Indonesia
adalah negara yang lahir atas Proklamasi di tahun 1945, adalah iya. Kemerdekaan
Indonesia saat itu masih menjadi kemenangan bagi kaum Borjuis Nasional pun juga
iya. Artinya Revolusi di tahun 1945, bukanlah Revolusi yang dipimpin kelas
pekerja yang membangun kekuatan melawan sistem Kapitalisme yang sejatinya
itulah musuh rakyat yang hingga hari ini masih menindas dan terus menciptakan
kesengsaraan bagi kelas pekerja. Revolusi 1945 adalah Revolusinya Kaum borjuasi
Nasional yang telah terkekang “kemerdekaan” sifat kelasnya di bawah
pemerintahan Kapitalistik-Imperialisme Belanda selama sekitar 3,5 abad dan “terkebiri”
kepentingan Pragmatismenya pada saat Indonesia dikuasai pemerintahan Fasisme
Jepang kurang lebih 3,5 tahun.
Pasca Proklamasi
1945 yang seharusnya menjadi momentum bersejarah dalam perjuangan kelas pekerja
di Indonesia yang menjadi representatif dari perjuangan rakyat tertindas
melawan sistem penindasnya, justru oleh kaum Borjuasi Nasional dijauhkan
peranannya kelas pekerja dalam membangun pondasi pendirian negara Republik
Indonesia yang anti Kapitalisme. Harus kita akui dengan penuh kejujuran dan
bersih bahwa Republik Indonesia lahir dari founding father yang didominasi oleh
kaum cendekiawan dan bagian kelas Borjuasi Nasional yang menikmati momentum “kemerdekaan”
kelasnya untuk menguasai Indonesia tanpa cengkraman dari Imperialisme Bangsa
asing. Meskipun artinya tidak semua pendiri Negara Indonesia adalah kaum
borjuasi saja, tanpa adanya perwakilan dari cendekiawan kelas pekerja yang
revolusioner. Kita mengenal Soekarno-Hatta sebagai cendekiawan dari kelas
Borjuis yang anti Imperialisme-Kolonialisme, iya itu benar, namun dengan
pendekatan humanisme yang tinggi dan Jiwa kebangsaan yang tinggi, serta
kecintaan yang mendalam terhadap Indonesia, maka kita dapati bahwa kedua tokoh
itu merupakan kelompok Borjuis Nasional yang berpihak di garis Kemerdekaan
bangsanya yang diperas oleh penjajah meskipun kedua tokoh tersebut tidak pernah
melepas dan membunuh sifat kelas borjuasinya, sehingga dapat terlihat jelas
implementasi kepentingan kelasnya ditelurkan dalam racikan membuat pondasi
Negara Indonesia seperti konsepsi Revolusi dua tahap atau pembangunan ekonomi
Liberal yang dicanangkan kedua tokoh tersebut. Yang berarti mereka menunda
kepemimpinan kelas pekerja sebagai kelas revolusioner yang akan menumbangkan
Kapitalisme dan memberikan ruang sebesarnya untuk kelas Borjuis Nasional
bangkit dan memperkuat posisi kelasnya hingga menjalankan Pemerintahan Nasional
(yang masih Kapitalistik). Hal ini sesungguhnya telah lepas dari semangat dan gagasan
Negara Republik dalam analisis Dialektika Tan Malaka, sebagai bapak Republik
Indonesia dan pencetus konsepsi Negara Republik Indonesia saat ia menulis buku
Naar De Republiek Indonesia (1925), sebagai ide dasar rujukan para Founding Father
lainnya mendirikan Negara Indonesia ini. Tan Malaka yang sesungguhnya bisa
menjadi kelas Borjuasi, saat ia melanjutkan pendidikan ke Belanda dan akan
menjadi Ahli bahasa untuk kepentingan Imperialisme Belanda, justru membunuh sifat
dan kelas Borjuasinya demi memilih berjuang di garis massa rakyat pekerja, yang
dinamakan oleh dia kemudian sebagai kelas Murba, kelas sosial dalam masyarakat
yang mayoritas dan tidak mempunyai alat produksi sehingga harus menjual tenaga
nya kepada kaum pemodal dalam sistem Kapitalisme di Indonesia. Pendirian
Republik Indonesia kemudian diteruskan oleh kelas borjuasi Nasional yang tidak
akan bisa lepas dari kekangan Kapitalisme International. Meskipun berbentuk
Republik, namun Penggerak roda Pemerintahan Indonesia bukanlah dari kelas
kontra Kapitalisme yaitu kelas Pekerja revolusioner. Penguasa Pemerintahan
(Republik) Indonesia adalah kelas borjuis Nasional yang tunduk terhadap
kekuasaan Kapitalisme International yang menggagas konsep ekonomi penghapus
peran Negara dalam melindungi masyarakatnya, Neo-Liberalisme. Soekarno yang
sempat menyadari akan hal itu kemudian memantapkan garis pembentukan Negara
menuju Sosialisme Indonesia, namun karena sebelumnya ia telah menunda
kepemimpinan kelas pekerja dengan Revolusi dua tahap yang memberi kesempatan
kepada kelas Borjuasi Nasional penghamba kelas Borjuasi International, maka
akar gerakan rakyat yang terbangun sangat rapuh dan tidak mampu melawan kudeta
1965 yang dilakukan oleh kelas borjuis lainnya (Soeharto) melalui bentuk
militeristik patriotisme dalam momentum gerakan Reaksioner saat itu (NASAKOM,
poros Peking-Jakarta, Angkatan ke V, G 30 S) yang di pimpin oleh Soekarno
dengan maksud mengcounter Indonesia dari NEKOLIM (Neo
Kolonialisme-Imperialisme).
Negara
Republik idealnya harus mengandung dan menjunjung tinggi Demokrasi Rakyat
sejati, yaitu kekuasan Negara berada di tangan rakyat, sehingga gagasan dari,
oleh dan untuk rakyat dapat terwujud sepenuhnya. Namun karena akar Idealisme
sebuah negara Republik dikuasai oleh kelas Borjuasi, maka Demokrasi sebagai
produk dari sebuah Negara Republik (borjuis) pun juga merupakan alat untuk
memenuhi kepentingan borjuis itu sendiri dan menjadi “ilusi” bagi rakyat agar mendukung
segala kebijakan yang dilahirkan oleh kelas borjuasi beserta instrument
pelengkap kepentingannya, Negara Republik Borjuis Indonesia.
Demi mendapatkan
kepentingan kelasnya (borjuasi) maka Pemerintahan pun dijalankan dengan
menginjak esensi Demokrasi rakyat. Setidaknya saat Rezim Orde Baru berkuasa di
Indonesia dalam bentuk pemerintahan totalitarian-militeristiknya, jutaan rakyat
Indonesia “dibinasakan” demi menjaga aset dan kepentingan kelasnya (borjuis). Saat
seharusnya Demokrasi dijunjung tinggi oleh trias
politica Negara guna melaksanakan tugasnya mensejahterakan rakyat, justru
dijadikan alas kaki sang komparador (*hanya istilah yang saya gunakan untuk
menjelaskan posisi Borjuasi Nasional sebagai agen perpanjangan tangan dari
Kapitalisme International). Soeharto adalah bapak Pembangunan (kapitalisme) Nasional,
melalui produk Undang Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 merupakan jalur
luas bagi Kapitalis asing untuk “menjajah” kembali SDA sekalian SDM Indonesia.
Orde Baru
berjalan bukannya tanpa perlawanan rakyat yang memahami perjuangan Kelas tertindas
dalam sistem Kapitalisme, namun dengan bentuk Totalitarian-Militeristiknya,
rakyat yang melawan mendapatkan represifitas yang sekeras-kerasnya. Ada beberapa
periode tertentu saat rakyat hidup dalam Negara Demokrasi dibawah acungan
senjata ala Orde Baru, tahun 70 an tepatnya 15 Januari 1974 rakyat yang menolak
dan melawan dominasi modal asing harus diredam hak demokrasinya dengan timah
besi panas. Lalu hal yang sama juga dialami rakyat pada periode 1997-1998, saat
gerakan rakyat generasi berikutnya terus
melawan dan berupaya menghancurkan Orde Baru sebagai simbol pemerintahan
Kapitalistik di Indonesia yang telah membodohi rakyat selama 32 tahun. Penculikan
dan pembunuhan yang dilakukan oleh Aparatur Negara (Pengaman Modal Kapitalis)
telah menjadi tantangan bagi rakyat yang melawan Tirani.
Itu membuktikan
bahwa Negara Republik yang dikuasai kaum Borjuasi tidak akan melahirkan
Demokrasi rakyat yang sejati, namun hanya Demokrasi Semu yang menenangkan
sementara kegelisahan rakyat dan meredam kecerdasan sosial rakyat. Secara logis
saat demokrasi dalam perspektif sesungguhnya bahwa kekuasaan di tangan rakyat,
maka rakyat bisa menjadikan siapapun Presidennya, dan saat rakyat menghendaki
Presiden itu turun maka dia akan turun. Namun hal itu tidak terjadi di
Indonesia, karena Demokrasi Semu telah menjadi “pendidikan” yang membodohkan
rakyat selama 32 tahun, sehingga membentuk masyarakat hasil Rezim Orde Baru
yang berwatak Pragmatisme-Opportunisme. Begitupun terjadi di segala aspek yang
lainnya, seperti bidang pendidikan, kesehatan, hukum dan sebagainya yang hingga
hari ini masih terjadi dan dapat kita sebut Demokrasi Semu ala Reformasi.
Pemilihan
Umum Presiden 2014 nanti harusnya menjadi refleksi di tingkat gerakan rakyat
yang berjuang di garis massa pekerja Revolusioner anti Kapitalisme untuk
merubah paradigma masyarakat yang terbuai aroma Demokrasi Semu dalam bentuk
Pragmatisme-Opportunisme. Tidak ada satupun dari kandidat calon tersebut yang
berasal dari kelas Pekerja Revolusioner, mereka dan dibalik mereka adalah
Borjuasi Nasional yang “tidak mati” saat “Pohon Beringin” ORBA runtuh. Terlebih
salah satu dari kandidat itu adalah Pelaku yang “membunuh” Demokrasi rakyat
pada era Reformasi 1997-1998 tentang kejahatan manusia dalam konteks
pelanggaran HAM berat dan masih banyak
yang lainnya yang hingga kini belum mempertanggung jawabkan tindakannya kepada
rakyat serta seakan terbebas dari jerat hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan
penyelesaian kasus itupun hanya menjadi bola bekel yang terus memantul di lingkaran
Birokrasi Negara yang dipenuhi para Pelaku penindas Rakyat atas nama Demokrasi
(semu). Dan janganlah kita sebagai Rakyat yang melawan mempercayakan Demokrasi
Rakyat sejati akan di usung dan dilaksanakan oleh siapapun kelak yang jadi
penguasa Rezim Reformasi ini. Karena mereka semua adalah bayi Tirani Orde Baru
yang telah tumbuh dewasa dan siap menjadi regenerasi dari kelas Borjuasi
Nasional penghamba Kapitalisme International penindas rakyat-pekerja. Dan Demokrasi
di mata mereka (kelas borjuis) adalah komoditas, barang yang dagangan yang bisa
dibeli dengan kekuasaan Tuhan mereka, Modal-uang.