Saturday, August 20, 2016

Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pertaruhan Kedaulatan Bangsa (merdeka)

Meskipun usiaku masih berkepala dua, namun aku cukup mengenal sejarah pergerakan di Indonesia. Selain karena senang membaca berbagai literature dan filsafat sosial-politik, terutama sekali pergaulanku selama hampir 10 tahun ini adalah bersama dengan beberapa tokoh pergerakan Indonesia, era 70-an hingga 90-an.
Tokoh pergerakan itu, bukanlah orang-orang yang secara instan muncul dalam percaturan politik pergerakan di Indonesia, melainkan dia yang telah di tempa bertahun-tahun baik dalam kaderisasi serikat-serikat dan yang dilahirkan oleh “rasa sakit” rakyat terhadap pemerintahan intoleran dan “undemokrasi” rakyat.
Saat ini aku bertempat tinggal di Jakarta. Ibukota negara Indonesia yang menjadi etalase dunia, menjadi wajah Indonesia di pergaulan international. Bukan karena tempat berkumpulnya semua suku-agama-ras dan magnet bagi para pencari kerja saja, namun lebih dalam lagi, Jakarta adalah sentra kebijakan nasional dirancang, diperdebatkan dan diberlakukan. Sehingga tidak bisa kita menempatkan Jakarta hanya sebagai kotanya orang betawi, sebuah kota di barat pulau Jawa, kota besar dan terpisah dengan kota-kota lain di Indonesia. Tidak! Jakarta adalah milik seluruh bangsa Indonesia. bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras yang bersepakat membangun persatuan membentuk negara merdeka untuk kemerdekaan rakyat. Bhinneka tunggal ika, Tan hana dharma mangwra!
Berbagai peristiwa penting yang menentukan arah berjalannya negeri “bangsa garuda” banyak terjadi di Jakarta. Mulai dari Proklamasi kemerdekaan 1945, terbentuknya pemerintahan rakyat Indonesia menentang imperialisme barat, kelahiran Orde baru hingga tumbangnya disertai gerakan Reformasi 1998 yang dipelopori mahasiswa, terjadi di Jakarta. Namun masih ada satu hal yang belum berubah dari peristiwa-peristiwa lintas generasi itu. Yakni, mental budak-inlander, yang menghamba kepada kekuasaan modal negara-bangsa lain-kepentingan negara-bangsa lain. Mengkhianati prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangwra-berbedalah namun satu jua, tidak ada pengabdian yang mendua selain kepada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Suatu malam, Aku berkesempatan berdiskusi “tak langsung” dengan salah satu tokoh pergerakan dari Jawa timur mengenai Jakarta hari ini. Mahmud de biasa dia dipanggil rekan sejawatnya. Walaupun bertempat di jawa timur, namun semestinya seorang pejuang rakyat, dia pun memikirkan dan terlibat dalam berbagai aksi untuk kepentingan nasional-rakyat Indonesia. Secara prinsip, pandangannya tentang Jakarta sejalan dengan apa yang kumaksud dengan Jakarta adalah kota strategis bagi kepentingan nasional. Artinya, menguasakan Jakarta sebagai kota di tangan rakyat, akan menentukan tercapainya satu langkah menuju kedaulatan rakyat di seluruh Indonesia. namun sebaliknya, menyerahkan Jakarta kepada kaum penghamba kekuasaan modal negara-bangsa lain, akan menentukan satu langkah terwujudnya bencana kehancuran bangsa yang telah 71 tahun merayakan Proklamasi kemerdekaannya ini.
Aku memperkirakan selisih umurku dengan bung Mahmud ada di kisaran angka 10-20 tahunan. Tentu dia lebih tua dariku. Secara empirik, banyak hal yang bisa ku ambil pelajaran darinya. Dalam paparannya, bung Mahmud menilai bahwa kaum pergerakan pasca Reformasi 1998 kehilangan nilai perjuangan dan jati diri perjuangannya. Babak akhir tumbangnya Orde baru 98 silam, bukannya di gunakan untuk memulai kembali melangkah di program strategis nasional sesuai cita-cita kemerdekaan Indonesia, yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, namun kaum pergerakan di era Reformasi itu justru berebut tempat di lingkaran elite, “memperbaiki nasib” hidupnya yang selaras dengan kesengsaraan rakyat saat menjadi aktivis dulu dan mencabut diri dari pergumulan rakyat miskin-dimiskinkan dan tertindas-ditindas.
Lihat saja Jakarta kini, menuju pertarungan politik di Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017 nanti, dikotomi yang terbentuk bukanlah mengenai nilai kepentingan ideologis rakyat. Namun blok antara pendukung calon popular dan non-popular. Dan itu melibatkan “mantan” kaum pergerakan di dalamnya, dari yang era Orba hingga generasi muda yang mengaku  sebagai “perwakilan” aktivis 1998. Banyak dari mereka berada di dalam tim calon-calon popular yang saat ini bertempur mempersoalkan perbedaan SARA (suku, agama, ras), “melupakan” semangat dan makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip terbentuknya negara Indonesia merdeka.
Alasan kaum “aktivis momentumental” ini mendukung calon popular, tak lain adalah tentang uang, tentang perjuangan politik sebagai profesi mencari uang, meneguhkan dirinya sebagai inlander-alat-agennya kaum kapitalis-penindas rakyat. Pilihan dan sikap politiknya kemudian adalah mengenai bagus-tidaknya (secara fisik) seorang kandidat pemimpin, bukan mengenai benar-tidaknya (secara nilai prinsip kerakyatan) tindakan seorang kandidat pemimpin daerah itu.
Mayoritas calon kandidat untuk Pilgub DKI Jakarta 2017 di mata bung Mahmud hanyalah berkedok popularitas saja, tidak pernah terbukti keberpihakannya terhadap rakyat. Namun, menurut bung Mahmud, ada satu calon kandidat yang berbeda, calon itu lahir dan dibesarkan dari pergerakan rakyat. Edysa girsang namanya, akrab disapa Eq. seorang aktivis pendiri Forkot dan Frontjak di kisaran pergerakan 1998 silam. Tetapi sayangnya, menurut bung Mahmud, pertarungan Eq dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 tidak di dukung rekan sejawatnya dulu sesama aktivis 1998. Eq ditinggalkan rekan sejawatnya yang “menjual idealism” perjuangan rakyat kepada para calon popular.
Aku mengutip pernyataan bung Mahmud kepada para kaum “aktivis momentumental” di tim calon popular itu. “Teman-temanku di lingkaran kontesasi Pilkada Jakarta dan pemerintahan, contohlah Eq, maju sebagai calon DKI 1 namun tetap anti money politik. Dimana dan kemana para aktivis DKI yang lain? Katanya menolak demokrasi uang? Kenapa masih memilih mereka yang mantan pejabat, mantan penguasa, konglomerat, Orbais dan sebagainya. Katanya menolak Ahok yang “konglo podomoro”? kenapa tidak satupun kalian aktivis DKI yang memberikan support kepada Eq, seorang yang jelas darah-keringatnya bersama kalian memperjuangkan hak rakyat puluhan tahun silam?. Hingga sekarang, Eq masih konsisten, mendampingi warga memperjuangkan hak yang dirampas negara-alat kaum penindas, gerakannya jelas, bukan hanya kirim surat ke elite politik pragmatis. Ini sejatinya sudah jelas didepan mata yang “lengkap” prasyaratnya. Kenapa masih tetap memilih yang 11-12 dengan Ahok yang saat ini dibenci rakyat Jakarta? Aku bertanya-tanya, katanya menginginkan perubahan?atau ternyata hanya mau nitip badan aktivis yang sudah kelelahan?.”
Kudalami maksud pernyataan bung Mahmud itu. Begitu satir, dia tidak sekalipun bermaksud “membunuh” rekan sejawatnya kaum pergerakan. Aku mengilustrasikan bung Mahmud dengan pernyataannya itu, adalah sebagai seorang teman yang membawa cermin untuk dihadapkan ke muka temannya, agar teman-temannya dapat melihat noda ludah kering yang berceceran di wajahnya.
Sesaat setelah kudapat makna pernyataan bung Mahmud itu, segera aku berjanji akan menuliskannya untuk disebar luaskan kepada seluruh “Teman berjuang” di Jakarta. Inilah penuntun refleksi itu, dariku untuk “teman berjuang” hingga “kawan seperjuangan” Indonesia. aku adalah tangan kirinya Indonesia, aku adalah sayap kirinya burung garuda Pancasila dan aku adalah warna merahnya bendera Indonesia.  

Baca Selengkapnya

Wednesday, August 17, 2016

Seruan di tanggal 17 Agustus 2016

Negara Indonesia yang kita cintai telah memasuki usia 71 tahun sejak berdirinya pada 17 Agustus 1945 silam. Negara yang berdiri atas perjuangan bersejarah selama ratusan tahun telah berdiri kukuh dengan nama republic Indonesia!

Dengan semangat membara para pemuda revolusioner kita, para founding father kita telah mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu kemerdekaan yang di idam-idamkan seluruh rakyat tertindas! Menyambut dengan sorak sorai bergembira datangnya hari kemenangan rakyat atas penjajahan yang terjadi di bumi pertiwi ratusan tahun lamanya!

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang di kumandangkan Soekarno dari Pegangsaan Jakarta, telah membuktikan kepada kita bangsa Indonesia sekalian, bahwa Kemerdekaan itu pasti! Bukanlah sebuah angan-angan kosong saja! Dengan persatuan seluruh rakyat, bangsa yang kala itu sangat miskin dan tertindas pun mampu membangkitkan kekuatan dirinya, yakni hasrat meraih kemerdekaan! Bebas dari penindasan! Bebas dari kesengsaraan! Itulah cita-cita terbentuknya negara Indonesia merdeka!

Namun kini, negara republic yang dengan tangan sendiri meraih kemerdekaan-mengusir penjajah, telah menjadi pembunuh rakyatnya. Cita-cita berdirinya negara yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 dengan semangat menuju kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah terabaikan! Pemerintahan yang berjalan kini telah lepas dari rel nya Revolusi kemerdekaan Indonesia! pemerintahan kini lebih mengutamakan kepentingan kaum pemodal-pengembang-pengusaha besar. Menomor duakan kepentingan sejatinya rakyat Indonesia. Papan-sandang-pangan-pendidikan dan kesehatan menjadi barang mewah bagi rakyat, Kesejahteraan sosial telah menjadi mimpi di rumah-rumah rakyat, di pemukiman yang kumuh itulah  rakyat Indonesia harus bertahan hidup melangsungkan nafas sebagai bangsa Indonesia. Sedang di sudut lain kota, rumah mewah-gedung raksasa-kantor pemerintahan megah bertengger sombong penuh keangkuhan! Mengacuhkan tangis rintih rakyat Indonesia yang kelaparan, kedinginan dalam ruang kekecewaan atas pendustaan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh pemerintahan ini. Mengingkari amanah undang-undang dasar 1945 dan Pancasila!

Bangunlah saudaraku sekalian setanah air! Bersatulah, bebaskan ibu pertiwi dari jerat kaum pemodal-penindas rakyat! Laksanakan kembali pemerintahan rakyat! Menuntaskan jalannya Revolusi Indonesia! kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat!

Merdeka!

Merdeka!

Salam Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia!

Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner