Meskipun usiaku masih berkepala
dua, namun aku cukup mengenal sejarah pergerakan di Indonesia. Selain karena
senang membaca berbagai literature dan filsafat sosial-politik, terutama sekali
pergaulanku selama hampir 10 tahun ini adalah bersama dengan beberapa tokoh
pergerakan Indonesia, era 70-an hingga 90-an.
Tokoh pergerakan itu, bukanlah
orang-orang yang secara instan muncul dalam percaturan politik pergerakan di
Indonesia, melainkan dia yang telah di tempa bertahun-tahun baik dalam kaderisasi
serikat-serikat dan yang dilahirkan oleh “rasa sakit” rakyat terhadap
pemerintahan intoleran dan “undemokrasi” rakyat.
Saat ini aku bertempat tinggal di
Jakarta. Ibukota negara Indonesia yang menjadi etalase dunia, menjadi wajah
Indonesia di pergaulan international. Bukan karena tempat berkumpulnya semua
suku-agama-ras dan magnet bagi para pencari kerja saja, namun lebih dalam lagi,
Jakarta adalah sentra kebijakan nasional dirancang, diperdebatkan dan
diberlakukan. Sehingga tidak bisa kita menempatkan Jakarta hanya sebagai
kotanya orang betawi, sebuah kota di barat pulau Jawa, kota besar dan terpisah
dengan kota-kota lain di Indonesia. Tidak! Jakarta adalah milik seluruh bangsa
Indonesia. bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras yang
bersepakat membangun persatuan membentuk negara merdeka untuk kemerdekaan
rakyat. Bhinneka tunggal ika, Tan hana dharma mangwra!
Berbagai peristiwa penting yang
menentukan arah berjalannya negeri “bangsa garuda” banyak terjadi di Jakarta. Mulai
dari Proklamasi kemerdekaan 1945, terbentuknya pemerintahan rakyat Indonesia menentang
imperialisme barat, kelahiran Orde baru hingga tumbangnya disertai gerakan Reformasi
1998 yang dipelopori mahasiswa, terjadi di Jakarta. Namun masih ada satu hal
yang belum berubah dari peristiwa-peristiwa lintas generasi itu. Yakni, mental
budak-inlander, yang menghamba kepada kekuasaan modal negara-bangsa lain-kepentingan
negara-bangsa lain. Mengkhianati prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma
Mangwra-berbedalah namun satu jua, tidak ada pengabdian yang mendua selain
kepada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Suatu malam, Aku berkesempatan
berdiskusi “tak langsung” dengan salah satu tokoh pergerakan dari Jawa timur
mengenai Jakarta hari ini. Mahmud de biasa dia dipanggil rekan sejawatnya. Walaupun
bertempat di jawa timur, namun semestinya seorang pejuang rakyat, dia pun
memikirkan dan terlibat dalam berbagai aksi untuk kepentingan nasional-rakyat
Indonesia. Secara prinsip, pandangannya tentang Jakarta sejalan dengan apa yang
kumaksud dengan Jakarta adalah kota strategis bagi kepentingan nasional. Artinya,
menguasakan Jakarta sebagai kota di tangan rakyat, akan menentukan tercapainya
satu langkah menuju kedaulatan rakyat di seluruh Indonesia. namun sebaliknya,
menyerahkan Jakarta kepada kaum penghamba kekuasaan modal negara-bangsa lain,
akan menentukan satu langkah terwujudnya bencana kehancuran bangsa yang telah
71 tahun merayakan Proklamasi kemerdekaannya ini.
Aku memperkirakan selisih umurku
dengan bung Mahmud ada di kisaran angka 10-20 tahunan. Tentu dia lebih tua
dariku. Secara empirik, banyak hal yang bisa ku ambil pelajaran darinya. Dalam paparannya,
bung Mahmud menilai bahwa kaum pergerakan pasca Reformasi 1998 kehilangan nilai
perjuangan dan jati diri perjuangannya. Babak akhir tumbangnya Orde baru 98
silam, bukannya di gunakan untuk memulai kembali melangkah di program strategis
nasional sesuai cita-cita kemerdekaan Indonesia, yang tertuang dalam pembukaan
undang-undang dasar 1945, namun kaum pergerakan di era Reformasi itu justru
berebut tempat di lingkaran elite, “memperbaiki nasib” hidupnya yang selaras
dengan kesengsaraan rakyat saat menjadi aktivis dulu dan mencabut diri dari
pergumulan rakyat miskin-dimiskinkan dan tertindas-ditindas.
Lihat saja Jakarta kini, menuju
pertarungan politik di Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017 nanti, dikotomi yang
terbentuk bukanlah mengenai nilai kepentingan ideologis rakyat. Namun blok
antara pendukung calon popular dan non-popular. Dan itu melibatkan “mantan”
kaum pergerakan di dalamnya, dari yang era Orba hingga generasi muda yang mengaku
sebagai “perwakilan” aktivis 1998. Banyak
dari mereka berada di dalam tim calon-calon popular yang saat ini bertempur
mempersoalkan perbedaan SARA (suku, agama, ras), “melupakan” semangat dan makna
Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip terbentuknya negara Indonesia merdeka.
Alasan kaum “aktivis
momentumental” ini mendukung calon popular, tak lain adalah tentang uang,
tentang perjuangan politik sebagai profesi mencari uang, meneguhkan dirinya
sebagai inlander-alat-agennya kaum kapitalis-penindas rakyat. Pilihan dan sikap
politiknya kemudian adalah mengenai bagus-tidaknya (secara fisik) seorang
kandidat pemimpin, bukan mengenai benar-tidaknya (secara nilai prinsip
kerakyatan) tindakan seorang kandidat pemimpin daerah itu.
Mayoritas calon kandidat untuk
Pilgub DKI Jakarta 2017 di mata bung Mahmud hanyalah berkedok popularitas saja,
tidak pernah terbukti keberpihakannya terhadap rakyat. Namun, menurut bung
Mahmud, ada satu calon kandidat yang berbeda, calon itu lahir dan dibesarkan
dari pergerakan rakyat. Edysa girsang namanya, akrab disapa Eq. seorang aktivis
pendiri Forkot dan Frontjak di kisaran pergerakan 1998 silam. Tetapi sayangnya,
menurut bung Mahmud, pertarungan Eq dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 tidak di
dukung rekan sejawatnya dulu sesama aktivis 1998. Eq ditinggalkan rekan
sejawatnya yang “menjual idealism” perjuangan rakyat kepada para calon popular.
Aku mengutip pernyataan bung Mahmud
kepada para kaum “aktivis momentumental” di tim calon popular itu. “Teman-temanku
di lingkaran kontesasi Pilkada Jakarta dan pemerintahan, contohlah Eq, maju
sebagai calon DKI 1 namun tetap anti money politik. Dimana dan kemana para
aktivis DKI yang lain? Katanya menolak demokrasi uang? Kenapa masih memilih
mereka yang mantan pejabat, mantan penguasa, konglomerat, Orbais dan
sebagainya. Katanya menolak Ahok yang “konglo podomoro”? kenapa tidak satupun
kalian aktivis DKI yang memberikan support kepada Eq, seorang yang jelas
darah-keringatnya bersama kalian memperjuangkan hak rakyat puluhan tahun silam?.
Hingga sekarang, Eq masih konsisten, mendampingi warga memperjuangkan hak yang
dirampas negara-alat kaum penindas, gerakannya jelas, bukan hanya kirim surat
ke elite politik pragmatis. Ini sejatinya sudah jelas didepan mata yang “lengkap”
prasyaratnya. Kenapa masih tetap memilih yang 11-12 dengan Ahok yang saat ini
dibenci rakyat Jakarta? Aku bertanya-tanya, katanya menginginkan perubahan?atau
ternyata hanya mau nitip badan aktivis yang sudah kelelahan?.”
Kudalami maksud pernyataan bung
Mahmud itu. Begitu satir, dia tidak sekalipun bermaksud “membunuh” rekan
sejawatnya kaum pergerakan. Aku mengilustrasikan bung Mahmud dengan
pernyataannya itu, adalah sebagai seorang teman yang membawa cermin untuk
dihadapkan ke muka temannya, agar teman-temannya dapat melihat noda ludah
kering yang berceceran di wajahnya.
Sesaat setelah kudapat makna
pernyataan bung Mahmud itu, segera aku berjanji akan menuliskannya untuk disebar
luaskan kepada seluruh “Teman berjuang” di Jakarta. Inilah penuntun refleksi
itu, dariku untuk “teman berjuang” hingga “kawan seperjuangan” Indonesia. aku
adalah tangan kirinya Indonesia, aku adalah sayap kirinya burung garuda
Pancasila dan aku adalah warna merahnya bendera Indonesia.