Saturday, March 22, 2014

Negara adalah alatnya Kapitalisme menindas rakyat

seperti kajian diskusi teori maupun agitasi dalam berbagai aksi, kita selalu mendengar bahwa musuh rakyat hari ini adalah kapitalisme, dan kapitalisme sendiri pun beberapa kali telah saya ulas di postingan sebelumnya. kali ini saya hanya akan memperspektifkan ke dala pola dan cara kerja sistem yang menjadi musuh utama "kesejahteraan dan kesetaraan" rakyat di seluruh negara di dunia.
kapitalisme sejatinya adalah sebuah sistem yang berupaya menciptakan dan mendapatkan kesejahteraan (ekonomi) berdasarkan mekanisme persaingan individu-individu pelaku ekonomi dan lepasnya intervensi negara/pemerintah dalam pengendalian ekonomi tersebut. (liberalisasi). Media yang digunakan untuk bersaing antar individu pelaku ekonomi tersebut adalah dengan kapital (modal), hal ini dapat berupa barang (perkakas-mesin-alat produksi) atau investasi (uang-saham), dsb. Barang siapa yang mampu menguasai modal yang besar, maka dia akan menjadi penguasa ekonomi dan mampu menentukan alur kegiatan ekonomi menuju "kesejahteraan" ideal yang diinginkannya. meskipun bahasa yang digunakan adalah soal pencapaian kesejahteraan, namun jangan pernah berfikir bahwa kapitalisme mempunyai itikad/niat untuk menciptakan kesejahteraan umum (merata bagi seluruh masyarakat), itu adalah pemahaman yang salah mengenai kapitalisme. karena, justru kenyataannya adalah kapitalisme menciptakan jurang pemisah kesejahteraan antar masyarakat dalam dunia kapitalisme. masyarakat di belah menjadi dua, yaitu kelas borjuis (kelompok masyarakat penindas) dan kelas proletar/pekerja (kelas masyarakat tertindas).

Yang tergolong kelas borjuis adalah kaum birokrat negara (pemerintah-jajaran pejabat negara) aparatur negara dan para pengusaha korporasi-pedagang kelas international. sedang yang tergolong kedalam kelas pekerja adalah kaum buruh lintas sektor (perkantoran-pabrik-tambang-pertanian-perkebunan-kelautan-maupun sektor jasa-transportasi), karena sejatinya pengertian pekerja/buruh adalah seseorang yang tidak mempunyai dan menguasai alat produksi (modal) lantas dia menjual tenaganya (bekerja) kepada penguasaha/pemilik modal untuk memproduksi/mengelola modal (alat produksi) pemilik dan diberi upah sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. jadi dimanapun posisi seseorang yang bekerja dalam suatu perusahaan, baik dari tingkat atas (manager-direktur) hingga tingkat bawah (misal : petugas kebersihan kantor) selama dia bekerja/menjual tenaganya kepada orang lain/pemilik modal, maka dia adalah seorang buruh/pekerja. 

Jika kita memahami kembali posisi kelas dalam suatu negara (yang terjerat dan yang kapitalistik), maka kita dapat menemukan fakta bahwa pemerintah dalam suatu negara (kapitalistik) adalah satu proyeksi dari kelas penindas (borjuis) dan rakyat adalah proyeksi dari kelas lainnya (proletar). sehingga sangat jelas realitas yang akan kita temui bahwa masyarakat dalam wilayah negara (kapitalistik) tersebut tidak akan mendapatkan kesetaraan dan kesejahteraan dalam hal ekonomi maupun politik. karena pelaksana pemerintahan negara tersebut adalah mewakili kepentingan kelas penindas untuk mensejahterakan hidupnya saja, bukan kesejahteraan umum/masyarakat seluruhnya negara tersebut.

Penindasan (yang dilakukan) oleh kaum Borjuis (yang dimaksud) dalam sistem Kapitalis

kapitalisme itu bukanlah suatu sistem yang (hanya) dilakukan oleh satu negara saja, kapitalisme lebih dalam lagi adalah sebuah sistem yang dilakukan oleh orang-orang yang tergabung dalam korporasi international, bahkan orang orang sebagai (individu) pelaku ekonomi di dalam korporasi international itupun saling bersaing demi mendapatkan kesejahteraan (ekonomi) individunya, meskipun pertentangan atau kontradiksi sesama kapitalis itu masih dapat terdamaikan (kontradiksi protagonis). artinya meskipun sesama kapitalis (pelaku ekonomi sistem modal) bersaing demi kepentingan kesejahteraan diri sendirinya saja, namun masih ada solusi "sama-sama untung" saat terjadi perbedaan pendapat dalam pelaksanaan "bisnis" kapitalistiknya (eksploitatif-ekspansif-akumulatif). win-win solution yang terjadi disini hanyalah diantara mereka kaum kapitalis pelaksana sistem dunia kemodalan, bukan sama-sama untung bagi rakyat, terkhususnya kaum pekerja.

kapitalis atau kaum borjuasi penindas rakyat itu kemudian membentuk wadah korporasi international guna melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan kesejahteraan hidupnya saja. wadah legitimasi gerak kapitalistik mereka adalah semisal badan organisasi international bernama PBB (perserikatan bangsa bangsa-union nations). di dalam badan international tersebut melahirkan badan turunan yang akan mengkoordinir negara-negara di dunia untuk memasuki jeratan "bisnis" kapitalistiknya seperti WTO (world trade organization) yang berfungsi menciptakan regulasi/pembuatan kebijaksanaan peraturan pelaksanaan perdagangan international, yang sesungguhnya kebijakan tersebut adalah untuk memusnahkan intervensi/pengendalian negara dalam hal kegiatan ekonomi yang dilakukan individu pelaku ekonomi. sehingga kebijaksanaan yang lahir dari kapitalisme international itu merupakan jalur yang melenggangkan kepentingan kapitalisme international memasuki dan mengatur kegiatan ekonomi suatu negara (perkembangan terbaru adalah digunakannya investasi modal sebagai alat untuk menguasai kegiatan ekonomi). dan tentunya yang dirugikan dalam mekanisme ini adalah rakyat yang menghuni negara tersebut.

Bahkan negara indonesia juga merupakan salah satu alatnya kapitalisme international memperkaya dirinya dan menindas rakyat (pekerja).Negara sebagai alat penindas telah membuka jalan bagi kapitalis (kelas pemodal) dengan berbagai kesepakatan-kesepakan dan regulasi-regulasi kebijakannya. Beberapa kesepakatan-kesepakan (misalnya, National Summit dan ASEAN Summit) telah mendatangkan investor-investor untuk menamkan modalnya keberbagai sektor di penjuru tanah air.Salah satu praktik jahat negara sebagai alat penindas rakyat adalah mendatangkan kelas pemodal yakni dengan menjual eksistensi kelas buruh Indonesia dengan politik upah murah (hal ini dilakukan oleh Rezim borjuis saat ini-pemerintahan SBY-Boediono). Negara telah menjamin bahwa upah buruh Indonesia akan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Belum lagi skema ekploitasi yang begitu kejam oleh kelas pemodal, yakni dengan skema “labour market flexsebility”. Labour market fleksebility ditunjukan dengan penerapan sistem kerja kontak dan outsourching yang kian menghilangkan hak-hak normatif kelas pekerja.

Dengan derajat penindasan yang tidak kalah kejamnya dengan kelas buruh, kaum tani miskin dan buruh tani yang tak bertanah dipedesaan semakin dimiskinkan oleh rezim kapitalistik. Negara perlahan-lahan mulai melepas tanggungjawabnya dengan mencabut subsidi pertanian. Dan dari hari kehari lahan petani kian menyempit. Kondisi tersebut diperparah dengan rencana rezim borjuis Indonesia yang didukung sepenuhnya oleh kelas pemodal yaitu pengesahan Undang-undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Undang-Undang ini sejatinya adalah peraturan perampasan tanah untuk kepentingan kelas pemodal. Kemudian liberalisasi pertanian semakin menggurita dengan pilihan model Food Estate oleh Rezim borjuis Indonesia, yang mana pilihan Food Estate akan mempermudah pihak pemodal dalam berinvestasi. Maka pengembangan industri pertanian skala luas atau Food Estate sejatinya bukan diperuntukan untuk kaum tani miskin dan buruh tani, melainkan lahan pertanian yang subur akan diserahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada koorporasi pertanian. Ditambah lagi dengan kekerasan negara dan aparaturnya yang semakin menambah penderitaan kaum tani. Tidak sedikit kaum tani yang meninggal ditembak oleh aparat keamanan (polisi dan TNI). Karena alat kekerasan negara memang diciptakan untuk melindungi kelas yang berkuasa yaitu kelas pemodal.

Bahkan dalam sektor pendidikan pun tak luput dari kepentingan kaum borjuis penindas rakyat, yang telah menggeser dasar filosofi (makna mendalam) pendidikan sebagai suatu kegiatan mencerdaskan manusia menjadi manusia sehingga mampu memenuhi kebutuhan alam (masyarakat dan alam lingkungan hidupnya), menjadi salah satu komoditi-barang yang diperdagangkan/diperjual belikan. sehingga peserta pendidikan harus membayar saat hendak mengakses/mendapatkan pendidikan dan merubah paradigma pendidikan menjadi motif persaingan nilai dan mendapatkan tittle/ijazah sebagai legalitas untuk bekerja di suatu perusahaan dengan iming-iming posisi yang menjanjikan dan gaji yang besar. inilah salah satu cabang usaha kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis untuk mendapatkan keuntungan (ekonomi) dari segi politik kaum borjuis (kapitalis) mendapatkan keuntungan dari fenomena pergeseran makna pendidikan ini adalah, terdegradasinya mental dan pola pikir peserta didik menjadi delusif dan opportunis-pragmatis mengejar iming-iming kesejahteraan yang akan dicapainya saat mendapatkan ijazah dengan nilai yang tinggi dan berpeluang besar memasuki perusahaan bonafit dan mendapatkan posisi tinggi dengan penghasilan besar. peserta didik kita menjadi apatis bahkan apolitis terhadap kondisi sekitarnya, peserta didik kita "lupa" bahwa mereka adalah calon buruh-calon pekerja yang mengemban tugas historis untuk membebaskan rakyat dan alamnya dari jeratan penindas-apapun bentuknya. Disisi lain, kemajuan-kemajuan peradaban modern tidak membuat pemuda dan kaum miskin kota terangkat derajatnya. Pemuda dihadapkan dengan persoalan penganguran. Dalam sistem kapitalisme, para pemuda sengaja dipaksa menjadi bagian dari tentara cadangan industri. Sedangkan kaum miskin kota selalu dianggap sampah oleh negara, mereka selalu digusur-kesana kemari. Jaminan kesejahteraan terhadap mereka adalah ilusi belaka. Negara beserta elit politik borjuasi benar-benar telah gagal dalam menunaikan tugasnya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia
.

Tugas Kaum Revolusioner (Pejuang di Garis Massa Rakyat)

Jika kapitalisme International menjadikan negara-negara sebagai alat penindas yang melegitimasi kepentingannya, maka dibutuhkan agen-agen kapitalisme yang harus ada di dalam suatu negara yang tentunya mempunyai kekuasaan besar dalam negara tersebut sebagai "perpanjangan tangan" kepentingan kapitalisme international. agen-agen yang dimaksud itu adalah kelompok borjuasi nasional yang menguasai ruang-ruang perpoitikan negara (berupa dewan perwakilan rakyat-birokrasi-aparatur-presiden-serta perusahaan-perusahaan penggerak ekonomi negara). Tak luput pula partai politik yang menaungi aspirasi rakyat dalam kancah perpolitikan negara pun juga dihegemoni oleh kaum borjuis yang bernafaskan liberalisme dan berjantung kapitalistik. 

Tampaknya bukan suatu sikap yang cerdas dan tepat jika saat ini kita masih percaya dan berharap serta menggantungkan sebuah perubahan radikal di negara (kapitalistik) ini menuju ke arah kesejahteraan umum (kesetaraan hidup seluruh manusia) akan dilakukan dan dipimpin oleh para kaum borjuasi nasional yang akan bertempur mendapatkan kekuasaan atas negara, karena mereka para borjuasi nasional adalah "anak kandung" penurut yang lahir dari rahim kapitalisme dan bertugas menjaga dan melanggengkan kepentingan kapitalisme. maka tidak akan pernah ada kesejahteraan bagi seluruh masyarakat jika kepemimpinan negara berada di tangan kaum borjuis yang menghamba kepada kepintingan kapitalisme international dan hanya akan memperkaya dirinya saja. 

Perubahan radikal atau Revolusi sosial menuju kesejahteraan umum hanya bisa kita percayakan kepada "anak kandung" pembangkang yang lahir karena sistem Kapitalisme international, yaitu kelas Pekerja yang Progresif-Revolusioner. kelas pekerja ini haruslah menjadi pemimpin dalam aksi-aksi Revolusioner, kelas pekerja revolusioner haruslah terhimpun dan bersatu dalam Partai politik kelas pekerja. dan Partai kelas pekerja ini haruslah tampil dalam kancah perpolitikan Nasional dan menjadi pelopor bagi gerakan rakyat-pemuda-mahasiswa-serta gerakan bergaris massa rakyat yang lainnya. dukungan seluruh lapisan masyarakatpun sangat dibutuhkan guna pembangunan dan penguatan alat politik revolusioner massa rakyat ini, baik dari kesadaran pemahaman akan musuh rakyat (kapitalisme) dan meninggalkan kepercayaan dan dukungan terhadap partai borjuis hingga menjadi bagian dari massa pejuang partai kelas pekerja atau menjadi anggota laskar/organisasi perlawanan terhadap kapitalisme. kita harus menyadari bahwa momentum pemilihan umum (yang katanya) demokrasi bukanlah pemilihan umum yang berpihak kepada rakyat (khususnya kelas pekerja). pemilihan umum ini adalah pesta nya kaum borjuis untuk mendapatkan kekuasaan atas negara dan akan memperkaya dirinya saja. kita bisa menyaksikan, tidak ada satu calon pun dari kandidat pemilu nanti yang berasal dari kelas pekerja, semua berasal dari kelas borjuis yang tidak bersedia "membunuh" watak borjuis nya dan tidak bersedia pula "menyengsarakan" dirinya dengan berpihak kepada kelas pekerja dan seluruh rakyat. seluruh kandidat borjuis calon penguasa negara ini nantinya hanya akan memikirkan nasib dan kesejahteraan dirinya saja, dan melegitimasi penindasan yang dilakukan oleh kapitalisme international terhadap kelas pekerja dan rakyat seluruhnya. 

Ini adalah momentum yang sangat penting dalam periode perjuangan rakyat kelas pekerja, kita sebagai massa rakyat haruslah mengambil sikap yang tegas dalam perjuangan kita melawan dan menumbangkan kapitalisme, kita haruslah menyadarkan pemahaman perjuangan melawan kapitalisme kepada seluruh masyarakat yang kita temui, kita harus mampu melakukan "aksi" tidak mendukung regenerasi agen kapitalisme di negara ini, karena saat kita ragu dalam mengambil sikap dan bertindak pragmatis saat ini, maka sejatinya kita telah membantu "reproduksi-pengembang-biakan" agen kapitalisme international yang nantinya akan berkuasa dan menyengsarakan seluruh masyarakat.

Baca Selengkapnya

Friday, March 21, 2014

mendiskusikan Tan Malaka (tanpa) mendiskusikan Bolshevisme


Lebih dari seratus orang membanjiri peluncuran dan diskusi bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi indonesia (TMGKRI) pada Rabu, 12 Februari 2014. Ruang kelas Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB) di Malang itu tak lagi cukup untuk menampung para peserta. Meskipun kursi kuliah telah dilipat, disingkirkan, dan para peserta duduk lesehan agar bisa memberi lebih banyak ruang, tetap saja jumlah peserta membludak hingga keluar pintu dan menyisakan belasan orang yang tidak bisa masuk ruangan. Ini menunjukkan bahwa ketertarikan terhadap Tan Malaka dan perannya dalam sejarah terus tumbuh besar meskipun sebelumnya terjadi insiden pembubaran diskusi serupa di Perpustakaan CO2 Surabaya oleh aparat dan FPI.
Harry A. Poeze, penulis buku tersebut, hadir sebagai pembicara utama dan membahas jilid ke-4 TMGKRI yang baru selesai diterjemahkan Hersri Setiawan itu. Selama enam puluh menit lebih Poeze mengupas perjalanan hidup Tan Malaka, mulai dari kelahirannya, latar belakang, masa menempuh studi di Belanda, pecahnya Revolusi Oktober dan ketertarikan Tan Malaka terhadap Komunisme, kembalinya ke Indonesia, persentuhan dengan ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia) dan Sarekat Islam (SI), perannya dalam PKI dan Sekolah Rakyat, Pemberontakan 1926, masa pelarian, hingga kembali ke Indonesia serta perseteruannya dengan kelompok Stalinis dan berakhirnya nyawanya di tangan pasukan pemerintah negara yang kemerdekaannya turut ia perjuangkan sejak lama. Menutup penyampaian diskusinya, Poeze menambahkan bahwa penggalian makam dan tes DNA semakin membuktikan kebenaran keberadaan jenazah Tan Malaka.
Sayangnya penyampaian dan pembahasan Poeze dalam diskusi tentang Tan Malaka dan revolusi Indonesia itu lebih berat pada analisis historis dan kurang menitikberatkan (kalau tidak bisa dibilang tanpa) analisis ekonomi politik. Bisri, seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dari Surabaya, melontarkan pernyataan mengapa Tan Malaka menentang pemberontakan 1926 yang dicetuskan oleh kelompok Prambanan. Menjawab itu, Poeze menyatakan bahwa Tan Malaka menganggap bahwa pemberontakan itu prematur dan akan jadi blunder yang menghancurkan PKI dan gerakan buruh di Indonesia. Selanjutnya Poeze menjelaskan posisi Tan Malaka saat itu menjabat sebagai wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk wilayah Timur Jauh dan khususnya Asia Tenggara dengan hak veto. Ditambahkannya pula dimana proses komunikasi antara Tan Malaka, para pimpinan PKI grup Prambanan, dan Moskow yang berjalan tidak disiplin. Keputusan dan rekomendasi Tan Malaka tidak digubris dan diteruskan oleh Alimin, para pimpinan PKI grup Prambanan bersikeras meneruskan pemberontakan meskipun restu dari Moskow juga tidak diberikan. Akhirnya sebagaimana yang diprediksi Tan Malaka, pemberontakan tersebut ditindas dengan mudah oleh rezim pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tak ada yang salah dari penyampaian Poeze di atas. Sayangnya tanpa disertai analisis teori Ekonomi Politik dan teori Marxis tentu tidak akan lengkap. Orang awam dengan mudah akan merespon, “Namanya juga berjuang, ya, pasti ada resiko menang atau kalah, yang penting dijalankan terlebih dahulu.”
Ada baiknya kita mengutip perkataan Lenin yang ia sampaikan dalam Pidato mengenai Pertanyaan-Pertanyaan Agraria. Lenin mengatakan bahwa syarat pertama bagi revolusi adalah strata penguasa berada dalam krisis dan tidak mampu terus berkuasa dengan cara yang lama. Tahun 1926 sudah lama meninggalkan krisis ekonomi yang muncul pasca Perang Dunia I tepatnya tahun 1917. Dunia, khususnya negara-negara Imperialis barat, termasuk Belanda sudah berhasil dalam melewati krisis dan mengonsolidasikan ulang kapitalisme. Sementara itu Uni Soviet mengalami keterisolasian akibat gagalnya revolusi-revolusi di Eropa, terutama revolusi di Jerman yang diharapkan bisa membantu ketertinggalan industri di Rusia dan menjebol isolasi. Apalagi pada tahun 1925, revolusi buruh di Tiongkok yang pecah dengan pemogokan-pemogokan serta insureksi buruh di Shanghai dan Hongkong malah berakhir dengan kegagalan tragis akibat politik Komintern yang salah. Saat itu kebijakan Komintern mengalami degenerasi dengan memakai formula teori dua tahap Menshevik dimana kaum buruh Tiongkok dipaksa membatasi revolusi mereka pada tahapan pertama atau tahapan demokratis nasional serta menyerahkan senjata pada Kuomintang sebagai pihak yang dicap borjuis nasional progresif. Akibatnya kaum buruh Tiongkok dan generasi komunis disana banyak yang meregang nyawa dibantai oleh Chiang kai Sek, sang pimpinan Kuomintang.
Syarat kedua revolusi menurut Lenin adalah pemeraman di lapisan tengah masyarakat yang berayun antara revolusi dan kontra revolusi. Massa rakyat di Indonesia (saat itu masih disebut Hindia Belanda) berada dalam kondisi stagnan dan malah menderita kemunduran. Banyak pemogokan dipukul balik dan dikalahkan akibat kemampuan kapitalisme Belanda yang sudah stabil dan menguat.
Syarat ketiga, yaitu buruh-buruh perlu siap berjuang dan berkorban untuk mengubah masyarakat. Syarat ini yang merupakan faktor penting sama sekali tidak terpenuhi di Indonesia. Jangankan kelas buruh secara keseluruhan, keanggotaan buruh di PKI pun saat itu sangatlah kecil. Bahkan mayoritas anggota PKI adalah kaum tani dan borjuasi kecil. Benarlah pandangan Tan Malaka bahwa rencana pemberontakan kelompok Prambanan tidak lebih dari tindakan avonturir, suatu putsch, aktivitas Blanquisme yang melangkahi massa khususnya massa buruh.
Dalam suatu peperangan, seorang Jenderal yang baik harus paham kekuatan sendiri, paham kekuatan musuh, dan paham kapan harus maju menyerang atau kapan perlu mundur dengan teratur untuk menghindari kehancuran total sembari mempertahankan diri dan menyusun kekuatan untuk kembali menyerang balik kelak di kemudian hari.
Pertanyaan lain yang seharusnya bisa dibahas dengan lebih menyeluruh adalah pertanyaan mengenai hubungan Tan Malaka dan Soekarno, tentang kedekatan dan perseteruan antara kedua belah pihak. Poeze hanya menjawab kurang lebih bahwa di antara mereka ada perbedaan besar yaitu politik diplomasi di pihak Soekarno-Hatta-Sjahrir-Amir dan politik perjuangan di pihak lain. Sebenarnya banyak fakta yang bisa dielaborasi lebih jauh. Mulai dari janji Soekarno pada sekutu tanggal 12 Oktober 1945 yang akan mengembalikan semua aset asing (berbeda jauh dengan politik Soekarno pada akhir 50an dan awal 60an), penangkapan semena-mena para pimpinan Persatuan Perjuangan (PP) termasuk Tan Malaka dengan restu Soekarno. Ditambah lagi program minimum PP yang perumusannya banyak dipengaruhi oleh Tan Malaka butir-butirnya sangatlah identik dengan Bolshevisme, misalkan butir ke 3 yang berbunyi Lasjkar Ra’jat dimana penjelasannya kurang lebih berbunyi dipersenjatainya rakyat pekerja di Indonesia sesuai sektor kerjanya masing-masing, suatu definisi yang menyerupai laskar buruh atau garda/tentara merah pada Revolusi Oktober dan perang melawan kontrarevolusi di Uni Soviet. Kemudian butir ke-6 dan ke-7 berbunyi “Mensita dan menjelenggarakan pertanian (kebon)” dan “Mensita dan menjelenggarakan perindoestrian (pabrik, bengkel, tambang, dll.)” merupakan tuntutan/program yang sangat progresif saat itu.
Yohana Ilyasa, penanya dari Toko Buku Buruh Membaca, kemudian melontarkan pertanyaan bagaimana hubungan Tan Malaka dengan gagasan-gagasan Trotskyisme, mengingat pandangan Tan Malaka yang internasionalis, ingin mendorong revolusi sosial dan sosialisme secara internasional, bertolakbelakang dengan teori Sosialisme di Satu Negeri yang dirumuskan Stalin. Terhadap ini sekali lagi Poeze lebih menekankan pada analisis historis. Bagaimana Trotsky diusir dari Rusia, semua pihak yang mengkritik Stalin dicap sebagai Trotskyis, penggunaan Trotskyis sebagai cap peyoratif kepada Tan Malaka yang menentang pemberontakan 1926, dan bagaimana Tan Malaka menolak konfrontasi langsung dengan Stalinisme di lapangan teori sambil menghindar dan menggunakan buku-buku dari Rusia yang anti-Trotskyisme untuk menepis tudingan Trotskyis yang dilekatkan pada dirinya. Poeze menutup jawabannya dengan mengatakan bahwa Tan Malaka bukan dan tidak pernah mengaku sebagai seorang Trotskyis.
Hal ini merupakan suatu hal yang agak aneh bilamana kita tidak hanya menangkap pernyataan Poeze namun juga menelusuri tulisan-tulisan Poeze baik dari empat jilid TMGKRI maupun buku biografi Tan Malaka pra 1945. Dalam jilid pertama TMGKRI misalnya Poeze menulis bahwa saat menghadapi perdebatan dengan Wikana dan Aidit, khususnya saat Aidit menanyakan mengenai program pembangunan lima tahun Stalin, Tan Malaka menjawab bahwa rencana itu merupakan rencana Trotsky yang dicuri Stalin. Bagaimana Tan Malaka bisa tahu hal ini kalau ia tidak mengikuti perseteruan antara Stalin yang saat itu berpihak pada Bukharin yang mendukung pertumbuhan ekonomi kura-kura dan mempertahankan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) dengan Trotsky dan para pendukungnya yang menuntut perlunya melakukan industrialisasi di Rusia melalui pembangunan lima tahun dan disertai program kolektivisasi sukarela? Apalagi menurut buku biografi Tan Malaka yang juga ditulis Poeze namun rentang waktunya pra-1945 menyebutkan bahwa pembukaan sekolah rakyat dan kongres PKI disertai pemasangan potret Lenin dan Trotsky.
Bisa jadi Poeze memandang bahwa Tan Malaka lebih berpegang pada teori Bolshevisme dan bukannya Trotskyisme. Ini dengan garis bawah bahwa hingga kemenangan revolusi buruh di Rusia, posisi Lenin dan Trotsky tidak jauh berbeda. Hal ini bisa dilihat dari teori Lenin yang dituangkan dalam Tesis April dan teori Trotsky di Revolusi Permanen, yang sampai pada kesimpulan yang sama bahwa revolusi di Rusia sebagai negara dengan industri terbelakang tidak hanya berhenti ke tahapan demokratis nasional namun diteruskan ke revolusi sosial serta mengambil alih kekuasaan negara melalui penggulingan demokrasi borjuis parlementer dan penyerahan kekuasaan ke soviet (Dewan-Dewan Pekerja). Masalah keterbelakangan industri di Rusia bisa ditolong dengan membantu revolusi-revolusi di negara industri maju,  khususnya Jerman yang saat itu berada dalam prospek tinggi revolusi sosial, yang bilamana menang akan membantu negara buruh dengan industri terbelakang.
Bisa jadi Poeze memandang bahwa Trotskyisme, sebagai suatu aliran Marxis, di sisi lain lebih banyak diformulasikan dalam analisisnya terhadap Uni Soviet (pasca kegagalan revolusi-revolusi di Eropa dan keterisolasiannya serta penguasaannya oleh kaum birokrasi) yang merupakan Negara Buruh yang terdegenerasi. Sementara Tan Malaka dalam pernyataan-pernyataannya masih mengacu ke Uni Soviet sebagai negara sosialis (tanpa analisis lebih lanjut). Kemudian juga taktik entrisme ke partai buruh serta taktik front persatuan juga sangatlah berbeda dengan pandangan dan kebijakan yang diambil Tan Malaka pasca proklamasi. Persatuan Perjuangan pun secara esensial sangatlah berbeda dengan teori Front Persatuan atau United Front yang dianut Lenin dan Trotsky. Sayangnya mengenai benar tidakkah pertimbangan ini yang dipakai Poeze sejauh ini hanyalah asumsi penulis belaka.
Memang berbeda dengan Max Lane seorang peneliti yang juga banyak menulis tentang revolusi Indonesia dan juga sekaligus seorang Marxis, sampai sekarang Poeze tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang Marxis atau bukan. Namun perannya dalam melakukan penelitian, menggali bukti, menghimpun dokumen, serta menulis sejarah tentang Revolusi Indonesia tak bisa dipungkiri sangatlah besar. Apalagi kegiatan demikian sudah dilakukannya semenjak tahun 1980 dimana kekuasaan rezim fasis Orde Baru pimpinan Soeharto berdiri dengan kokoh dan memberangus semua hal yang (dianggap) berhubungan dengan Marxisme dan perjuangan kelas. Apabila di masa depan kelak bisa diadakan pendiskusian dengan Harry A. Poeze dengan partisipasi pembicara dari kaum Marxis di Indonesia yang tidak hanya bisa memberikan pemaparan melalui perspektif Marxisme namun juga menyampaikan relevansi teori Tan Malaka dengan perjuangan sosialisme saat ini, tentu akan bisa memberikan sumbangsih tidak hanya dalam bentuk pengetahuan sejarah namun juga warisan untuk perjuangan kelas buruh demi menumbangkan kapitalisme dan imperialisme.

Disadur dari blog Bumi Rakyat (http://bumirakyat.wordpress.com/2014/02/13/mendiskusikan-tan-malaka-tanpa-mendiskusikan-bolshevisme/)

Baca Selengkapnya

Monday, March 10, 2014

Quotes

http://monespitamerah.tumblr.com/post/79087687137/perubahan-sosial-adalah-akumulasi-dari-perubahan

Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner