitalisme. menjadi tugas historis karena kelas pekerja di dunia ini lahir atas berlakunya sistem Kapitalisme di dunia, sehingga bisa dikatakan bahwa kelas pekerja adalah anak kandung dari sistem Kapital, dan secara historis hanya ia (kelas pekerja) lah yang mampu menumbangkan Kapitalisme, tidak yang lain!
artinya Kelas Pekerja harus mampu mandiri dan bangkit membangun alat politik ideologisnya sendiri, Partai Kelas Pekerja yang Revolusioner, karena dengan Partai Kelas Pekerja yang Revolusionerlah Dictator Proletariat mampu terlaksana dan memimpin Negara Sosialistik menuju Komunal modern, masyarakat kelompok tanpa kelas!
Tidak akan ada Sosialisme dalam perspektif Dictator Proletariat, saat Kelas Pekerja terbuai dan mempercayakan perjuangan ideologisnya kepada Partai Borjuis atau Kelas Borjuasi, apapun alasannya kelas Pekerja harus mempunyai alat perjuangan politiknya sendiri! bahkan jika harus memasuki arena  perebutan kekuasaan di Parlementariat ala Negara Borjuis, maka Partai Kelas Pekerja yang Revolusioner ini harus mampu memenangkan suara massa rakyat dan "merevolusi" Negara Demokratis Borjuasi tersebut menjadi Negara Sosialistik  Dictator Proletariat yang bergerak menuju sistem masyarakat tanpa kelas, Komunal modern! maka ingatlah bahwa Sosialisme-Komunisme itu Lentur dalam bergerak, namun teguh dalam prinsip berjuang di garis massa rakyat Pekerja yang Revolusioner, berkompromi dengan Borjuis adalah pengkhianatan ideologis, apapun alasannya! maka meskipun perjuangan Revolusioner kelas pekerja yang berdialektis ini harus memasuki arena borjuasi/ tidak ekstra parlementariat, maka ia (kelas pekerja) harus menggunakan alat politiknya sendiri, yaitu Partai Kelas Pekerja Revolusioner yang berjuang di garis massa rakyat pekerja, bukan di garis kompromis dengan borjuasi!

KAUM PEKERJA SEDUNIA BERSATULAH!

Baca Selengkapnya

Kandidat pemimpin Negara 5 tahun kedepan itu adalah: sama secara isi-berbeda secara bentuk

Percaturan politik nasional mulai memanas pasca pemilu legislative 9 juli lalu. Bahkan manuver (3 partai besar peserta pemilu 2014 : PDI P, GOLKAR, GERINDRA) partai politik pun  kian mantap membentuk poros arah politik nasional 5 tahun ke depan.Namun yang kemudian menurut saya harus di pahami adalah : “apakah rivalitas kedua poros politik dari pasangan kandidat saat ini merupakan representative dari kepentingan rakyat? Atau konstelasi politik saat ini hanyalah salah satu varian bentuk dari kelanjutan dinasti penindas rakyat?”  
Satu bulan ini, media massa kita (dari cetak hingga elektronik) memiliki isu populer untuk dibahas, isu itu adalah  terkait poros politik yang terbentuk oleh pasangan kandidat presiden 2014-2019, yang pertama poros dari pasangan Jokowi-Jusuf kala yang di dukung oleh PDI P, NasDem, PKB, Hanura dan berikutnya adalah pasangan Prabowo-Hatta yang di usung oleh Gerindra, PAN, PPP, Golkar, PKS. Dan hal itu menjadi sesuatu yang “dibuat” sangat wah sehingga masyarakat kita terserap untuk mengikuti isu populis yang bahkan belum menunjukan kejelasan posisi politiknya 5 tahun mendatang. Mengapa saya berani mengatakan bahwa kedua poros yang terbentuk itu belum menunjukan kejelasan posisi politiknya, itu bisa kita lihat dari visi dan misi yang diusung kedua pasangan kandidat tersebut.semua “kompak” dalam meminjam semangat perjuangan soekarno membentuk Negara ini. Sederhananya kedua kandidat mengusung program untuk mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politk, dan berkepribadian dalam hal kebudayaan. Hanya saja terdapat pengembangan di sana dan sini seperti contoh prabowo  yang akan “membangunkan” macan asia sebagai semangat kepemimpinannya dalam melaksanakan program program kemandirian ekonomi nasional, yang jika kita ingat bahwa semboyan macan asia memang pernah mengaung di bumi Indonesia pada era orde baru di bawah rezim militeristik Soeharto yang kala itu “sang macan asia” (Indonesia) harus tumbang saat badai krisis moneter yang melanda meluluh lantakkan perekonomian nasional yang memang tidak mempunyai pondasi yang kuat dalam menyokong program pembangunanisme-nya. Lantas langkah apa yang akan dilakukan Prabowo dalam evaluasi kegagalan membangunkan macan asia ala orde baru? Kemudian jokowi yang  telah mengikrarkan perlunya di laskanakan revolusi mental bagi bangsa Indonesia untuk memperbaiki “nasib” masyarakat Indonesia yang hidup miskin dan sengsara di “tanah kaya SDA”.
Dalam perspektif perjuangan kelas tertindas atau rakyat korban system yang tidak pro terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat, maka kita temukan beberapa kejanggalan yang dapat kita kritisi terkait visi dan misi para kandidat tersebut. Yang pertama soal berdikari di bidang ekonomi ala kedua kandidat apakah berarti membangun industrialisasi nasional? Jika iya, maka tahap pertama yang harus dilakukan adalah menasionalisasikan asset SDA Indonesia dari tangan investor/korporasi asing yang menguasai lebih dari 80% bahan baku strategis ekonomi international. Membangun industrialisasi nasional sejatinya adalah membangun infrastruktur di bawah kontrol rakyat, karena pada dasarnya industrialisasi nasional berarti melaksanakan kegiatan ekonomi guna pemenuhan kebutuhan seluruh  masyarakat yang kemudian rakyat memiliki kewenangan penuh dalam  mengelola SDA alam tersebut. Inilah semangat dari, oleh dan untuk rakyat dalam aspek perekonomian nasional, bukan membiarkan penguasaan modal oleh investor/korporasi menggurita dan menghegemoni setiap keuntungan atas eksploitasi nya terhadap SDA Indonesia serta  hanya memberikan wilayah kecil keterlibatan bangsa Indonesia dalam “manajemen” dan kepemilikan atas SDA tersebut dan memberikan wilayah besar keterlibatan bangsa Indonesia dalam posisi “budak modern” atau buruh tertindas dengan upah kecil-jika  dapat dianalogikan sebagai upah yang hanya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya satu hari itu saja, dan harus menjadi budak modern lagi esok hari untuk memenuhi kebutuhan hidup esok hari pula. Pertanyaannya kemudian adalah siapa pasangan kandidat yang mampu melaksanakan semangat perjuangan rakyat Indonesia membangun industrinya sendiri berdasarkan azas ekonomi dari, oleh dan untuk rakyat seperti yang tertulis diatas? Prabowo jelas pernah mengatakan tidak akan melakukan nasionalisasi asset dari penguasaan pemodal asing. Ini berarti bahwa strategi yang dilakukan prabowo adalah upaya kompromis dengan kekuatan pemodal asing yang telah merasakan “nikmatnya” SDA Indonesia. Secara psikologis kelas “pedagang international” itu tak akan pernah bersedia mengurangi keuntungan yang dihasilkan baik dari segi hasil produksi maupun dari segi pemberian hak normative buruhnya. Artinya upaya kompromis yang dilakukan Prabowo hanya akan menghambat dan meredam semangat pembangunan industry nasional dibawah kontrol rakyat. Lantas bagaimana dengan pasangan Jokowi-Jusuf kalla? Harus diakui bahwa Jokowi mempunyai pengalaman membangun usaha semasa di Solo dulu, dan Jusuf kalla adalah salah satu master di ranah pengusaha nasional . namun yang kita bicarakan saat ini adalah membangun industrialisasi nasional yang saat ini 80% SDA strategis ekonomi  telah dikuasai oleh pemodal asing. Seberapa besar modal yang mereka punya untuk bersaing dan mengambil alih penguasaan SDA dari tangan pemodal international itu? Bahkan jika ditambah dengan “patungan modal” dari semua partai yang mendukungnya pun masih tidak akan mampu “memerah putihkan” SDA Indonesia dari tangan pemodal international tersebut, ditambah dengan konsesi yang harus dialami mereka atas serangkaian perjanjian yang telah di buat pada era rezim sebelumnya. Melanggar perjanjian perdagangan international itu berarti menantang Negara ekonomi kuat untuk berperang dan mengancam keselamatan masyarakat Indonesia karena invasi militer yang sering dilakukan guna menundukan perlawanan dari Negara berekonomi lemah yang kaya SDA seperti Indonesia atas pembangkangannya terhadap perjanjian perdagangan international yang sejatinya hanya menguntungkan pihak pemodal international tersebut. Seperti yang dialami Venezuela era rezim hugo chaves yang memimpin perlawanan rakyatnya lepas dari jeratan Neoliberalisasi. Muncul pertanyaan kemudian adalah, beranikah pasangan kandidat ini (jokowi-jk) yang nota bene berasal dari kelas borjuis menengah dan tidak mempunyai pengalaman memimpin massa revolusioner dari kelas tertindas untuk melawan kungkungan pemodal international ? beranikah pasangan kandidat ini mengorbankan kesempatan “mensentosakan” hidupnya demi perjuangan kemerdekaan sepenuhnya rakyat Indonesia dari jeratan pemodal international?
 Kedua, terkait revolusi mental yang diikrarkan jokowi, apakah sesuai dengan semangat perubahan (radikal) mental yang telah dikaji dalam perspektif perjuangan kelas tertindas? Atau itu hanyalah penggunaan bahasa sebagai ilusi bagi kaum oposisi system yang radikal? Sehingga meminimalisir kontradiksi dan mendapatkan simpati yang luas bahkan dari kaum oposisi haluan keras namun pragmatis. Jokowi menggambarkan revolusi mentalnya adalah merubah mental “kuli” bangsa Indonesia menjadi mental “produktif”. Hal ini dapat kita kaitkan dengan analisa yang pertama tadi, mental produktif yang dibangun guna kepentingan siapa? Jika dimaksudkan bagi kepentingan rakyat maka jokowi harus berani mengambil kepemimpinan massa untuk melawan segala jeratan Neolib berupa perjanjian sebagai program dari globalisasi. Namun karena perhitungan analisa kita mengkerucut pada posisi Jokowi-JK (wakil kelas borjuis) tidak akan berani mengambil sikap melawan tersebut, maka kita sampai di titik bahwa mental produktif yang dimaksudnya adalah meningkatkan daya kerja dan skill bekerja masyarakat (buruh) Indonesia dalam melipat gandakan keuntungan produksi pelaku ekonomi nasional yang mayoritasnya adalah pemodal international sebagai penguasanya dan terus memperkuat undang-undang ketenaga kerjaan yang pro pemodal, yaitu system kerja kontrak dan politik upah murah. Untuk mencapai tujuan dari revolusi mental semu ala kelas borjuis itu, maka diperlukan langkah awal yang sudah bertendensi kesana, yaitu melalui program pendidikan yang kapitalistik atau sarat akan kepentingan modal (komersialisasi-liberalisasi-privatisasi) dengan menciptakan silabus pendidikan yang hanya mempersiapkan peserta pendidikan ke “persaingan” dunia kerja di lapangan kerja yang sempit, sehingga mental peserta pendidikan bukan lagi soal mengilmiahkan suatu ilmu guna menjawab kebutuhan sosial masyarakat dan alam, namun bergeser ke arah memperdalam skill yang digunakan sebagai bidang posisi permintaan perusahaan (yang masih dikuasai oleh asing). Artinya sebesar dan sedalam apapun skill yang dipunyai bangsa Indonesia setelah mengenyam pendidikan yang kapitalistik itu, tetap tidak akan mampu membangkitkan kekuatan perekonomian dan kepribadian bangsa Indonesia, karena skill hebatnya dalam bentuk produktifitas tinggi adalah untuk melipat gandakan keuntungan perusahaan yang bukan milik rakyat Indonesia dan praktis sesungguhnya produk dari pendidikan (yang kapitalistik) itu adalah seorang buruh yang berintelektual namun karena system yang berlaku dia harus tunduk kepada kekuasaan modal (dan pemodal), “tidak ada yang berubah dari perubahan mental” ala kelas borjuis ini (jokowi). Tetap kembali kepada mental kuli-buruh.
Segarang apapun bahasa mereka ( pasangan kandidat presiden dan wapres 2014) dalam persaingan mencari dukungan massa, sedetil apapun mereka menggunakan semboyan semboyan soekarno, semua dari mereka bukanlah representative dari perjuangan rakyat kelas tertindas yang hari ini di wakili mayoritasnya oleh kaum pekerja (buruh, buruh tani, nelayan). Karena berdikari ekonomi, berdaulat politik, dan berkepribadian secara budaya ala soekarno adalah sebuah turunan dari gagasan membingungkan yang diciptakan soekarno melalui program revolusi dua tahap nya. Dimana dia (soekarno) telah menunda semangat perjuangan kelas revolusioner (buruh) yang memimpin revolusi dan membangun industrialisasi nasional menjadi revolusi borjuis dan membangun kapitalisme dalam negeri yang dipimpin oleh borjuis nasional (namun baru lahir) dan harus belajar dari borjuis international dibawah otoritasnya. Ini membuktikan gagasan revolusi dua tahap soekarno adalah salah satu tindakan pragmatis yang dilihat oleh kelas borjuasi (soekarno itu sendiri).

Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner