Berikut adalah dokumen perspektif dunia 2014, dalam bentuk
draf yang akan didiskusikan dalam kongres dunia IMT pada bulan Agustus
mendatang. Dokumen ini menyajikan analisa umum mengenai situasi ekonomi,
politik, dan sosial dunia hari ini dan tugas-tugas apa yang harus dilakukan
oleh kaum revolusioner.
Marxisme melihat sejarah dengan perspektif jangka panjang.
Ada beberapa momen dalam sejarah yang merupakan titik-titik balik menentukan.
Momen-momen tersebut adalah 1789, 1917, 1929. Pada momen-momen tersebut seluruh
proses mengalami percepatan, dan proses-proses yang tampaknya statis sepanjang
waktu berubah jadi kebalikannya. Kita harus menambahkan tahun 2008 ke dalam
momen-momen historis besar ini. Periode baru yang dibuka dengan krisis 2008
menemukan refleksinya dalam intensifikasi perjuangan kelas, dan dalam
hubungan-hubungan antar negara, oleh peperangan dan konflik-konflik
internasional.
Dialektika berurusan dengan proses-proses dalam
perkembangannya melalui kontradiksi-kontradiksi. Metode dialektika membuat kita
bisa melihat melampaui fakta-fakta yang ada dan mengamati proses-proses
mendalam yang ada di bawah permukaan. Sistem kapitalis secara historis
memproduksi dan menghancurkan keseimbangan internalnya. Ini terekspresikan
dalam krisis-krisis yang meledak secara berkala. Dalam bidang ekonomi, ini
terekspresikan dalam boom ekonomi dan kemunduran ekonomi yang datang silih
berganti, yang merupakan karakter fundamental sistem kapitalis selama 200 tahun
terakhir. Periode-periode kemakmuran disusul oleh periode-periode krisis di
mana investasi anjlok, pabrik-pabrik ditutup, pengangguran melambung tinggi,
dan tenaga-tenaga produktif macet.
Marx menjelaskan bahwa sebab-musabab fundamental dari semua
krisis kapitalis adalah overproduksi, atau, dalam jargon para pakar ekonomi
modern, kapasitas ekses (yang merupakan akibat overproduksi dari alat-alat
produksi). Fakta bahwasanya masyarakat dijerumuskan ke dalam krisis karena
produksi yang terlalu banyak adalah suatu ciri Kapitalisme yang tidak ada dalam
masyarakat-masyarakat sebelumnya. Hal ini merupakan kontradiksi fundamental
Kapitalisme, yang tidak bisa dipecahkan dalam batasan-batasan hak milik pribadi
atas alat-alat produksi serta negara bangsa. Apa yang tampak sebagai suatu
periode panjang—kira-kira sepanjang tiga dekade, sudah dibuktikan salah oleh
sejarah.
Ambruknya Stalinisme merupakan sebuah titik balik yang
penting. Dari sudut pandang psikologis ini memberikan kaum borjuasi dan para
pembela ideologisnya umur yang lebih panjang. Sedangkan di sisi lain ini
semakin mendorong Sosial Demokrasi menyeberang ke kubu Kapitalisme, menciptakan
ilusi-ilusi baru dalam “ekonomi pasar bebas”. Ini memasang segel akhir pada
bekas partai-partai Stalinis, yang mencampakkan semua kepura-puraannya dan
dalih palsunya untuk memperjuangkan Sosialisme serta menjadi cerminan pucat
Sosial Demokrasi. Proses yang sama berujung pada keambrukan dari reformisme
Kiri sebagai suatu tendensi dalam gerakan buruh.
Selama boom terakhir, Kapitalisme melampaui
batasan-batasan alaminya melalui ekspansi kredit yang tak pernah terlihat
sebelumnya serta intensifikasi divisi kerja di tingkat dunia melalui apa yang
disebut sebagai globalisasi. Pertumbuhan perdagangan dunia mendorong maju
sistem ini, dan tampaknya pertumbuhan ini tidak ada akhirnya. Ekspansi kredit
secara temporer meningkatkan permintaan. Dalam kasus Inggris, ukuran kredit
swasta, sebagai suatu proporsi PDB, telah berlipat sampai 200% dalam 50 tahun
terakhir. AS dan negara-negara lainnya semua menempuh jalan yang sama.
Matahari bersinar, pasar-pasar mengalami boom dan
semua orang bahagia. Segala sesuatunya tampak seperti hal yang terbaik dari
yang terbaik di semua dunia kapitalis. Kemudian datanglah krisis 2008. Dengan
kolapsnya Lehman Brothers, mereka sangat dekat pada suatu malapetaka dengan
skala 1929—atau bahkan bisa jadi lebih parah. Mereka hanya diselamatkan oleh
suntikan uang publik secara masif. Seluruh beban hutang yang diakumulasi oleh
bank-bank swasta diletakkan ke pundak para pembayar pajak. Negara—yang mana
para pakar ekonomi bersikeras tidak punya peran dalam ekonomi—harus menopang
semua bangunan “ekonomi pasar bebas” yang kini tengah ambruk.
Krisis Berlanjut
Semenjak 2008, semua faktor yang mendorong sistem naik telah
berkombinasi menjatuhkannya. Peningkatan masif dalam kredit telah menjadi
tumpukan hutang yang menggunung sangat tinggi, suatu beban besar terhadap
konsumsi, yang menyeret jatuh ekonomi.
Sementara pers dan para politisi berbicara tentang pemulihan,
para pakar strategi kapital terperosok ke dalam pesimisme yang paling gelap.
Sementara para pakar ekonomi yang lebih punya pandangan jauh ke depan malah
tidak berbicara tentang pemulihan melainkan bahaya krisis yang baru dan bahkan
lebih parah. “Pemulihan” sesungguhnya hanya rekaan untuk memberi kenyamanan dan
dibuat-buat untuk mengendorkan saraf para investor yang tegang dan memulihkan
“kepercayaan”.
Pemulihan parsial di AS adalah pemulihan paling lemah dalam
sejarah. Biasanya setelah suatu krisis, ekonomi cenderung mengalami lompatan
balik secara kuat di atas basis investasi produktif, yang merupakan urat nadi
sistem kapitalis. Namun ini tidak terjadi kini. Menurut IMF, ekonomi dunia
mengalami pertumbuhan hanya sebesar 2,9%, yang secara kasar hanya setengah dari
tingkat sebelum krisis.
Watak irasional Kapitalisme, yang terperangkap dalam
kontradiksi-kontradiksi tak terpecahkan, telah memperoleh karakter yang lebih
tajam, lebih menyakitkan, dan lebih menghancurkan melalui globalisasi.
“Kedaulatan nasional” telah menjadi kata kosong, karena setiap pemerintahan
dipaksa tunduk pada pasar dunia.
Spekulasi berkembang meskipun semua orang berbicara tentang
regulasi. Sejumlah besar uang mengalir tumpah-ruah di seluruh dunia, yang
menambah besar bahaya keambrukan ekonomi. Pasar derivatif global, yang
berjumlah hingga $59 triliun pada 2008, telah naik hingga $67 triliun pada
2012. Ini adalah kekacauan spekulatif tak terkendali yang mencengkeram borjuasi
di masa kita. Interkoneksi pasar derivatif, yang tampaknya tak seorang pun
benar-benar paham, telah memperkenalkan risiko-risiko baru yang kompleks.
Kerisauan kaum borjuasi tercermin dalam naik turunnya pasar.
Satu insiden kecil saja bisa mengakibatkan kepanikan: tekanan-tekanan politik
di Portugal; pergolakan sosial di Mesir; ketidakpastian ekonomi Tiongkok;
kemungkinan aksi militer di Timur Tengah, telah mengakibatkan kenaikan tajam
harga-harga minyak; setiap hal ini bisa menyebabkan kepanikan yang dapat
menjerumuskan ekonomi dunia kembali ke resesi yang dalam. Bunga dari hutang
pemerintah kurang lebih memainkan peran yang sama seperti diagram seorang
pasien, yang mengindikasikan naik turunnya demam. Melampaui berbagai batasan,
peningkatan demam demikian akan mengancam pasien dengan risiko kematian.
Urat Nadi Kapitalisme
Masalah yang paling serius adalah kurangnya investasi
produktif. Di AS, investasi swasta tetap berada di bawah rata-rata output
nasional, sementara investasi publik mencapai puncaknya dengan stimulus di
tahun 2010 dan terus anjlok sejak saat itu. Kaum kapitalis tidak berinvestasi
dalam bentuk aktivitas produktif yang akan mempekerjakan buruh-buruh Amerika
dalam jumlah yang cukup untuk membuat ekonomi bisa berjalan. Alasannya adalah
tidak ada pasar untuk barang-barang mereka; dengan kata lain, tidak ada “permintaan
efektif”.
Prospek ekonomi suram dan penuh ketidakpastian. Tak ada
seorang pun yang ingin mengeluarkan uang atau melakukan investasi karena mereka
tidak bisa memprediksi masa depan. Jumlah pekerjaan meningkat di tahun 2013
namun pekerjaan pabrik terus menurun. Perkiraan awal bahwasanya pemulihan AS
akan diikuti oleh lompatan balik dalam manufaktur telah terbukti keliru
sepenuhnya. Suatu pemulihan yang sehat dan berkesinambungan harus berdasarkan
investasi produktif, bukan berdasarkan membuat burger di McDonald’s.
Biaya investasi sebenarnya jauh lebih rendah sekarang
dibandingkan di tahun 2008. Namun jumlah investasi bisnis di AS hari ini hanya
sedikit di atas tahun 2008. Sebuah survei terkini dari 40 perusahaan AS
mencatat bahwa kira-kira separuh dari mereka ingin memotong pengeluaran kapital
mereka selama 2013. Buat apa membangun pabrik-pabrik baru dan berinvestasi
dalam mesin-mesin serta komputer-komputer baru yang membutuhkan banyak biaya
kalau mereka tidak bisa memanfaatkan kapasitas produktif yang telah mereka
dimiliki?
Di Inggris, hanya 15% dari total aliran finansial yang
benar-benar masuk ke investasi. Sisanya digunakan untuk mendukung aset-aset
korporat yang ada, real estate, atau keuangan personal yang tidak aman.
Alih-alih menginvestasikan uang untuk pabrik-pabrik dan mesin-mesin baru,
perusahaan-perusahaan besar meminjam sejumlah besar uang dengan tingkat bunga
yang kecil untuk membeli kembali saham mereka. Sembilan bulan pertama di tahun
2013 saja, sebanyak $308 miliar dihabiskan untuk tujuan ini di AS.
Dengan demikian permasalahannya bukanlah kekurangan
likuiditas. Di AS, bisnis-bisnis berkelimpahan dengan uang tunai namun tidak
diinvestasikan dalam aktivitas produktif. Dalam empat tahun terakhir sejumlah
besar uang digelontorkan ke dalam ekonomi, khususnya ke dalam perbankan.
Hasilnya adalah meningkatnya hutang publik hingga tingkatan yang membahayakan,
tanpa menghasilkan pemulihan ekonomi apapun. Namun perkiraan Moody pada awal
2013 (dilaporkan oleh Forbes pada Maret 2013) menyatakan bahwa
sebanyak $1,45 triliun disembunyikan oleh perusahaan-perusahaan non finansial
AS. Peningkatan selama tahun 2012 sendiri (termasukkan di total) sebesar $130
milyar. Ini bukanlah suatu fenomena baru. Pada akhir 1920an, terdapat akumulasi
massif uang yang tidak tersalurkan di ekonomi—tepat sebelum krisis pecah.
Para pakar ekonomi borjuis enggan mengucapkan kata
“overproduksi” (anehnya, beberapa pakar ekonomi yang mengaku Marxis juga
mengidap penyakit yang sama). Namun dari sudut pandang Marxis akar penyebab
krisis ini sangatlah jelas. Nilai lebih diperas dari proses produksi, namun ini
tidak serta-merta menghasilkan uang. Kemampuan kapitalis untuk mewujudkan nilai
lebih yang diperas dari tenaga kerja buruh sepenuhnya bergantung pada
kemampuannya untuk menjual komoditasnya di pasar. Namun kemungkinan ini
dibatasi oleh tingkat permintaan efektif di masyarakat, dengan kata
lain, kemampuan untuk membayar.
Dorongan para kapitalis untuk memproduksi demi mendapatkan
keuntungan memang nyaris tak terbatas, namun kemampuannya untuk mendapatkan
pasar untuk hasil produksinya punya batasan-batasan yang sangat jelas. Ekonomi
dunia sangat bergantung pada AS. Pada kenyataannya, seluruh dunia kini
bergantung pada konsumsi AS. Namun konsumsi di AS sudah tidak berada dalam kondisi
ideal untuk menjadi mesin pertumbuhan dunia. Pendapatan median telah jatuh
sebanyak 5,4% semenjak pemulihan AS dimulai. Pengangguran berkisar pada angka 7
persen. Konsumsi mencakup 70 persen dari PDB AS dan sekitar 16 persen
permintaan global. Oleh karenanya para eksportir di manapun berharap bahwa
konsumen AS akan menjadi juru selamat mereka.
Namun hal ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru.
Tahun lalu, impor yang tiba-tiba melonjak meningkatkan defisit perdagangan AS
sebanyak 12 persen hingga $45 miliar per bulan, yang merupakan lonjakan
terbesar dalam lima tahun. Impor-impor dari Tiongkok mencakup sebanyak hampir
dua pertiganya. Bila hal ini terus berlanjut maka defisit AS-Tiongkok akan
melampaui $300 miliar. Sedangkan di sisi lain, ekspor AS jatuh. Target Obama
untuk menggandakan ekspor dalam lima tahun tak lebih dari angan-angan saja.
Pemulihan AS dapat melemah dan menyeret ekonomi global untuk ikut jatuh
bersamanya. Ini seperti dongeng tua Rusia tentang sebuah gubuk yang ditopang
oleh kaki-kaki ayam.
Quantitative Easings
Apa yang disebut pemulihan ini sepenuhnya berdasarkan
suntikan sejumlah besar kapital fiktif ke dalam ekonomi AS dan negara-negara
lainnya. Seperti pasien yang berada dalam kondisi hampir mati, kapitalisme
dijaga agar tetap hidup dengan cara transfusi darah terus-menerus dengan
menggunakan uang publik. Bank-bank Sentral didorong untuk terus bergantung pada quantitative
easing—atau dengan bahasa awam—mencetak uang. QE dan suku bunga nol telah gagal
memproduksi hasil-hasil yang serius dan jelas-jelas telah mengakibatkan
inflasi.
Pertumbuhan ekonomi AS hari ini sebagian besar disebabkan
oleh kebijakan-kebijakan moneter Federal Reserve yang longgar. Sejak 2009,
Federal Reserve telah membeli aset-aset finansial—surat-surat obligasi US
Treasury dan beberapa jenis hutang korporat. Melalui ekspansi basis moneter,
mereka menekan suku bunga, yang digunakan untuk menopang bisnis-bisnis dan
rumah tangga-rumah tangga yang berhutang. Ini merupakan faktor utama dalam
apa-yang-disebut pemulihan ini, dan ini menopang pasar-pasar finansial seperti
tongkat yang menopang orang yang pincang.
Sistem kapitalisme adalah sistem yang berdasarkan ekonomi
yang tidak waras. Dalam kerakusan mereka untuk mengeruk laba dengan cepat
melalui spekulasi, kaum borjuis hanya berhasil menciptakan inflasi harga aset
yang besar dalam dua puluh tahun sebelum 2008. Ini disebabkan oleh kebijakan
Federal Reserve dimana suku bunga ditekan rendah. Kebijakan gila yang sama
sekarang tengah dijalankan sebagai upaya putus asa untuk memompa kembali
gelembung ini. Nampaknya mereka lupa bahwa kebijakan inilah yang justru
menyebabkan keruntuhan ekonomi. Tampaknya kaum borjuasi sudah kehilangan semua
akal sehatnya. Namun seperti yang Lenin katakan: “Seseorang yang berada di tepi
jurang tidak bisa berpikir secara logis.”
Program Quantitative Easing dari Federal Reserve
menghabiskan sekitar $85 miliar per bulan. Inggris, Zona Eropa, dan khususnya
Jepang, semuanya dengan patuh meniru Bernanke yang menjanjikan easy money (uang
mudah atau hutang dengan suku bunga rendah dan syarat-syarat yang mudah) dalam
jangka panjang. Secara paradoks, ini semua terjadi saat dia berupaya mundur
dari kebijakannya ini. Bernanke dengan demikian mendapati dirinya dalam posisi
yang sangat sulit. Ia mencoba mengakhiri kebijakan suku bunga nol tanpa memicu
kepanikan.
Mereka yang terlibat dalam aktivitas ini sepenuhnya sadar
bahwa mereka tengah melakukan suatu eksperimen yang berbahaya. Mereka sudah
mengetahuinya sejak lama. Fred Neumann, ekonom utama Asia di HSBC menjelaskan
bahwa QE “memberi kita waktu namun tidak memecahkan permasalahan apapun secara
mendasar.” (FT, 20/9/13) “Semakin lama mereka melanjutkan proses ini maka
semakin buruk akibatnya bagi kemampuan kita untuk keluar dari krisis ini”, kata
Mike Crapo, seorang Republiken di komite perbankan Senat.
Terlebih, pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan ini akan
menuruti law of diminishing return (hukum pengembalian yang semakin
menurun), dimana dibutuhkan lebih banyak uang untuk memperoleh hasil yang
semakin sedikit. Gillian Tett, kolumnis utama Financial Timesmenyatakan:
“salah satu alasan mengapa minggu ini tampaknya para politisi plin plan
mengenai QE adalah karena mereka terus menyokong sebuah sistem finansial yang
ganjil dan tidak stabil”. Kita sekarang hidup “di suatu dunia di mana
harga-harga aset dan roh-roh binatang sekarang bergantung pada uang murah”.
Financial Times mengumumkan pendapatnya mengenai QE di
AS (21/9/2013):
“Meskipun QE telah menaikkan semangat, dampaknya lebih
adem-ayem daripada yang diharapkan sebagian orang. Kendati biaya pendanaan yang
rendah, investasi tetap lesu. Pemerintah-pemerintah terus memotong
defisit-defisit, rumah tangga-rumah tangga membayar kembali hutangnya, dan
perusahaan-perusahaan terus menumpuk uang. Konsekuensinya, uangnya yang
diciptakan oleh The Fed [Bank Sentral AS] tidak digunakan untuk mendanai
aktivitas seperti membangun rumah atau investasi kapital, yang akan
berkontribusi secara langsung pada pertumbuhan. Justru ia meningkatkan nilai
aset-aset yang ada.”
Agensi-agensi pendanaan perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac
tetap seperti sebelumnya, menggenjot kredit ke dalam pasar hipotek (kredit
perumahan). Namun sebelum krisis mereka menguasai 60% pasar hipotek di AS, kini
mereka menguasai 90%. Hal semacam inilah yang kemudian berakhir dalam krisis
2008. Sadar akan bahaya yang ada, Bernanke, dengan hati-hati mengumumkan Juni
lalu bahwa Bank Sentral AS mungkin akan menghentikan QE dalam beberapa tahap.
Kaum Keynesian, yang dipimpin oleh Paul Krugman, ketakutan. Mereka
memperingatkan bahwa penghentian QE merupakan langkah prematur yang akan
mengirimkan sinyal keliru pada perekonomian dunia, bahwa bank-bank sentral akan
melakukan pengetatan sebelum pemulihan sektor swasta meraih momentumnya. Inilah
yang terjadi pada 1937-1938.
Bernanke mencoba melunakkan pukulan ini dengan memperkenalkan
berbagai “jika” dan “tetapi”. Dia mengatakan bahwa Bank Sentral akan
menghentikan pembelian aset-aset hanya jika tingkat pengangguran jatuh di bawah
7 persen – yang sekarang sudah tercapai – dan ini akan mengurangi risiko
pengetatan sebelum ekonomi dapat menghadapinya. Tingkat suku bunga jangka
pendek akan tetap berkisar sekitar nol untuk waktu yang lama setelah ini.
Kenaikan suku bung akan dilakukan secara bertahap dan gradual. Dan lain
sebagainya.
Semua ini tiada berguna. Kaum borjuasi telah menjadi
tergantung pada QE dan kredit murah seperti pengguna narkoba yang ketagihan dan
butuh dosis rutin heroin untuk terus hidup. Pengumuman tersebut mengakibatkan
kepanikan seketika di pasar-pasar finansial. Lembaga-lembaga hedge funds mulai
menjual surat-surat hutang mereka, yang menyebabkan harganya anjlok. Biaya
meminjam (atau “yield”) melambung tinggi. Pada pertengahan September Bank
Sentral AS terpaksa membatalkan niatnya. Pasar-pasar naik lagi saat mendengar
keputusan Bank Sentral AS untuk tidak menyentuh uang murah dari QE, walaupun
Janet Yellen, gubernur Bank Sentral AS yang baru, kini telah mengumumkan
rencana untuk menghapus QE sampai nol pada akhir 2014.
Krisis di AS
Pada tahun 2009, dua minggu setelah memasuki Gedung Putih,
Obama menyampaikan sebuah pidato di mana dia berkata: “Kita tidak bisa
membangun kembali ekonomi ini di atas tumpukan pasir yang sama. Kita harus
membangun rumah kita di atas batu. Kita harus meletakkan fondasi baru untuk
pertumbuhan dan kemakmuran – suatu fondasi yang akan menggerakkan kita dari era
pinjam dan pakai ke era di mana kita menabung dan berinvestasi; di mana kita
mengonsumsi lebih sedikit di dalam negeri dan mengirim lebih banyak ekspor ke
luar negeri”.
Empat tahun kemudian, AS masih membangun fondasi ekonominya di
atas pasir, dan menyiapkan landasan untuk krisis di masa depan. Hal ini
tercermin dalam jumlah hutang negara yang luar biasa besar. Situasi yang
berbahaya ini ditunjukkan dengan penutupan pemerintahan AS, yang mengancam
menyeret AS dan ekonomi dunia jatuh bersama-sama. Hutang pemerintah AS mencapai
angka yang luar biasa besar, $16,7 triliun, yang merupakan batas yang disetujui
oleh Kongres.
Keparahan krisis ini ditunjukkan oleh perpecahan terbuka di
dalam kelas penguasa AS dan para perwakilan politiknya. Selama periode kemajuan
Kapitalisme, dua partai kapitalis ini, yang secara umum mewakili dua sayap yang
berbeda dari sistem Kapitalisme AS, dulunya bisa melakukan tawar-menawar dan
kompromi dalam kebanyakan isu. Sekarang saat lemari makan sudah kosong, tatanan
politik yang lapuk ini menjadi penghalang bagi perkembangan masyarakat ke depan
serta sistem kapitalis, dengan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya.
Perlunya meningkatkan batas hutang AS membawa perpecahan ini
pada suatu titik kritis. Kalau batas hutang ini tidak dinaikkan, maka ini
berarti AS akan bangkrut. Ini diperkirakan akan memicu kejatuhan PDB sebesar
6,8 persen dan lima juta pekerjaan hilang di negeri-negeri OECD. Namun kaum
Republiken “Tea Party” sayap Kanan di Kongres, terdorong oleh kebencian mereka
terhadap Obama, Obamacare, dan obsesi sempit mereka dengan pengurangan defisit,
cukup siap untuk menyeret AS dan ekonomi dunia ke dalam kehancuran.
Kaum Keynesian menunjukkan bahwa mengurangi standar hidup
rakyat di tengah resesi ekonomi hanya akan memperdalam dan memperpanjang
krisis. Sejauh ini, hal itu benar. Namun kaum monetaris juga sepenuhnya tepat
dalam menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pendanaan defisit Keynesian
merupakan resep inflasi dan akan menyebabkan situasi yang buruk menjadi semakin
buruk.
Dalam ekonomi kapitalis, terdapat sedikit tuas untuk menarik
investasi swasta saat suku bunga mendekati nol dan ada defisit publik yang
masif. Merupakan suatu ironi ketika para pakar ekonomi seperti Jeff Sachs –
yakni orang yang melepaskan neoliberalisme ke Eropa Timur -- kini menyerukan
versi global dari New Deal. Ini merupakan cerminan keputusasaan kaum borjuasi,
yang merasa ada di jalan buntu. Kelas penguasa kini terpecah-belah. Mereka
bertengkar mengenai tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hutang
besar yang mengancam ekonomi AS.
Penutupan pemerintahan AS memicu kegelisahan di
lingkaran-lingkaran borjuis internasional. Jim Yong Kim, Kepala Bank Dunia,
menyebutnya sebagai “sebuah momen yang sangat berbahaya… suku bunga dapat naik,
kepercayaan jatuh, dan pertumbuhan melambat kalau tidak ada tindakan.”
Christine Lagarde, kepala IMF, bahkan melontarkan peringatan yang lebih jelas
saat dia mengatakan bahwa kebuntuan di Kongres AS mengancam mendorong dunia ke
dalam resesi yang baru. Dolar melemah seiring para investor kehilangan
kepercayaan.
Kebijakan pemotongan otomatis yang gila ini telah
mengakibatkan pemotongan-pemotongan investasi dalam penelitian ilmiah,
pendidikan, dan infrastruktur, yang secara aktif mengurangi hal-hal yang paling
dibutuhkan Amerika, guna mengurangi defisit anggaran secara minimal. Kaum Kanan
Republiken menuntut Obama mencampakkan reforma-reforma kesehatannya. Kebuntuan
di Kongres merupakan cerminan perpecahan di antara kelas penguasa yang untuk
sementara ini cuma ditambal tapi belum terselesaikan.
Seksi lain dari para pakar ekonomi borjuis kini mendukung
moderasi atau pencampakan kebijakan pengetatan, perlindungan terhadap kaum
miskin, meningkatkan kemampuan kerja mereka, pengaliran investasi ke energi
hijau, dan lain-lain. Ini dimaksudkan untuk mendorong permintaan dengan
meningkatkan konsumsi. Namun proposal-proposal demikian dengan seketika
berbenturan dengan perlawanan sengit dari para pemilik modal, kaum Republiken,
dan kaum monetaris.
Ini adalah kebijakan yang sangat berisiko, di mana beberapa
pakar ekonomi telah membandingkannya dengan situasi yang dihadapi Roosevelt
pada tahun 1938, saat Kongres memaksanya untuk mengekang stimulus, yang lalu
menyebabkan resesi baru. Pada kenyataannya, apa yang mengakhiri Depresi Hebat
1929 bukanlah kebijakan-kebijakan New Deal Roosevelt melainkan Perang
Dunia II. Namun pilihan ini tidak lagi mungkin saat ini ketika Presiden Amerika
bahkan tidak bisa memerintahkan pengeboman terhadap Suriah.
Dalam pidatonya tahun 2009, Obama memilih tidak menyinggung
apa yang terjadi dengan rumah yang dibangun di atas pasir: “Kemudian turunlah
hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah
rumah itu dan hebatlah kerusakannya.”
Krisis Eropa
Watak global krisis Kapitalisme membuatnya mustahil untuk
“menceraikan” Eropa dan Amerika. Pengumuman bahwasanya AS akan menghentikan
Quantitative Easing menyebabkan pergolakan di pasar-pasar, yang mendorong
kenaikan suku bunga di seluruh penjuru zona Eropa. Dampaknya adalah pengetatan
kebijakan moneter saat resesi dan pengangguran yang meningkat justru menuntut
kebijakan yang sebaliknya.
Tak ada tempat lain di mana krisis menampakkan dirinya
dengan lebih keras selain di Eropa. Semua mimpi dan angan-angan borjuasi Eropa
mengenai persatuan kapitalis Eropa dengan cepat hancur jadi berkeping-keping.
Semua kontradiksi nasional muncul ke permukaan, mengancam tidak hanya masa
depan mata uang Euro namun juga Uni Eropa itu sendiri.
Beban hutang seperti batu besar yang menggantung di leher
ekonomi Eropa, menyeretnya jatuh dan menghalangi pemulihan yang riil. Tak ada
seorang pun yang tahu sebesar apa hutang-hutang bank-bank Eropa.
Pinjaman-pinjaman buruk bank-bank Uni Eropa sudah mencapai setidaknya 1,05
triliun Euro (dua kali lebih banyak dibandingkan tahun 2008) menurut Wall
Street Journal. Namun ini hanyalah perkiraan saja, dan angka aslinya bisa jadi
lebih besar. Mayoritas bank-bank investasi memperkirakan bahwa sektor perbankan
Eropa harus susut sekitar 2 hingga 2,5 triliun Euro untuk mencapai ukuran yang
bisa digambarkan sebagai cukup terkapitalisasi.
Ada pemulihan yang lamban di Jerman, namun Italia dan
Spanyol tetap berada dalam resesi, sedangkan Yunani berada dalam krisis yang mendalam.
Italia kehilangan 9% PDB-nya semenjak awal krisis dan Yunani kehilangan PDB-nya
setidaknya sebesar 25%. Mustahil juga bagi Jerman untuk mempertahankan
pertumbuhannya bila tidak ada pemulihan di zona Eropa secara keseluruhan, yang
merupakan pasar utama ekspornya. Pada tahun 2012 penjualan mobil Eropa jatuh ke
tingkat terendah dalam 24 tahun terakhir. Penjualan mobil di Eropa terus jatuh
dalam enam dari delapan bulan pertama di tahun 2013.
Peluncuran mata uang Euro pada tahun 1999 dipuja-puji
sebagai kunci menuju masa depan perdamaian, kemakmuran, dan integrasi Eropa.
Namun sebagaimana yang telah kami prediksikan, dalam kondisi-kondisi krisis
Euro telah menjadi sumber konflik nasional dan disintegrasi.
Meskipun Euro bukanlah penyebab dari masalah-masalah yang
dihadapi oleh negeri-negeri seperti Yunani, Italia, dan Spanyol, sebagaimana
yang dibayangkan kaum nasionalis yang berpikiran sempit, mata uang Euro jelas
telah memperparah situasi.
Di masa lalu, negeri-negeri ini bisa menggunakan devaluasi
untuk keluar dari krisis. Kini hal ini mustahil. Alih-alih memperbesar pangsa
pasar mereka dengan memotong pangsa pasar negeri-negeri lain dengan cara
mendevaluasi mata uang mereka, mereka terpaksa melakukan “devaluasi internal”,
dengan kata lain, pengetatan anggaran secara ganas. Namun ini hanya akan
memperdalam krisis dan mempertajam konflik kelas di dalam masyarakat.
Krisis Yunani adalah yang memercikkan krisis Eropa, yang
sekarang mengancam Euro dan Uni Eropa itu sendiri. Sudah wajar bahwasanya
krisis akan pecah di mata rantai terlemah Kapitalisme Eropa. Namun
konsekuensi-konsekuensi krisis Yunani mempengaruhi seluruh Eropa. Selama
kemajuan ekonomi yang menyusul peluncuran Euro, Jerman meraup banyak dari
ekspor ke zona Eropa. Apa yang dimulai sebagai plus yang teramat sangat kini
jadi minus yang teramat sangat. Saat Mario Draghi, presiden Bank Sentral Eropa,
menjanjikan bahwa ia akan menggunakan semua sumber daya ekonomi yang bisa
digunakannya untuk menyelamatkan Euro, dia lupa bilang, dari mana sumber daya ini
berasal.
Dalam setiap transfer fiskal untuk menyelamatkan zona eropa,
transfer akan selalu datang dari pembayar pajak Jerman. Ini menimbulkan
permasalahan-permasalahan serius bagi Angela Merkel. Jerman telah mendukung
pengetatan anggaran dan pengekangan fiskal. Jerman bisa melakukannya karena
Jerman adalah negeri dengan ekonomi terkuat di Eropa, dan kekuatan ekonomi
cepat atau lambat diekspresikan sebagai kekuatan politik. Terlepas dari
ilusi-ilusi borjuasi Prancis di masa lalu, Jerman-lah, yang menentukan
segalanya.
Meskipun demikian kebijakan pengetatan anggaran punya
batasan-batasan sosial dan politik. Negeri-negeri seperti Yunani dan Portugal
telah mencapai batasan-batasan ini, sedangkan Spanyol dan Italia tidak jauh
ketinggalan. Kendati rasa optimisme dari kaum borjuasi, tak ada satu pun
masalah yang terpecahkan. Krisis zona Eropa bisa meledak lagi kapan pun.
Pemaksaan pengetatan anggaran memicu krisis politik di Portugal, di mana
sejumlah protes massa besar hampir menumbangkan pemerintah. Hutang publik
Portugal terus naik, dan kemungkinan akan mencapai 130% output nasional pada
tahun 2015. Jadi untuk apa semua pengorbanan ini?
Beberapa seksi “Kiri” di Eropa—misalnya Lafazanis, pemimpin
Kiri di SYRIZA—menyerukan agar Yunani keluar dari Euro, dan bahkan dari Uni
Eropa itu sendiri, sebagai solusi terhadap krisis dan permasalahan-permasalahan
kelas buruh. Akan tetapi, sebagai Marxis menurut kami krisis ini bukanlah
disebabkan oleh keberadaan Uni Eropa. Ini adalah krisis sistem kapitalis.
Uni Eropa tidak lebih dari serikat para pemilik modal yang
ditujukan untuk menyokong kepentingan-kepentingan kapitalis Eropa. Uni Eropa
memaksakan kebijakan-kebijakan anti kelas buruh di mana-mana. Organisasi ini
tidak bisa direformasi menjadi semacam “Eropa sosial”. Kami menentangnya, namun
solusinya bukanlah serangkaian kapitalisme-kapitalisme kecil melainkan
persatuan kaum buruh Eropa dalam perjuangan untuk mewujudkan Federasi Sosialis
Eropa.
Instabilitas politik, yang disebabkan oleh
kebijakan-kebijakan pengetatan anggaran, terrefleksikan dalam serangkaian
pemerintah koalisi yang tidak stabil dan opini publik berayun secara ekstrem.
Di Italia mereka hanya mampu membuat koalisi Partai Demokratik dengan
Berlusconi dengan kesulitan paling luar biasa, dan para pimpinan koalisi ini
menghabiskan waktu mereka menyerang satu sama lain di hadapan publik.
Berlusconi hanya peduli bagaimana supaya dia tidak masuk penjara.
Kepentingan-kepentingan Kapitalisme Italia menduduki tempat kedua setelah
kepentingan pribadinya.
Perpecahan di antara elit politik, skandal-skandal korupsi
(seperti yang terjadi di Spanyol), pengingkaran janji-janji (Prancis), dan para
politisi yang mengisi kantong mereka (Yunani) sembari mempersulit kehidupan
rakyat banyak telah mengakibatkan reaksi balik terhadap partai-partai dan para
pimpinan yang ada. Ini merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan bagi kaum
borjuasi, yang telah kehabisan senjata cadangan politiknya untuk membela
sistemnya. Sebuah krisis sosial dan politik yang besar tengah disiapkan di
Eropa.
Kaum borjuasi menatap ke dalam jurang, dan mungkin akan
terpaksa mundur. Terlepas dari hal-hal lainnya, pengetatan anggaran telah gagal
mengaktifkan kembali ekonomi. Sebaliknya, pengetatan anggaran membuat situasi
yang buruk menjadi semakin buruk. Namun apa alternatifnya? Kaum borjuasi
menghadapi dilema buah simalakama. Tak jelas apakah zona Eropa akan bubar
sepenuhnya—suatu prospek yang tidak hanya menakutkan bagi kaum borjuasi Eropa
namun juga kaum borjuasi di luar Eropa. Demi mencegah keambrukan total, kaum majikan
Uni Eropa akan terpaksa mencampakkan syarat-syarat mereka yang ketat. Pada
akhirnya, sangat sedikit yang akan tersisa dari gagasan asli penyatuan Eropa,
yang mustahil di atas landasan kapitalis.
Permasalahan yang dihadapi oleh borjuasi Eropa sederhana.
Kelas penguasa tidak mampu membiayai konsesi-konsesi yang dimenangkan oleh
kelas buruh selama setengah abad terakhir, namun kelas buruh tidak bisa lagi
menerima pemotongan terhadap standar hidup mereka. Di mana-mana kita
menyaksikan penurunan tajam dalam standar hidup; pemotongan upah; emigrasi
muncul kembali sebagai fenomena di berbagai negara di Eropa Selatan ke
negara-negara seperti Jerman. Namun ketika Jerman juga ditimpa resesi, ke mana
mereka akan beremigrasi?
Kelas buruh telah menjadi sangat kuat semenjak Perang Dunia
II. Batalion reaksi telah berkurang secara tajam. Kaum tani yang dulunya
merupakan populasi sangat besar di masa lalu, tidak hanya di Spanyol, Italia,
Prancis, dan Yunani, namun juga di Jerman, telah menjadi minoritas kecil. Lapisan-lapisan
kelas buruh seperti para pengajar, pegawai negeri, dan karyawan bank, yang di
masa lalu menganggap dirinya sebagai kelas menengah dan tidak akan bermimpi
bergabung dengan serikat buruh atau melakukan mogok kerja, kini merupakan salah
satu seksi yang paling militan dari gerakan buruh. Hal yang sama juga sama
benarnya dengan mahasiswa, yang sebelum 1945 kebanyakan merupakan sayap kanan
atau bahkan fasis, dan kini mereka dengan tegas berada di Kiri bahkan dalam
berbagai kasus sangat terbuka pada gagasan-gagasan revolusioner.
Buruh-buruh Eropa belum menderita kekalahan telak selama
beberapa dekade. Tak akan gampang untuk memaksa mereka menyerahkan capaian yang
mereka pernah menangkan. Ini ditunjukkan pada Oktober 2013 saat para pemadam
kebakaran Belgia berdemonstrasi di depan parlemen dengan tiga puluh mobil
pemadam kebakaran, memblokade semua akses, serta menyemprot polisi dengan air
dan busa. Mereka menuntut 75 miliar Euro ekstra untuk menambah staf agar sesuai
standar keamanan. Pemerintah akhirnya terpaksa menyerah saat buruh-buruh kereta
api menawarkan bantuan untuk membantu para pemadam kebakaran dalam memblokir
stasiun-stasiun kereta. Perubahan dalam perimbangan kekuatan ini menimbulkan
dilema serius bagi kaum borjuasi dalam menerapkan kebijakan-kebijakan
pengetatan anggaran. Meskipun demikian, kelas penguasa terdorong oleh krisis
untuk terus melanjutkan serangan-serangannya.
Jerman
Dilihat dari permukaan, tampaknya Jerman sudah selamat dari
hal yang terburuk dari krisis. Namun giliran Jerman akan datang. Titik lemah
kapitalisme Jerman adalah ketergantungannya terhadap ekspor: pada 2012 ekspor
Jerman mencapai rekor 44% PDB (1,1 triliun Euro). Keberhasilan Jerman ini
adalah karena upah riil buruh-buruh Jerman tidak meningkat sejak tahun 1992.
Menurut FT: “Jerman kini memiliki proporsi terbesar buruh upah-rendah
relatif dengan pendapatan media di Eropa barat”. Seperempat tenaga kerja mereka
adalah buruh upah-rendah. Jumlah buruh magang atau kontrak telah berlipat tiga
dalam sepuluh tahun.
Ekspor Jerman, yang merupakan satu-satunya sumber
pertumbuhan di periode terakhir, dengan demikian berdasarkan upah rendah dan
investasi besar. Tingginya tingkat produksi yang diperas dari buruh-buruh
Jerman telah memberikan keuntungan besar bagi industri Jerman dan membuatnya
berada di atas rival-rival Eropanya yang lain, sebagaimana bisa kita lihat dari
angka-angka berikut:
Performa produksi industri 2000-Oktober 2011
Jerman + 19,7%
Portugal – 16,4%
Italia -17,3%
Spanyol – 16,4%
Yunani -29,9%
Faktanya adalah kapitalisme Jerman meraih keunggulan dengan
mengorbankan rival-rival Eropanya yang tidak bisa bersaing dengan industrinya.
Kerugian mereka adalah keuntungan Jerman. Euro kemudian berfungsi memberikan
keuntungan bagi Jerman di atas segalanya. Bank-bank Jerman senang-senang saja
meminjamkan uang ke negeri-negeri seperti Yunani agar mereka bisa membeli
barang-barang Jerman. Namun kini proses ini telah menjadi kebalikannya.
Meskipun mereka tidak mengakuinya secara terbuka, notulensi pertemuan IMF yang
bocor menunjukkan bahwa dana talangan atau bailout yang dikucurkan untuk Yunani
adalah untuk menyelamatkan bank-bank Jerman (dan Prancis).
Kaum demagog sayap Kanan kini mengutuk Eropa dan Euro. Namun
para pakar strategi kapitalisme Jerman yang lebih serius dihinggapi oleh
perasaan yang gelap. Mereka paham bahwasanya Jerman tidak bisa mengembalikan
keseimbangan ekonominya selama zona Eropa lainnya masih terbenam dalam krisis.
Mau diekspor ke mana barang-barang Jerman?
Helmut Schmidt, bekas pimpinan SPD Jerman dalam
pernyataannya selama pertemuan ekonomi penting di Hamburg, Jerman,
memperingatkan bahwa: “Kepercayaan publik kepada pemerintah-pemerintah Eropa
serta Uni Eropa telah hancur dan Eropa berada di tepi revolusi”. Dia kemudian
menekankan lebih lanjut bahwa diperlukan perubahan ekonomi dan politik yang
besar di Eropa. Namun perubahan macam apa yang diperlukan? Lalu siapa yang akan
menjamin perubahan demikian dijalankan?
Inggris
Inggris, yang dulunya adalah pusat manufaktur di
dunia, telah kehilangan basis industri dan sepenuhnya didominasi oleh sektor
jasa dan kapital finans yang parasitik. Dibandingkan seluruh Uni Eropa, Inggris
punya lebih banyak bankir yang pendapatannya lebih dari satu juta poundsterling
per tahunnya. Inggris mengklaim adanya “pemulihan: namun gambaran yang kita
saksikan justru adalah kemunduran.
Periode sekarang menyaksikan kejatuhan standar hidup paling
drastis dan paling konsisten di Inggris semenjak 1860an—lebih dari 150 tahun
lalu. Sudah ada sejumlah sinyal kalau akan ada ledakan baru di antara kaum muda
seperti kerusuhan yang melanda kota-kota di seluruh Inggris beberapa tahun yang
lalu. Diperkirakan sebanyak dua juta anak berangkat ke sekolah dengan perut
lapar tiap paginya di Inggris. Penemuan ini begitu mengagetkan publik sampai
pemerintah tergopoh-gopoh memperkenalkan program makan gratis bagi semua murid
sekolah dasar.
Sikap sosial di Inggris telah menunjukkan pergeseran besar.
Sikap hormat yang lama terhadap pemerintahan telah berubah menjadi kebencian.
Orang-orang yang dulunya dihormati oleh rakyat, seperti para Anggota Parlemen,
Pers, Pengadilan, dan Polisi, kini dipandang dengan kecurigaan dan kebencian.
“Publik tampaknya berpikir bahwa ada sesuatu yang busuk di
kalangan penguasa”, ungkap John McDermott di FT. “Pada 2010, sebuah jajak
pendapat oleh Policy Exchange Kebijakan menemukan bahwa sebanyak 81% rakyat
Inggris setuju dengan pernyataan: “Para politisi sama sekali tidak memahami
dunia yang sesungguhnya.” Survei British Social Attitude melaporkan bahwa hanya
sebanyak 18% responden percaya bahwa pemerintah menaruh kepentingan bangsa di
atas kepentingan partai, turun dari 38% pada tahun 1986. Pendapat terhadap
perbankan malah lebih buruk. Tahun 1983, sebanyak 90% responden menganggap
bahwa perbankan “dikelola dengan baik”, bandingkan dengan persentase sekarang
yang hanya 19%. Ini mungkin adalah pergeseran opini yang paling dramatis dalam
30 tahun.
Pandangan Inggris terhadap institusi-institusinya semakin
merosot—tanya saja kepada Yang Mulia. Namun skandal-skandal yang melanda
perbankan, parlemen, serta media secara berturut-turut telah menimbulkan
keruntuhan kepercayaan yang nyaris total mereka-mereka yang memegang kekuasaan
…Terdapat ketidakpedulian yang sangat mendalam dari para elit penguasa terhadap
sentimen anti-elit yang sangat mendalam, di Inggris dan sekitarnya.” (FT,
28/9/13)
Ed Miliband, pimpinan Partai Buruh di Inggris akhirnya
terdorong untuk menggaungkan, meskipun dengan cara yang paling sopan, kemarahan
yang semakin tumbuh terhadap konglomerasi serta bank-bank setelah menggunungnya
tekanan dari anggota-anggota gerakan Buruh. Meskipun pernyataan Miliband ini
sangat terbatas dan lembek, ia telah memicu luapan kemarahan dari media massa
borjuasi. Financial Times menuding Milliband “menggunakan retorika
populis”. Di sini kita menyaksikan sekilas tekanan-tekanan kontradiktif yang
akan berlipat ribuan kali ketika Partai Buruh Inggris masuk pemerintahan di
bawah kondisi krisis.
Prancis
Uni Eropa awalnya diniatkan sebagai sebuah persekutuan di
mana Prancis akan menjadi pemimpin politik Eropa dan Jerman sebagai mesin
ekonomi. Namun rencana-rencana kelas penguasa Prancis ini ternyata hanyalah
angan-angan utopis belaka. Semua keputusan diambil oleh Berlin, sementara
Prancis tidak memutuskan apapun.
Dalam pemilu-pemilu sebelumnya Partai Sosialis meraih
kemenangan telak di tiap tingkatan. Namun dukungan terhadap Hollande pun dengan
cepat menguap. Seperti pimpinan reformis lain dia telah menerima peran
mengelola krisis Kapitalisme. Sebagai akibatnya dia kini merupakan presiden
dengan tingkat rating terburuk sejak 1958. Jajak pendapat terakhir malah
mencatat kenaikan dukungan bagi Marine Le Pen, sang politisi sayap Kanan,
sementara Hollande berada di belakangnya.
Media akan mencoba menggambarkan hasil jajak pendapat ini
sebagai pergeseran ke kanan. Pada kenyataannya ini sebenarnya mengekspresikan
sentimen frustrasi dan ketidakpuasan terhadap partai-partai yang ada serta
kekecewaan terhadap “Kiri”, yang memberikan banyak janji tapi sedikit bukti.
Sedangkan di sisi lain masih belum jelas apakah Partai Komunis dengan
kebijakan-kebijakan reformisnya bisa memenangkan dukungan dari kaum Sosialis
atau Front de Gauche atau mengembalikan kesuksesan-kesuksesan elektoral
sebelumnya.
Sebagian demi mengalihkan perhatian dari masalah-masalah
dalam negeri, Hollande meluncurkan serangkaian petualangan militer luar negeri
di Afrika (Mali dan CAR). Akibat terhadang oleh Jerman di Eropa, ia mencoba
membangkitkan peran lama Prancis di Afrika dan di Timur Tengah. Namun pada
kenyataannya, imperialisme Prancis kurang punya otot untuk memainkan peran
independen di skala dunia. Petualangan-petualangan militer ini tak pelak lagi
akan berakhir bersimbah air mata, dan hanya akan memberikan bahan bakar baru ke
kobaran api kekecewaan di dalam negeri.
Prancis masih merupakan negara kunci bagi perjuangan kelas
di Eropa. Buruh-buruh Prancis telah menunjukkan berulang kali bahwa mereka
tidak pernah melupakan tradisi-tradisi revolusioner mereka. Massa tengah
mencari jalan keluar dari krisis. Mereka menaruh kepercayaan mereka kepada para
pimpinan Sosialis, tetapi para pemimpin ini secara organik terhubung dengan
sistem kapitalis dan tatanan yang ada. Para “Kiri” ini mengkhianati harapan
massa. Bahkan dalam pemilihan-pemilihan kota, para pimpinan Partai Komunis dan
Parti de Gauche (Partai Kiri) telah memecahkan Front Kiri mereka. Partai
Komunis beraliansi dengan Partai Sosialis, partainya pemerintah, sementara
Parti de Gauche dalam beberapa kota beraliansi dengan Partai Hijau, yang juga
punya dua menteri dalam pemerintahan saat ini. Dengan memecah Front
Kiri—setidaknya di tingkat perkotaan—mereka mengecewakan buruh dan pemuda yang
mencari alternatif Kiri dari dari Partai Sosialis. Ini merupakan indikasi
kebutaan reformis sepenuhnya dari para pimpinan Partai Komunis sehingga mereka
terus mendekap erat Partai Sosialis tepat pada saat di mana Hollande dan
pemerintahannya sudah terdiskreditkan dan tidak populer. Alih-alih
mempertahankan sebuah oposisi yang tegas dan jelas terhadap pemerintah, mereka
malah ngotot mencoba mempertahankan jabatan-jabatan mereka di pemerintahan
lokal. Kaum Marxis perlu menuntut para pimpinan Front Kiri untuk pecah dengan
Partai Sosialis dan Partai Hijau serta memperkuat Front Kiri di atas basis
kebijakan-kebijakan Kiri dan Sosialis yang sejati.
Yang sedang kita saksikan sekarang adalah sebuah proses
polarisasi kelas-kelas yang akan terekspresikan di dalam ledakan sosial pada
tahapan tertentu. Karena frustrasi terhadap ranah elektoral, kaum buruh dan
kaum muda akan turun ke jalan seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Pengulangan gerakan Mei 1968 sedang dipersiapkan. Tetapi kali ini gerakan ini
akan berada di tingkatan yang lebih tinggi, dan kaum Stalinis sudah tidak punya
lagi kekuatan atau otoritas untuk mengkhianatinya.
Italia
Italia tengah terhuyung-huyung di tepi lereng. Rating
kreditnya menurun dan suku bunga hutang negara meningkat. Konsekuensinya akan
sangat buruk, bukan hanya bagi Italia namun juga bagi zona Eropa. Hutang Italia
telah mencapai dua triliun Euro. Ongkos hutang pemerintah mengancam
mencekik ekonomi Italia dalam jangka panjang.
Pengangguran bertambah tinggi. Selama tiga tahun terakhir,
satu juta orang di antara umur 25 dan 34 tahun telah kehilangan pekerjaan
mereka. Di antara orang yang berumur di bawah 35 tahun hanya empat dari sepuluh
orang yang punya pekerjaan. Secara resmi, terdapat lebih dari tiga juta orang
secara keseluruhan yang menderita pengangguran namun banyak orang telah
menyerah mencari kerja karena mereka tidak punya kepercayaan diri bahwa mereka
akan mendapatkan pekerjaan. Di tahun 2013, lebih dari 9 juta orang masuk
kategori miskin sedangkan 4,4 juta hidup dalam kondisi miskin mutlak.
Survei terbaru oleh Legacoop (rantai supermarket utama)
mengonfirmasikan apa yang sudah jelas dalam beberapa waktu: tiga juta rumah
tangga–12,3 persen populasi—tidak mampu membeli makanan berprotein tinggi
setiap dua harinya, sembilan juta orang Italia tidak mampu memenuhi pengeluaran
tak terduga sebesar 800 Euro; rakyat Italia semakin banyak yang berhenti
mengendarai mobil (25 persen populasi); mereka tidak lagi pergi berlibur
(menurun empat juta musim panas ini); dan mereka tidak membeli baju-baju baru
(23 persen populasi). Pengeluaran untuk makanan selama enam tahun belakangan
telah menurun sebanyak 14%, turun hingga ke tingkat-tingkat 1971 (2.400 Euro
per kapita).
Financial Times menggambarkan tugas-tugas yang dihadapi
Italia sebagai “menyakitkan secara ekonomi dan bunuh diri secara politik”
(7/10/2013). Kapitalisme Italia tidak bisa bersaing dengan Jerman dan Spanyol serta
semakin jauh tertinggal. Di masa lalu Italia akan mendevaluasi mata uangnya,
namun dengan Euro, opsi itu sudah tidak bisa diambil. Sebaliknya Italia harus
mengambil langkah “devaluasi internal” (yaitu, pemotongan-pemotongan besar
terhadap standar hidup). Namun untuk melakukan ini dibutuhkan sebuah
pemerintahan yang kuat. Namun, ini mustahil dilakukan.
Setiap partai di Italia mengalami perpecahan. Di PD terdapat
perpecahan antara aparatus Partai Komunis yang ada dengan elemen-elemen borjuis
dari Christian Democracy. Partai kecil Monti dipenuhi dengan pertikaian
antarfaksi dan diduga akan jatuh dari 10% ke 4% di pemilu berikutnya. Bahkan
Gerakan Bintang Lima Grillo pun pecah, dengan sebagian elemen di dalamnya
menghendaki kolaborasi dengan PD.
Para pimpinan serikat buruh di Italia telah memainkan peran
yang buruk dalam mendukung apa yang disebut-sebut sebagai pemerintahan
persatuan nasional, dan menelan bulat-bulat semua kebijakan pengetatan anggaran
yang jelas-jelas anti kelas buruh. Ini terutama dilakukan oleh para pimpinan
“Kiri” dari serikat buruh metal, FIOM, yang setelah membangkitkan harapan para
buruh, kemudian menghempaskannya dengan bergabung dengan Camusso, pimpinan
CGIL, dalam menandatangani dokumen bersama untuk kongres CGIL. Di sini kita menyaksikan
peran reformisme Kiri dalam praktek. Para pimpinan serikat buruh sayap Kanan
mendekap erat kaum borjuasi sedangkan para pimpinan serikat buruh Kiri mendekap
erat sayap Kanan. Tak ada satu pun di antara mereka yang menaruh kepercayaan
kepada kelas buruh, yang ditinggalkan tanpa kepemimpinan dalam momen kritis.
Pengkhianatan para pimpinan ini bisa berujung pada
demoralisasi dan apati. Namun ini bukan akhir dari segalanya. Buruh-buruh
Italia—seperti Spanyol, Yunani, dan Prancis–punya tradisi panjang gerakan
spontan dan insureksioner. Saat dihalangi oleh organisasi-organisasi massa
tradisional mereka, mereka akan menemukan jalan untuk mengekspresikan kemarahan
mereka dengan cara yang meledak-ledak. Ini yang terjadi pada gerakan Musim
Gugur yang Membara 1969. Lima hari pemogokan massa buruh transportasi Genoa
untuk melawan privatisasi pada November 2013 menunjukkan mood yang sesungguhnya
berkembang di antara kelas buruh Italia. Perkembangan-perkembangan demikian
implisit dalam situasi di Italia. Ini bahkan lebih benar di antara kaum muda
Italia.
Spanyol
Lima tahun setelah resesi 2008, ekonomi Spanyol masih akan
menurun 1,4% di tahun 2013. Pengangguran tercatat setinggi hampir 27%,
sementara pengangguran di antarak kaum muda mencapai 57%. Sebanyak enam juta
pekerjaan telah hancur semenjak 2007, dan ratusan ribu pemuda dipaksa
beremigrasi.
Setelah bertahun-tahun kebijakan pemotongan anggaran secara
masif, defisit anggaran pada tahun 2013 masih sebesar 6,5% PDB, sementara
hutang akan mencapai 100% PDB. Pemotongan-pemotongan anggaran yang
dikombinasikan dengan kontra-reforma dalam pasar tenaga kerja telah
memungkinkan Spanyol meraih kembali daya saingnya di Eropa. Dengan kata
lain, buruh-buruh Spanyol dipaksa membayar krisis kapitalis. Setelah semua luka
dan penderitaan ini apa yang dicapai hanyalah omong kosong pemulihan ringan
tahun depan dengan tingkat pertumbuhan diprediksikan hanya sebesar 0,2% di
tahun 2014 dan mungkin 1% di tahun 2015. Di atas landasan ini, maka akan makan
waktu sampai tahun 2021, dengan kata lain butuh hampir 15 tahun bagi Spanyol untuk
pulih kembali ke tingkat pra-resesi!
Kenyataannya adalah hutang korporasi, rumah tangga, dan kini
hutang negara yang sangat besar yang terakumulasi selama periode panjang boom kapitalisme
belum sepenuhnya terserap oleh sistem. Sampai hal itu terjadi, tidak bisa ada
pemulihan yang stabil bagi kapitalisme Spanyol. Prediksi-prediksi “optimistis”
saat ini semuanya berdasarkan pemulihan ekspor, yang sepenuhnya bergantung pada
kemampuan Eropa untuk keluar dari resesi—suatu basis yang sangat rapuh untuk
optimisme macam ini.
Dampak krisis ekonomi bagi kesadaran massa terbukti sangat
mendalam dan akan bertahan lama. Selain resesi ekonomi ini kita harus tambahkan
juga skandal-skandal korupsi yang mempengaruhi semua institusi demokrasi
borjuis (yudisial, Monarki, Kongres, partai penguasa). Apa yang kita saksikan
di Spanyol adalah sebuah krisis rezim yang meruntuhkan legitimasi yang dibangun
oleh kelas penguasa sejak akhir kediktatoran Franco. Semua hantu lama dari masa
lalu kembali bergentayangan menghantui borjuasi Spanyol yang lemah dan
bangkrut. Masalah kebangsaan di Catalonia, yang diperparah oleh krisis ekonomi,
telah bangkit kembali. Perjuangan untuk keadilan bagi korban-korban rezim
Franco kembali muncul ke permukaan dan memblejeti watak reaksioner aparatus negara
dan kelas penguasa dari kedok demokrasinya.
Serangkaian mobilisasi massa telah terjadi, khususnya sejak
2011. Gerakan indignados, gerakan anti penggusuran, pemogokan pelajar,
perlawanan buruh tambang, gerakan spontan pegawai negeri, dua pemogokan umum kerja
24 jam, dan sebagainya. Tentu saja, massa tidak bisa selalu berada dalam
kondisi mobilisasi secara permanen. Akan ada naik turun, serta kemandegan.
Bagaimanapun juga kemarahan yang sudah menumpuk di bawah permukaan dan tidak
menemukan saluran ekspresi masih ada dan bisa menimbulkan letusan kapan pun
juga.
Portugal
Portugal masih terjerembab dalam resesi, dengan perkiraan
bahwa di tahun 2013 PDB akan menurun antara 1,66% dan 2,7% serta (kemungkinan)
pertumbuhan sangat yang pelan pada tahun 2014. Pengangguran sebesar 16% dan
pemerintah tidak bisa mencapai target-target pengurangan defisit untuk tahun
ini (targetnya sebesar 5,5% dari PDB, angka riilnya sebesar 6%), meskipun
bertahun-tahun pemotongan anggaran yang dipaksakan oleh mandat bailout Uni
Eropa sebesar 78 miliar Euro pada tahun 2010.
Anggaran tahun 2014 menyertakan pemotongan lebih lanjut
terhadap upah sektor publik yang besarnya antara 2% dan 12% per buruh, dan
pemotongan sebesar 728 juta Euro terhadap dana pensiun. Namun masih diperlukan
pemotongan sebesar 3,3 miliar Euro pada 2014, serta dana bailout lainnya. Ini
telah menyebabkan anjloknya dukungan terhadap pemerintahan sayap Kanan. Pada
pemilu daerah 2013, partai-partai koalisi penguasa kalah telak. “Situasi
politik tengah memburuk”, keluh Financial Times.
Pemerintahan Portugal, yang dengan patuh menjalankan
kebijakan-kebijakan pemotongan anggaran sebagaimana didiktekan oleh Uni Eropa,
kini mengemis-ngemis kesabaran: “Tolong beri kami sedikit waktu”. Namun para
pemilik modal di Washington, Brussels, dan Frankfurt serta troika (IMF, Bank
Dunia, dan Bank Sentral Uni Eropa) tidak punya sedikit pun kesabaran. Sebagai
harga yang harus dibayar untuk dana bailout, mereka akan menuntut
jaminan-jaminan pasti bahwasanya program pengetatan anggaran akan terus
diterapkan. Panggung untuk protes-protes massa yang lebih besar tengah
dipersiapkan.
Passos de Coelho yang menepuk dada sebagai orang kuat dan
murid teladan troika saat terpilih pada Juni 2011, kini terekspos sebagai
pimpinan lemah dari sebuah koalisi yang terpecah-belah. Pemerintahannya, yang
telah menuai kebencian rakyat Portugal, hampir tumbang setelah pemogokan massa
27 Juni 2013. Ini merupakan perkembangan terbaru dalam rangkaian mobilisasi
massa untuk melawan koalisi sayap Kanan.
Kelas buruh Portugis menemukan kembali tradisi Revolusi
1974-1975. Satu juta orang turun ke jalan pada September 2012, kemudian satu
setengah juta di Maret 2013. Permasalahannya ada pada faktor kepemimpinan.
Partai Sosialis “oposisi” masih terdiskreditkan (mereka menandatangani
prasyarat-prasyarat bailout tepat sebelum mereka ditendang keluar dari
pemerintahan) dan hanya dapat dukungan kecil akibat meningkatnya abstensi.
Sedangkan Partai Komunis di Portugal menerima keuntungan
terbesar dalam gelombang ketidakpuasan yang besar ini. Bagaimanapun juga, dua
partai yang lebih Kiri dari SP tidak memiliki program alternatif yang serius
terhadap krisis kapitalisme. Bloco de Esquerda menganjurkan “Eropa Sosial” yang
Keynesian dan reformis serta “audit hutang”, sementara Partai Komunis Portugal
menyarankan ekonomi “patriotik dan demokratik”yang semi-Stalinis di luar
Euro.
Yunani
Setelah lima tahun yang suram akibat pengetatan anggaran
problem-problem Yunani masih jauh dari diselesaikan dan sebaliknya malah
semakin memburuk. Kebijakan-kebijakan babat dan bakar dari Troika telah
menjerumuskan Yunani ke dalam krisis yang mendalam. Sebanyak 1,4 juta menderita
pengangguran, termasuk dua dari tiga pemuda Yunani. Tingkat kemiskinan yang
tidak tampak semenjak Perang kini terlihat di mana-mana.
Pemerintahan Athena mengeluh (dengan cukup masuk akal)
bahwasanya pemotongan-pemotongan yang dituntut oleh Brussel semakin mendorong
ekonomi ke dalam resesi, menjatuhkan pendapatan pajak, meningkatkan defisit,
serta memaksa mereka meminjam lebih banyak lagi. Namun himbauan-himbauan ini
tidak digubris. Jerman dan para pemberi hutang lainnya menjawab bahwa Eropa
selatan telah hidup melebihi kemampuan mereka selama bertahun-tahun dan harus
“belajar disiplin”.
Tiap paket bailout hanya memberikan tambahan sedikit waktu.
Namun pasar-pasar tidak tertipu. Ledakan akibat krisis Yunani hanya tertunda,
namun cepat atau lambat akan tak terhindarkan.
Pada saat yang bersamaan, Yunani adalah lahan subur bagi
para spekulan finansial.Financial Times menerbitkan sebuah artikel
berjudul “Hedge Fund meraup laba di Yunani” dimana ditulis:
“Sektor perbankan Yunani telah menjadi wilayah dengan bunga
terbesar. Paulson & Co, Baupost, Dromeus, York Capital, Eaglevale, dan Och
Ziff adalah beberapa pihak yang menanam saham di Alpha Bank dan Piraeus Bank. Semua
telah meraup keuntungan besar. Perdagangan surat obligasi yang gila-gilaan juga
berarti bahwa hedge funds bisa mendominasi perbankan Yunani” (11/10/2013,
penekanan dari kami).
Penjarahan terhadap Yunani, pemaksaan kebijakan penghematan
yang keji oleh Troika, dan ambruknya standar hidup rakyat telah memicu
gelombang besar pemogokan umum, demonstrasi, dan protes massa. Dua pemerintahan
sudah jatuh, dan yang ketiga akan jatuh. Samaras bersusah payah mempertahankan
koalisi rapuhnya yang tidak bisa bertahan lama. SYRIZA akan mengambil
keuntungan dari situasi ini, namun kita tidak bisa memungkiri bahwa Golden Dawn
juga telah tumbuh.
Elemen-elemen impresionistik telah menarik kesimpulan dari
bangkitnya Golden Dawn bahwasanya terdapat bahaya fasisme yang semakin
mendekat. Namun apa yang terjadi dengan Golden Dawn mengkonfirmasikan posisi
kami mengenai prospek fasisme dalam epos terkini. Borjuasi Yunani merupakan
kelas penguasa yang reaksioner dan keji. Ada satu lapisan dari kelas borjuasi yang
mungkin siap menyerahkan kekuasaan pada Golden Dawn—kalau mereka mampu.
Faktanya, lapisan-lapisan kelas penguasa yang paling reaksioner (para
industrialis kapal) telah sepenuhnya mendukung dan mendanainya.
Berbeda dengan formasi-formasi sayap Kanan di Eropa (Fini di
Italia, Marine le Pen di Prancis), yang berusaha memutuskan hubungan mereka
dari masa lalu fasis mereka serta menampilkan citra parlementer yang
“terhormat”, Golden Dawn adalah sebuah organisasi yang terang-terangan fasis,
yang mana hubungan eratnya dengan polisi dan perwira-perwira militer telah
terekspos. Anjing-anjing gila ini punya agendanya sendiri, yang tampaknya juga
termasuk perebutan kekuasaan.
Masalahnya adalah kelas buruh Yunani kuat, militan dan tak
terkalahkan. Borjuasi takut bahwa dengan mengambil aksi prematur, kaum fasis
bisa memprovokasi gerakan massa yang mustahil untuk dikendalikan. Preman-preman
Golden Dawn sudah keterlaluan dan melangkah terlalu jauh saat mereka membunuh
seorang penyanyi sayap Kiri, sehingga memicu protes-protes yang besar. Kaum
borjuasi Yunani terdorong mengambil beberapa langkah untuk melawan mereka.
Tentu saja kaum borjuasi tidak bermaksud menyingkirkan kaum
fasis. Mereka mengambil langkah-langkah tersebut sekedar sebagai kosmetik untuk
menenangkan kemarahan massa. Kaum fasis akan mengelompokkan diri kembali di
bawah panji yang lain, kemungkinan sebagai bagian dari sebuah koalisi sayap
Kanan dengan citra yang lebih terhormat (tidak terlalu mirip Nazi). Sementara
itu elemen-elemen lumpenproletar yang paling gila akan tetap berfungsi sebagai
penyokong aparatus represif negara (yang mana dengannya mereka terhubung secara
organik), dan berperan sebagai pematah pemogokan serta preman-preman untuk
memukuli kaum imigran serta menyerang orang-orang sayap Kiri.
Perspektif ke depan bagi Yunani bukan fasisme apalagi
Bonapartisme, melainkan pergeseran ke Kiri. Kejatuhan pemerintahan Samaras yang
tak terhindarkan akan mengedepankan masalah pemerintahan SYRIZA. Namun semakin
Tsipras dekat ke kekuasaan, semakin moderat bahasanya dengan harapan dia akan
mendapat lebih banyak suara. Sebaliknya, ini memicu skeptisisme dari sebagian
rakyat Yunani yang sudah muak berhadapan dengan para politisi yang banyak janji
dan sedikit bukti saat mereka terpilih.
Mood massa yang sesungguhnya ditunjukkan dalam sebuah jajak
pendapat yang menunjukkan bahwa buruh-buruh Yunani sudah menarik
kesimpulan-kesimpulan revolusioner. Jajak pendapat tersebut menyatakan bahwa
sebanyak 63% rakyat Yunani menginginkan sebuah “perubahan mendalam” di
masyarakat—yang artinya revolusi—sementara 23% lainnya dengan blak-blakan
menyatakan bahwa mereka menginginkan revolusi. Masalahnya bukanlah tidak adanya
kematangan revolusioner massa. Masalahnya adalah tak ada partai-partai atau
pemimpin-pemimpin yang siap memberikan ekspresi sadar terhadap semangat membara
massa untuk mengubah masyarakat.
Selama empat atau lima tahun buruh-buruh Yunani telah cukup
mendemonstrasikan niat mereka untuk mengubah masyarakat. Mereka telah
mengobarkan pemogokan massa berkali-kali. Krisis ini begitu serius sehingga
tidak bisa dipecahkan bahkan dengan pemogokan dan demonstrasi yang paling
besar. Seruan untuk pemogokan 24 jam akan berhadapan dengan skeptisisme di
pabrik-pabrik. Terhalang di jalan pemogokan dan demonstrasi maka buruh-buruh
akan bergerak ke ranah elektoral. Cepat atau lambat mereka akan memilih sebuah
pemerintahan Kiri, yang akan menyodorkan dua pilihan kepada SYRIZA: menjalankan
kebijakan Sosialis atau menerima peran sebagai manajer Kapitalisme Yunani yang
korup dan merosot. Ini akan menandai suatu tahapan baru dalam revolusi Yunani
dan membuka peluang-peluang penting bagi Kaum Marxis Yunani.
BRICs
Semenjak akhir Perang Dunia II, tenaga pendorong terpenting
bagi ekonomi dunia adalah pertumbuhan dalam perdagangan dunia. Namun, badan UN,
UNCTAD, kini memprediksikan bahwa perdagangan dunia akan tetap mengalami
kelesuan selama bertahun-tahun, dan ini akan menimbulkan dampak-dampak mendalam
terhadap ekonomi-ekonomi yang tengah bangkit (emerging economies) yang
bergantung pada ekspor.
Harapan yang dibesar-besarkan bahwa Asia bisa berperan
sebagai tenaga pendorong ekonomi dunia telah hancur. Pertumbuhan Tiongkok
tengah melambat dan India ekonomi menurun bahkan lebih cepat. Ekonomi Eropa
tetap macet dan prospek Jepang sudah kabur. Pemerintahan Jepang telah berupaya
untuk membangkitkan ekonomi yang stagnan dengan memompa uang lebih banyak.
Namun kebijakan ini sepenuhnya tidak sehat. Hutang pemerintahan Jepang telah
menggunung hingga 250% PDB. BRICs semuanya berada dalam posisi yang sama dan
bahkan prediksi-prediksi IMF terhadap ekonomi Asia Tenggara harus diperkecil.
Kini IMF bicara tentang “munculnya penurunan dan perlambatan struktural” diemerging
economies.
Pertumbuhan di negeri-negeri emerging economies kini
mengalami perlambatan. Hal ini tidak sulit untuk dipahami. Jika Eropa dan AS
tidak melakukan konsumsi, Tiongkok tidak bisa berproduksi. Jika Tiongkok tidak
bisa berproduksi maka negeri-negeri seperti Brasil, Argentina, dan Australia
tidak akan mampu mengekspor komoditas-komoditasnya.
Modal spekulatif yang mengalir ke dalam BRICs selama periode
terakhir kini mengalir keluar dan menyebabkan penurunan drastis nilai mata uang
mereka. Rupee India, Rupiah Indonesia, Peso Argentina, Real Brasil, dan Rand
Afrika Selatan semuanya mengalami penurunan tajam. Menteri Keuangan Nigeria
memperingatkan bahwa akhir dari Quantitative Easing akan mengguncang
pasar-pasar emerging economies dan menaikkan ongkos-ongkos pinjaman
mereka. Hal yang sama juga diutarakan Najib Razak, Perdana Menteri Malaysia,
yang memprediksikan bahwa uang akan mengalir balik ke AS.
Selama dekade yang lalu, pertumbuhan ekonomi yang kuat dan
naiknya standar hidup telah menumpulkan perjuangan kelas. Tetapi baik di Brazil
maupun Turki pertumbuhan telah merosot. Faktanya, di seluruh negeri-negeri
berkembang, pertumbuhan telah mengalami perlambatan begitu besar sehingga
generasi muda yang baru sulit atau mustahil untuk masuk ke dalam pasar-pasar
tenaga kerja.
Tiongkok
Krisis BRICs (Brazil, Rusia, India, China) secara organis
terhubung dengan perlambatan ekonomi di Tiongkok. Kebangkitan Tiongkok, yang
dipandang oleh beberapa pihak—bahkan beberapa pihak yang mengaku
“Marxis”—sebagai suatu jaminan masa depan kapitalisme dunia, hanya mempertajam
semua kontradiksi. Selama periode tertentu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang
meledak-ledak menyediakan oksigen bagi kapitalisme dunia. Kini keunggulan besar
ini berbalik menjadi permasalahan raksasa. Investasi masif di industri Tiongkok
pada akhirnya mengekspresikan diri dalam wujud komoditas-komoditas murah, yang
harus menemukan pasar di luar Tiongkok. Bagi para manufaktur global, banjir
ekspor barang murah dari Tiongkok selama dekade lalu telah mempercepat krisis
overproduksi.
Kombinasi suplai buruh murah yang sangat banyak dari
pedesaan dengan mesin-mesin dan teknik modern yang dibiayai oleh
subsidi-subsidi negara telah membuat Tiongkok dengan cepat membangun sebuah
basis industri yang kuat. Tiongkok telah menghancurkan pekerjaan-pekerjaan dan
kapasitas industri di seluruh penjuru dunia, menutup pabrik-pabrik di
negara-negara pesaing. Perusahaan-perusahaan asing gemetaran di hadapan banjir
barang-barang murah dari Tiongkok. Awalnya memang terdapat tingkat laba yang
sangat tinggi, namun sebagaimana yang dijelaskan Marx, apa yang terjadi
kemudian adalah kapitalis-kapitalis lainnya membanjiri pasar dan tingkat laba
mencapai tingkatan normal. Kita menyaksikan hal ini terjadi di Tiongkok.
Periode pertumbuhan yang meledak-ledak telah mencapai batasannya. Kini Tiongkok
mendapati dirinya berhadapan dengan permasalahan-permasalahan serupa yang
melanda setiap ekonomi kapitalis.
Barang-barang murah Tiongkok telah mendominasi banyak
sektor. Namun begitu mayoritas industri manufaktur global pindah ke Tiongkok
maka overkapasitas menyusul dengan cepat. Kini mereka semakin khawatir mengenai
overproduksi (“overkapasitas”) di dalam ekonomi Tiongkok. Ini menimbulkan
risiko signifikan di ekonomi terbesar kedua di dunia.
Selama krisis finansial global, Tiongkok membantu
menyelamatkan sistem kapitalis dengan meluncurkan paket stimulus raksasa yang
menyediakan suplai oksigen bagi pasar dunia. Hasilnya, ekonomi Tiongkok terus
tumbuh, sebesar 8,7 persen di tahun 2009 dan 10,3 persen di tahun 2010. Ini
merupakan eksperimen ekonomi Keynesian terbesar dalam sejarah. Namun kini
kontradiksi-kontradiksi ini telah menjadi kentara. Sekarang banyak industri
yang diuntungkan dari stimulus—mulai dari industri baja sampai pembangunan
kapal hingga pelelehan metal—semuanya lumpuh akibat overkapasitas, atau lebih
tepatnya overproduksi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan
menyebabkan kerugian besar dan proses eliminasi yang menyakitkan.
Financial Times (17/62013) berkomentar “Mulai dari
industri kimia dan semen sampai ke pengolahan bumi dan televisi-televisi layar
datar, industri Tiongkok kini dilanda kapasitas ekses yang menekan laba baik di
dalam maupun di luar negeri dan mengancam mengguncang lebih lanjut ekonomi
Tiongkok yang pertumbuhannya sudah tidak kokoh”.
Tiongkok memproduksi hampir setengah dari aluminium dan baja
di dunia serta sekitar 60 persen semen dunia, namun kapasitas produktif yang
baru sedang ditambahkan dengan cepat, bahkan saat ekonomi mengalami perlambatan
dan pasar-pasar ekspor menyusut. Walaupun produksi baja Tiongkok telah mencapai
tingkat yang tinggi, hanya sekitar 80% kapasitas produksi yang digunakan.
Kepala-kepala industri dan pejabat-pejabat pemerintah mengatakan lebih banyak
kapasitas ekses yang perlu ditutup agar sektor tersebut dapat kembali seimbang.
Sekali lagi:
“Hanya sekitar dua pertiga kapasitas semen yang digunakan
tahun lalu, menurut survei dari Konfederasi Perusahaan Tiongkok.
Usha Haley menulis: “Terdapat overkapasitas yang sangat
besar dan tidak ada pengukur atas suplai dan permintaan, serta kami menemukan
bahwa subsidi menyumbang 30 persen dari output industri. Sebagian besar
perusahaan akan bangkrut kalau tidak ada subsidi.”
“Hampir semua investasi perusahaan industri dan
rencana-rencana pertumbuhan adalah berdasarkan keyakinan bahwa pemerintah tidak
akan membiarkan pertumbuhan turun di bawah 8 atau 9 persen. Namun situasi sudah
berubah. Pertumbuhan Tiongkok turun hingga 7,5% dan kemudian meningkat sekitar
7,8%. Namun bahkan ini adalah pertumbuhan paling lambat dalam 13 tahun
terakhir.
“Overkapasitas dalam industri otomotif sangat besar. Dalam
kasus Geely, yang membeli Volvo pada tahun 2010, lebih dari separuh dari laba
bersihnya datang langsung dari subsidi tahun 2011. Faktanya, pendapatan subsidi
bagi Geely tahun itu bahkan mencapai 15 kali lebih besar daripada sumber terbesar
pendapatan bersih berikutnya–’penjualan rongsokan metal’—menurut analisis dari Fathom
China.” (FT, 17/6/2013)
Besarnya overkapasitas dan perlambatan dalam pertumbuhan
Tiongkok menunjukkan bahwa semakin banyak perusahaan yang akan menghadapi
kebangkrutan. Ini akan menimbulkan dampak-dampak yang besar terhadap psikologi
tiap kelas di Tiongkok.
Perspektif Perjuangan Kelas
Semua keberhasilan ekonomi Tiongkok sepenuhnya berdasarkan
tenaga kerja buruh-buruh Tiongkok, yang membanting tulang dengan upah rendah di
bawah kondisi-kondisi yang menyerupai Inggris zaman Victoria [Abad ke-19].
Kesenjangan sangatlah dibenci di Tiongkok, yang seharusnya merupakan negara
“Sosialis”. Kelas borjuasi Tiongkok yang baru telah bangkit,
berpesta-pora dengan kemewahan yang asing bagi mayoritas luas populasi
Tiongkok.
Tiongkok dijalankan oleh segelintir elit oligarki super
kaya-raya yang memperkaya diri mereka sendiri dengan menjarah negara dan
mengeksploitasi tenaga kerja buruh-buruh Tiongkok dengan brutal. Namun basis
kelas kapitalis Tiongkok sangatlah tipis. Dari suatu populasi yang besarnya
sekitar 1.354 juta, hanya terdapat 1,2 juta jutawan (dalam ukuran dolar AS).
Golongan ini besarnya sebesar 0,1% dari populasi. Jumlah para jutawan kini
tumbuh dengan pesat namun menunjukkan betapa lemahnya kapitalis-kapitalis di
Tiongkok. 1,2 jutawan ini jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah jutawan di Inggris maupun Italia.
Benar kalau di bawah mereka ada lapisan penghisap dan
penindas lainnya: manajer-manajer pabrik, direktur-direktur, majikan-majikan,
insinyur-insinyur, birokrat-birokrat dan para pejabat di institusi-institusi
Negara dan Partai. Bersama dengan keluarga-keluarga mereka, mereka membentuk
bagian dari penguasa. Namun bahkan setelah menyertakan mereka semua, mayoritas
populasi masih berada di luar kesejahteraan ekonomi dan kekuasaan yang datang
seiring dengannya. Kekayaan elit penguasa dan anak-anaknya sangat dibenci oleh
rakyat jelata Tiongkok. Korupsi yang merajalela di setiap tingkat pemerintah
juga menambah kebencian ini.
Elit penguasa mencoba menenangkan kemarahan rakyat jelata
Tiongkok dengan menyajikan pengadilan-pengadilan korupsi yang dipublikasikan
luas, dimana sejumlah pejabat yang sangat keterlaluan dalam korupsinya dihukum
mati. Pada saat yang sama mereka juga mencoba mencegah korupsi, yang merupakan
produk tak terelakkan dari rejim yang totaliter dan birokratik, agar tidak
menjarah terlalu banyak kekayaan yang diciptakan oleh kelas buruh.
Generasi baru buruh-buruh muda tidak ingin diam saja
menerima upah murah dan kondisi-kondisi buruk yang mau diterima generasi
pendahulu mereka yang datang dari latar belakang bekas tani yang baru tiba di
kota dari desa-desa miskin. Tumbuhnya rasa ketidakpuasan di masyarakat Tiongkok
diekspresikan oleh jumlah pemogokan, demonstrasi, dan bunuh diri di
pabrik-pabrik yang semakin meningkat. Dalam sebuah masyarakat totaliter, di
mana ketidakpuasan secara paksa ditekan dan hanya ada sedikit katup legal,
ledakan-ledakan bisa muncul mendadak dan tanpa peringatan. Bukanlah suatu
kebetulan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah negara Tiongkok
menghabiskan anggaran keamanan dalam negeri lebih besar dibandingkan
pertahanan.
Rusia
Berbeda dengan mayoritas negeri-negeri Eropa, negeri Rusia
belum memiliki masalah hutang yang serius. Semua ini berkat ekspor minyak dan
gas serta pertumbuhan ekonomi dalam periode yang lalu, yang menyediakan
cadangan finansial yang cukup besar. Namun cadangan ini pun sudah mendekati
batas-batasnya. Seperti negeri-negeri BRICs lainnya, ekonomi Rusia juga
mengalami penurunan, dengan tingkat pertumbuhan diperkirakan sekitar 1%.
Inilah latar belakang bagi naiknya rasa ketidakpuasan, tidak
hanya di antara kelas buruh namun juga di lapisan luas borjuasi kecil, yang
tercermin dalam bangkitnya gerakan oposisi anti-Putin. Akibat ekspansi kredit,
mayoritas buruh dan kaum muda kini mendapati diri mereka dibebani hutang-hutang
besar. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan dan kota-kota. Konsekuensinya
adalah jatuhnya investasi dan stagnasi ekonomi. Untuk pertama kalinya, sektor-sektor
ekonomi seperti industri otomotif mengalami masalah serius dengan penjualan.
Ekonomi ditopang oleh negara melalui metode-metode
Keynesian, yakni lewat investasi negara secara langsung ke dalam infrastruktur,
atau proyek-proyek seperti Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014 dan Piala Dunia
2018. Ini sama dengan pembangunan piramida di Mesir Firaun, yang hanya mungkin
dilakukan di atas landasan penindasan terhadap buruh-buruh yang diupah murah
dan tingginya harga minyak dan gas. Bagaimanapun juga, periode panjang harga
minyak yang tinggi telah menimbulkan akibat-akibat tak terhindarkan dalam
teknologi-teknologi baru bagi produksi minyak dan gas di AS (“fracking”).
Proyek “energi imperial” Putin jadi banyolan. Reaksi histerisnya terhadap aksi
Green Peace di Laut Barent adalah tanda kepanikan, bukan kekuatan.
Pertumbuhan ekonomi dalam periode lalu memungkinkan Putin
menjalankan kebijakan semi paternalistik. Inilah yang membuat rejimnya tampak
stabil. Namun ini tidak bisa terus berjalan lama. Mayoritas buruh-buruh baru
kini dihadapkan dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Jumlah imigran
legal dan semi legal dari Asia Tengah meningkat tajam. Stabilitas sosial dan
politik telah menunjukkan tanda-tanda ketegangan, dan ini menentukan kebijakan
Putin—serta kebijakan kaum oposisi.
Tujuan utama oposisi liberal adalah untuk merebut
elemen-elemen borjuis kecil dari rangkulan Putin. Tokoh utama oposisi ini
adalah Alexey Navalny. Pada pemilihan walikota Moskow sebelumnya di bulan
September 2013, ia meraih suara sebesar 27,24% melawan Sobyanin, kandidat
Putin, yang meraih suara sebesar 51%, Sedangkan kandidat dari Partai Komunis
dan pimpinan sayap “Kiri” Partai, Ivan Melnikov, hanya meraup suara sebesar
10,69%.
Navalny adalah seorang pengacara sekaligus investor kecil.
Dia dipecat dari Partai Liberal Yabloko karena nasionalisme. Programnya
menyertakan perjuangan melawan korupsi, “Pemerintahan yang murah”, pajak
rendah, sistem visa bagi negara-negara bekas Soviet di Asia Tengah serta
deportasi terhadap para imigran yang menganggur.
Restorasi kapitalisme di Rusia telah mengakibatkan
polarisasi kekayaan secara ekstrem. Laporan Kekayaan Suisse Kredit terbaru
menunjukkan secara jelas bagaimana kekayaan dunia masih terkonsentrasi di
tangan AS dalam hal jumlah mutlak jutawan-jutawan, serta jumlah akumulasi
kekayaan yang terkonsentrasikan di tangan-tangan mereka.
Namun laporan ini juga menyoroti fakta bahwa Rusia kini
memiliki tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. Di seluruh dunia, para
milyader menguasai kekayaan nasional sebesar 1% – 2%; di Rusia hari ini, 110
milyader menguasai 35% kekayaan.
Meningkatnya ketegangan antar kelas ini secara parsial dan
temporer berkurang akibat pertumbuhan ekonomi. Namun kini pertumbuhan ekonomi
tersebut menurun dengan tajam, yang mencerminkan krisis umum kapitalisme dunia.
IMF memotong perkiraan pertumbuhan PDB Rusia pada 2013 menjadi +1,5%
dibandingkan 5-8% sebelum krisis finansial. Situasi di Rusia mengarah pada
ledakan sosial, bahkan dalam jangka pendek.
Lenin mengatakan bahwa syarat pertama bagi revolusi adalah
strata penguasa berada dalam krisis dan tidak mampu terus berkuasa dengan cara
yang lama. Ada sentimen pesimisme di antara kelas penguasa, yang kadang-kadang
hampir seperti kepanikan. Gagasan utama Putin adalah membangun sebuah negara
polisi yang kuat sebelum pecah krisis.
Syarat kedua revolusi menurut Lenin adalah gejolak di
lapisan tengah masyarakat yang berayun antara revolusi dan konter revolusi.
Demonstrasi-demonstrasi massa menentang manipulasi pemilu, yang wataknya didominasi
kelas menengah, mengindikasikan bahwa proses ini sudah dimulai.
Syarat ketiga, yaitu buruh-buruh harus siap berjuang dan
berkorban untuk mengubah masyarakat, belum matang di Rusia. Namun mendekatnya
krisis ekonomi dan tumbuhnya ketidakpuasan terhadap Putin berarti hanya masalah
waktu saja sebelum ledakan-ledakan sosial terjadi di Rusia seperti yang terjadi
di Turki dan
Brazil.
Brazil.
Permasalahannya ada pada kepemimpinan. Ketidakmampuan dari
apa yang disebut-sebut sebagai Partai Komunis untuk menawarkan suatu alternatif
kepada massa berarti bahwa gerakan protesi ini dipimpin oleh kaum Liberal
borjuis dan demokrat borjuis kecil. Namun gerakan ini hanya merupakan gejala
dari pergolakan yang kian tumbuh, yang cepat atau lambat harus diekspresikan
dalam ledakan sosial. Pada waktunya, melalui aksi-aksi, kelas buruh Rusia akan
menemukan kembali tradisi sejati Revolusi Oktober dan Bolshevisme.
India dan Pakistan
Kaum borjuasi India mengidap halusinasi akut. Perdana
Menteri Monamhan Singh mengklaim bahwa “kecepatan pertumbuhan” India adalah
sebesar 8% – 9%. Kini pertumbuhannya hanya setengahnya saja. Investasi swasta
telah mengering. Inflasi sekarang naik lebih dari 10% dan terus naik. Rupee
jatuh 13% dalam jangka tiga bulan di tahun 2013. The Economist (24/8/2013) memperingatkan:
“Konglomerat-konglomerat yang dulunya menyorak-soraki kebangkitan India sebagai
sebuah negara adidaya kini berbicara mengenai ancaman pergolakan sipil”.
Prediksi ini sudah menjadi kenyataan. Pergolakan masyarakat
India tercermin dalam serangkaian gerakan massa yang menyentuh berbagai isu.
Pertama, ada gerakan anti korupsi, yang diikuti oleh demo-demo massa menentang
pemerkosaan serta serangan terhadap kaum perempuan. Keduanya memiliki watak
borjuis kecil namun menunjukkan arus bawah ketidakpuasan terhadap
fondasi-fondasi nasionalis Hindu dari negeri India.
Manifestasi-manifestasi ini seperti buih di ombak di
samudra; dengan kata lain gejala-gejala dari arus bawah yang jauh lebih dalam
dan kuat. Ketidakpuasan massa yang tidak menikmati pertumbuhan ekonomi India,
kini menjelma jadi kemarahan. Ini yang ditunjukkan oleh serangkaian
pemberontakan kaum tani dan di atas segalanya pemogokan massa dua hari pada
Februari 2013.
Di sisi lain perbatasan artifisial, Pakistan telah tereduksi
ke tingkat penderitaan yang paling parah sejak kemerdekaan. Ambruknya ekonomi,
serangan-serangan teroris, bom-bom bunuh diri, naiknya harga-harga, bunuh diri
keluarga-keluarga melarat, perdagangan anak-anak dan organ tubuh manusia,
penyiksaan dan pembunuhan terhadap perempuan. Semua ini mengingatkan kita
kembali pada pernyataan Lenin: “Kapitalisme adalah horor tanpa akhir”.
Harapan-harapan massa yang mendambakan perbaikan di bawah
pemerintahan PPP akhirnya dikhianati. Kini pemerintahan sayap Kanan Liga Muslim
tengah menjalankan serangan-serangan lanjutan. Mereka menjarah negara melalui
privatisasi perusahaan-perusahaan negara seperti Pakistan International
Airlines, layanan pos, perusahaan kereta api, WAPDA (Water and Power
Development Authority atau Otoritas Pengembangan Air dan Energi), dan
lain-lain.
Sebagai akibatnya, akan ada lebih banyak pemecatan, lebih
banyak pengangguran, lebih banyak kemiskinan dan kehancuran ekonomi.
Kesengsaraan rakyat diperparah oleh sektarianisme agama yang mengerikan,
pembantaian-pembantaian komunal, peperangan proxy yang berdarah-darah di
Baluchistan, serangan-serangan drone di Pukhtoonhua, dll. Badan intelijen
Pakistan (ISI) terus beroperasi seperti negara di dalam negara, dimana mereka
memprovokasi konflik, pembunuhan dan kekerasan demi intrik-intrik gelap mereka.
Untuk mengalihkan perhatian dari kesengsaraan yang dihadapi massa, kelas
penguasa Pakistan yang bangkrut bermain-main api dengan konflik di Afghanistan
dan India. Konflik di Kashmir terus meracuni relasi antara dua bangsa ini, seperti
luka yang bernanah.
Tidak ada jalan keluar di atas landasan kapitalis. Baik Liga
Muslim, PPP, maupun kediktatoran militer tidak ada yang akan bisa berhasil.
Hanya Revolusi Sosialis yang bisa menunjukkan jalan keluar dari neraka ini di
mana jutaan rakyat hidup di Pakistan, India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka.
Kondisi-kondisi parah yang melanda hidup mereka sudah tak tertahankan lagi.
Kondisi-kondisi obyektif tengah disiapkan untuk sebuah gelombang pasang
revolusioner seperti Revolusi 1968-1969. Revolusi demikian di masa silam
tergelincir akibat kurangnya kepemimpinan. Namun kekuatan IMT di Pakistan yang
semakin besar, di bawah kondisi-kondisi paling sulit yang bisa dibayangkan,
menawarkan masa depan kemenangan. Kita harus melipatgandakan upaya kita untuk
memperkuat barisan Marxis Pakistan demi menjamin kemenangan tersebut.
Afghanistan
Setelah tiga belas tahun peperangan yang berdarah-darah,
kaum Imperialis berupaya membebaskan dirinya dari rawa Afghan. Saat pasukan
koalisi yang dipimpin AS masuk Afghanistan, kami telah memprediksikan bahwa
kesuksesan awal mereka akhirnya akan berakhir dalam kegagalan. Saat itu kami
menulis:
“Ambruknya pertahanan Taliban yang terjadi dengan begitu
cepat dan mudahnya Aliansi Utara memasuki Kabul, telah membuat banyak orang
menyimpulkan bahwa perang sudah selesai serta Taliban sudah habis. Ini adalah
pembacaan situasi yang keliru [...]
“Taliban memang kehilangan kekuasaan mereka, namun tidak
kehilangan potensinya untuk berperang. Mereka terbiasa melancarkan perang
gerilya di pegunungan. Mereka telah melakukannya sebelumnya dan akan
melakukannya lagi. Di utara, mereka berperang di wilayah yang asing dan sulit.
Namun di pedesaan dan pegunungan daerah Pushtoon, mereka berada di daerah
mereka sendiri. Oleh karenanya ada prospek perang gerilya berkepanjangan yang
bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Bagian pertama kampanye perang Sekutu
memang gampang. Namun bagian kedua tidak akan segampang itu. Pasukan Inggris
dan Amerika harus masuk ke daerah-daerah Pushtoon, yang mana mereka akan jadi
mangsa empuk bagi para gerilyawan. Jatuhnya korban jiwa tidak terhindarkan.
Pada tahapan tertentu ini akan mempengaruhi opini publik di Inggris dan
Amerika.
“Amerika berharap mampu melancarkan serangan yang cepat dan
presisi terhadap Bin Laden, dengan bersandar pada serangan udara. Namun justru
konflik menjadi semakin rumit dan sulit, dan akhir dari perang ini tidak
kelihatan. Mereka harus terus menempatkan pasukan-pasukan tidak hanya di
Afghanistan namun juga di Pakistan serta negeri-negeri lain untuk menyokongnya
[...]
“Ini adalah posisi yang jauh lebih buruk dan berbahaya dibandingkan
posisi yang didapati Amerika pada 11 September. Washington kini akan terpaksa
menanggung rezim yang bangkrut dan tidak stabil di Pakistan, termasuk semua
negeri-negeri ‘bersahabat’ di wilayah tersebut, yang mengalami destabilisasi
akibat aksi-aksinya. Jika tujuan operasi ini adalah untuk memerangi terorisme,
maka mereka akan menemukan bahwa apa yang mereka capai adalah sebaliknya.
Sebelum peristiwa-peristiwa ini, kaum imperialis mampu menjaga jarak yang
relatif aman dari kekacauan dan peperangan dari belahan dunia ini, namun kini
mereka sepenuhnya terbelit di dalamnya. Tindakan-tindakan mereka sejak 11
September telah membuat Inggris dan AS terjerumus dalam rawa yang mana mereka
akan sulit melepaskan diri darinya.
Ini ditulis pada 15 November 2001 (Afghanistan after
the fall of Kabul: Is the war over?). 12 tahun kemudian tidak ada satu pun kata
dari tulisan kami yang perlu diganti.
Dengan PDB per kapita $528 di 2010/2011, Afghanistan masuk
di antara 10 negara termiskin di dunia. Tahun 2008, 36 persen populasi
Afghanistan hidup di bawah garis kemiskinan, setengah dari populasi dianggap
rawan. 134 dari 1.000 bayi yang dilahirkan mengalami kematian. Ini merupakan
tingkat kematian bayi tertinggi di dunia. Usia harapan hidup 48,1 tahun. 75
persen populasi menderita buta huruf. Afghanistan juga merupakan penyuplai
opium terbesar di dunia.
Uang yang dihabiskan untuk perang-perang tak berguna akan
cukup kalau digunakan untuk meningkatkan standar hidup rakyat. Namun
sebaliknya, kaum imperialis telah memporak-porandakan Afghanistan dan kini
harus angkat kaki, tanpa memberikan solusi apapun. Mereka kini tengah
bernegosiasi dengan Taliban, yang tak terelakkan lagi akan punya jatah besar
dalam pemerintahan di Kabul kelak. Tak ada yang tercapai kecuali destabilisasi seluruh
kawasan secara lebih lanjut, dan ini diawali dengan Pakistan.
Amerika Latin
Ekonomi dari sejumlah negeri Amerika Latin (termasuk Brasil,
Chile, Peru, Bolivia, Ekuador, dan Kolombia) yang mendapat keuntungan dari
mengekspor bahan-bahan mentah, komoditas-komoditas, dan sumber-sumber energi ke
Tiongkok, kini tengah menderita akibat perlambatan ekonomi Tiongkok. Ini akan
menimbulkan implikasi-implikasi politik dan sosial yang dalam di periode
selanjutnya, sebagaimana yang sudah kita saksikan dalam gerakan-gerakan besar
melawan kenaikan ongkos bis di Brasil.
Setelah periode kebangkitan perjuangan kelas di seluruh
Amerika Latin (khususnya di Venezuela, Bolivia, dan Ekuador), di mana
pemerintahan-pemerintahan sayap Kanan digulingkan oleh kebangkitan massa, pemilihan
presiden-presiden yang mengambil kebijakan-kebijakan yang mendorong mereka
berkonflik dengan imperialisme, pemberontakan-pemberontakan regional, dan
lain-lain, gelombang revolusioner di benua tersebut tampaknya telah mencapai
kemandegan. Ada kebuntuan dalam perjuangan kelas ini, di mana kedua belah pihak
belum ada yang mampu meraih kemenangan telak.
Upaya-upaya kudeta berhasil dikalahkan oleh massa di
Venezuela (dalam berbagai kesempatan), Ekuador, dan Bolivia. Kekuatan-kekuatan
reaksi dan imperialisme tidak mampu mengalahkan gerakan-gerakan ini secara
mutlak, namun dengan pengecualian kudeta-kudeta di Paraguay dan Honduras, yang
meskipun demikian tidak mengakhiri gerakan revolusioner di negara-negara
tersebut.
Di Kolombia, awal perundingan-perundingan perdamaian antara
pemerintahan dan FARC, yang menunjukkan ketidakmampuan para gerilyawan untuk
memenangkan perang, telah membuka jalan bagi perkembangan perjuangan kelas
sepanjang garis-garis klasik. Popularitas Santos, presiden yang baru, telah anjlok
(dari 46% turun ke 21% antara Juni dan Agustus 2013) setelah serangkaian
pemogokan penanam kopi, pekerja yudisial, mahasiswa, dan yang paling baru,
pemogokan agraria nasional yang membuat pemerintahannya berada di ujung tanduk.
Upaya kelas penguasa Kolombia untuk “menormalisir” metode kekuasaannya (setelah
bergantung pada paramiliter di bawah Uribe) menyerang balik ketika gelombang
perjuangan kelas bergulir.
Dengan kembali berkuasanya PRI, kelas penguasa Meksiko
berhasil membentuk sebuah pemerintahan yang relatif kuat yang
memungkinkan mereka menjalankan kebijakan-kebijakan yang sudah mereka
rencanakan selama bertahun-tahun. Bahkan sebelum Peña Nieto dilantik, mereka
sudah mengesahkan perubahan UU perburuhan. Perubahan ini menghapus serangkaian
pencapaian yang dimenangkan lewat revolusi Meksiko, sehingga kelas penguasa
akan semakin mudah menghisap dan menindas kelas buruh.
Kebijakan lainnya adalah kontra reforma energi, yang membuka
pintu bagi perusahaan-perusahaan multinasional untuk berinvestasi dalam sektor-sektor
listrik dan perminyakan. Nasionalisasi minyak oleh pemerintahan Lazaro Cardenas
di tahun 1938 berarti bahwa selama berpuluh-puluh tahun Meksiko memiliki
stabilitas ekonomi dan sosial. Kini ini harus berakhir. Sebelum kontra reforma
energi ini, perusahaan minyak Pemex menyumbang hingga 40% pendapatan negara.
Kini sebagian besar sumber daya ini akan disalurkan masuk ke kantong-kantong
pribadi para kapitalis. Ini akan mengakibatkan defisit anggaran, yang akan
diimbangkan melalui peningkatan pajak dan pemotongan terhadap anggaran-anggaran
sosial.
Membusuknya kapitalisme Meksiko diekspresikan oleh
meningginya pengangguran, perkembangan ekonomi informal, dan meningkatnya
penderitaan serta dekomposisi sosial. Ini terekspresikan paling jelas dalam
perkembangan pasar-pasar narkoba serta munculnya perang terhadap narkoba, yang
berarti meningkatnya penderitaan massa. Reforma-reforma ini menandai suatu
titik balik, dan akan berujung pada semakin parahnya kondisi hidup rakyat
Meksiko di tahun-tahun mendatang.
Kepemimpinan serikat-serikat buruh dan Morena, dengan cara
pandang elektoralnya yang reformis, telah menjadi penghalang dari perlawanan
balik yang berdasarkan metode-metode aksi massa revolusioner. Namun kemarahan
massa terus tumbuh. Ini terekspresikan oleh pembentukan Morena, dalam
perjuangan-perjuangan serikat buruh yang militan–seperti para guru dan
buruh-buruh PLN–dengan masuknya generasi pemuda yang teradikalisasi ke dalam
gerakan dan berkembangnya polisi komunitas serta kelompok-kelompok pertahanan diri.
Di negara bagian Guerrero telah berlangsung
mobilisasi-mobilisasi massa bersenjata, dan di Michoacan terdapat
kotamadya-kotamadya yang berada dalam kondisi perang sipil (perang saudara)
terbuka. Meskipun proses ini penuh dengan kontradiksi, ini merupakan
gejala dari membusuknya kapitalisme Meksiko yang menekan massa–yang mulai
menarik kesimpulan-kesimpulan revolusioner. Pemerintahan Peña Nieto akan
melanjutkan kebijakan kontra reforma, yang akan mempersiapkan
perlawanan-perlawanan balik dari buruh.
Meskipun demikian, karena ketiadaan faktor subyektif–yakni
sebuah kepemimpinan revolusioner yang jelas–massa Amerika Latin tercegah dari
merebut kekuasaan ke tangan mereka sendiri dan menghapus kapitalisme. Ini telah
membawa situasi yang ada ke jalan buntu dan kesetimbangan kelas yang tidak
stabil, sebuah kondisi yang diperpanjang olehboom ekonomi. Resesi dunia
yang dimulai pada 2007-2008 hanya mempengaruhi Amerika Selatan secara parsial,
dan kawasan ini pulih dengan cepat, dengan bersandar pada Tiongkok. Namun semua
ini kini akan berakhir. Ini terungkap secara dramatis oleh peristiwa-peristiwa
di Brasil.
Brasil
Dalam periode sebelumnya (hingga tahun 2011), Brasil
menikmati tingkat pertumbuhan yang tinggi, terutama karena ekspor ke Tiongkok.
ini memungkinkan para kapitalis memenuhi tuntutan-tuntutan upah saat menghadapi
kurangnya tenaga kerja dan pemogokan-pemogokan buruh. Upah naik rata-rata
sebesar 3,5% per tahun antara 2002 dan 2013 secara riil, dan dalam dolar
kenaikan ini bahkan lebih tinggi. 95% perundingan-perundingan upah berakhir
dengan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan tingkat laju inflasi.
Kenaikan upah ini, dan pencapaian dari program kesejahteraan Lula “Bolsa
Familia” yang ditujukan untuk menyokong standar hidup lapisan-lapisan
paling miskin (25 juta orang), menjelaskan stabilitas pemerintahan PT (Partai
Buruh) selama periode ini.
Namun sekarang semuanya telah berubah. Perlambatan tajam
ekonomi di tahun 2011 (+2,7%) dan 2012 (+0,9%) secara tiba-tiba mengungkap rasa
frustrasi yang luas, yang berujung pada ledakan gerakan massa pada Juni 2013.
Tingkat investasi yang relatif rendah oleh para kapitalis berarti bawah
meningkatnya upah tidak diimbangi oleh produktivitas yang meningkat. Semenjak
2003, biaya tenaga kerja per unit di Brasil telah berlipat, bahkan tiga kali
dalam dolar.
Rendahnya tingkat investasi telah berakibat pada kejatuhan
tajam produktivitas dibandingkan dengan ekonomi-ekonomi besar lainnya. Boom ekspor
ke Tiongkok telah menutupi posisi Brasil yang berada di tengah malapetaka. Sebuah
laporan khusus dari Economist mengenai Brasil (28 September 2013)
mengindikasikan bahwa Brasil sedang bergerak ke periode meningkatnya krisis dan
perjuangan kelas. Inflasi, yang mendekati 6%, memperburuk standar hidup rakyat
jelata dan mendorong tuntutan-tuntutan ekonomis kelas buruh. Fakta ini
menjelaskan mengapa ada selapisan kelas borjuasi yang ingin menyingkirkan PT.
Mereka menganggap bahwa PT tidak akan mampu segera menghunus pisau dan menikam
dengan cukup dalam. Sedangkan lapisan borjuasi lainnya takut terhadap prospek
menghadapi naiknya perjuangan kelas tanpa bantuan dari para pimpinan PT.
Gerakan melawan naiknya ongkos bis, yang menyebar dengan
cepat ke seluruh negeri, merefleksikan ketidakpuasan yang lebih luas yang telah
menumpuk di dalam masyarakat. Ini menandai tibanya gelombang revolusioner dari
negara-negara Arab dan Eropa Selatan ke Brasil. Meskipun gerakan ini tidak
punya pimpinan dan secara tak terelakkan mengandung elemen-elemen yang bingung,
gerakan ini merepresentasikan suatu titik balik signifikan, dan diikuti oleh
serangkaian hari aksi nasional oleh gerakan serikat buruh dan mobilisasi masif
di sekitar pemogokan guru. Dilma Roussef jelas tidak akan menikmati boom ekonomi
yang menjamin stabilitas pemerintahan Lula sebelumnya. Ini akan menciptakan
kondisi-kondisi yang baik bagi kaum Marxis Brasil di periode berikutnya.
Venezuela
Kemenangan tipis Maduro dalam pemilihan umum (Pemilu)
presiden di Venezuela, April lalu, merupakan sebuah peringatan serius untuk
gerakan Bolivarian. Namun, upaya kaum oligarki untuk menggulingkan Maduro
menjadi senjata makan tuan. Sekali lagi massa turun ke jalan dan mengalahkan
provokasi-provokasi sayap Kanan dengan mobilisasi revolusioner.
Faktor kuncinya kini adalah kekacauan ekonomi yang
disebabkan oleh upaya untuk mengatur ekonomi kapitalis, sabotase yang dilakukan
oleh kelas penguasa, dan mogok investasi oleh kapitalis secara serius mengikis
basis sosial dukungan untuk revolusi. Kelangkaan sembako disertai dengan
inflasi yang tinggi, yang kini telah mencapai 50%. Situasi ini tidak bisa
berlangsung lama. Revolusi harus mengambil langkah pasti ke arah penumbangan
kapitalisme, atau kekacauan ekonomi in akan menciptakan kondisi-kondisi bagi
borjuasi untuk kembali berkuasa dan menghantam revolusi.
Kebijakan pemerintahan Maduro setelah pemilu April adalah
menyerang oposisi di arena politik namun di sisi lain mencoba meraih
kesepakatan dengan kapitalis-kapitalis di ranah ekonomi. Konsesi-konsesi
ditawarkan ke bisnis-bisnis swasta terkait akses ke mata uang asing, termasuk
liberalisasi kontrol harga, dan gagasan menciptakan Zona Ekonomi Khusus dengan
mengambil model Tiongkok. Ini merupakan kebijakan utopis yang tidak bisa
memecahkan apapun. Setiap konsesi yang diberikan kepada kelas penguasa akan
menggerogoti basis sosial revolusi, sementara tidak satu pun problem ekonomi
fundamental yang terpecahkan.
Menjelang pemilihan daerah Desember 2013, pemerintah
mengambil langkah yang berbeda, dengan menghantarkan pukulan terhadap
kapitalis-kapitalis. Langkah-langkah ini masih berada dalam logika mengatur
kapitalisme, namun terbukti sangat populer di antara massa pekerja dan
mengobarkan kembali antusiasme revolusioner rakyat. Langkah-langkah melawan
spekulasi, penimbunan, dan penggelembungan harga inilah yang menjamin
kemenangan revolusi di dalam pemilihan daerah. Bahkan kalaupun kaum oligarki
berhasil kembali berkuasa, ini bukanlah akhir revolusi. Hal demikian bisa jadi
malah meningkatkan radikalisasi gerakan Bolivarian sebagaimana yang terjadi
pada kekalahan di Spanyol pada Oktober 1934 (“Bienio Negro”) yang
hanya merupakan pendahuluan untuk perjuangan kelas yang lebih sengit. Tidak ada
pimpinan gerakan Bolivarian yang memiliki otoritas seperti Chavez, dan karena
itu kritik terhadap kepemimpinan, kaum birokrat, dan kaum reformis oleh massa
mengambil karakter yang lebih tajam dan lebih terbuka.
Tugas utama di Venezuela adalah membangun kepemimpinan
revolusioner dengan akar di antara kaum pelopor kelas buruh, yang mampu
menggunakan energi luar biasa yang telah ditunjukkan massa selama 15 tahun
lebih dan mengarahkannya ke perebutan kekuasaan dan penghapusan Kapitalisme.
Hubungan-hubungan Internasional
Lenin pernah menulis mengenai “materi yang mudah terbakar
dalam politik dunia”, dan hari ini kita tidak kekurangan materi semacam ini.
Tindakan-tindakan agresif kekuatan-kekuatan imperialis telah menimbulkan
oposisi internal dan bisa menjadi faktor yang meradikalisasi massa lebih
lanjut. Mood revolusioner bisa timbul tidak hanya melalui faktor-faktor ekonomi
namun juga peperangan, tindakan-tindakan teroris, bencana alam, dan
peristiwa-peristiwa internasional. Kita telah saksikan ini dalam Perang
Vietnam, dan hal yang sama bisa terjadi lagi.
Pengungkapan Wikileaks dan Snowden telah menunjukkan opini,
motif, dan kepentingan sesungguhnya dari imperialisme AS, serta membongkar
kedok diplomasi dan menunjukkan wajah buruk kepentingan Imperialis AS. Mereka
juga telah menunjukkan ketidakmampuan AS untuk menjaga rahasia-rahasia rezim
lainnya. Mereka telah menunjukkan sejauh mana AS memata-matai sekutu-sekutunya.
Selain itu mereka telah menunjukkan ke hadapan opini publik dunia bagaimana watak
asli diplomasi borjuis pada umumnya. Wikileaks dan Snowden telah memberikan
layanan yang penting bagi kelas buruh dunia.
Runtuhnya Uni Soviet sekitar dua puluh tahun yang lalu telah
menggeser relasi internasional secara masif. AS kini merupakan satu-satunya
adikuasa dunia. Dengan kekuatan besar maka datanglah arogansi besar,
sebagaimana yang ditunjukkan secara jelas oleh Doktrin Bush. Imperialisme
AS menyatakan haknya untuk campur tangan di negara manapun, untuk menggulingkan
pemerintahan dan mendikte keinginannya di manapun. Namun dua dekade kemudian
ilusi kebesaran ini telah terpukul.
Bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dan militer
telah mengubah perimbangan kekuatan di Asia dan Pasifik secara fundamental.
Kelas penguasa Tiongkok berambisi untuk menegaskan peran politik dan militernya
seiring dengan semakin tumbuhnya kekuatan ekonominya. Ini semakin membuatnya
berkonflik dengan negara-negara lain di kawasan penting ini, khususnya Jepang.
Konflik sengketa pulau-pulau hanyalah satu manifestasi dari hal ini. Washington
tengah mengamati fenomena ini dengan kegelisahan yang semakin tinggi.
Imperialisme AS selalu memandang Pasifik sebagai elemen krusial dalam strategi
globalnya. Kebangkitan Tiongkok dengan demikian menimbulkan ancaman langsung
bagi kepentingan-kepentingannya yang bisa berujung pada konflik-konflik serius
di masa depan.
Rusia tengah memainkan peran yang lebih independen dalam
relasi internasional dibandingkan dengan masa lalu. Setelah dipermalukan di
Yugoslavia dan Irak (keduanya adalah negara yang dulunya berada di pengaruh
Rusia), Rusia tidak bisa lagi menerima pemaksaan imperialisme AS di tingkat
dunia. Ini ditunjukkan oleh tindakan-tindakannya di Georgia, yang berusaha
diseret AS ke dalam orbitnya. Rusia menggunakan kekuatan bersenjatanya pada
tahun 2008 untuk menghantam Georgia dan mencegahnya bergabung dengan NATO.
Sedangkan di Suriah, Moskow menarik garis lain yang mana AS tidak berani
melangkahinya.
Akan tetapi ini bukan disebabkan oleh kekuatan Rusia,
melainkan kelemahan dan kelumpuhan relatif dari imperialisme AS. Dalam 10 tahun
terakhir, imperialis AS telah bertingkah seenaknya. Sebagai akibatnya mereka
hampir tidak punya sekutu yang bisa diandalkan di manapun. Invasi Irak berakhir
jadi malapetaka. Bush bermaksud menunjukkan kekuatan AS. Namun petualangan AS
di Irak menjadi senjata makan tuan dan semakin mendestabilisasi apa yang
sebelumnya sudah merupakan kawasan yang sangat rawan. Dengan menghancurkan
angkatan bersenjata Irak dia telah mengakibatkan kekacauan di Irak dan mendorong
perimbangan kekuatan di kawasan ini ke arah Iran.
Semua ini telah menyebabkan perubahan besar di dalam opini
publik AS. Setelah kegagalan di Irak dan Afghanistan, publik Amerika telah muak
terhadap petualangan-petualangan militer luar negeri, dan sentimen
isolasionisme Amerika lama mula mencuat kembali di Kongres dan masyarakat.
Sebagai akibatnya, Obama tidak mampu meluncurkan serangan pengeboman di Suriah.
Dalam sebuah pidato yang menyedihkan, di mana dia mengkontradiksi dirinya
sendiri di tiap kalimat, Obama mengatakan bahwa AS tidak bisa lagi melakukan
apa yang disukainya di dunia.
Timur Tengah kini merupakan kawah mendidih yang tidak
stabil. Ketidakstabilan ini telah diperparah oleh kebijakan imperialisme AS
yang semena-mena dan berpandangan pendek. Pertumbuhan kekuatan Iran di kawasan
ini telah membuat bingung Arab Saudi. Riyadh harus menerima bahwa Teheran kini
telah memiliki pengaruh besar di sebagian Irak. Kekacauan di Irak telah
menimbulkan konflik-konflik sektarian berdarah-berdarah antara Sunni dan Syiah
dengan pengeboman teroris dan pembantaian tiap harinya. Bangsawan-bangsawan
Saudi takut kalau kekuasaan akan terlepas dari genggaman tangan mereka.
Ketakutan ini digarisbawahi oleh kebangkitan massa di Bahrain pada tahun 2011.
Di Timur Tengah kita menyaksikan limit dari kekuatan AS.
Kelemahan imperialisme AS telah mendorong sekutu-sekutu tradisional AS di Timur
Tengah untuk mengejar kepentingan mereka sendiri dengan tingkatan yang jauh
lebih besar dibandingkan di masa silam. Dalam beberapa kasus hal ini telah
berujung pada bentrokan kepentingan dan bahkan penentangan terhadap AS. Ini
ditunjukkan oleh janji Saudi bahwa mereka akan menggantikan pemotongan bantuan
militer dari AS. Saudi marah atas penyingkiran Mubarak di Mesir yang merupakan
sekutu andalan mereka. Washington di sisi lain membuat militer Mesir
tersinggung dengan memotong bantuan militer pasca tergulingnya Morsi.
Klik penguasa Qatar telah mengucurkan dukungan finansial
sebesar $8 miliar ke Mesir dan adalah pendukung utama pemerintahan Mursi.
Mereka bertaruh bahwa kevakuman yang ditinggalkan oleh kaum aristokrat Arab
akan diisi oleh kaum Islamis dan mereka berharap bisa mengendalikan mereka
untuk menguatkan posisi Qatar di kawasan.
Tangan Qatar telah terbakar di Libya, Suriah, serta kehilangan
miliaran dolar di Mesir. Uang itu sebenarnya dimaksudkan untuk membeli
keuntungan politik namun mereka mendukung kuda yang salah. Uni Emirat Arab dan
Saudi akan membantu menjaga agar ekonomi Mesir tidak tenggelam. Semua ini
mencerminkan peperangan antara keluarga atau dinasti-dinasti Mafia ini,
gangster-gangster bangsawan minyak.
Suriah
Apa yang bermula sebagai kebangkitan kerakyatan melawan
rezim Baathis di Suriah telah terdegenerasi menjadi perang saudara yang
sektarian. Klik-klik penguasa Saudi dan Qatar turut campur tangan untuk
menghancurkan elemen-elemen revolusioner dan membelokkan perjuangan ini ke arah
sektarianisme.
Washington ingin bersandar pada elemen-elemen borjuis
“demokratis” dari apa yang disebut-sebut sebagai Tentara Suriah Merdeka atau Free
Syrian Army (FSA), namun mereka telah sepenuhnya kalah manuver oleh Saudi
dan Qatar yang telah dan terus mempersenjatai milisi-milisi Jihad. Akan tetapi
Saudi dan Qatar mendukung sayap-sayap milisi yang berbeda di Suriah. Saudi
bersandar pada kaum Salafis dan elemen-elemen nonjihadis untuk mencoba dan
menghancurkan dominasi Jabhat Al-Nusra dan Al-Qaeda di lapangan.
Koalisi Nasional (NC) yang berbasis di Istanbul, Turki, dan
dibeking Barat terbentuk pada November 2012 dan diakui oleh lebih dari 100 negara
sebagai perwakilan “sah” dari oposisi Suriah. AS dan Uni Eropa (UE) lebih suka
mendasarkan diri mereka pada elemen-elemen borjuis “moderat”. Namun mereka
telah terbentur oleh segunung permasalahan yang sulit dihadapi. NC ditolak
mentah-mentah oleh sebelas laskar Islamis, termasuk sebagian yang secara formal
merupakan bagian dari FSA, yang menyatakan bahwa mereka tidak
mengakuinya.
Sudah jamak diketahui bahwa milisi-milisi Jihad yang
melakukan mayoritas pertempuran dan mereka tidak bersedia mensubordinasikan
diri mereka ke bawah NC. Akibatnya adalah pertempuran-pertempuran antarkelompok
oposisi dan fragmentasi di antara kaum oposisi semakin mendalam. Dengan
mengambil keuntungan dari melemahnya kekuatan pusat, Kaum Kurdi kini
secara riil nyaris benar-benar merdeka di timur laut, dengan demikian terdapat
dua atau lebih negeri Kurdi yang merdeka di kawasan Timur Tengah. Ini menambah
instabilitas dan akan semakin mendorong sentimen separatis baik di Turki maupun
Iran.
Elemen-elemen reaksioner Islamis kini telah menguasai
sepenuhnya pemberontakan bersenjata. Kini terjadi pertempuran terbuka antara
kaum Jihadis dan FSA, serta antara jihadis dan Kurdi. Ada pula sejumlah milisi
yang bertempur di pihak pemerintah yang berada di luar kendali Assad. Suriah
kini mengarah ke arah malapetaka yang sama seperti Irak atau Afghanistan,
dengan penguasa-penguasa perang lokal yang merebut kekuasaan daerah. Negeri
Suriah mengalami disintegrasi di depan mata kepala kita. Apa yang ada di Suriah
kini adalah konter-revolusi di kedua belah pihak.
Kedua belah pihak telah memerangi satu sama lain dan tidak
ada yang bisa menang, namun intervensi Hisbullah dan Iran telah mengubah
perimbangan kekuatan yang menguntungkan pemerintah Assad pada musim panas 2013.
Amerika mencari-cari alasan untuk mengintervensi di Suriah untuk memperbaiki
situasi ini, namun kelemahan imperialisme AS telah ditunjukkan dengan fakta di
mana Obama bahkan tidak bisa memenangkan voting di Kongres untuk mengebom
Suriah. Sebagai hasilnya dia sepenuhnya kalah manuver oleh Rusia yang meraih
inisiatif diplomatik saat John Kerry menyatakan apa yang sebenarnya merupakan
komentar spontan bahwa Suriah bisa menghindari serangan kalau menyerahkan
senjata-senjata kimianya.
Isu persenjataan kimia telah menunjukkan kemunafikan kaum
imperialis yang memuakkan. Mari kita tinggalkan fakta bahwa AS sendiri memiliki
stok persenjataan kimia terbesar di dunia dan mereka telah menggunakan
senjata-senjata kimia seperti Agent Orange secara ekstensif terhadap rakyat
Vietnam, juga menggunakan Napalm. Bahkan belum lama ini mereka juga menggunakan
bom-bom fosfor dalam pengeboman di Fallujah, yang menyebabkan
konsekuensi-konsekuensi mengerikan bagi penduduk. Mereka tidak keberatan sama
sekali saat Saddam Hussein menggunakan persenjataan kimia terhadap
prajurit-prajurit Iran dalam perang antara Iran dan Irak.
Maka sudah sangatlah jelas bahwa masalah persenjataan kimia
tidak lebih dari sekadar dalih untuk menyerang Suriah karena pasukan-pasukan
pemerintah Assad, yang dibantu Iran dan Hizbullah, telah menghantam telak para
pemberontak. Maksud Washington adalah menghantam angkatan bersenjata Suriah
untuk membantu pemberontak, tetapi bukan agar para pemberontak meraih
kemenangan militer. AS hanya ingin memulihkan keseimbangan antara dua pihak
yang berperang ini supaya dapat memberi ruang untuk manuver-manuver diplomatis.
Kepentingan-kepentingan rakyat Suriah yang malang dan pertimbangan-pertimbangan
kemanusiaan sangat jauh dari pikiran mereka.
Manuver ini terpotong oleh tawaran dari rezim Suriah (yang
didorong oleh Moskow) untuk menyerahkan seluruh gudang persenjataan kimianya.
Tindakan ini tidak akan mempengaruhi kapasitas militer rezim Suriah yang
menggunakan persenjataan konvensional secara sangat efektif untuk membantai
musuh-musuhnya selama perang. Setelah menangani tudingan Amerika mengenai isu
persenjataan kimia, Assad kemudian melancarkan ofensif besar terhadap kaum
pemberontak dan memukul telak mereka. Akan tetapi masih meragukan apakah kedua
belah pihak punya cukup kekuatan untuk meraih kemenangan militer yang
menentukan.
Rusia dan Amerika kini tengah bermanuver dengan
kekuatan-kekuatan regional lainnya untuk mengorganisir semacam “konferensi
perdamaian” di Jenewa. Namun meskipun konferensi ini digelar, hasilnya tidak
akan melayani kepentingan-kepentingan rakyat Suriah. Di sisi lain, Saudi dan
Qatar membeking kekuatan reaksioner hitam kaum Jihadis. Satu-satunya
kepentingan Amerika adalah mempertahankan kontrol mereka terhadap kawasan ini
dan menangkal bangkitnya pengaruh Iran. Rusia pun sama, hanya berkepentingan
untuk mempertahankan Suriah sebagai sekutu tradisionalnya. Hingga kini mereka
telah mendukung Assad namun mereka cukup siap untuk mengorbankannya dengan
syarat bahwa kepentingan-kepentingan utama Rusia di Suriah dilindungi. Setelah
kegagalan di Irak, baik Rusia dan Amerika (serta sekutu-sekutu “demokratis”
mereka di Eropa) sepakat bahwa negara Suriah harus dipertahankan untuk menjaga
“hukum dan ketertiban”.
Kebuntuan militer ini telah memberikan sebuah peluang bagi
kekuatan-kekuatan luar untuk memperkuat pencarian mereka atas “penyelesaian
melalui perundingan”. Pencairan parsial dalam hubungan antara Washington dan
Teheran yang sebelumnya dingin dan membeku bisa membuka jalan bagi
partisipasi Iran di konferensi perdamaian di Jenewa. Prospek ini telah disambut
dengan suka cita di Damaskus dan Teheran, dan disambut dengan kemarahan di
Israel dan Arab Saudi.
Apa yang dipikirkan oleh rakyat jelata di Suriah mengenai
semua ini tidak akan digubris. Mereka tidak akan hadir di Jenewa, dan pendapat
mereka tidaklah penting bagi semua kekuatan yang terlibat. Satu-satunya jalan
keluar dari kekacauan di Suriah adalah kemenangan revolusi sosialis di satu
negeri kunci di wilayah ini, yang akan mengubah secara dramatis perimbangan
kekuatan-kekuatan kelas. Masa depan Suriah sekarang tergantung pada
peristiwa-peristiwa di luar perbatasannya, yakni pada perkembangan revolusioner
di Turki, Iran, dan terutama, Mesir.
Revolusi Mesir
Revolusi Arab yang luar biasa, yang masih belum selesai,
telah membangkitkan kekuatan akbar berjuta massa. Ini merupakan titik-balik
dalam sejarah dunia. Peristiwa-peristiwa di Timur Tengah akan memberikan
dampak-dampak mendalam baik secara ekonomi maupun politik. Mesir merupakan
negara kunci di dunia Arab. Apa yang terjadi di sana selalu memberikan dampak
rentetan terhadap seluruh dunia Arab dan seluruh kawasan di sana. Revolusi
telah memasuki tahapan baru dengan kebangkitan massa yang menggulingkan Mursi
dan Ikhwanul Muslimin.
Gerakan revolusioner massa yang menggulingkan Mursi telah
membawa 17 juta rakyat turun ke jalanan Mesir. Suatu gerakan dengan dimensi
demikian tidak punya tandingannya dalam sejarah. Kenyataannya, kekuasaan sudah
berada di genggaman tangan massa pada Juni 2013, namun mereka tidak menyadari
hal ini, dan tidak ada seorang pun yang ada untuk menjelaskannya pada mereka.
Masalah pokoknya mudah dinyatakan: massa cukup kuat untuk menggulingkan
pemerintah, namun mereka tidak cukup terorganisir dengan baik dan sadar untuk
merebut kekuasaan yang secara efektif telah mereka genggam di tangan. Sebagai
akibatnya, kesempatan tersebut lewat dan perwira-perwira tentara yang kemudian
melangkah masuk mengisi kekosongan ini.
Tindakan-tindakan angkatan bersenjata secara kasar mirip
dengan tindakan-tindakan Napoleon pada 5 Oktober 1795 di mana dia membubarkan
gerombolan Royalis di jalan-jalan Paris. Pada saat itu, sebagaimana yang
terjadi sekarang, kaum reaksioner membangkitkan sebuah gerakan di jalanan, yang
mana, kalau berhasil, akan menandakan kemenangan kontra-revolusi. Di Mesir,
massa menunjukkan dukungan antusias mereka atas represi terhadap Ikhwanul
Muslimin, yang dengan tepat mereka pandang sebagai kekuatan reaksi hitam. Namun
analogis historis ini punya limitnya. Napoleon bisa berhasil dalam memaksakan
kediktatoran kontra-revolusioner hanya karena massa revolusioner telah
kelelahan. Sebaliknya, di Mesir, revolusi masih punya cukup cadangan kekuatan,
yang menegaskan diri mereka di setiap tahapan menentukan.
Kekuatan Revolusi ditunjukkan oleh lemahnya Ikhwanul
Muslimin (IM) dan ketidakmampuannya untuk mengorganisir respons efektif
terhadap kekalahan Mursi. Hanya di Kairo dan Alexandria saja IM bisa
mengorganisir demonstrasi-demonstrasi besar, bahkan di sana pun mereka
menghadapi oposisi sengit dari massa revolusioner, yang menendang mereka dari
satu pemukiman ke pemukiman lain. Akhirnya, mereka dengan mudah dibubarkan dan
dihantam oleh tentara.
Di tengah absennya partai Marxis revolusioner sejati,
perwira-perwira militer mampu bermanuver, dengan gaya Bonapartis, bersandar ke
massa untuk menghantam Ikhwanul Muslimin, dan di hari berikutnya menangkapi
para pimpinan buruh dan membubarkan pemogokan-pemogokan.
Revolusi merupakan sekolah luas bagi massa yang hanya bisa
belajar melalui pengalaman. Revolusi kedua ada di tingkatan yang lebih tinggi
daripada yang pertama. Hilang sudah semua kelembekan dan kenaifan yang
direpresentasikan dalam slogan-slogan “Kita semua orang Mesir”, sebaliknya ada
semangat revolusioner yang keras dan tak kenal kompromi yang berarti bahwa
keseluruhan proses ini hanya membutuhkan waktu yang pendek dibandingkan 18 hari
revolusi di tahun 2011. Namun penyerahan kekuasaan ke SCAF berarti menyerahkan
kekuasaan kembali ke kelas penguasa yang lama, meskipun kelas penguasa
dari sayap yang berbeda. Ini berarti bahwa massa harus menempuh pelajaran lain
yang keras.
Benar bahwa Al-Sisi itu kontra-revolusioner, sama seperti
Kerensky sang Bonapartis di Rusia pasca Revolusi Februari. Namun Al-Sisi jauh
lebih pintar dibandingkan Mursi. Watak kontra-revolusioner Mursi jelas, namun
peran Al-Sisi masih belum jelas di mata massa, yang memandangnya sebagai
sekutunya. Mereka melihat serangan yang dilakukan tentara terhadap Ikhwanul
Muslimin sebagai aksi revolusioner. Inilah mengapa mereka siap memberi Al-Sisi
waktu, namun kesabaran massa tidak akan bertahan lama tak terbatas. Bahkan
pemerintahan Biblawi, yang ditunjuk oleh Al-Sisi sudah semakin tidak populer.
Setelah pemilu parlemen dan presiden, kritik terhadap
pemerintahan akan tumbuh dan kontradiksi-kontradiksi antara revolusi dan
penguasa-penguasa baru ini akan semakin jelas. Garis bawahnya adalah krisis
ekonomi yang telah mengakibatkan pengangguran massal dan kemiskinan. Masalah
harga sembako dan lapangan pekerjaan terus tak terpecahkan. Jika Al-Sisi maju
di pemilu berikutnya, kemungkinan besar dia akan terpilih dengan mayoritas
besar. Namun begitu ia berkuasa, dia akan dituntut untuk memberikan apa yang
diinginkan buruh, tani, dan kaum pengangguran: pekerjaan, roti, dan rumah.
Namun di atas basis kapitalis, ini semua mustahil. Panggung sedang disiapkan
untuk sebuah periode baru yang penuh topan badai kebangkitan revolusioner.
Lapisan-lapisan baru dan segar terus memasuki gelanggang
perjuangan sepanjang waktu. Lapisan-lapisan yang lama dan letih—termasuk
beberapa yang memainkan peran kepemimpinan di tahapan-tahapan lebih awal—akan
cenderung menyerah, kecewa, dan terdisorientasi oleh peristiwa-peristiwa yang
tidak mereka duga dan tidak mereka pahami. Mereka terus-menerus mengeluh
mengenai “rendahnya tingkat kesadaran” massa. Namun mereka inilah yang
melakukan tindak kriminal membingungkan revolusi dengan kontra-revolusi.
“Kiri-kiri” yang tersesat ini, yang membeokan propaganda
borjuasi dan imperialis, dan yang mencibir gerakan massa yang mengagumkan dan
telah menggulingkan Mursi sebagai suatu “kudeta”, tidak paham apapun. Gerakan
Juni lalu merupakan Revolusi Mesir Kedua. Massa yang menggulingkan rezim
reaksioner Ikhwanul Muslimin yang mereka benci itu merasakan kekuatan kolektif
mereka sendiri, yang belum hilang, dan akan menyediakan landasan bagi ofensif
revolusioner baru di masa yang akan datang. Kita harus berpaling dari
elemen-elemen tua dan terdemoralisasi serta menyambut kaum muda, generasi baru
pejuang yang merepresentasikan masa depan revolusioner.
Iran
Pemilihan Rouhani menandai awal perubahan situasi. Pemilu
tersebut merupakan sebuah tanda jelas bahwa rezim tidak bisa terus berjalan di
jalan yang sama. Gerakan massa 2009 ditindas secara kejam dan ditekan oleh
peningkatan konstan tekanan internal dan perampasan hak-hak demokratis. Krisis
rezim tercermin dalam konflik terbuka antara Ahmadinejad dan Khamenei. Ekonomi
terjerumus dalam krisis mendalam, yang diperparah oleh sanksi-sanksi ekonomi
oleh AS dan UE. Pengangguran, yang sudah tinggi, mencapai tingkat baru.
Kemerosotan mata uang Riyal berarti bahwa inflasi meroket menembus 100%.
Industri, produksi, dan perdagangan mengalami kemacetan.
Jutaan buruh harus menghadapi ledakan harga-harga, sementara
mereka telah dipecat atau bahkan tidak digaji selama berbulan-bulan. Bagi kelas
menengah, ini tidak kalah kacaunya. Keluarga-keluarga yang sebelumnya punya hidup
relatif stabil mendapati dirinya bangkrut dalam semalam, tabungan mereka
terdevaluasi, dan bisnis mereka hancur.
Pemilihan presiden seharusnya berjalan sesuai rencana dan
tidak kontroversial. Namun selama kampanye para capres, yang telah disortir dengan
ketat, ternyata saling menyerang satu sama lain dengan keras. Perpecahan
terbuka di antara kelas penguasa memungkinkan massa mendorong diri mereka
sendiri masuk.
Pertemuan-pertemuan kampanye Hassan Rouhani digunakan
sebagai titik fokus mobilisasi. Masuknya massa mengacaukan semua rencana klik
penguasa. Kaum Mullah terpaksa mengubah jalur. Rouhani merepresentasikan satu
sayap rezim yang menuntut reforma dari atas untuk mencegah revolusi dari bawah.
Rezim terpaksa mengambil sejumlah langkah terbatas untuk mengendorkan
tekanan, khususnya terhadap kaum muda dan kelas menengah. Inilah alasan mengapa
terdapat ada ilusi besar terhadap Rouhani. Namun dengan pelonggaran
masalah-masalah demokratis, masalah-masalah ekonomi akan segera mencuat.
Rezim tengah berupaya mencapai suatu kesepakatan dengan AS,
demi membuka pasar dan memenangkan beberapa konsesi, khususnya dalam
infrastruktur minyak yang melemah. Kesepakatan demikian, bila berhasil dicapai,
tidak akan mengubah situasi umum massa. Satu-satunya cara bagi borjuasi Iran
untuk keluar dari krisis mereka adalah melalui peningkatan penghisapan terhadap
buruh. Namun ini hanyalah menuang minyak ke dalam api. Setiap reforma hanya
akan mendorong buruh dan pemuda untuk mengorganisir diri mereka, yang akan
menyiapkan ledakan-ledakan revolusioner besar di masa depan.
Ruang yang terbuka ini memberikan kesempatan-kesempatan baru
bagi kaum oposisi dan Kiri. Beberapa koran oposisi (bahkan beberapa koran Kiri)
telah mulai muncul. Secara gradual kekuatan oposisi mulai kembali bangkit. Kaum
muda Iran kini terbuka terhadap gagasan-gagasan revolusioner. Benar bahwasanya
terdapat ilusi-ilusi terhadap Rouhani, namun ini tidak akan bertahan lama.
Massa harus menempuh sekolah demokrasi borjuis supaya bisa menarik
kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan, dan pasti mereka akan menarik kesimpulan
demikian.
Kesenjangan Ekonomi dan Konsentrasi Kapital
Prediksi Marx bahwasanya perkembangan Kapitalisme secara tak
terelakkan akan berujung pada konsentrasi kekayaan yang semakin terpusat di
tangan segelintir orang telah sepenuhnya terbukti. “Akumulasi kekayaan di satu
kutub oleh karenanya juga berarti akumulasi penderitaan di kutub yang
berlawanan.” tulisnya di jilid satu Kapital. Itulah situasi yang kita
dapati saat ini. Di manapun terdapat kesenjangan yang meningkat dengan tajam.
Angka-angkanya sangat mengejutkan. Antara tahun 1993 dan
2011, di AS, pendapatan rata-rata meningkat sebesar 13,1%. Namun pendapatan
rata-rata 99% –dengan kata lain semua orang dan keluarga yang pendapatannya
sebesar US$ 370.000 per tahun -- hanya naik sebesar 5,8%. Kesenjangan sebesar
itu menunjukkan betapa banyak yang diraup kaum 1 persen di puncak. Jatah
pekerja dalam pendapatan nasional AS sebesar 62 persen sebelum resesi. Kini
hanya sekitar 59% PDB. Pendapatan rumah tangga rata-rata lebih rendah dibandingkan
sebelum resesi karena meningkatnya kesenjangan.
Adalah suatu paradoks yang sangat mencolok bahwasanya pasar
saham AS telah naik lebih dari 50 persen semenjak krisis; sementara pendapatan
median telah menurun. Kekayaan yang melimpah-ruah menghasilkan kekuasaan
politik: kaum plutokrat bisa membeli koran dan saluran-saluran televisi serta
mendanai kampanye-kampanye politik, partai-partai politik, dan para lobi
politik. Di AS, seseorang harus menjadi seorang jutawan dan harus didukung oleh
banyak jutawan untuk bisa jadi Presiden. Demokrasi bisa dibeli dan dijual
kepada penawar tertinggi.
Mitos mobilitas sosial telah terbongkar. Ia tidak lebih dari
kebohongan yang sinis. Orang tua yang kaya punya anak-anak yang kaya. Kelas
penguasa merupakan elit yang melanggengkan dirinya sendiri dan sepenuhnya
terceraikan dari masyarakat. Akses ke perguruan tinggi kini semakin mahal. Para
sarjana mendapati diri mereka terbebani dengan hutang rata-rata sebesar $25.000
per mahasiswa dan sering tak mampu mendapatkan pekerjaan sesuai pilihan karier
mereka–itu pun kalau mereka bisa menemukan pekerjaan. Tangga kemajuan telah
disingkirkan. Ratusan ribu sarjana universitas bekerja di McDonald’s atau
supermarket. Situasi yang dihadapi kaum muda AS kini secara statistik serupa
dengan yang dihadapi di dunia Arab sebelum ledakan revolusi-revolusi Tunisia
dan Mesir.
Mimpi Amerika telah berubah jadi mimpi buruk Amerika. 47
juta orang Amerika terpaksa menggunakan kupon subsidi makanan (food stamps) agar
mereka bisa makan sampai akhir bulan. Semakin tumbuhnya kemarahan atas
ketidakadilan ini diekspresikan dengan slogan Gerakan Occupy di AS: “Kamilah
kaum 99%”. Bahaya situasi ini jelas bagi para pakar strategi kapital yang
berpandangan jauh.
Jurang Antarkelas
Massa siap untuk berkorban dengan syarat bahwa tujuannya
adil dan pengorbanannya sama bagi semua pihak. Namun tak ada yang mau berkorban
untuk menyelamatkan para bankir, apalagi kalau pengorbanannya tidak setara.
Para bankir mengantongi uang yang diambil dari pembayar pajak (atau katakanlah
pemerintah, karena tak seorang pun yang menanyakan opini para pembayar pajak),
serta menghadiahi diri mereka dengan bonus-bonus besar.
Di tengah krisis, yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin. Credit Suissetelah menerbitkan suatu diagram yang
menunjukkan peningkatan jumlah kekayaan para jutawan (berdasarkan total aset,
pertengahan 2012 hingga pertengahan 2013).
Spanyol: 402.000 (+ 13,2%)
AS: 13.210.000 (+ 14,6%)
Prancis: 2.210.000 (+ 14.9%)
Jerman: 1.730.000 (+ 14,6%)
Inggris: 1.520.000 (+ 8,2%)
Italia: 1.440.000 (+ 9.,%)
Tiongkok: 1.120.000 (+ 8,7%)
Kanada: 993.000 (+ 4,7%)
Laporan lain dari Credit Suisse mempublikasikan
angka-angka menarik menyangkut distribusi kekayaan yang tidak setara. Laporan
ini menunjukkan bagaimana 32 juta orang menguasai $98,7 triliun. Ini berarti
bahwa sebanyak 41 persen kekayaan dunia dikuasai 0,7% total populasi dewasa.
Mereka yang memiliki kekayaan pribadi sebesar $100.000 hingga $1 juta dolar
sebanyak 7,7 persen populasi, menguasai sebanyak $101,8 triliun dan
merepresentasikan 42,3 persen kekayaan dunia.
Sedangkan di kutub ekstrem lainnya, sebanyak 3,2 miliar
orang hanya menguasai $7,3 triliun. Ini berarti bahwa 68,7% populasi dewasa
dunia menguasai hanya 3 persen kekayaan dunia. Ini berarti bahwa kaum terkaya
0,7% dari populasi dewasa dunia memiliki gabungan kekayaan pribadi sebanyak 14
kali lebih besar daripada kaum termiskin 68%. Angka-angka ini membuktikan
prediksi Marx mengenai konsentrasi kapital:
“Akumulasi kekayaan pada satu kutub oleh karenanya juga berarti
akumulasi penderitaan, kesengsaraan perbudakan kerja, keterbelakangan,
brutalitas, degradasi mental, di kutub yang berlawanan, yakni di sisi kelas
yang memproduksi produknya sendiri dalam bentuk kapital.” (Kapital jilid
1, bab 25)
“Ekonomi yang Terkonsentrasi”
Lenin menunjukkan bahwa politik adalah ekonomi yang
terkonsentrasikan. Selama sebuah periode yang panjang, setidaknya di
negeri-negeri kapitalis maju kapitalisme tampaknya “bekerja dengan baik”.
Generasi yang tumbuh besar di AS dan UE selama dekade-dekade setelah Perang
Dunia II menikmati keuntungan kenaikan ekonomi yang tiada tandingannya:
lapangan pekerjaan penuh, naiknya standar hidup, serta reforma-reforma.
Ini merupakan periode klasik reformisme di Eropa. Kapitalis
mampu memberikan reforma-reforma di atas landasan ekonomi yang tumbuh dan
laba-laba besar. Namun kini ini sudah tidak lagi berlaku. Program riil kaum
borjuasi adalah menghapus negara kesejahteraan sepenuhnya, memaksa para
pengangguran untuk bekerja dengan gaji berapa pun. Dengan kata lain, kembali ke
zamannya Marx dan Dickens. Hanya kekuatan buruh yang terorganisir yang bisa
mencegah mereka menjalankan kontra-revolusi sosial ini.
Perspektif ke depan adalah bertahun-tahun pemotongan,
pengetatan anggaran, dan jatuhnya standar hidup. Ini merupakan resep tuntas
untuk perjuangan kelas di mana-mana. Borjuasi menuntut penghapusan hutang,
penyeimbangan anggaran, pemotongan anggaran-anggaran sosial yang “boros”
(dengan kata lain, pembiayaan sekolah, rumah sakit dan pensiun, namun tentu
saja tidak termasuk bailout yang diberikan pada bank-bank). Mereka berargumen,
seperti kaum sofis sejati, bahwa meskipun “dalam jangka pendek” langkah-langkah
tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi signifikan dan kejatuhan tajam dalam
standar hidup (bagi sebagian orang), namun dalam jangka panjang, akan secara
ajaib, menciptakan landasan bagi “pemulihan yang berkesinambungan” – di mana
Keynes akan menjawab: “dalam jangka panjang kita semua akan mati”.
Begitu rawannya situasi ini sehingga apapun bisa memicu
krisis besar. Ini tidak hanya benar dan berlaku dalam ranah ekonomi (lihatlah
penutupan pemerintah di AS dan juga naiknya hutang di Eropa) namun juga di
dalam masyarakat secara keseluruhan. Perjuangan kelas bisa meletus melalui satu
peristiwa atau lainnya (pemogokan para pemadam kebakaran Belgia).
Pertanyaan yang dihadapi oleh kaum borjuasi: bagaimana cara
memerintah dalam situasi krisis demikian? Di banyak negara Eropa, kebuntuan
politik mewujudkan dirinya dalam koalisi tak stabil dan parlemen yang
terkatung-katung. Institusi-institusi demokrasi parlementer telah dites sampai
ke batas-batasnya.
Naiknya angka golput merupakan sebuah fenomena yang
menunjukkan ketidakpuasan yang semakin besar terhadap semua partai yang ada.
Ini tidak terlalu mengejutkan apalagi kalau melihat perilaku para pimpinan
buruh. Bahkan saat mereka berada dalam posisi oposisi, kaum Sosial Demokrat
terus mendukung kebijakan pemotongan dan pengetatan anggaran. Ini ditunjukkan
dengan jelas dalam kasus SDP Swedia, Partai Buruh Inggris, SPD Jerman, PSOE
Spanyol, dan Pasok di Yunani. Inilah yang menimbulkan rasa kecewa dan apatisme.
Di Jerman juga terdapat tendensi golput yang menguat. Merkel
menang pemilu tapi dia tidak memenangkan mayoritas dan membutuhkan SPD sebagai
bagian ‘koalisi besar’ pemerintah. Sebanyak 40% pemilih di Jerman tidak
diwakili oleh partai manapun di parlemen; suara Die Linke jatuh dari 12% ke 9%.
Namun alam membenci kevakuman, dan pembentukan koalisi SPD-CDU berarti bahwa
Die Linke adalah satu-satunya oposisi sejati dan bisa mulai menggalang
dukungan.
Sebagai hasilnya, di beberapa negeri kita menyaksikan
bangkitnya partai-partai baru: Partai Hijau (di Swedia), kaum populis di
Islandia dan Italia (Grillo), “partai-partai bajak laut” (Swedia, Jerman,
Islandia), dan bangkitnya partai-partai ekstrem Kanan (Yunani, Swedia,
Norwegia, Prancis) dan partai anti Uni Eropa UKIP di Inggris. Semua ini
menunjukkan gejolak di masyarakat, kebuntuan yang mendalam, dan ketidakpuasan
terhadap tatanan politik yang ada.
Di Eropa kredibilitas institusi-institusi demokrasi borjuis
semakin terdiskreditkan, khususnya di negeri-negeri yang paling keras dihantam
krisis. Sistem dua partai yang telah mapan (sayap Kanan vs Sosial Demokrasi)
tengah berada dalam krisis. Sebagian dari ketidakpuasan ini digunakan oleh
partai-partai yang lebih Kiri daripada Sosial Demokrasi sebagaimana yang kita
saksikan dengan pertumbuhan SYRIZA, IU, dan FdG di Prancis. Sedangkan di
Italia, di mana partai semacam itu tidak ada, maka “gerakan lima bintang”
Grillo (sebuah gerakan protes borjuis kecil yang bingung) telah mengisi
kekosongan tersebut untuk sementara.
Meskipun demikian, partai-partai ini tidak menyodorkan
alternatif riil terhadap krisis kapitalisme dan dengan demikian tidak tumbuh
secepat yang mereka bisa kalau mereka setidak-tidaknya mencerminkan sebagian
kemarahan masyarakat. Bagaimanapun juga, karena tidak menemukan gaung di
partai-partai reformis, ketidakpuasan massa tercerminkan di arena politik
dengan meningkatnya golput. Di Spanyol, pada tahun 2008, PP dan PSOE menghimpun
sebanyak 83% suara dari total 75% yang memilih (tidak golput). Hari ini jajak pendapat
menunjukkan bahwa hanya ada 50% orang yang akan memilih (tidak golput)
sementara sekitar 50% lainnya menyatakan tidak akan memilih atau tidak tahu
akan memilih siapa.
Sedangkan di Portugal kita menyaksikan situasi serupa muncul
dari pemilihan daerah. Golput meningkat menjadi 550.000; surat suara yang
dirusak atau kosong meningkat dua kali lipat, dengan peningkatan sebesar
170.000. Koalisi sayap Kanan kehilangan 600.000 suara; PS Sosial Demokrat di
pihak “oposisi” kehilangan 270.000; PCP Komunis meraih hanya 13.000 suara;
sementara BE sayap Kiri kehilangan 45.000 suara.
Organisasi-organisasi Massa
Permasalahan pokoknya adalah permasalahan kepemimpinan. Para
pimpinan buruh–baik di partai-partai politik maupun di serikat-serikat,
semuanya hidup di masa lalu. Mereka tidak memahami watak krisis hari ini dan
ingin kembali ke “masa lalu yang indah”. Mereka secara organik tidak mampu
pecah dengan borjuasi dan memimpin perjuangan serius untuk mempertahankan
capaian-capaian masa lalu, apalagi untuk berjuang meningkatkan taraf hidup.
Terdapat perbedaan kontras antara kemarahan membara kelas
pekerja dan kepasifan serta ketidakberdayaan para pemimpinnya. Organisasi
massa, pada umumnya, masihlah berada pada tingkat aktivitas rendah. Dengan
demikian, tidak ada tekanan riil pada para pimpinan untuk mencegahnya semakin
bergeser ke Kanan. Ini adalah tendensi umum di periode terakhir ini. Degenerasi
para pimpinan sudah begitu parahnya. Organisasi-organisasi yang diciptakan oleh
kelas buruh untuk mengubah masyarakat telah menjelma menjadi halangan-halangan
besar untuk transformasi sosial.
Secara historis, ini adalah peran yang dimainkan oleh kaum
Sosial Demokrat untuk mendemoralisasi buruh dan mendorong kelas menengah ke
pelukan reaksi. Setelah sejak lama mencampakkan pretensi mereka dalam
memperjuangkan Sosialisme, mereka kini menghantarkan pidato-pidato mereka untuk
kaum bankir dan kapitalis dengan mengadopsi intonasi yang “moderat” dan
“terhormat”. Mereka mencoba membujuk kelas penguasa bahwa mereka adalah orang
yang cocok untuk menjalankan pemerintah. Demi membuktikan kredibilitas mereka
ke kaum borjuasi sebagai “negarawan-negarawan” yang bisa diandalkan, mereka
bahkan lebih keji dari kaum Konservatif dalam menjalankan kebijakan pemotongan
dan kontra reforma (yang selalu dijalankan di bawah panji “reforma”).
Kaum reformis Kiri yang mendominasi partai-partai Sosialis
di tahun 1970an, telah tereduksi jadi bayang-bayang mereka yang silam. Karena
tidak punya landasan ideologi atau teori yang kuat, ini membuat mereka mengekor
sayap Kanan dengan begitu menyedihkan. Kaum sayap Kanan lebih percaya diri
karena mereka merasa mendapatkan dukungan dari bisnis-bisnis besar. Sebaliknya,
kaum Kiri tidak punya kepercayaan baik terhadap kelas buruh maupun terhadap
diri mereka sendiri. Kaum reformis Kiri di serikat-serikat buruh tidak lebih
baik. Mereka telah gagal bahkan di medan-medan yang paling mendasar untuk
mempertahankan upah, kondisi kerja, dan hak-hak serikat.
Berbagai pemerintahan “Kiri” telah ditolak setelah
menjalankan pemotongan-pemotongan: Spanyol, Islandia, Norwegia, Yunani, dan
Italia. Lainnya telah melihat dukungan mereka merosot dan mungkin kehilangan
kekuasaan mereka di pemilu berikutnya (Denmark, Prancis, Irlandia). Partai
Buruh Irlandia mendapat dukungan yang besar dari rakyat sebelum memasuki sebuah
koalisi borjuis yang menjalankan pemotongan. Dukungannya kemudian ambruk, jatuh
dari 24% ke 4%.
Sementara itu di Yunani, partai Sosialis, Pasok, yang punya
basis massa dan pernah meraih suara mendekati 50%, telah menderita keambrukan
suara akibat menjalankan kebijakan-kebijakan yang didikte oleh kelas penguasa
dan UE. Pemerintahan Pasok kemudian digantikan oleh pemerintahan “nasional”
Papademos, yang kemudian bergabung dengan koalisi sayap Kanan Samaras. Namun
faktor yang paling penting adalah kebangkitan pesat Syriza, yang awalnya
berjuang susah payah untuk mendapatkan 4% atau 5% dan kini bahkan mencapai 30%
di jajak pendapat.
Akan tetapi, organisasi-organisasi massa, bahkan yang paling
bangkrut, pada suatu tahap niscaya akan mencerminkan tekanan massa. Dalam
periode mendatang akan ada pergeseran opini publik yang tajam ke Kiri—dan ke
Kanan. Kita harus siap untuk ini dan menjelaskan signifikansi sesungguhnya.
Dalam mencari sebuah jalan keluar dari krisis, massa akan menguji—dan mencampakkan—partai
dan pemimpin satu demi satu silih berganti. Namun fitur yang konstan adalah
penolakan terhadap siapa pun yang berada di pemerintah untuk menjalankan
program pengetatan anggaran.
Sementara itu di Inggris, terdapat beberapa indikasi bahwa tekanan
dari bawah (khususnya dari serikat-serikat buruh) tengah mendorong Miliband
untuk menjaga jarak dari kaum Tories (Kaum Konservatif) dan Liberal. Miliband,
walaupun dengan ragu-ragu, merefleksikan kemarahan publik yang semakin besar
terhadap konglomerasi dan bank-bank. Begitu berkuasa para pemimpin ini akan
berada di bawah tekanan yang besar baik dari kelas penguasa di satu sisi maupun
massa di sisi lain. Mereka akan tergencet di antara dua batu. Akan terjadi
perpecahan ke Kanan dan Kiri. Dalam beberapa kasus organisasi ini bisa hancur
(PRC di Italia dan kemungkinan Pasok di Yunani). Namun dalam tiap kasus mereka
akan memasuki krisis.
Seiring dengan semakin dalamnya krisis, tendensi-tendensi
Kiri akan mulai terkristalisasi dalam partai-partai buruh massa dan
serikat-serikat buruh. Tendensi Marxis harus mengikuti kehidupan internal
organisasi-organisasi massa dengan dekat dan berjuang untuk memenangkan buruh
serta kaum muda yang bergerak semakin ke Kiri dan yang mencari alternatif.
Namun kemampuan kita untuk mengintervensi secara efektif di
masa depan akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam membangun Tendensi
Marxis hari ini. Mengintervensi gerakan massa dengan 20 atau 50 kader sungguh
berbeda dengan 500 atau 1.000 kader. Kualitas harus ditransformasikan ke dalam
kuantitas, sehingga kuantitas pada gilirannya akan bertransformasi menjadi
kualitas pada tingkatan yang lebih tinggi. Untuk menggerakkan massa, kita perlu
memiliki sebuah tuas, dan tuas tersebut hanya bisa diwujudkan dari tendensi
Marxis yang kuat dan banyak.
Serikat Buruh
Serikat-serikat buruh merupakan organisasi yang paling
mendasar dari kelas buruh. Dalam sebuah krisis, buruh akan merasa membutuhkan
serikat buruh lebih besar dibandingkan dengan periode-periode “normal”. Di
medan industrial telah terjadi sejumlah konflik dan perjuangan yang sangat
radikal ketika para pimpinan serikat buruh memberikan kepemimpinan dalam
wujud pemogokan massa, pemogokan daerah, dan lain sebagainya, di mana
buruh-buruh merespons secara masif. Permasalahannya adalah para pimpinan
serikat buruh sepenuhnya impoten saat dihadapkan dengan krisis kapitalisme
karena mereka tidak punya alternatif lain (selain semacam stimulus Keynesian
yang lunak).
Di Spanyol telah terjadi pemogokan massa para guru di
kepulauan Balearic, yang berlangsung selama tiga minggu dan menarik dukungan
massa rakyat (dengan demonstrasi di Palma yang diikuti sekitar 100.000 orang,
di sebuah pulau dengan populasi total 800.000). Pemogokan tersebut dijalankan
dengan metode-metode perjuangan kelas yang telah hilang dalam periode
sebelumnya: vergadering-vergadering massa, delegasi-delegasi yang dipilih,
dukungan dari para orang tua dan siswa serta dana mogok. Akan tetapi para
pimpinan serikat buruh meninggalkan para guru Balearic ini berjuang sendirian,
dan menolak menyebarkan perjuangan ke sektor lainnya dan ke seluruh Spanyol.
Sehingga gerakan tersebut harus mundur dan mengalami kekalahan karena
keletihan.
Dalam kondisi-kondisi demikian tidak mengejutkan bahwasanya
banyak buruh yang mempertanyakan validitas pemogokan massa 24 jam yang
diserukan secara terisolasi dan tanpa rencana perjuangan berkelanjutan oleh
para pimpinan serikat. Kenyataannya, seruang pemogokan umum digunakan oleh para
pimpinan serikat buruh hanya untuk melepaskan tekanan uap di antara massa
buruh. Di Yunani, senjata pemogokan massa satu hari telah menjadi
kontra-produktif. Seruan-seruan untuk aksi-aksi demikian disambut dengan rasa
skeptisisme buruh yang paham bahwa diperlukan aksi yang lebih drastis. Dalam
situasi seperti di Yunani, yang diperlukan adalah pemogokan massa politis skala
penuh untuk menjatuhkan pemerintah.
Kita menyaksikan akumulasi kemarahan dan ketidakpuasan baik
di front politik maupun front industrial yang sejauh ini tidak menemukan
saluran ekspresi yang jelas. Di Spanyol, Portugal, Yunani, Italia, ratusan ribu
kaum muda dipaksa beremigrasi dan harus hidup di bahwa kondisi yang telah lama
ditinggalkan orang tua mereka.
Terdapat serangan-serangan terus-menerus terhadap sistem
layanan kesehatan dan sistem pendidikan, epidemik pengangguran yang semakin
membesar, skandal penggusuran dan pendudukan kembali terjadi silih berganti dan
beriringan dengan sejumlah besar apartemen dan rumah-rumah yang kosong, semakin
banyaknya orang yang jadi gelandangan dan tidur di jalanan, dan banyak yang
dulunya memandang dirinya sendiri sebagai “kelas menengah” kini terdesak ke
bawah garis kemiskinan, dan sebagainya.
Di bawah kondisi-kondisi seperti ini, lebih dari apapun
juga, buruh memandang serikat-serikat mereka sebagai garis pertahanan mereka
yang pertama. Semua tekanan ini akan muncul ke permukaan, dalam sebuah
kombinasi gerakan protes yang spontan, ledakan-ledakan kemarahan, yang pada
akhirnya akan menimbulkan dampak di organisasi-organisasi massa.
Tahapan-tahapan pertama radikalisasi massa akan tercermin
dalam mogok-mogok kerja, pemogokan-pemogokan massa, dan demonstrasi-demonstrasi
massa. Kita telah menyaksikan hal-hal ini di Yunani, Spanyol, dan Portugal.
Namun akibat kedalaman krisis, aksi-aksi itu saja tidak akan bisa mencegah serangan-serangan
baru terhadap taraf hidup rakyat pekerja.
Bahkan di Belgia di mana aksi militan para pemadam kebakaran
serta pekerja rel, stasiun, dan kereta, memaksa pemerintah untuk mundur, ini
hanya akan menjadi suatu kemenangan sementara. Apa yang diserahkan pemerintah
lewat tangan kiri akan mereka ambil lagi dengan tangan kanan. Di Yunani sudah
terjadi hampir 30 pemogokan massa, namun pemerintah terus menyerang.
Secara gradual, buruh belajar melalui pengalamannya bahwa
diperlukan langkah-langkah yang semakin radikal. Mereka mulai menarik
kesimpulan-kesimpulan revolusioner. Trotsky menjelaskan pentingnya
tuntutan-tuntutan transisional sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran buruh
ke tingkat yang dituntut oleh sejarah. Namun ia juga menunjukkan bahwa dalam
sebuah krisis yang dalam, tuntutan-tuntutan demikian tidaklah cukup:
“Tentu saja upah relatif dan pertahanan diri buruh tidaklah
cukup. Ini hanyalah langkah-langkah awal yang diperlukan untuk melindungi buruh
dari kelaparan dan dari pisau-pisau fasis. Langkah-langkah ini merupakan alat
pertahanan diri yang mendesak dan diperlukan. Namun itu saja tidak akan
memecahkan permasalahan. Tugas utamanya adalah membuka jalan menuju suatu
sistem ekonomi yang lebih baik, dan penggunaan tenaga-tenaga produktif yang
lebih adil, rasional, dan layak, demi kepentingan semua rakyat.
“Ini tidak bisa dicapai melalui metode-metode serikat buruh
yang biasa, “normal”, dan rutin. Kalian tidak bisa tidak setuju dengan ini,
karena dalam kondisi-kondisi kemunduran kapitalis serikat-serikat buruh yang
terisolasi ternyata tidak mampu bahkan untuk menghentikan kemerosotan
kondisi-kondisi buruh. Kita memerlukan metode-metode yang lebih tegas dan
mendalam. Kaum borjuasi yang menguasai alat-alat produksi dan kekuasaan negara
telah membawa seluruh ekonomi ke dalam kekacauan total. Kita harus menyatakan
bahwa borjuasi telah bangkrut dan mentransfer ekonomi ke tangan-tangan yang
segar dan jujur, yaitu, tangan-tangan buruh itu sendiri”. (Trotsky, Diskusi
dengan Aktivis CIO, 29 September 1938)
Peran Kaum Muda
Salah satu ciri utama situasi saat ini adalah tingkat
pengangguran dan semi pengangguran yang tinggi dan tidak beranjak pergi,
khususnya di antara kaum muda. Ini bukanlah tentara cadangan pengangguran yang
disebut oleh Marx. Ini merupakan pengangguran terstruktur permanen,
pengangguran organik laksana bisul beracun yang menggerogoti organ-organ tubuh
masyarakat dan merusaknya dari dalam.
Dampak terburuk dari pengangguran ditemui di antara kaum
muda, yang menanggung beban terberat krisis kapitalis. Harapan dan cita-cita
kaum muda membentur penghalang yang tak bisa ditembusnya. Ini semakin tak
tertanggungkan ketika semakin banyak pengangguran adalah orang-orang yang
sangat terpelajar. Ini menciptakan situasi yang mudah terbakar dan meledak..
Generasi sekarang adalah generasi pertama kaum muda yang
tidak akan bisa mengharapkan standar hidup yang lebih baik dibandingkan orang
tuanya. Masa depan mereka telah dirampok, seluruh generasi pemuda dikorbankan
sebagai tumbal di altar Kapital. Antara Brszil dan Turki, tentu saja, ada
perbedaan-perbedaan. Namun juga ada fitur umum yang menyebabkan ledakan sosial.
Fitur yang sama ini juga akan menyulut protes-protes serupa di mana-mana. Satu
faktor penting adalah pengangguran kaum muda.
Fenomena ini tidak terbatas pada negara-negara paling miskin
di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia. Pengangguran dan kemiskinan merupakan
sebuah kombinasi eksplosif yang bisa tersulut kapan pun juga dan di negara
manapun juga. Pengangguran kaum muda merupakan faktor besar dalam Revolusi Arab.
Tingkat-tingkat pengangguran yang tinggi di Eropa bisa memiliki dampak
radikalisasi yang serupa. Bahkan radikalisasi pemuda sudah menjadi fenomena
umum di seluruh Eropa.
Di Inggris, ada gelombang radikalisasi di antara mahasiswa
diikuti dengan ledakan kerusuhan oleh pemuda pengangguran di kota-kota besar
yang mengguncang penguasa. Di Yunani, gerakan-gerakan besar kelas buruh juga
diawali oleh gerakan besar para siswa sekolah. Di Spanyol dan AS kita
menyaksikan gerakan Indignados dan Occupy, yang mayoritas partisipannya adalah
pemuda. Terdapat banyak contoh serupa dalam sejarah. Revolusi 1905 di Rusia
diawali oleh demonstrasi mahasiswa pada tahun 1900 dan 1901. May Day di Prancis
pada 1968 dipicu oleh demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang direpresi polisi
secara brutal.
Lenin mengatakan: “Mereka yang memiliki kaum muda memiliki
masa depan”. Kita harus menemukan jalan ke kaum muda dengan segala cara dan
memberikan ekspresi yang sadar dan terorganisir kepada naluri mereka untuk
melawan ketidakadilan dan penindasan serta membangun sebuah dunia yang lebih
baik. Keberhasilan atau kegagalan IMT bergantung banyak pada kemampuan kita
untuk melakukan ini.
Apakah Kondisi-Kondisi Sudah Matang untuk Revolusi?
Kita tengah memasuki situasi yang sepenuhnya baru di skala global.
Hal ini jelas dari berbagai peristiwa dalam 12 bulan terakhir saja. Asap-asap
dari gas air mata memenuhi jalanan Istanbul. Pentungan-pentungan polisi
meretakkan tengkorak-tengkorak di Sao Paolo dan 17 juta orang menggulingkan
presiden Mesir. Protes-protes telah meletus di Bulgaria. Semua ini cuma awal
dari gelombang ketidakpuasan yang tengah berkembang di dunia, yang dipenuhi
dengan potensi-potensi revolusioner.
Dialektika mengajarkan pada kita bahwa cepat atau lambat
segala sesuatu akan berubah menjadi kebalikannya. Hukum dialektika telah
terbukti oleh berbagai peristiwa dalam dua belas bulan terakhir. Mari kita
ingatkan diri kita sendiri bahwasanya Turki dan Brasil belum lama ini dilihat
sebagai pemimpin emerging economies. Kemungkinan kebangkitan revolusioner
di negeri-negeri tersebut bahkan tidak terbayang di kepala dan benak para ahli
strategi kapital. Sama tidak terbayangkannya dengan kemungkinan penggulingan
revolusioner Mubarak di Mesir atau Ben Ali di Tunisia.
Kaum sinis dan kaum skeptis bisa ditemukan dalam jumlah
cukup banyak di mana-mana. Mereka adalah sisa-sisa kekalahan masa silam,
orang-orang yang menjadi tua secara prematur, yang telah kehilangan
kepercayaannya terhadap kelas buruh, Sosialisme, dan diri mereka sendiri. Kaum
sinis profesional ini mengais eksistensi yang menyedihkan di tepi-tepi gerakan
buru, dan terkadang di dalamnya. Tujuan utama dalam hidup mereka adalah untuk
mengeluh dan menggerutu mengenai buruh dan kaum muda, serta mengerdilkan
capaian-capaian mereka, dan membesar-besarkan kesalahan-kesalahan mereka.
Spesies serupa bisa ditemukan juga di antara bekas-bekas
Stalinis. Karena mereka telah sejak lama mencampakkan semua harapan atas
Revolusi Sosialis, makhluk-makhluk hina ini hanya peduli dengan satu hal:
menyebarkan pesimisme dan skeptisisme beracun mereka ke kaum muda, mematahkan
semangatnya dan menghalangi mereka dari berpartisipasi dalam gerakan
revolusioner.
Orang-orang ini, yang dideskripsikan dengan tepat oleh
Trotsky sebagai kaum skeptis yang sudah membusuk, menyatakan bahwa kelas buruh
tidak siap untuk Sosialisme, kondisi-kondisinya belum matang, dan lain
sebagainya. Tak perlu diomongkan lagi bahwa bagi orang-orang demikian
kondisi-kondisi bagi Sosialisme memang tidak akan pernah matang. Setelah
menetapkan standar-standar mustahil untuk “kematangan” revolusioner di kepala
mereka, mereka kemudian bisa duduk santai dan tidak melakukan apapun.
Kita perlu menggarisbawahi gagasan fundamental bahwa ciri
utama revolusi adalah masuknya massa ke panggung sejarah. Pada tahun 1938,
Trotsky menulis:
“Semua celoteh mengenai kondisi-kondisi historis belum
‘matang’ untuk sosialisme adalah produk ketidakpedulian atau tipu daya secara
sadar. Syarat-syarat obyektif untuk revolusi proletar bukan saja sudah
‘matang’; bahkan dalam beberapa tingkatan sudah mulai membusuk. Tanpa sebuah
revolusi sosialis di periode historis berikutnya maka sebuah malapetaka akan
mengancam seluruh budaya dan peradaban manusia. Sekarang adalah gilirannya
proletariat, yaitu, khususnya kaum pelopor revolusionernya. Krisis historis
umat manusia dapat dirangkum menjadi krisis kepemimpinan revolusioner”
(Trotsky, Program Transisional, Mei-Juni 1938).
Baris-baris di atas sepenuhnya relevan dengan situasi
terkini di skala dunia, seakan-akan baru ditulis kemarin!
Kami menentang kaum sinis dan skeptis yang menyangkal peran
revolusioner kaum proletariat. Kami selalu mengedepankan potensi-potensi
revolusioner kaum buruh dan kaum muda, yang secara terus-menerus terbukti oleh
berbagai peristiwa. Gerakan revolusioner yang hebat di Turki, Brasil, dan
Mesir, pemogokan-pemogokan massa di Yunani dan Spanyol. gerakan massa di
Portugal yang hampir menggulingkan pemerintahan, pemogokan-pemogokan massa di
India dan Indonesia, semua ini merupakan indikasi jelas bahwa revolusi sosialis
dunia telah dimulai.
Namun kenyataan bahwa sebuah revolusi telah dimulai tidak
berarti revolusi ini akan berhasil dengan seketika. Ini bergantung pada banyak
faktor, di mana faktor paling pentingnya adalah kualitas kepemimpinan. Hegel
menulis:
“Ketika kita ingin melihat pohon ek dengan semua daya hidup
tubuhnya, cabang-cabangnya yang panjang, dedaunannya yang rimbun, kita tidak
akan puas kalau hanya diberikan benih ek.” (Hegel, Fenomenologi Pikiran, Kata
Pengantar)
Apa yang kita lihat sekarang hanyalah antisipasi awal dari
revolusi sosial. Massa baru bangkit kembali setelah sebuah periode panjang di
mana perjuangan kelas telah ditumpulkan di banyak negeri. Seorang atlet,
setelah tidak aktif cukup lama, tentu butuh waktu untuk merenggangkan ototnya,
untuk “pemanasan” dan belajar kembali kemampuan yang diperlukan untuk terjun ke
aktivitas-aktivitas yang lebih serius. Sama halnya dengan kelas buruh yang
butuh waktu untuk meraih pengalaman yang diperlukan untuk menaikkan dirinya
sendiri ke tingkat yang dituntut oleh sejarah.
Secara umum massa belajar dari pengalaman. Terkadang proses
ini berlangsung dengan menyakitkan dan selalu perlahan. Proses pembelajaran ini
akan berjalan dengan lebih cepat dan mulus bila ada sebuah partai Marxis yang
kuat dengan kepemimpinan berpandangan jauh seperti partainya Lenin dan Trotsky.
Bilamana ada Partai Bolshevik di Mesir Juni lalu, tak ada yang bisa membantah
bahwa buruh dan kaum muda revolusioner sudah pasti merebut kekuasaan dengan
mudah.
Para diplomat Eropa berbicara dengan suram mengenai “krisis
demokrasi”, dan kenyataannya institusi-institusi demokrasi borjuis memang
sedang diuji hingga limitnya. Di pemerintahan-pemerintahan Eropa, khususnya di
Berlin, ada kekhawatiran besar bahwasanya penerapan pengetatan anggaran akan
mengakibatkan konflik sosial yang dapat menjadi ancaman bagi tatanan sosial
yang ada.
Alasan sesungguhnya mengapa kaum borjuasi begitu ketakutan
atas penggulingan Mursi di Mesir adalah karena mereka takut bahwa hal demikian
bisa terjadi di Eropa. FT telah menarik paralel yang menggelisahkan
borjuasi dengan tahun 1848: “Ini [...] mengingatkan saya—pada 1848. Dari
jendela Metternich mencibir gerombolan massa yang tidak relevan, beberapa jam
sebelum penggulingannya, Guizot yang kaget bahkan tidak bisa bernafas saat dia
mengundurkan diri dari kementrian, Thiers, sang perdana menteri pada suatu
ketika, menderita Tourette abad ke-19 karena didesak terus oleh massa…”
Para pakar ekonomi borjuis mengakui bahwa perspektif ke
depan bagi kapitalisme adalah dua puluh tahun pengetatan anggaran. Ini berarti
dua dekade perjuangan kelas yang terus meningkat, dengan pasang naik dan pasang
surut yang tak terhindarkan. Momen-momen kebangkitan besar akan diikuti dengan
periode-periode kelelahan, kekecewaan, disorientasi, kekalahan, bahkan reaksi.
Namun dalam iklim saat ini, setiap keredaan hanya akan menjadi pengantar bagi
perjuangan-perjuangan baru yang lebih meledak-ledak. Cepat atau lambat, di satu
negeri atau yang lainnya, masalah kekuasaan akan dikedepankan. Pertanyaannya
adalah, apakah dalam momen-momen menentukan ini, faktor subyektif akan cukup
kuat untuk memberikan kepemimpinan yang diperlukan.
Tekanan-tekanan yang tak tertahankan terus menumpuk di semua
tingkatan. Sumber kebuntuan umum di masyarakat bukan hanya dari faktor-faktor
ekonomi saja: pengangguran dan merosotnya standar hidup. Ini mencerminkan
kemuakan terhadap semua institusi masyarakat kapitalis yang ada: para politisi,
Gereja, media, bank-bank, polisi, sistem legal, dan sebagainya. Ini juga
dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa internasional (Irak, Afghanistan, Suriah,
dan sebagainya).
Memang kondisi-kondisinya berbeda dari satu tempat ke tempat
lainnya. Misalnya, situasi di Yunani lebih maju dibandingkan Jerman. Namun di
mana-mana, tidak jauh dari permukaan, ada perasaan ketidakpuasan yang tengah
mendidih, sebuah perasaan bahwasanya ada yang sangat salah di masyarakat ini,
bahwa ini tidak bisa lagi ditolerir, dan partai-partai dan para pimpinan yang
ada tidak mewakili kita. Kondisi-kondisi obyektif untuk Revolusi Sosialis telah
matang, atau mematang dengan sangat pesat. Namun faktor subyektifnya tidak ada.
Sebagaimana yang dikatakan Trotsky jauh-jauh hari, permasalahannya adalah
permasalahan kepemimpinan.
Karena berbagai alasan historis, gerakan telah terdesak
mundur, kekuatan-kekuatan Marxisme yang sejati telah terpukul menjadi sebuah
minoritas kecil yang terisolasi dari massa. Inilah problem pokok dan
kontradiksi pokok yang harus dipecahkan. Kita harus merekrut kader-kader yang
dibutuhkan dan melatihnya serta mengintegrasikan mereka ke dalam organisasi,
dan mengarahkan mereka ke organisasi-organisasi massa buruh.
Ini membutuhkan waktu. Kita akan punya waktu yang cukup
banyak proses revolusi yang lambat ini. Namun kita tidak punya waktu selamanya.
Kita harus melaksanakan tugas-tugas membangun kekuatan Marxisme dengan rasa
urgensi, memahami bahwa jalan menuju kemenangan besar di masa depan disiapkan
oleh serangkaian keberhasilan kecil di masa kini. Kita memiliki gagasan yang
tepat. Perspektif kita secara brilian telah terbukti oleh serangkaian
peristiwa. Sekarang kita harus mengusung gagasan ini ke kelas buruh dan kaum
muda. Jalan menuju buruh dan kaum muda terbuka lebar. Mari kita melangkah maju
dengan penuh kepercayaan diri.
Maju terus menuju pembangunan Tendensi Marxis Internasional
(International MarxistTendency, IMT)!
Hidup Revolusi Sosialis dunia!
Catatan: Diterjemahkan oleh bumirakyat dan disunting
selanjutnya oleh tangankirinyaindonesia sesuai dengan dokumen draf bahasa
Inggris.