Kapitalisme kian menampakkan wujudnya dalam bentuk krisis ekonomi-politik yang terjadi di beberapa negara-negara Eropa, Amerika dan Asia. Hal tersebut menunjukan bahwa sistem kemodalan (Kapitalisme) merupakan sistem yang telah usang dan gagal mencapai tujuan kesejahteraan bagi masyarakat di dunia. Kapitalisme dengan watak eksploitatifnya justru semakin menyengsarakan masyarakat di seluruh dunia melalui penindasan dan penghisapan terhadap kelas pekerja demi mengakumulasikan keuasaan modalnya melalui berbagai metode, mulai dari regulasi dan perwujudan tokoh pemimpin populer bertopeng humanis-religius hingga menjadikan agama sebagai pencipta realitas dan kesadaran palsu di masyarakat pekerja yang beragama.
Percakapan ini saya sadur
dari media sosial, antara dua orang pendeta yang datang dari dua kelas yang
berbeda. Yang satu datang dari elit borjuis kecil, yang satu lagi dari barisan
rakyat pekerja. Yang satu melihat masalah bangsa sebagai ekspresi dari
kemanjaan dan keborosan rakyat pekerja, sementara yang satu lagi melihatnya
sebagai hasil dari tatanan kapitalisme. Selamat merayakan hari Raya di tanggal 25 Desember bagi Saudaraku kelas pekerja yang beragama Kristen.
Sang
pendeta borjuis kecil berkata:
Orang tua yang tidak baik
memanjakan anaknya dengan modal hutang hanya supaya dilihat hebat. Sekarang
ketahuan bahwa selama ini rakyat Indonesia
dimanjakan dengan hutang yang sudah sampai 3000 triliun. Tulis berapa angka nol di
belakang angka 3.
Jokowi dan Jusuf Kalla mengajak
kita sadar diri dan mulai berbenah diri untuk lebih mandiri. Sebaiknya orang
beriman tidak hanya ngedumel karena siapa pun presidennya kalau memang sebagai
orang tua yang baik pasti akan mengajak rakyatnya berhenti bermewah-mewah dengan
modal hutang yang dibebankan pada anak cucu.
Jangan jadi orang berjiwa rakus
yang hanya senang dengan tampilan bungkus karena terlalu banyak berteman dengan
"tikus".
Lalu
pendeta yang lain, yang hidup bersama rakyat pekerja, menanggapi:
Analogi Bapak keliru.
Presiden/pemerintah bukan orang
tua kita. Presiden/pemerintah adalah wakil rakyat. Dia, demikian juga para
legislator dan senator (DPR & DPD), adalah wakil-wakil rakyat, bukan orang
tua rakyat.
Cara berpikir paternalistik ini
mengaburkan kenyataan sesungguhnya, yakni bahwa Indonesia dengan sistem
ekonomi-politik kapitalisme sudah terjebak di dalam imperialisme. Siapapun
presidennya, bila bingkainya masih kapitalisme dan rezimnya berwatak komprador,
harga BBM akan terus naik.
Tentu saja Allah Bapa kita
tidak menginginkan kita menjadi anak-anak-Nya yang manja. Tetapi kesusahan
rakyat pekerja karena urusan hajat hidup orang banyak diserahkan kepada
mekanisme pasar yang takluk kepada imperialisme, bukanlah soal cengeng
atau manja. Tapi soal sistem ekonomi-politik yang tidak adil dan rezim yang
tunduk kepada imperialisme.
Allah Bapa menghendaki kita,
anak-anak-Nya, tangguh. Betul. Salah satu implementasinya adalah melawan
kapitalisme dan imperialisme, serta
membangun kehidupan bersama yang lebih adil-manusiawi dan bernafaskan
solidaritas.
Pendeta yang satu terhisab
dalam elit borjuis kecil, yang menyediakan diri menjadi medium penciptaan
realitas dan kesadaran palsu di kalangan rakyat pekerja beragama Kristen.
Pendeta yang satunya lagi
terhisab dalam barisan rakyat pekerja, yang tidak mengenal pembedaan agama. Ia
menolak omongan agama yang menjadi sarana penciptaan realitas dan kesadaran
palsu.
Agama apapun, bila menjadi alat
penciptaan realitas dan kesadaran palsu, dan dengan jalan itu melestarikan penghisapan,
penindasan, dan marjinalisasi rakyat pekerja, adalah
alat Si Jahat, yang menubuhkan diri dalam the unholy trinity:
Mamon-Kapitalisme-Kenisah.
Pemuka agama, siapa pun dia,
termasuk pendeta, bila menjadi medium penciptaan realitas dan kesadaran palsu
di kalangan rakyat pekerja, bukanlah hamba Allah, melainkan hamba Si Jahat dan
sekutu Dajjal.
Sebab Allah yang diwartakan
Yesus dari Nazaret adalah Allah yang memilih untuk memposisikan diri-Nya di
pihak kaum yang terhisap, tertindas, dan terpinggirkan.