Saturday, December 5, 2015

Indonesia dan Imperialisme modern



TransPacificPartnership (TPP)

Dokumentasi saya mencatat hal mengenai TPP ini pertama kali muncul dalam agenda kunjungan Presiden Jokowi ke gedung putih, Amerika Serikat untuk bertemu dengan Presiden USA, Barrack Obama. Kutipan kalimat Jokowi saat “berbincang santai” dengan Obama seperti yang saya kutip dari BBC adalah sebagai berikut : “Butir kedua pembicaraan yang disampaikan Presiden joko Widodo, bersama Presiden AS Barack Obama sambil duduk santai depan tungku perapian itu adalah tentang ekonomi. Disebutkan Jokowi, Indonesia adalah negara ekonomi terbuka dan terbesar di Asia Tenggara. Lalu, kata Presiden, "dan Indonesia bermaksud bergabung dengan TPP."
TPP adalah Trans Pacific Partnership, Kemitraan Trans Pasifik, sebuah blok perdagangan bebas yang baru resmi diteken 5 Oktober lalu sesudah perundingan selama lima tahun. Beranggotakan 12 negara: Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Cile, Peru, dan empat negara Asia Tenggara: Malaysia, Singapura, Brunei dan Vietnam. Blok ekonomi TPP ini akan nyaris menghapuskan tarif perdagangan di 12 negara yang mencakup 40% perekonomian dunia. Ini pasar yang teramat besar bagi akumulasi capital Negara bercorak ekonomi liberal. Maka Nampak jelas bahwa roh dari kesepakatan ini adalah perdagangan bebas yang tentu akan menghilangkan peran dan fungsi Negara (pemerintah) dalam civitas ekonominya, karena pelaku utama dari perdagangan bebas ini sejatinya bukanlah state to state atau government to government tetapi kaum liberalis yakni berwujud investor “berkebangsaan”. Kaum liberalis ini yang kemudian “menguasai” pemerintahan suatu Negara guna dijadikan sebagai alat legitimasi kepentingannya. Dan TPP sebagai gagasan dari sebuah Negara ini adalah salah satu wujud dari penggunaan Negara sebagai instrument pelaksana idenya.
Dalam kesepakatan skema TPP, terdapat komponen Investor-State Dispute Settlement (ISDS). ISDS adalah instrumen hukum internasional di mana investor dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah sebuah negara bila menilai bahwa kebijakan pemerintah bersangkutan menghambat investasi mereka.




Sekilas Pandang Kondisi Ekonomi-Politik International

Bila kita kembali pada krisis 2008 sebagai sebuah periode pengulangan dari krisis 1929, maka kita akan menemui hal-hal yang mirip. Saat itu kapitalis yang berjudi di pasar bursa menikmati segala keuntungan. Harga-harga saham mereka melejit. Sambil mengangkat sampanye, serta sambil mengucapkan selamat di antara mereka sendiri, mereka berbahagia seakan-akan kebahagiaan ini bisa bertahan selamanya. Namun, tiba-tiba bencana itu datang. Wajah kebahagiaan mereka sontak berubah menjadi pucat. Sejak saat itu mereka tidak lagi menikmati saat-saat indah. Meskipun kebijakan moneter dalam waktu singkat mampu merangsang pertumbuhan, namun hal itu tidak mampu mengembalikan pertumbuhan ekonomi sebelum depresi, bahkan angka pertumbuhan melejit turun ke bawah. Tidak ada konsumsi; tidak ada daya beli. Seakan-akan manusia ditenggelamkan kembali ke peradaban miskin pada masa yang telah lalu, dimana kelaparan, gizi buruk, pengangguran, kemiskinan, mewabah seperti wabah pes yang menjangkiti dunia.
Begitu pula pada krisis 2008. Krisis ini tidak hanya menyeret perekonomian Amerika ke dalam jurang krisis melainkan juga menyeret Inggris dan Jepang. Sejumlah langkah intervensi moneter yang sebelumnya sudah dilakukan pada tahun 1929 diulangi kembali. Pihak otoritas keuangan memberikan program uang murah untuk mem-bailout para kapitalis yang sedang jatuh ini, berharap dengan membeli saham-saham yang sebelumnya sudah terjual mereka mampu mendongkrak perekonomian mereka kembali. Seperti Hegel yang sering berkelakar, bahwa sejarah mengulangi dirinya, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon. Yah, ini adalah lelucon. Melainkan lelucon ini sering diulang-ulang bahkan pada periode yang sama tahun 1789, 1917, 1929 dan diulangi lagi pada 2008 maka lelucon ini sudah tidak bisa dianggap lagi sebagai lelucon, namun lebih tepat pada sebuah kekonyolan. Hal ini dibuktikan dengan timbulnya efek domino diantara Negara-negara penganut ekonomi liberal akibat krisis (finansial) yang terjadi di Amerika sebagai nahkoda kapitalisme international.



Uni Eropa Hari Ini

Bayang-bayang kekhawatiran akan masa depan Uni Eropa nampaknya belum hilang dari kepala pakar ekonomi dunia hari ini. Baris-baris kekhawatiran itu terlihat pada angka-angka pengangguran yang masih belum juga turun. Negara-negara yang tergabung dalam Zona Eropa, terutama Yunani, berjuang mati-matian mengurangi tingkat utang mereka yang sudah sampai seleher, dan belakangan ini mencekik mereka. Jalan pengetatan anggaran, mulai dari menaikkan pajak, PHK pekerja, serta memangkas jaminan-jaminan sosial, telah ditempuh. Semua ini berakhir sia-sia dan hanya menciptakan kekacauan. Segala pemotongan anggaran ini nampaknya belum cukup. Upaya mendorong investasi produktif dengan memberi suntikan masif uang ke dalam perekonomian tetap tidak mampu meningkatkan jumlah pekerjaan. Bisnis-bisnis terpaksa harus tutup. Banyak dari orang Eropa terpaksa menganggur; dan sisanya terpaksa bekerja dengan upah yang sangat rendah. Para orang tua dengan raut muka sedih mengawasi anak-anak mereka terbang ke negara-negara lain mencari pekerjaan. Serta tidak sedikit dari mereka harus membawa koper-koper besar, meninggalkan masa kecil mereka yang bahagia karena rumah mereka disita. Inilah gambaran dari Uni Eropa hari ini, yang tersandung dari satu krisis ke krisis lainnya, jauh dari harapan megah yang dibayangkan oleh kaum kapitalis puluhan tahun yang lalu ketika mereka menggagaskan Masyarakat Ekonomi Eropa.
Krisis ini yang pecah semenjak 2008 seperti yang juga dikatakan oleh sejumlah ekonom borjuasi yang lebih cerdas seperti John Ing, CEO Maison Placements Kanada, merupakan gladi resik bagi krisis selanjutnya yang bahkan cakupan bisa jadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Ini sepenuhnya tak terbantahkan. Penyatuan mata uang bersama yang digagas lebih dari 15 tahun yang lalu telah menyeret satu per satu negara anggotanya seperti reruntuhan rumah kartu. Impian yang sebelumnya mereka bangun akan Pax Romana telah hancur dan tidak bisa dibangkitkan lagi darinya. Situasi ini seperti mengulangi apa yang mereka bangun sebelum Perang Dunia II, dimana perekonomian dunia saat itu terhuyung-huyung dan berakhir pada bencana besar kemanusiaan.

Masalah klasik yang akan terus dihadapi kapitalisme adalah over produksi dan menurunnya daya beli masyarakat termasuk didalamnya adalah kelas pekerja yang merupakan pasar produksi kapitalnya. Seiring nafsu liarnya tentang kuantitas produksi dan politik upah murah demi memperbesar profit, justru akan menghancurkan kedigjayaan kapitalnya. Maka langkah ilutif yang akan dilakukan kapitalisme adalah memperluas pasar dan menguasai seluruh komponen produksi dalam “aturannya”. Inilah mengapa tahapan tertinggi dalam kapitalisme adalah imperialism dengan berbagai wujudnya. Kapitalisme yang disebut Marx harus “bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan di mana-mana”, atau dalam kata lain harus mengglobal – memberontak melawan batas-batas negara bangsa yang sempit. Dengan berbagai skema – perjanjian perdagangan bebas, pembentukan masyarakat ekonomi, dsb. kapitalisme mencoba menanggulangi kontradiksi ini. Tetapi usahanya ini hanya menciptakan basis yang lebih luas dan dalam untuk krisis kapitalisme yang lebih merusak, seperti yang kita lihat hari ini. Maka pantas jika langkah solutif bagi Kapitalisme untuk menanggulangi krisis yang berasal darinya merupakan tindakan ilutif yang saya ibaratkan sebagai tindakan seseorang yang ingin menghilangkan dahaga dengan meminum air laut.



Tiongkok menjadi “Naga” penguasa Asia

Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, Ekonomi Tiongkok terus meroket hingga kini patut dicap sebagai penguasa ekonomi di kawasan Asia raya, sekaligus menjadi perusak dominasi kekuasaan AS di Asia. Tiongkok menjalankan doktrin Bukharin tentang sebuah pembukaan terhadap kapitalisme yang terkontrol yang dianjurkannya dalam perdebatan tentang Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy, NEP) di Rusia pada dekade 1920-an. Wujud dari doktrin tersebut adalah menciptakan kelompok kapitalis dalam kontrol Negara (pemerintahan partai tunggal-partai Komunis Tiongkok) sebagai alat atau bagian dari integrasinya terhadap hubungan international yang bertujuan untuk menghancurkan kekuasaan ekonomi sekutu terkhususnya di kawasan Asia raya. (pertentangan ideologis?)

Matterialisme-Dialectica sebagai senjata kelas pekerja tentu dapat melihat kontradiksi internal dalam penerapan doktrin NEP ini. Yakni, meskipun kapitalis dapat terkontrol dalam kerangka pemerintahan sosialis, namun porsi kekuatan kapitalis walau sekecil pun tetap melahirkan kontradiksi antagonis, yakni pertentangan tak terdamaikan dengan kelas proletariat. Maka dalam bentuk sebuah Negara dengan wilayah yang besar dan menerapkan ekonomi kapitalistik didalamnya, Tiongkok tentu akan menghadapi masalah klasik  dari Kapitalisme, yakni over produksi dan menurunnya daya beli masyarakat, termasuk didalamnya adalah kelas pekerja sebagai pasar dari produksi capital.

Lantas apa yang dilakukan “Kapitalisme” Tiongkok? Ekspansi merupakan jawaban pasti dari penyakit kapitalisme tersebut. Tidak hanya produk barang saja yang secara massif di sebarkan Kapitalis Tiongkok. Namun dengan kekuasaan politiknya, kini Tiongkok berupaya mengekspansi kelas pekerjanya ke segala wilayah yang terlihat sebagai “pasar” di mata kapitalisme. Sejarah pernah mencatat bahwa Tiongkok pernah menerapkan kebijakan isolasi diri terhadap dunia “luar”. Namun dengan berlakunya doktrin NEP, maka Tiongkok harus lebih aktif menjalin hubungan dengan dunia “luar”, dengan tujuan tidak lain adalah “menguasai” pasar Kapitalisnya. Sejatinya menurut matterialisme dialectia, langkah Tiongkok merupakan peluang besar bagi perjuangan proletariat, karena Tiongkok sebagai Negara berpopulasi tinggi dan hegemoni kebangsaan yang nyaris merata diseluruh bumi telah menjadikan Tiongkok sebagai negeri dengan proletariat terbanyak di dunia. Napoleon pernah berkata, “Ketika Tiongkok bangkit, dunia akan bergetar.” Sehingga sekali proletariat Tiongkok yang perkasa sebagai kelas memasuki arena sejarah badai revolusioner itu tidak akan dapat dihentikan.



Kembali ke Indonesia dan Imperialisme sebagai tahapan tertinggi dari Kapitalisme 

Berdasarkan kondisi kapitalisme yang belum sembuh dari krisisnya yang terdalam sejak era 20an, maka berbagai upaya ekonomi-politik terus digalakkan sebagai penawar dari kenyataan pahit bahwa kapitalisme merupakan system usang yang terbukti gagal menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. MEA (masyarakat Ekonomi Asean), CAFTA, WTO, EU (Europe Union), hingga TPP adalah berbagai bentuk upaya “mengimperiumkan” suatu wilayah menjadi pasar bagi kapitalisme.
Jika merujuk kepada TPP, maka akan kita dapati bahwa Gagasan utama yang mendasari disusunnya skema TPP AS adalah kebijakan proteksi terhadap aset-aset ekonomi dan produk-produk Amerika dalam persaingannnya dengan negara-negara lain. Terutama dengan Tiongkok yang dipandang Washington sebagai pesaing utama di ranah ekonomi dan perdagangan. Khususnya dalam merebut pengaruh dan pangsa pasar di kawasan Asia Pasifik.
Yang menjadi isu strategis yang diusung Amerika adalah Intellectual Property Right (IPR), Electronic Commerce dan Cross border data flow (Arus informasi lintas negara), Badan Usaha Milik Negara (State owned Enterprise), dan akses pasar bagi produk-produk tekstil dan garmen. Tak heran jika The United States Trade Representative (USTR) hanya bersedia membuka akses pasar kepada beberapa negara yang dipandang sebagai sekutunya yang setuju dengan skema TPP AS seperti Selandia Baru, Brunei, Vietnam, dan yang sekarang sedang diharapkan yaitu Indonesia. Dan tentu saja kepada Meksiko dan Kanada yang selain sudah menjalin ikatan dengan Amerika terkait TPP, juga merupakan sekutu strategis AS sejak era Perang Dingin. Aspek lain yang ditekankan Amerika melalui skema TPP adalah, penekannya pada hubungan dan kerjasama bilateral antar negara, dan menghindari kesepakatan-kesepakatan strategis melalui forum multi-lateral. Sehingga bisa menekan negara mitra dialognya baik secara offensive maupun defensive dalam rangka mengamankan kepentingan-kepentingan strategis perdagangan Amerika. Amerika pada dasarnya menggunakan skema TPP ini untuk melindungi atau menerapkan kebijakan proteksi terhadap sektor-sektor sensitif seperti Gula, susu, gandum, dan daging. Bisa dipahami jika Amerika sangat berkepentingan untuk mengamankan kebijakan-kebijakan perekonomian di sektor pertanian dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Bahkan saat ini, asosiasi-asosiasi pebisnis di sektor industri dan  jasa Amerika, juga punya pertaruhan yang cukup besar di negara-negara kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, mengingat semakin menguatnya pengaruh Tiongkok yang saat ini mengimbangi pengaruh Jepang dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
Dalam TPP yang dinakhodai Amerika Serikat, posisi tawar Indonesia akan lemah. Indonesia tidak memiliki ruang negosiasi. Indonesia yang bergabung belakangan setelah TPP disepakati oleh 12 negara pendiri kehilangan momentum untuk ikut menyusun aturan main. Masuk sebagai anggota non-regime maker akan membuat Indonesia tidak punya pilihan selain mengikuti standar yang sudah ada yang dibuat berdasarkan kepentingan negara pendiri. Ikut ke dalam blok perdagangan bebas kawasan yang diisi negara-negara produsen utama dunia, akan membebaskan akses perusahaan asing sampai ke dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai triliunan dolar AS dari serapan APBN.
TPP menerapkan aturan nondiskriminasi dan ‘national treatment’ bagi perusahaan asing. Artinya, setiap perusahaan dan negara, tidak peduli kapasitasnya, dianggap punya posisi yang setara. Ini tentunya hanya menguntungkan korporasi-korporasi manufaktur besar yang berasal dari negara besar seperti AS, karena cuma harus berlomba dengan korporasi kelas teri dari negara seperti Indonesia. Hasilnya sudah bisa diduga, negeri dengan 250 juta penduduk ini hanya akan jadi pasar menggiurkan bagi korporasi asing.
Salah satu alasan pemerintah untuk bergabung ke dalam TPP adalah untuk memulihkan perekonomian nasional. Sayangnya, strategi tersebut justru akan jadi racun bagi kedaulatan ekonomi rakyat jika mengacu pada perjanjian yang sudah ditetapkan 5 Oktober lalu. Negara anggota TPP seperti Indonesia harus secara perlahan memprivatisasi BUMN. Jika seperti ini TPP tidak ada bedanya dengan paket penyesuaian struktural IMF tahun 1998 lalu, di mana PT Indosat, PT Garuda Indonesia, PT Telkom, PT Krakatau Steel, dan PT Semen Gresik harus rela dijual ke pihak asing.
Indonesia mestinya belajar dari pengalaman ikut serta dalam ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang punya tujuan sama, menghilangkan berbagai hambatan tarif. Meski di sana Indonesia berperan sebagai regime maker, dampak buruk dari ACFTA yang resmi berlaku sejak 2010 langsung dirasakan tahun berikutnya, perdagangan Indonesia dengan Cina defisit dua kali lipat.
Dari sisi rezim internasional, ada benarnya ketika menilai TPP akan memberatkan Indonesia. Indonesia akan langsung berhadapan dengan aturan, ketentuan dan syarat yang sudah dibuat sesuai kepentingan khusus negara pendiri, terutama Amerika Serikat. Belum lagi jika menimbang 29 pasal dalam TPP yang jelas-jelas ingin membebaskan segala hambatan perdagangan termasuk memprivatisasi BUMN.
Pada tataran ini, Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN dan Asia Tenggara pada umumnya, harus memandang tren ini secara cermat dan penuh perhitungan. Karena di balik gagasan TPP untuk menggalang dukungan dari negara-negara Asia Pasifik, sasaran sesungguhnya adalah untuk membendung pengaruh dan kekuatan Tiongkok sebagai negara adidaya baru di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. (sudahkah menentukan pertarungan blok ideologis?).
Apakah rencana keikutsertaan Indonesia dalam TPP ini juga ternyata merupakan upaya kaum borjuasi nasional (sebagai agen dari kapitalisme international) yang gagal dalam menciptakan masyarakat maju dan secara terus menerus menghasilkan pundi pundi kekayaan baginya dikarenakan krisis kapitalisme yang tak kunjung sembuh dan makin terjerembab ke lobang terdalam? Ini merupakan realitas yang seharusnya menyadarkan kaum pekerja sebagai kelas untuk bangkit dan melantangkan suara bahwa kapitalisme merupakan system yang terbukti gagal mensejahterakan umat manusia. Tidak ada yang bisa lepas dari jerat kapitalisme dunia, tidak di Eropa, tidak pula di Indonesia. Sekarang kita melihat kejatuhan ekonomi di mana-mana. Kapitalisme telah mengikat seluruh dunia di dalam fenomena globalisasi. Kejatuhan ekonomi di belahan dunia lain akan mendorong  kejatuhan di negeri-negeri lain. Semua ini mempersiapkan sebuah panggung bagi perjuangan kelas skala dunia yang cakupannya jauh lebih luas dan dalam.
Situasi dunia telah menunjukkan bahwa kapitalisme menciptakan derita tanpa akhir bagi peradaban manusia, ia telah menunjukkan batas-batas ketidakmampuan dirinya membawa maju masyarakat. Sistem ini harus segera diakhiri bila peradaban manusia tidak ingin jatuh ke dalam barbarisme yang paling mengerikan. Situasi  dunia telah menghadirkan segala yang dibutuhkan bagi sebuah revolusi sosialis. Yang dibutuhkan sekarang adalah faktor subyektif, yakni kepemimpinan kelas pekerja, sebagai faktor yang sadar untuk mendorong sistem yang sedang sakit ini ke dalam tong sampah sejarah serta menggantikannya dengan sistem perencanaan ekonomi secara sadar yang dikontrol oleh rakyat pekerja, yakni sosialisme.



*reff berbagai sumber.








Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner