Saturday, August 20, 2016

Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pertaruhan Kedaulatan Bangsa (merdeka)

Meskipun usiaku masih berkepala dua, namun aku cukup mengenal sejarah pergerakan di Indonesia. Selain karena senang membaca berbagai literature dan filsafat sosial-politik, terutama sekali pergaulanku selama hampir 10 tahun ini adalah bersama dengan beberapa tokoh pergerakan Indonesia, era 70-an hingga 90-an.
Tokoh pergerakan itu, bukanlah orang-orang yang secara instan muncul dalam percaturan politik pergerakan di Indonesia, melainkan dia yang telah di tempa bertahun-tahun baik dalam kaderisasi serikat-serikat dan yang dilahirkan oleh “rasa sakit” rakyat terhadap pemerintahan intoleran dan “undemokrasi” rakyat.
Saat ini aku bertempat tinggal di Jakarta. Ibukota negara Indonesia yang menjadi etalase dunia, menjadi wajah Indonesia di pergaulan international. Bukan karena tempat berkumpulnya semua suku-agama-ras dan magnet bagi para pencari kerja saja, namun lebih dalam lagi, Jakarta adalah sentra kebijakan nasional dirancang, diperdebatkan dan diberlakukan. Sehingga tidak bisa kita menempatkan Jakarta hanya sebagai kotanya orang betawi, sebuah kota di barat pulau Jawa, kota besar dan terpisah dengan kota-kota lain di Indonesia. Tidak! Jakarta adalah milik seluruh bangsa Indonesia. bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras yang bersepakat membangun persatuan membentuk negara merdeka untuk kemerdekaan rakyat. Bhinneka tunggal ika, Tan hana dharma mangwra!
Berbagai peristiwa penting yang menentukan arah berjalannya negeri “bangsa garuda” banyak terjadi di Jakarta. Mulai dari Proklamasi kemerdekaan 1945, terbentuknya pemerintahan rakyat Indonesia menentang imperialisme barat, kelahiran Orde baru hingga tumbangnya disertai gerakan Reformasi 1998 yang dipelopori mahasiswa, terjadi di Jakarta. Namun masih ada satu hal yang belum berubah dari peristiwa-peristiwa lintas generasi itu. Yakni, mental budak-inlander, yang menghamba kepada kekuasaan modal negara-bangsa lain-kepentingan negara-bangsa lain. Mengkhianati prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangwra-berbedalah namun satu jua, tidak ada pengabdian yang mendua selain kepada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Suatu malam, Aku berkesempatan berdiskusi “tak langsung” dengan salah satu tokoh pergerakan dari Jawa timur mengenai Jakarta hari ini. Mahmud de biasa dia dipanggil rekan sejawatnya. Walaupun bertempat di jawa timur, namun semestinya seorang pejuang rakyat, dia pun memikirkan dan terlibat dalam berbagai aksi untuk kepentingan nasional-rakyat Indonesia. Secara prinsip, pandangannya tentang Jakarta sejalan dengan apa yang kumaksud dengan Jakarta adalah kota strategis bagi kepentingan nasional. Artinya, menguasakan Jakarta sebagai kota di tangan rakyat, akan menentukan tercapainya satu langkah menuju kedaulatan rakyat di seluruh Indonesia. namun sebaliknya, menyerahkan Jakarta kepada kaum penghamba kekuasaan modal negara-bangsa lain, akan menentukan satu langkah terwujudnya bencana kehancuran bangsa yang telah 71 tahun merayakan Proklamasi kemerdekaannya ini.
Aku memperkirakan selisih umurku dengan bung Mahmud ada di kisaran angka 10-20 tahunan. Tentu dia lebih tua dariku. Secara empirik, banyak hal yang bisa ku ambil pelajaran darinya. Dalam paparannya, bung Mahmud menilai bahwa kaum pergerakan pasca Reformasi 1998 kehilangan nilai perjuangan dan jati diri perjuangannya. Babak akhir tumbangnya Orde baru 98 silam, bukannya di gunakan untuk memulai kembali melangkah di program strategis nasional sesuai cita-cita kemerdekaan Indonesia, yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, namun kaum pergerakan di era Reformasi itu justru berebut tempat di lingkaran elite, “memperbaiki nasib” hidupnya yang selaras dengan kesengsaraan rakyat saat menjadi aktivis dulu dan mencabut diri dari pergumulan rakyat miskin-dimiskinkan dan tertindas-ditindas.
Lihat saja Jakarta kini, menuju pertarungan politik di Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017 nanti, dikotomi yang terbentuk bukanlah mengenai nilai kepentingan ideologis rakyat. Namun blok antara pendukung calon popular dan non-popular. Dan itu melibatkan “mantan” kaum pergerakan di dalamnya, dari yang era Orba hingga generasi muda yang mengaku  sebagai “perwakilan” aktivis 1998. Banyak dari mereka berada di dalam tim calon-calon popular yang saat ini bertempur mempersoalkan perbedaan SARA (suku, agama, ras), “melupakan” semangat dan makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip terbentuknya negara Indonesia merdeka.
Alasan kaum “aktivis momentumental” ini mendukung calon popular, tak lain adalah tentang uang, tentang perjuangan politik sebagai profesi mencari uang, meneguhkan dirinya sebagai inlander-alat-agennya kaum kapitalis-penindas rakyat. Pilihan dan sikap politiknya kemudian adalah mengenai bagus-tidaknya (secara fisik) seorang kandidat pemimpin, bukan mengenai benar-tidaknya (secara nilai prinsip kerakyatan) tindakan seorang kandidat pemimpin daerah itu.
Mayoritas calon kandidat untuk Pilgub DKI Jakarta 2017 di mata bung Mahmud hanyalah berkedok popularitas saja, tidak pernah terbukti keberpihakannya terhadap rakyat. Namun, menurut bung Mahmud, ada satu calon kandidat yang berbeda, calon itu lahir dan dibesarkan dari pergerakan rakyat. Edysa girsang namanya, akrab disapa Eq. seorang aktivis pendiri Forkot dan Frontjak di kisaran pergerakan 1998 silam. Tetapi sayangnya, menurut bung Mahmud, pertarungan Eq dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 tidak di dukung rekan sejawatnya dulu sesama aktivis 1998. Eq ditinggalkan rekan sejawatnya yang “menjual idealism” perjuangan rakyat kepada para calon popular.
Aku mengutip pernyataan bung Mahmud kepada para kaum “aktivis momentumental” di tim calon popular itu. “Teman-temanku di lingkaran kontesasi Pilkada Jakarta dan pemerintahan, contohlah Eq, maju sebagai calon DKI 1 namun tetap anti money politik. Dimana dan kemana para aktivis DKI yang lain? Katanya menolak demokrasi uang? Kenapa masih memilih mereka yang mantan pejabat, mantan penguasa, konglomerat, Orbais dan sebagainya. Katanya menolak Ahok yang “konglo podomoro”? kenapa tidak satupun kalian aktivis DKI yang memberikan support kepada Eq, seorang yang jelas darah-keringatnya bersama kalian memperjuangkan hak rakyat puluhan tahun silam?. Hingga sekarang, Eq masih konsisten, mendampingi warga memperjuangkan hak yang dirampas negara-alat kaum penindas, gerakannya jelas, bukan hanya kirim surat ke elite politik pragmatis. Ini sejatinya sudah jelas didepan mata yang “lengkap” prasyaratnya. Kenapa masih tetap memilih yang 11-12 dengan Ahok yang saat ini dibenci rakyat Jakarta? Aku bertanya-tanya, katanya menginginkan perubahan?atau ternyata hanya mau nitip badan aktivis yang sudah kelelahan?.”
Kudalami maksud pernyataan bung Mahmud itu. Begitu satir, dia tidak sekalipun bermaksud “membunuh” rekan sejawatnya kaum pergerakan. Aku mengilustrasikan bung Mahmud dengan pernyataannya itu, adalah sebagai seorang teman yang membawa cermin untuk dihadapkan ke muka temannya, agar teman-temannya dapat melihat noda ludah kering yang berceceran di wajahnya.
Sesaat setelah kudapat makna pernyataan bung Mahmud itu, segera aku berjanji akan menuliskannya untuk disebar luaskan kepada seluruh “Teman berjuang” di Jakarta. Inilah penuntun refleksi itu, dariku untuk “teman berjuang” hingga “kawan seperjuangan” Indonesia. aku adalah tangan kirinya Indonesia, aku adalah sayap kirinya burung garuda Pancasila dan aku adalah warna merahnya bendera Indonesia.  

Baca Selengkapnya

Wednesday, August 17, 2016

Seruan di tanggal 17 Agustus 2016

Negara Indonesia yang kita cintai telah memasuki usia 71 tahun sejak berdirinya pada 17 Agustus 1945 silam. Negara yang berdiri atas perjuangan bersejarah selama ratusan tahun telah berdiri kukuh dengan nama republic Indonesia!

Dengan semangat membara para pemuda revolusioner kita, para founding father kita telah mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu kemerdekaan yang di idam-idamkan seluruh rakyat tertindas! Menyambut dengan sorak sorai bergembira datangnya hari kemenangan rakyat atas penjajahan yang terjadi di bumi pertiwi ratusan tahun lamanya!

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang di kumandangkan Soekarno dari Pegangsaan Jakarta, telah membuktikan kepada kita bangsa Indonesia sekalian, bahwa Kemerdekaan itu pasti! Bukanlah sebuah angan-angan kosong saja! Dengan persatuan seluruh rakyat, bangsa yang kala itu sangat miskin dan tertindas pun mampu membangkitkan kekuatan dirinya, yakni hasrat meraih kemerdekaan! Bebas dari penindasan! Bebas dari kesengsaraan! Itulah cita-cita terbentuknya negara Indonesia merdeka!

Namun kini, negara republic yang dengan tangan sendiri meraih kemerdekaan-mengusir penjajah, telah menjadi pembunuh rakyatnya. Cita-cita berdirinya negara yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 dengan semangat menuju kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah terabaikan! Pemerintahan yang berjalan kini telah lepas dari rel nya Revolusi kemerdekaan Indonesia! pemerintahan kini lebih mengutamakan kepentingan kaum pemodal-pengembang-pengusaha besar. Menomor duakan kepentingan sejatinya rakyat Indonesia. Papan-sandang-pangan-pendidikan dan kesehatan menjadi barang mewah bagi rakyat, Kesejahteraan sosial telah menjadi mimpi di rumah-rumah rakyat, di pemukiman yang kumuh itulah  rakyat Indonesia harus bertahan hidup melangsungkan nafas sebagai bangsa Indonesia. Sedang di sudut lain kota, rumah mewah-gedung raksasa-kantor pemerintahan megah bertengger sombong penuh keangkuhan! Mengacuhkan tangis rintih rakyat Indonesia yang kelaparan, kedinginan dalam ruang kekecewaan atas pendustaan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh pemerintahan ini. Mengingkari amanah undang-undang dasar 1945 dan Pancasila!

Bangunlah saudaraku sekalian setanah air! Bersatulah, bebaskan ibu pertiwi dari jerat kaum pemodal-penindas rakyat! Laksanakan kembali pemerintahan rakyat! Menuntaskan jalannya Revolusi Indonesia! kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat!

Merdeka!

Merdeka!

Salam Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia!

Baca Selengkapnya

Thursday, May 19, 2016

(kapan) Hari Kebangkitan Nasional?


Indonesia hari ini memperingati hari kebangkitan nasional. Namun apakah peringatan masih sebatas peringatan saja?. Seharusnya 108 tahun kita sebagai bangsa Indonesia merayakan hari kebangkitan nasional, maka semestinya kita pun sebagai bangsa Indonesia dapat memahami arti sejatinya kebangkitan nasional.
Kita sadari saat ini bahwa berbagai macam kondisi yang terjadi, masih belum berpihak kepada rakyat banyak. Masih terlampau banyak produk kebijakan yang menyakiti rakyat. Penggusuran pemukiman rakyat atas nama pembangunan, Reklamasi teluk yang bertujuan untuk kepentingan kaum pemodal-pengusaha besar saja, kebijakan ekonomi yang memberangus ekonomi kerakyatan, pendidikan yang masih berorientasi uang dan keuntungan saja, dan masih banyak hal lainnya.
Artinya, Indonesia secara nation belumlah bangkit! Karena rakyat Indonesia sendiri sebagai pemilik hak atas nation ini masih disengsarakan, belum makmur-sejahtera, masih terjajah, belum merdeka sepenuhnya. Lantas bagaimana seharusnya arah kebangkitan nasional saat ini? Yakni, harus menuju tujuan berbangsa dan bernegara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
“Melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jelas, kesana tujuan kita sebagai bangsa Indonesia untuk bangkit secara nasional!”.
Parameter keberhasilan bangkitnya Indonesia sebagai negara berbangsa adalah terwujudnya amanat dari pembukaan UUD 1945 itu. Tapi sayangnya, belum lagi kita bersepakat untuk memulai mewujudkan cita-cita itu, banyak kejadian menyedihkan menimpa beberapa saudara kita.
Peristiwa pemerkosaan sadis yang dialami yuyun, Eno dan saudara kita lainnya merupakan wujud belum terpenuhinya kesejahteraan kita sebagai rakyat. Hal itu merepresentasikan rendahnya kualitas pendidikan dan ekonomi yang didapatkan oleh rakyat, dalam hal ini baik korban maupun pelaku.
Maka ingatlah, bahwa seseorang tidak akan memiliki niat bertindak kriminal jika urusan perut dan kecerdasan serta nilai filosofis pendidikan telah ia dapatkan. Dan seseorang pun tidak akan menjadi korban kriminal jika tidak terjadi kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat.
Persoalan (kriminal) ini tidak hanya diselesaikan secara subyektif pelaku saja, namun harus menyelesaikan juga masalah obyektifnya, yaitu kesejahteraan masyarakat. Dan tidak boleh kita melemahkan dan merendahkan salah satu gender sebagai subyek yang selalu menjadi korban, karena amanah pembukaan UUD 1945 tidak membedakan gender, tidak mendiskriminasikan ras, agama dan suku. Semua sama di mata UUD 1945, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun yang sangat penting untuk dipahami rakyat adalah, bahwasanya kesejahteraan yang dimaksud tersebut dalam skema Negara-bangsa haruslah dalam penguasaan dan pengelolaan pemerintah rakyat. Yakni sebuah pemerintahan Negara dimana kolektif massa rakyat yang menentukan arah kebijakan politik-ekonomi Negara tersebut. melalui sebuah majelis permusyawaratan yang terdiri dari perwakilan-perwakilan massa rakyat inilah produk kebijakan yang sesuai kehendaknya rakyat dapat terwujud!
Demokrasi rakyat ini merupakan demokrasi yang terpimpin oleh kolektif massa rakyat. Bukan demokrasi keterwakilan dalam susunan dewan perwakilan yang berisi para anggota fraksi dari partai borjuasi. Namun harus pula dipahami bahwa system kepemimpinan kolektif massa rakyat ini tentu harus memiliki wujud senyatanya berupa mesin politik ideologis, yakni berupa partai politik massa rakyat yang revolusioner! partai politik massa rakyat yang memiliki arah tujuan cita-citanya adalah revolusi! yakni menghancurkan tatanan system kemodalan dan menciptakan tatanan system kesetaraan, dengan kekuasaan mutlak ditangan kolektif massa rakyat yang telah terhimpun dalam partai politik revolusioner tersebut.
Jangan pernah menggantungkan cita-cita kesejahteraan rakyat kepada kaum borjuasi dan partai politik borjuis penghamba kekuasaan modal-kaum pemodal-kapitalisme, bangun alat politik revolusioner-partai politik massa rakyat yang agenda utamanya adalah menumbangkan kapitalisme!
Hanya dengan jalan itulah cita-cita pembukaan undang-undang dasar 1945 dapat terwujud dan menyelesaikan agenda revolusi Indonesia, untuk membentuk tatanan system masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!

Baca Selengkapnya

Thursday, May 12, 2016

“Pesta Rakyat UGM” dan Tugas Ke Depan Kaum Muda Revolusioner

oleh : Moses Teatime dan Ivan Haynorth

Bagi rakyat pekerja, 1 Mei atau May Day adalah simbol perlawanan, hari dimana mereka yang martabatnya diinjak dan hak-haknya dirampas, yang keringatnya diperas dan suaranya dibungkam, menunjukkan semangat perlawanannya. Momentum yang digulirkan oleh aksi May Day oleh buruh dilanjutkan di Universitas Gadjah Mada (UGM), yang tidak luput dari kemarahan rakyatnya. Pada 2 Mei lebih dari tujuh ribu mahasiswa, buruh tenaga kependidikan (TenDik) dan pedagang kantin Sosial-Humaniora (kantin Bonbin) tumpah ruah ikut serta menorehkan sejarah perlawanan lewat aksi “Pesta Rakyat” di lobi dan halaman depan Gedung Pusat UGM (Balairung). Aksi yang digelar bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional oleh Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada ini menjadi salah satu aksi massa besar pertama di Kampus Biru paska-reformasi 1998. Tuntutannya berkisar masalah tunjangan kinerja dari tenaga kependidikan, penggusuran kantin Bonbin, dan kenaikan uang kuliah tunggal (untuk rincian tuntutan, lihat catatan di bawah).
Demonstrasi diawali dengan berkumpulnya massa aksi dari berbagai fakultas di titik-titik berkumpul yang telah ditentukan, sesuai dengan klaster lokasi masing-masing fakultas hingga pukul sepuluh pagi. Kemudian, setelah massa aksi dari semua klaster berkumpul di tempat kumpul masing-masing, mereka bergerak ke Balairung untuk mengikuti “Pesta Rakyat”. Kira-kira pukul 10.45 massa aksi dari berbagai klaster sudah tergabung di Balairung dan menyatukan suara untuk menggetarkan Gedung Pusat UGM. Sejumlah individu dan kelompok terpisah juga ikut menggabungkan diri dalam aksi ini.
Di samping mobilisasi massa sebagai alat untuk menunjukkan kepada rektorat siapa sesungguhnya memegang kuasa di kampus, usaha memenangkan tuntutan-tuntutan di atas dilakukan berbarengan dengan mengirimkan beberapa perwakilan dari massa aksi untuk bernegosiasi dengan pihak rektorat. Meskipun demikian, upaya negosiasi ini hanya sebagai perantara dari keinginan massa aksi agar rektorat mau berdialog secara terbuka dengan massa aksi. Dialog terbuka berlangsung cukup alot karena sebagian besar massa aksi menginginkan pihak rektorat segera memberikan solusi-solusi konkret untuk pemenuhan tuntutan-tuntutan yang telah disampaikan sebelumnya.
Berlangsungnya aksi dari pagi hingga malam dalam suasana yang cukup panas dan disertai dengan beberapa kericuhan kecil mencerminkan semakin teradikalisasinya gerakan mahasiswa di Kampus Biru dan kebangkitan kesadaran berpolitik bagi mereka yang sebelumnya memiliki antipati terhadap politik. Dengan sembilan tuntutan dan dipersenjatai tidak dengan apa-apa kecuali suara mereka dan semangat akan perubahan, aksi massa berhasil memaksa otoritas kampus (rektorat) untuk memenuhi tujuh dari sembilan tuntutan yang mereka deklarasikan. Aksi yang dimulai sedari pagi pun berbuah manis. Meski diiringi dengan drama-drama menyedihkan, Sang Rektor menyerah dan menghadap “rakyat”nya pada pukul 6 sore dan kemudian mengumumkan hasil perundingan.
Tentunya rangkaian kejadian yang terjadi tidak sesederhana gambaran yang telah kami berikan. Titik kulminasi di mana mahasiswa, pedagang dan pekerja UGM terjun ke Rektorat untuk menentang ketidakadilan telah dibangun dengan persiapan matang dan usaha tak kenal lelah yang diprakarsai para penggerak aksi dari aliansi badan mahasiswa dan massa yang mulai mempertanyakan kondisi-kondisi menyedihkan di kampus UGM. Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya, aksi kemarin berhasil menggaet dan menyatukan massa mahasiswa yang cenderung apolitis, buruh TenDik serta pedagang makanan dalam suatu perjuangan semesta melawan ketidakadilan – testamen dari kerja organisasi dan propaganda yang mumpuni. Tetapi akan kita lihat di bawah bagaimana yang “mumpuni’ ini pun memiliki keterbatasan yang begitu mencolok mata untuk menyelesaikan akar dari ketidakadilan yang ada.


Reaksi Penguasa
Tak mau mendengarkan tuntutan-tuntutan rakyat, pihak Rektorat menggunakan berbagai macam cara untuk mengerdilkan perjuangan. Taktik-taktik dan keputusan politik yang dikeluarkan Rektorat menjelang hari-H menunjukkan jarak yang jelas antar Rektor dan rakyatnya. Tak ayal lagi, Rektor di dalam upayanya menangani situasi pun menggunakan trik-trik yang biasa digunakan oleh para penguasa otoriter, entah secara halus maupun dengan metode-metode yang vulgar. Serangan balik Rektorat dilancarkan sejak sehari sebelum aksi itu sendiri. Lewat siaran Radio Swaragama FM, Rektor Dwikorita mengumumkan adanya sebuah “gladi latihan provokasi dan unjuk rasa, dengan melibatkan sivitas akademika UGM dalam lingkungan kampus UGM”
Tetapi seperti kata Hegel, keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat kebetulan. Tindakan provokasi sembrono yang dilancarkan pihak Rektorat dengan tujuan untuk menggeser makna aksi, serta menafikan isu-isu nyata sebagai sebuah latihan belaka ternyata memberikan dampak yang berlawanan dengan harapan sang Rektor. Perlawanan yang tadinya diharapkan padam dan mati malah makin kuat, terlebih lagi dengan tersiarnya kesaksian mahasiswa-mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.
Drama ini tidak hanya berhenti di situ. Tanpa kenal malu, Rektor kembali mengeluarkan keahlian klasik dalam karung tipuan yang telah usang – bersembunyi dan lari. Ketika massa masih berkumpul menuju gedung Rektorat, Rektor malah mengurung diri di kantornya, bahkan mencoba keluar gedung di tengah hari. Pengepungan yang dilaksanakan aliansi mahasiswa berhasil “menyekap” sang Rektor. Butuh negosiasi yang alot dan dua, tiga kali usaha, serta nyanyian selama berjam-jam untuk memaksa Rektor menghadap rakyatnya.
Pada pukul 2 siang, Rektor akhirnya keluar untuk menghadap massa yang terlanjur marah dengan kebohongan Rektor sehari sebelumnya. Alih-alih memperlakukan kehendak rakyat sebagai kemarahan yang riil dan mendesak, Rektor beserta jajarannya mengeluarkan alasan-alasan klise yang tidak mengindahkan substansi dan logika. Ia menemui massa aksi sebagai anak yang nakal, yang brengsek, yang mbalelo. Kegelisahan akan UKT yang mencekik ditepis dan digantikan dengan wejangan-wejangan mengenai sopan santun dan etika. Upaya nyata untuk membawa perubahan, sekecil apapun perubahan itu, dikubur dengan ucapan dan tindakan simbolis tanpa substansi.
Tindakan Rektor seketika memancing amarah massa yang terkumpul. Botol air dan kotak makan melayang ke arah Rektor. Massa merangsek maju. Badan yang sudah diterpa terik matahari selama enam jam tidaklah menunggu wejangan-wejangan dangkal. Tidak terima diceramahi soal moral, massa yang tersulut menerjang sambil membawa bendera dan atribut. Jajaran rektorat yang panik berlindung di kantor Rektor, sementara barisan depan mencoba menghentikan upaya yang memalukan ini. Kontak fisik pun tak terelakkan. Baku hantam ringan antara mahasiswa dan satuan keamanan mewarnai demo siang itu. Pada jam 4, Rektorat memanggil polisi bersenjata pentungan dan gas air mata. Namun dua jam kemudian jajaran rektorat menyerah dan terpaksa memenuhi 7 dari tuntutan yang diajukan oleh massa. Kemenangan ini menunjukkan keampuhan dari aksi massa sebagai metode perjuangan, dan kesiapan kaum muda untuk berjuang selama ada kepemimpinan yang mampu mengartikulasikan keresahan mereka.



Kapitalisme dan Pendidikan
Tidaklah sulit untuk merasakan kebencian pada sosok Rektor di antara para mahasiswa setelah kejadian-kejadian seperti yang di atas. Teriakan penuh amarah dan botol-botol melayang hanyalah satu dari banyak manifestasi kegagalan sang Rektor untuk memperhatikan tuntutan rakyat. Meski demikian, apakah relokasi kantin, kenaikan UKT, status Badan Hukum yang disandang Universitas hasil kebijakan seorang Tiran semata? Apakah tren kenaikan biaya dan program edukopolis yang digadang-gadang UGM buah dari sosok ambisius yang otoriter? Perlukah kita membatasi diri hanya pada seruan-seruan moral semata, atau pemakzulan akan seorang pemimpin, dengan harapan bahwa pemimpin berikutnya akan lebih baik?
Menyalahkan seorang Rektor atas kegagalan-kegagalan sistemis yang dialami Universitas di bawah kepemimpinannya bukanlah tindakan yang salah, namun menggeser fokus dari masalah inheren pada sistem yang sekarang dianut Universitas khususnya dan sistem pendidikan kita umumnya. Status Badan Hukum yang disandang UGM dengan bangga hanyalah satu dari wajah buruk kapitalisme. Sebagaimana sabda Marx, sebuah negara  dan berbagai aparatusnya, termasuk di sini jajaran rektorat UGM, menghamba pada kepentingan kelas yang berkuasa. Kepentingan dari kelas yang berkuasa hari ini adalah menghasilkan profit dan walhasil sistem pendidikan pun diarahkan untuk memenuhi kepentingan tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dengan mengubah sistem pendidikan menjadi komoditas untuk diperjualbelikan demi profit dan mengelola sistem pendidikan untuk mencetak pekerja siap-saji yang bisa menghasilkan nilai-lebih untuk pemilik modal. Secara tidak langsung, sistem pendidikan menjadi tempat reproduksi ideologi kapitalisme guna melanggengkan dominasi dan eksploitasinya.
Pada kasus UGM kepentingan kapitalis ini termanifestasikan dalam pembangunan dan peningkatan fasilitas, serta komersialisasi area kampus tidak henti-hentinya yang merambah kepentingan dan hak-hak rakyat secara keseluruhan. Pada akhirnya, seorang Rektor pun tersandera oleh kepentingan-kepentingan kelas [kapitalis] yang ada di belakangnya. Geraknya terkungkung dalam sistem busuk yang mengedepankan kebebasan pasar dan bukan kebebasan sejati. Tetapi tidak berarti sang Rektor adalah seperti boneka tak berdaya dan oleh karenanya tidak bersalah atas kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya. Ia telah mengambil keputusan pribadi untuk berdiri di sisi kelas yang berkuasa dan mewakili kepentingan mereka, dan dengan demikian menjadi bagian dari kelas penguasa. Serangan terhadapnya adalah ekspresi dari serangan terhadap kelas berkuasa dan sistem yang ada di bawah mereka ini.
Kenaikan biaya pendidikan, ataupun merambahnya korporasi-korporasi ke dalam kampus  UGM, hanyalah sedikit dari berbagai gejala rusaknya esensi pendidikan oleh suatu sistem yang terbelit kontradiksi-kontradiksinya sendiri, yaitu kapitalisme. Universitas didorong untuk menjadi efisien dalam mencetak buruh sarjana. Untuk mewujudkan itu, digadang-gadanglah program edukopolis yang bertujuan menyediakan fasilitas lengkap, dengan maksud menaikkan daya saing UGM dengan institusi pendidikan lainnya. Jalan menuju peningkatan daya saing itu dibangun atas pengorbanan rakyat yang direbut ruang publiknya, digilas kepentingannya dan dibatasi kebebasannya. Pembangunan dan investasi menuntut adanya stabilitas sosial dan politik, yang pada hakikatnya membatasi kebebasan mahasiswa itu sendiri.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana keresahan yang dialami oleh mahasiswa dan para tenaga kependidikan UGM berakar dari kapitalisasi sistem pendidikan, dalam kata lain berakar dari sistem sosio-ekonomik yang berlaku hari ini: kapitalisme.
Pesta Rakyat UGM telah berhasil menghantarkan pukulan awal dan menunjukkan apa yang mungkin. Langkah selanjutnya adalah menggunakan momentum yang ada untuk melangkah lebih jauh, secara programatik dan juga secara organisasional. Secara programatik dengan terus menajamkan tuntutan yang diperjuangkan agar menghantarkan pukulan yang semakin telak pada landasan kapitalis dari sistem pendidikan yang ada; secara organisasional dengan memperkuat organisasi perjuangan mahasiswa.


Membangun Serikat Mahasiswa
Dalam hal ini gerakan mahasiswa bisa belajar banyak dari gerakan buruh, yang dari ratusan tahun pengalamannya telah menemukan satu hukum: bahwa tanpa organisasi kaum buruh adalah bahan mentah untuk dieksploitasi. Seperti halnya buruh memiliki serikat buruh mereka, yang dibangun dari akar rumput dan menjadi wadah perjuangan mereka, maka kaum mahasiswa juga harus membangun organisasi perjuangan mereka yang menyatukan mahasiswa luas untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Tidak bisa dipungkiri kalau kebanyakan dari organisasi mahasiswa luas yang hari ini ada, seperti BEM atau Senat Mahasiswa, adalah organisasi yang melempem dan tidak mampu mewakili kepentingan mahasiswa. Organisasi-organisasi ini sering kali jadi ajang untuk memajukan karier dari para pengurusnya. Tetapi juga tidak bisa dipungkiri kalau dalam berbagai kesempatan ketika massa mahasiswa bergerak organisasi-organisasi ini terdorong menjadi wadah perjuangan mahasiswa luas. Di sini organisasi massa mahasiswa menjadi arena pertarungan. Mengklaim kembali organisasi massa mahasiswa – atau membangunnya kalau organisasi semacam ini tidak pernah eksis – untuk dijadikan alat tarung yang kompak dan militan harus menjadi bagian dari program perjuangan dari kaum muda revolusioner di kampus yang selalu didorongnya ke kaum mahasiswa luas, bahwa sejatinya kaum mahasiswa hanya akan jadi bahan mentah untuk dieksploitasi kalau mereka tidak memiliki organisasi perjuangan.
Organisasi massa mahasiswa ini setidak-tidaknya harus mendasarkan dirinya pada komitmen: 1) perjuangan pendidikan gratis yang demokratis dan berkualitas; 2) demokratisasi kampus dimana semua badan perwakilan dan otoritas di kampus sampai ke tingkatan Rektor dipilih oleh mahasiswa dan para pekerja di kampus; 3) hak berserikat, upah layak, dan kepastian kerja bagi semua pekerja di kampus. Yang belakangan ini penting untuk menghubungkan gerakan mahasiswa dengan gerakan buruh. Dalam internalnya organisasi massa mahasiswa ini harus menjamin demokrasi seluas-luasnya bagi semua anggotanya, misalnya dengan penyelenggaraan pertemuan umum atau rapat akbar (general assembly) secara berkala. Metode aksi massa harus dijadikan metode perjuangan utama, seperti yang telah dibuktikan keberhasilannya pada Pesta Rakyat UGM tempo hari.
Aksi-aksi perlawanan terhadap kapitalisasi pendidikan dan berbagai manifestasi turunannya  juga terjadi di berbagai institusi pendidikan. Masalah yang menumpuk menuntut perlunya persatuan perjuangan dari kaum pelajar dan mahasiswa dari berbagai institusi pendidikan untuk memungut bendera perlawanan dan menggilas sistem ke akar-akarnya. Sekat-sekat yang dibangun oleh perbedaan minat studi dan institusi pendidikan bukanlah halangan, terlebih ketika mahasiswa seluruh dunia menghadapi sebuah ancaman universal, yaitu kapitalisme. Sebuah organisasi massa mahasiswa seluruh-Indonesia oleh karenanya harus dibangun.



Tugas Kaum Muda Revolusioner Hari Ini
Eskalasi perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme tidak hanya terjadi di dalam kampus saja, namun juga di berbagai sektor di masyarakat, seperti sektor perburuhan, agraria, lingkungan dan gerakan perempuan. Saat ini, perlawanan-perlawanan tersebut tampak seperti letupan-letupan kecil. Namun seiring berjalannya waktu letupan-letupan ini akan semakin membesar secara perlahan dan menjadi hantaman yang telak bagi sistem pada momentum yang menentukan. Kontradiksi kapitalisme akan terus mendorong berbagai lapisan di dalam masyarakat untuk bergerak melawannya.
Kaum muda, terutama mahasiswa, adalah pendulum aktif dari guncangan-guncangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa kemarahan-kemarahan kaum muda yang terekspresi dalam gerakan-gerakan seperti ini sering kali muncul ketika kelas borjuasi dengan keras kepala menolak – atau lebih tepatnya tidak mampu – mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari krisis masyarakat borjuis, sementara kelas proletariat terlalu lemah untuk mengambil peran kepemimpinan. Kita diingatkan oleh peran besar kaum mahasiswa pada gerakan Reformasi 1998, tetapi juga keterbatasan yang inheren dari gerakan mahasiswa tersebut yang tidak mampu menghancurkan Orde Baru sampai ke akar-akarnya.
Selama gerakan ini tidak menggetarkan sendi-sendi masyarakat kapitalis, kelas borjuasi masih bisa bersikap tenang. Sebagian kaum borjuis bahkan bisa memanfaatkan kemarahan-kemarahan ini melalui pintu belakang. "Kaum borjuis menghargai gerakan mahasiswa dengan setengah setuju, setengah memperingatkan; kalau para pemuda mengadakan sedikit guncangan terhadap birokrasi monarkis, hal itu tidak terlalu jelek, selama 'anak-anak itu' tidak bergerak terlalu jauh dan tidak membangkitkan perjuangan keras dari massa.” (Trotsky, Revolusi Spanyol 1931-39). Itulah mengapa di dalam sejarah-sejarah besar, gerakan kaum muda hanya akan memperoleh karakter revolusionernya dan mengancam keberadaan kelas penguasa ketika kelas buruh berpartisipasi di dalamnya. Kita diingatkan di sini bagaimana gerakan kaum mahasiswa muda di Prancis pada Mei 1968 menjadi gerakan revolusioner yang mengancam keseluruhan sistem kapitalisme di Prancis ketika buruh mulai memasuki arena perjuangan dan melakukan pemogokan nasional.
Krisis-krisis revolusioner dalam skala kecil hanya mampu mentransformasi dirinya menjadi revolusi dalam sebuah kepemimpinan dan program yang tepat. Kaum muda mahasiswa yang basis kelasnya umumnya adalah borjuasi kecil secara historis tidak mampu melakukan ini. Hanya kelas buruh terorganisirlah yang memimpin di bawahnya lapisan-lapisan sosial lain (kaum tani, mahasiswa dan kaum tertindas lain) mampu membawa revolusi ini pada hasil akhirnya, yaitu: merebut tuas-tuas kendali ekonomi di bawah kontrolnya atau dengan kata lain mewujudkan sosialisme sebagai ganti dari kapitalisme.
Gerakan kaum muda revolusioner di kampus-kampus oleh karenanya harus memiliki karakter proletariat.  Mengambil karakter proletariat bukan berarti berpakaian dan berpenampilan seperti buruh, atau sekedar live-in dengan buruh, atau bahkan lebih parah lagi menepis seluruh gerakan mahasiswa dengan alasan bahwa kaum mahasiswa bukan proletariat. Gerakan muda yang berkarakter proletariat berarti mengusung gagasan Sosialisme Ilmiah sebagai landasan geraknya. Ini berarti menanggalkan semua prasangka borjuis kecil, termasuk semua gagasan akademik yang mendominasi gerakan mahasiswa, dan mengadopsi pemikiran Marx dan Engels secara konsekuen.   
Kerja-kerja propaganda sosialis harus digiatkan di kampus, secara sistematis dan konsisten. Kerja-kerja minimal yang harus dilakukan oleh kaum revolusioner sekarang adalah kerja-kerja menemukan lapisan-lapisan termaju dari kaum muda yang haus akan gagasan-gagasan perlawanan dan mengorganisirnya di dalam sebuah partai revolusioner. Letupan-letupan seperti Pesta Rakyat UGM telah mendorong selapisan mahasiswa ke jalan perjuangan, tetapi energi ini akan hilang dan tergerus kalau tidak ada sebuah partai revolusioner yang bisa menghimpun mereka dan menyediakan kepada mereka solusi revolusioner untuk keresahan mereka. Partai revolusioner ini tidak bisa tidak berlandaskan pada Marxisme dan terus melatih dirinya dengan ide-ide, program, metode dan tradisi Bolshevik-Leninis untuk mewujudkan perjuangan semesta menggulingkan kapitalisme.
***






Catatan:
Dalam aksinya ini, massa “Pesta Rakyat” mengajukan tuntutan-tuntutan sebagai berikut:
1. Tuntutan Tenaga Kependidikan (Tendik) untuk pencairan Tunjangan Kinerja (Tukin) yang telah lama tidak dibayarkan haknya dan menuntut dua hal,
a. Tetap konsisten menuntut kepada pimpinan universitas untuk segera merealisasikan tuntutan kami: “kami bukan pengemis, kami menuntut hak kami tukin 3 semester bukan hanya 2 bulan.”
b. Menuntut agar UGM melepas status Badan Hukum karena status tersebut hanya merugikan Tendik.
2. Pedagang Kantin Sosio Humaniora alias Bonbin yang tetap direlokasi walaupun keputusan masih mengandung status “open” karena telah dikeluarkannya SP 2 secara sepihak dan menuntut dua hal,
a. Menuntut pencabutan SP 2.
b. Menuntut dikeluarkannya SK Renovasi Kantin Sosio Humaniora, Kantin Kerakyatan Universitas Gadjah Mada.
3. Sejak diberlakukannya UKT (Uang Kuliah Tunggal) tahun 2013, masih terdapat celah-celah kecacatan yang terjadi di lapangan. Mulai dari nominal yang tinggi, golongan yang tidak manusiawi, beasiswa dengan kuota terbesar yang dihilangkan ditambah ada wacana kenaikan UKT dan penarikan uang pangkal bagi mahasiswa jalur mandiri. Berdasarkan pemaparan tersebut mahasiswa menuntut enam hal:
a. Menolak Kenaikan UKT 2016 dari tahun sebelumnya
b. Menolak penerapan uang pangkal bagi mahasiswa jalur ujian mandiri
c. Menuntut adanya penundaan pembayaran UKT serta mekanisme penyesuaian UKT baik temporal maupun permanen di seluruh fakultas yang selanjutnya diatur dalam SK Rektor
d. Menuntut range penghasilan yang sama dalam penggolongan UKT dengan mempertimbangkan jumlah tanggungan keluarga
e. Menolak penerapan UKT bagi mahasiswa S1 di atas semester 8 dan bagi mahasiswa diploma di atas semester 6
f. Menuntut UGM menganggarkan beasiswa PPA-BBP dari BOPTN tahun anggaran 2016 atau mengadakan pengganti beasiswa PPA-BBP minimal dengan kuota yang sama. 

Baca Selengkapnya

Sunday, May 1, 2016

1 mei 2016

Kaum buruh Indonesia, bersatulah! Rebut kemerdekaanmu dari kelas penguasa-pengusaha penindas!
Kembalikan arah berjalannya Negara Indonesia ke jalan tegak lurus revolusi Indonesia, wujudkan semangat dan cita-cita berdirinya Negara Indonesia! Melindungi segenap tumpah darah Indonesia menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!

Tanggal 1 mei yang dijadikan sebagai symbol perjuangan dan kemenangan bagi kaum buruh terus digelorakan setiap tahunnya. Meskipun perlawanan dan perjuangan buruh akan terus bergema setiap harinya demi mendapatkan kemenangan serta terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat (pekerja), namun tanggal 1 mei tetap memiliki posisi penting bagi serikat-serikat buruh di seluruh dunia, termasuk serikat buruh di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 1 mei sebagai hari libur nasional, ini merupakan salah satu bentuk apresiasi dan partisipasi pemerintah terhadap gerakan buruh di seluruh dunia. Namun tanpa keberpihakan terhadap kepentingan dan kebutuhan kelas pekerja, maka semua produk kebijakan yang melibatkan kelas pekerja di dalamnya tidak akan berjalan dengan maksimal dan justru menguntungkan kaum pemodal-pengusaha besar saja.
Wujud tidak berpihaknya Negara-pemerintah dalam kepentingan dan kebutuhan kelas pekerja salah satunya adalah komitmen menjamin hak berdemokrasi rakyat (kelas buruh) sesuai amanat UUD 1945 dan UU ketenagakerjaan. Pada kenyataannya, Negara-pemerintah banyak absen dalam menjamin hak berdemokrasi tersebut. Dominasi kepentingan pengusaha besar-kaum pemodal melalui regulasi-peraturan international membuat Negara lemah terhadap kewajibannya untuk melindungi segenap tumpah darah rakyatnya. Sehingga melalui otoritas yang besar itu, pengusaha besar-kaum pemodal dengan langgeng mengintervensi jaminan hak berdemokrasi buruh dan berpeluang besar dengan lancar melakukan operasi “pemberangusan” serikat buruh. Hal ini bisa dipahami jika mengumpulkan banyak fakta di lapangan terkait ancaman PHK yang dilakukan para pengusaha kepada buruh yang melakukan aksi demonstrasi dan mogok kerja, padahal kedua aktifitas itu merupakan hak mutlak buruh yang dijamin oleh undang-undang dan dikenakan sanksi pidana bagi siapapun yang menghalang-halangi aksi tersebut.
Akhir 2015 lalu, pemerintah melalui kementrian tenaga kerja menerbitkan PP pengupahan, yang di respon secara massa aksi oleh serikat buruh, karena dianggap formulasi penghitungan upah tersebut merugikan kaum buruh dan melemahkan usaha penguatan ekonomi kaum buruh. Sehingga ini menunjukkan kurangnya keberpihakkan pemerintah dalam upaya menguatkan ekonomi kaum buruh. Tidak sampai disitu saja, pemerintah “berpangku tangan” dalam komitmennya menjamin hak-hak buruh. Dalam aksi penolakan terhadap PP pengupahan tersebut, diwarnai oleh bentrokan fisik antara kaum buruh dan aparatur kepolisian. Namun jika dicermati dari berbagai dokumentasi tempat kejadian perkara, maka akan kita dapati bahwa provokasi bentrokan itu muncul dari pihak aparatur, yakni satuan khusus kepolisian yang menggunakan seragam bertuliskan “turn back crime”. Melalui dalih pembubaran paksa massa, satuan “turn back crime” ini merusak serta meninju sejumlah massa hingga berujung pada ditangkap dan ditetapkannya sejumlah massa sebagai tersangka kericuhan aksi (yang disebut aksi anarkis oleh media-media konvensional). Peristiwa ditangkapnya aktivis buruh ini sejatinya merupakan bentuk kriminalisasi gerakan buruh, karena komponen yang mendukung seseorang dijadikan tersangka tidak pernah dapat dipenuhi. Justru fakta berupa dokumentasi dan kronologi yang telah dihimpun menunjukkan bahwa aparatur kepolisian berseragam “turn back crime” itulah yang secara beringas merusak mobil komando serikat buruh dan memukuli sejumlah aktivis buruh. Dari bukti-bukti tersebut, seharusnya Negara hadir untuk segera menyelesaikan perselisihan ini, karena jika Negara melakukan pembiaran terhadap masalah ini, maka wujud Negara hanyalah sebagai instrument (alatnya) kaum penindas untuk mengkebiri gerakan rakyat (buruh) dan melanggengkan aparatur Negara sebagai alat yang digunakan untuk melemahkan serta menghancurkan gerakan buruh melalui aksi anti demokrasinya dan intimidasi fisiknya menggunakan penyelewengan wewenang seragam dan senjata. Lantas untuk apa kita mempertahankan Negara-pemerintahan yang hanya menjadi alat untuk menindas rakyatnya?
Tidak hanya tentang praktek anti demokratisasi di dunia perburuhan, kaum buruh Indonesia juga dihadapkan dengan serentetan masalah normative yang sejatinya jika kebutuhan normative buruh terpenuhi, maka jembatan menuju kesejahteraan ekonomi kaum buruh setahap dan pasti dapat terbentang. Lemahnya kualitas jaminan sosial (hak-hak normative buruh, jaminan kesehatan buruh dan keluarga, asuransi keselamatan kerja, tunjangan rumah layak dan pendidikan anak buruh serta berbagai tunjangan lainnya), politik upah murah dan sistem kerja kontrak-outsourching yang berlaku dalam hubungan kerja saat ini adalah salah satu contoh produk kebijakan yang tidak berpihak kepada kelas pekerja. Melalui sistem itu, buruh tak ubahnya seperti budak yang menjual tenaganya demi mendapatkan sepiring makanan untuk dibagikan dengan keluarga, tak memiliki kemerdekaan penguatan ekonominya, tak mampu menyimpan upah lebih demi masa depannya, dan terus menggantungkan nasibnya kepada majikan pemberi kerja untuk mendapatkan sepiring makanan lagi keesokan harinya. Tidak selamanya seorang buruh bisa terus mendapatkan sepiring makanan dari majikan pemberi kerja itu. Melalui sistem kerja kontrak-outsourching, maka tidak ada jaminan bagi buruh untuk terus bekerja di perusahaan tersebut. Berbagai alasan subyektif dari majikan pemberi kerja, seorang buruh dapat diberhentikan kapanpun sekehendak majikan-bos dan digantikan dengan “budak” baru yang masih segar tenaganya, polos pikirannya, dan sangat membutuhkan pekerjaan. Sistem perburuhan seperti ini bisa disebut sebagai perbudakan modern, yakni kaum buruh sebagai budak terhisap-tertindasnya, dan borjuasi-kapitalis sebagai majikan penindasnya.
Tidak ada argumentasi yang rasional bagi kaum buruh untuk menyandarkan harapan kesejahteraannya kepada Negara-pemerintahan yang hanya berkepentingan memeras keringat buruh dan menjadi alatnya kaum borjuasi-kapitalis. Satu-satunya hal rasional bagi perjuangan nyata kaum buruh-kelas pekerja hanyalah merebut kekuasaan pemerintah-Negara dari tangannya kaum borjuasi-kapitalis penindas dan segera menyelenggarakan pemerintahan rakyat dibawah kepemimpinan kelas pekerja demi mewujudkan kesetaraan-kesejahteraan sosial seluruh rakyat, tanpa kelas penindas, tanpa kelas tertindas.


Hidup Buruh!
Hidup Rakyat!
Bangun Partai Kelas Pekerja Revolusioner!

Baca Selengkapnya

Friday, April 29, 2016

Sekilas Tentang Pemiskinan Rakyat

Kaum Buruh-Kelas Pekerja Indonesia, Bersatulah!
Tempa Kualitas Perjuangan Kelas dan Berkuasalah!Pimpin Rakyat menuju Kesejahteraan!
Indonesia krisis pemimpin yang memahami dan bervisi untuk mewujudkan cita- cita berdirinya Negara seperti yang tertulis jelas dalam pembukaan UUD 1945. Banyak dari produk kebijakan hari ini jauh dari kebutuhan dan kehendak rakyat. Baik yang di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.  Bahkan segala kebijakan public saat ini cenderung menguntungkan kaum golongan kelas atas, yakni pengusaha besar dan kaum pemodal. Kaum pemodal yang dimaksud ini adalah kapitalisme, yakni mereka yang berupaya menyelenggarakan agenda-agenda liberalism (mekanisme pasar bebas).
Liberalism salah satu tujuannya adalah melemahkan Negara dengan cara deregulasi atau merubah semua perundang-undangan Negara yang melindungi hak-hak sosial masyarakat dalam suatu Negara.  Mengadu domba antar lembaga negara, memecah belah persatuan dan kesatuan warga Negara, dll. Artinya jika pelaksana Negara di kuasai oleh orang-orang yang pro terhadap kepentingan kapitalisme, maka Negara merupakan instrument atau alat yang digunakan kaum liberalis untuk menindas rakyat demi memeras dan mendapatkan untung sebesar-besarnya dari rakyat.
Sejak era Orde baru scenario penguasaan negeri ini sudah mulai dilancarkan. Pertama dibuatlah persepsi agar rakyat tak percaya instrument hukum, tahap pertama itu terwujud. Maka terciptalah Amandemen Undang-Undang yang digunakan untuk menderegulasi undang-undang yang berfungsi melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kemudian dibubarkannya DPA (Dewan Pertimbangan Agung) sebagai tempat harapan rakyat untuk memberikan masukan dan pertimbangan kepada presiden terhadap segala hal yang mengenai hajat hidup rakyat banyak. lantas MPR peran dan fungsinya dikerdilkan, sehingga tidak ada lagi wadah penjaga demokrasi rakyat berjalan di republic ini. Kemudian perbankan dijauhkan dari sector-sektor kehidupan rakyat kecil, agar petani nelayan makin miskin dan melakukan urbanisasi ke kota-kota dimana pabrik dibuat dan disediakan kaum kapitalis untuk mengakumulasikan modalnya (melipat gandakan keuntungan) dan mengeksploitasi (memeras) tenaga para pekerja dengan politik upah murah. Sementara di kota-kota sendiri bisnis rumahan dimatikan karena kalah dengan pasar-pasar modern yang menjual produk-produk milik asing. Dengan terselenggaranya sistem ini (kapitalisme), maka watak ekonomi rakyat yang awalnya produksi menjadi penerima gaji (saja) sehingga kesejahteraan ekonominya bergantung kepada majikan pemberi kerja dan dipermainkan oleh politik upah murah serta ancaman pemecatan secara sepihak.
Sementara yang kalah dalam pertarungan ekonomi menjadi gelandangan dan pengemis, pemulung dan lain-lain  yang disebut sebagai sampah masyarakat. Sebagian lagi bertahan hidup dengan mendirikan bangunan diatas tanah yang berbahaya seperti bantaran kali. Yang disebut Tanah Negara (sehingga sering dicap sebagai bangunan liar). Namun anehnya di lahan tersebut terdapat RT-RW, listrik-air  mengalir di daerah tersebut. Kelurahan sebagai instrument Pemda mengetahui keberadaan RT-RW tersebut, PLN sebagai perusahaan Negara memberikan ijin penyaluran listrik ke daerah tersebut, seandainya tanah itu adalah tanah liar? Lantas siapa yang patut disalahkan jika telah puluhan tahun mereka tinggal disana, beranak pinak? Di titik inilah seharusnya Negara beserta pemerintahannya hadir untuk melindungi dan memelihara rakyatnya.
Namun karena sistem berjalannya Negara adalah kapitalisme yang memiliki serentetan agenda (neo)liberalism, maka pemerintahannya pun akan menghasilkan produk kebijakan yang pro terhadap kepentingan kaum kapitalis itu dan menjadikan rakyat kecil sebagai beban pembangunan (kaum kapitalis) sehingga harus digusur-disingkirkan. Dari sinilah kita seharusnya mampu berpikir cerdas menghadapi segala bentuk program pemerintahan yang bernama pembangunan-perapihan-penertiban dan sejenisnya. Ditujukan untuk siapa proyek pembangunan itu? Rakyat Indonesia sebagai pemilik utama tanah air ini, atau kaum pemodal dengan kapitalisme sebagai mazhabnya?
Siapapun orangnya, jika dia menyelenggarakan program-program yang jauh dari semangat cita-cita pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, maka dipastikan dia adalah skrup kecil pelaksana agenda global, yang dapat disebut sebagai agen kapitalisme international anti kesejahteraan rakyat banyak.

Baca Selengkapnya

Thursday, April 7, 2016

Reklamasi dan impian kelas borjuasi

Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah.
Sedangkan pengertiannya secara ilmiah dalam ranah ilmu teknik pantai, reklamasi adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau.
Apa tujuan reklamasi?
Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata.
Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. Alternatif lainnya adalah pemekaran ke arah vertikal dengan membangun gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah susun.
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia ramai dengan isu aktifitas reklamasi yang melibatkan beberapa perusahaan pengembang dan pemerintahan daerah tempat sasaran reklamasi tersebut. Setidaknya terdapat dua isu tentang reklamasi yang sangat besar dalam pemberitaan media, yakni reklamasi teluk Benoa di Bali dan reklamasi teluk Jakarta. Massifnya media memberitakan isu tentang reklamasi di kedua tempat tersebut bukanlah sebuah opini positif yang artinya dukungan besar dari masyarakat tentang rencana kegiatan (reklamasi) tersebut. Justru banyak kelompok masyarakat yang menentang keras rencana reklamasi itu. Pertanyaannya adalah kenapa reklamasi di tentang oleh rakyat? Jika tujuan reklamasi secara teoritis adalah demi pemenuhan kebutuhan masyarakat juga?
Jawabannya bukanlah menggunakan pendekatan teoritis semata, karena perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap reklamasi itu merupakan kenyataan yang akan dirasakan oleh rakyat itu sendiri pada akhirnya. Jika mengacu kepada tujuan teoritis reklamasi maka akan kita dapati pemanfaatan reklamasi adalah untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian. Namun pertanyaan besarnya adalah : “apakah daratan di Indonesia sudah tidak ada lagi untuk menyelenggarakan hal-hal tersebut itu?”. Dari sinilah dapat kita ambil satu point penting kepentingan pengusaha pengeruk uang rakyat (berorientasi hanya kepada keuntungan pribadi dan segelintir orang saja) dibalik rencana reklamasi beberapa kawasan air di Indonesia.
 Dampak Reklamasi
Dalam melakukan reklamasi terhadap kawasan pantai, harus memperhatikan berbagai aspek/dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain dampak lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi. Dampak lingkungan misalnya mengenai perubahan arus laut, kehilangan ekosistem penting, kenaikan muka air sungai yang menjadi terhambat untuk masuk ke laut yang memungkinkan terjadinya banjir yang semakin parah, kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan yang semuanya harus tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan. Dampak sosial budaya diantaranya adalah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM (dalam pembebasan tanah), perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat. Sementara dampak ekonomi diantaranya berapa kerugian masyarakat, nelayan, petambak yang kehilangan mata pencahariannya akibat reklamasi pantai. Wilayah pantai yang semula merupakan ruang publik bagi masyarakat akan hilang atau berkurang karena akan dimanfaatkan kegiatan privat. Dari sisi lingkungan banyak biota laut yang mati baik flora maupun fauna karena timbunan tanah urugan sehingga mempengaruhi ekosistem yang sudah ada. System hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan terjadi abrasi, tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir atau rob karena genangan air yang banyak dan lama. Aspek sosialnya, kegiatan masyarakat di wilayah pantai sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut. Selanjutnya adalah aspek ekologi, kondisi ekosistem di wilayah pantai yang kaya akan keanekaragaman hayati sangat mendukung fungsi pantai sebagai penyangga daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan mengakibatkan berubahnya keseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem perairan pantai dalam waktu yang relatif lama akan berakibat pada kerusakan ekosistem wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai.
Dari berbagai tujuan (manfaat) secara teoritis pelaksanaan reklamasi, ternyata menimbulkan beberapa dampak negative yang setidaknya terdapat dalam beberapa point yakni Peninggian muka air laut karena area yang sebelumnya berfungsi sebagai kolam telah berubah menjadi daratan akibat peninggian muka air laut maka daerah pantai lainya rawan tenggelam, atau setidaknya air asin laut naik kedaratan sehingga tanaman banyak yang mati, area persawahan sudah tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam, hal ini banyak terjadi diwilayah pedesaan pinggir pantai.. Musnahnya tempat hidup hewan dan tumbuhan pantai sehingga keseimbangan alam menjadi terganggu, apabila gangguan dilakukan dalam jumlah besar maka dapat mempengaruhi perubahan cuaca serta kerusakan planet bumi secara total.Pencemaran laut akibat kagiatan di area reklamasi dapat menyebabkan ikan mati sehingga nelayan kehilangan lapangan pekerjaan.Kelangkaan jumlah ikan segar di laut akan juga mempengaruhi harga komoditas hasil laut di pasar, sehingga akan sangat merugikan masyarakat dalam jumlah besar, khususnya masyarakat Indonesia.

Seperti yang terjadi di Bali misalnya, kawasan teluk Benoa dalam Perpres No. 45 tahun 2011 wilayah Teluk Benoa yang dulunya merupakan zona L3 atau konservasi, melalui penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 teluk Benoa kini masuk dalam zona P atau penyangga. Dalam zona ini terdapat kegiatan kegiatan yang di perbolehkan seperti kegiatan pariwisata, pengembangan ekonomi, pemukiman bahkan penyelenggaraan reklamasi. Pada Intinya penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 ini menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45 Tahun 2011. Serta mengubah kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga, yang sejatinya kawasan darat Bali masih memiliki daya potensi yang besar terkait pariwisata, pengembangan ekonomi (rakyat), pemukiman tanpa harus mengurug kawasan air (konservasi) teluk Benoa. Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 ini seolah menjadi jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya reklamasi di Teluk Benoa. Dari penyimpangan maksud tujuan ini jelas terlihat kepentingan politik kaum pengusaha-penguasa guna menguntungkan diri sendiri dan menyengsarakan rakyat banyak dengan memanfaatkan kekuasaan uang dan jabatan.

Hal serupa juga terjadi dalam rencana reklamasi di Jakarta, yakni pelanggaran administrative dalam hukum ketata negaraan yang dilakukan kaum penguasa-pengusaha dalam hal ini adalah pemerintahan provinsi dan pemerintahan daerah dengan perusahaan pengembang. Reklamasi yang terjadi Jakarta, sangat jelas ilegalitasnya di mata hukum yang berlaku di Indonesia, yakni terkait kewenangan pemberian ijin melakukan reklamasi oleh yang bukan semestinya. Selama ini gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok   bersikukuh pelaksanaan reklamasi di Jakarta berlandaskan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Namun dalam perkembangannya, terbit Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, dan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hal ini mengandung arti bahwa lahirnya Perpres no 54 tahun 2008 dan Perpres no 122 tahun 2012 mencabut atau membatalkan Kepres nomor 52 tahun 1995.

Maka mengenai adanya tiga aturan terkait reklamasi, aturan yang berlaku adalah perpres yang terbaru, yakni Perpres Nomor 122 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 16 perpres tersebut, menteri disebut sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah. Pemerintah yang dimaksud dalam poin tersebut adalah pemerintah pusat. Masih dalam pasal yang sama, di poin nomor 3 tertulis, pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu dan kegiatan reklamasi lintas provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah ada pertimbangan dari bupati/wali kota dan gubernur. Berdasarkan pengertiannya, kawasan strategis nasional tertentu adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. Dengan demikian, berdasarkan aturan itu, kepala daerah, seperti gubernur, hanya sebatas merekomendasikan tempat yang sebelumnya telah dipertimbangkan untuk dijadikan tempat reklamasi, sementara itu, pihak yang berhak mengeluarkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi adalah menteri.

Maka jelas Pemprov DKI Jakarta menyalahi aturan terkait izin reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan berpegangan pada Pasal 4 Kepres Nomor 52 Tahun 1995, karena sejatinya yang berwenang mengeluarkan izin reklamasi adalah menteri terkait dan bukan oleh Gubernur. Bahkan Permohonan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan Gubernur atau Bupati/Walikota kepada Menteri memberikan empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama surat keterangan lokasi reklamasi dan sumber material, kedua rencana induk, ketiga studi kelayakan dan terakhir rancangan detail. Namun sebelum seluruh persyaratan itu dipenuhi Ahok menerbitkan izin reklamasi pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra anak perusahaan dari PT Agung Podomoro Land. Izin itu ditandatangani oleh Ahok tanggal 23 Desember 2014. Dari sini dapat kita lihat bahwa reklamasi pulau G adalah illegal dan menunjukkan tindakan melawan peraturan yang berlaku di Indonesia. Selain menyalahi aturan kewenangan pemberian ijin melakukan reklamasi, proyek reklamasi yang sudah berlangsung itu juga menyalahi prosedur bertahap sebelum reklamasi dilakukan, yakni melakukan reklamasi sebelum daerah memiliki peraturan daerah (Perda) tentang Zonasi laut yang hari ini masih belum selesai dibahas di DPRD DKI Jakarta. Proyek reklamasi di teluk Jakarta jelas telah melanggar ketentuan perundang-undangan karena tidak mengantongi izin resmi dan lolos dari berbagai uji tes kelayakan dan solusi dampak. Ada kesan proyek ini dilakukan dengan terburu-buru. Pertanyaannya, kenapa muncul kesan perusahaan pengembang sangat terburu-buru melakukan reklamasi yang belum legal di akhir masa jabatan Ahok sebagai gubernur Jakarta? Lantas diperuntukkan kepada siapa proyek reklamasi ini nantinya? jika reklamasi ini bermaksud menjadi solusi perumahan rakyat (di Jakarta), agaknya sangat tidak tepat, karena masyarakat saat ini membutuhkan perumahan dengan harga ekonomis kelas menengah kebawah, bukan hunian seharga miliaran rupiah. Adanya reklamasi membuat daerah hasil tangkapan nelayan di Teluk Jakarta menjadi menjauh. Ikan hasil tangkapan nelayan pun semakin sedikit, karena rusaknya ekosistem biota laut dan akan berdampak kepada pemiskinan structural rakyat dari segi sempitnya lapangan kerja, tertutupnya mata pencaharian, dan tingginya harga komoditas hasil laut serta melemahkan ketahanan pangan nasional dari segi hasil laut. Seharusnya pemerintah melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia, sesuai dengan amanat dan tujuan berdirinya Negara Indonesia, yakni menuju keadilan social bagi seluruh rakyat, bukan malah menciptakan kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan hanya menguntungkan kaum penguasa (korup-agen kapitalisme) dan pengusaha (kaum borjuasi) saja. Kelas pekerja yang terhimpun dalam serikat-serikat buruh harus memberikan sikap politik yang revolusioner, yakni menggagalkan rencana kaum borjuasi yang secara perlahan dan intens mengambil sumber daya dan melemahkan pembangunan kekuatan ekonomi kelas pekerja khususnya kaum nelayan. kelas pekerja harus mengambil alih kekuasaan dan membangun struktur pemerintahan rakyat yang diktator di tangan kelas pekerja, yakni untuk menghancurkan sisa-sisa tatanan kapitalisme yang berupa undang-undang dan kebudayaannya. 

Mari lawan segala bentuk penindasan!
Massa Rakyat bersatu menghancurkan Kapitalisme dan birokrasi korup!
Hidup Rakyat! Hidup kelas Pekerja!
Merdeka 100% !

Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner