Menjelang May Day nanti, haruslah kaum buruh sedunia pada umumnya dan kaum Buruh di Indonesia pada khususnya, tidak lagi sekedar mengkampanyekan "peringatan hari buruh sedunia" atas kemenangan perjuangan kelas pekerja ratusan tahun yang lampau. Namun kita sebagai kelas pekerja harus mampu menyadari secara ideologis posisi kelas kita dalam sistem yang berlaku saat ini, terutama di Indonesia (kapitalistik). Karena kita sebagai kelas pekerja masih mempunyai tugas historis yang belum usai kita laksanakan, yaitu menumbangkan kapitalisme dan meruntuhkan pondasi borjuasi yang bercokol di dalam birokrasi negara liberal.
Konsepsi negara
liberal, secara historis, berakar dari perenungan beberapa pemikir besar yang
eksis di tahun 1700-an; setidaknya dari tiga pemikir besar, yaitu Thomas
Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Tiga pemikir tersebut memberikan
penegasan teoritik mengenai negara, bahwa negara merupakan representasi dari
kolektivitas sosial yang berdiri di atas kepentingan kelas-kelas.
Hobbes, sebagai
pendahulu Locke dan Rousseau, menolak kekuasaan teokratik. Bagi Hobbes,
kekuasaan tidak bersumber dari Tuhan, tetapi dari masyarakat. Dan
masyarakat, yang terdiri dari individu-individu, berhak untuk memperoleh ruang
privat; memiliki hak untuk mempertahankan diri [termasuk dalam hal
kepemilikan]. Namun Hobbes tidak mengizinkan manusia hidup secara bebas di dalam
ruang-ruang privat. Karena pada hakikatnya sifat manusia adalah pemburu
kekuasaan, dan yang akan menyebabkan terjadinya konflik-konflik dan kekacauan.
Maka, bagi Hobbes, terbentuknya negara merupakan keniscayaan; negara yang
memiliki kedaulatan penuh dalam semangat perjanjian bersama; sebuah institusi
sosial yang berperan mendamaikan konflik-konflik dan
kepentingan-kepentingan—sebagai tempat perlindungan.[1]
Pandangan Hobbes
tentang negara diteruskan oleh Locke dalam perspektum yang lebih maju. Locke berpendapat
bahwa, secara alamiah, manusia bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan
hak miliknya dengan tanpa tergantung dari kehendak orang lain. Akan tetapi,
untuk keselarasan pendayagunaan kekuatan-kekuatan, masyarakat perlu menyerahkan
kekuasaannya pada negara. Negara menurut Locke, bukanlah negara
absolut—sebagaimana menurut Hobbes. Namun negara tetap memiliki otoritas yang
sangat besar.[2] Dan otoritas negara yang sangat besar tersebut, dalam konsepsi
Locke, dengan corak kapitalistiknya, bertujuan untuk mengatur dan menjaga
properti.[3]
Konsepsi paling
progresif mengenai negara liberal berakhir di pemikiran Rousseau—filsuf yang
mengilhami Revolusi Prancis. Namun, meskipun paling progresif, pemikiran
Rousseau tetap memiliki substansi yang sama dengan para pendahulunya, yakni
mendasarkan konsepsinya pada persoalan kepemilikan pribadi.
Di dalam The Social
Contract Rousseau memang
bersikap anti dominasi—dominasi kepemilikan oleh kaum kaya. Tetapi pada
akhirnya, konsepsinya tentang peran negara, memberikan legitimasi pada negara:
negara adalah penjamin kebebasan dan keadilan—[dalam hal kepemilikan
pribadi].
Each member of the
community gives himself to it, at the moment of its foundation, just as he is,
with all the resources at his command, including the goods he possesses … For
the State, in relation to its members, is master of all their goods by the
social contract, which, within the State, is the basis of all rights; but, in
relation to other powers, it is so only by the right of the first occupier,
which it holds from its members.[4]
Konsepsi ideal dari
beberapa pemikir di atas mengenai negara liberal jelas sekali mencerminkan
kepentingan kelas borjuis agar praktek akumulasi modalnya terlindungi. Dengan
demikian, eksistensi “ideal” dari negara liberal ini mendapatkan kritik tajam
dari Marxisme; negara liberal tidak benar-benar menciptakan keadilan di dalam
kehidupan masyarakat; negara liberal adalah “Penjaga Malam” yang menjaga hak
milik borjuasi. Dan konstruksi negara seperti ini, selanjutnya, merupakan lahan
subur bagi perkembangan kapitalisme dengan karakternya yang eksploitatif.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa keberadaan negara hari ini, sebagai tempat
pijak bagi kapitalisme, adalah negara yang melindungi dan menjaga hak milik
borjuasi; negara yang mendukung praktek eksploitasi dari kapitalisme.
Kritik Marxis terhadap eksistensi negara liberal bisa kita
lihat pada tulisan-tulisan Marx di dalam Manuskrip 1844 dan Manuskrip 1845-1847 (dalam Ideologi Jerman);pada tulisan Engels di dalamThe Origin of the
Family, Private Property and the State; dan pada tulisan Lenin di dalam Negara dan
Revolusi—yang semuanya
menegaskan bahwa negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari
satu kelas terhadap kelas yang lain.
Di dalam Ideologi
Jerman, secara eksplisit Marx
mengatakan bahwa ide-ide kelas penguasa dari setiap jaman adalah ide-ide yang
berkuasa [dan menegaskan bahwa posisi negara liberal adalah sebagai alat bagi
kelas borjuis].[5] Selanjutnya Engels memberi penegasan yang lebih definitif,
di dalam The Origin of the Family, Private Property and the
State. Engels mengatakan
bahwa negara muncul sebagai kebutuhan untuk menjaga antagonisme kelas-kelas, di
dalam pertarungan kelas-kelas, yang pada akhirnya menjaga kekuatan kelas yang
kuat secara ekonomi sebagai alat untuk mengeksploitasi kelas tertindas.[6] Dan
Lenin, di dalam Negara dan Revolusi, dengan mengutip dari Marx dan Engels, menegaskan
sekali lagi, bahwa negara adalah ciptaan "tata tertib" yang
melegalkan dan mengekalkan penindasan dengan memoderasikan bentrokan antar
kelas.
Penjelasan di atas,
yang merupakan kritik Marxis terhadap realitas negara liberal borjuis, sudah
cukup untuk mengambil kesimpulan politik mengenai watak pemilu di dalam batasan
negara liberal borjuis yang akan digelar dalam beberapa bulan mendatang, bahwa
pemilu tersebut adalah permainannya kaum borjuis yang melibatkan seluruh rakyat
tanpa hak apapun: rakyat tidak memiliki hak recall, tidak memiliki hak untuk mengiliminasi, dan
tidak ada referendum untuk tetap mendudukkan atau menurunkan posisi para
penguasa.
Kemungkinan teoritik
yang lain juga tidak menegaskan potensi dari kerja politik penguasa menuju ke
arah yang pro terhadap rakyat tertindas—bahkan terhadap rakyat secara
keseluruhan. Penguasa baru akan tetap menjadi “Penjaga Malam” bagi pemilik
kapital. Ruang-ruang ekonomik rakyat kecil tetap akan digusur dengan alasan
untuk pembangunan infrastruktur demi membangun iklim investasi untuk kemakmuran
bersama. Tugiman tetap akan menjadi Si Tugiman; Paimo akan tetap menjadi buruh
pabrik dengan gaji kecil; dan Kang Kawuk masih tetap meratapi nasib buruknya di
samping truk sampah.
Lalu apa sikap kaum
Marxis terhadap pemilu mendatang? Sikap politik kaum Marxis dimulai dari
karakter negara borjuis yang sudah secara singkat dikupas di atas dan tugas
kita untuk mengeksposnya di mata rakyat pekerja lewat propaganda, menghancurkan
segala ilusi yang ada pada negara dan parlemen liberal. Tujuannya akhirnya
adalah menghapusnya secara revolusioner dan membangun negara baru di tempatnya,
negara buruh. Bahkan ketika kita menggunakan parlemen borjuasi lewat
partai buruh – seperti partai-partai buruh massa yang ada di Inggris, Brazil,
Prancis, Belgia, Afrika Selatan, dll. – tujuan kita tetaplah untuk mengekspos
karakter kelas dari negara liberal tersebut dan membongkar setiap prasangka
borjuis-demokratik yang ada di dalam pikiran setiap buruh. Inilah yang
seharusnya menjadi esensi dari “melawan pemilu”, yang bukan hanya penolakan
ultra-kiri dan anarkistis terhadap pemilu borjuasi.
Melawan pemilu bukan
berarti “golput” pasif, dan “golput” harus dipahami dengan tidak sederhana,
namun harus dipahami dalam perspektif yang progresif. “Golput” dalam arti
“melawan pemilu” merupakan sikap antitesa terhadap rejim borjuis: melawan kelas
borjuis sebagai kelas penghisap, melawan negara liberal borjuis sebagai negara
penindas, dan melawan ilusi-ilusi borjuasi; melawan “The Powers”. Golput dalam situasi hari ini di Indonesia
mengekspresikan kebutuhan untuk membangun organisasi politik massa buruh.
Diskursus “melawan
pemilu” harus terus dipropagandakan, agar menjadi diskursus publik; menjadi
sikap politik publik luas untuk tidak memilih; menjadi medium dan momentum
untuk mengkonsolidasi seluruh elemen tertindas secara masif.
Kamerad Pandu, salah
seorang pengajar Seminari, memberikan ilustrasi yang menarik tentang pemilu
borjuis. Menurutnya pemilu borjuis tak ubahnya seperti sebuah permainan absurd; permainan yang melibatkan seluruh elemen
masyarakat sebagai penonton untuk bertepuk-tangan. Namun usai permainan
digelar, masyarakat penonton pulang dengan membawa lelah dan penyesalan, karena
tidak mendapatkan apa-apa dari acara tersebut. Mereka hanya mendapatkan
kegembiraan sesaat—kegembiraan artifisial. Selanjutnya mereka akan tetap
menjalani hidup seperti semula: menjadi buruh, pemulung, tukang parkir, tukang
angkut, tukang pijet, sopir, budak si tuan, dan sebagainya.
Ya, pemilu borjuis
sebagai bagian dari negara borjuis, pada analisis terakhir, hanyalah satu dari
berbagai aparatus penindasan terhadap kaum buruh dan rakyat tertindas. Sebaik
dan sepopuler apapun orang-orang yang sedang maju ke tampuk kekuasaan, di dalam
batasan negara liberal borjuis, tetap saja akan menjadi “serigala” bagi yang
lain. Tak ada kata yang tepat dalam menyambut “pesta demokrasi” ini
kecuali dengan kalimat “Lawan Pemilu Borjuis dan Bangun Partai Kelas
Buruh!”
[1] Hobbes, Leviathan: “Reputation of power, is Power; because it
draweth with it the adhaerance of those that need protection.”
[2] Locke, The Second
Treatise of Civil Government: “A state also of equality, wherein all the power and
jurisdiction is reciprocal, no one having more than another; there being
nothing more evident, than that creatures of the same species and rank,
promiscuously born to all the same advantages of nature, and the use of the
same faculties, should also be equal one amongst another without subordination
or subjection, unless the lord and master of them all should, by any manifest
declaration of his will, set one above another, and confer on him, by an
evident and clear appointment, an undoubted right to dominion and sovereignty.”
[3]Ibid: “Political power, then … for the regulating
and preserving of property….”
[4] Rousseau, The Social
Contract, dalam bab “Real
Property”.
[5]The German Ideology: “The ideas of the ruling class are in every
epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of
society, is at the same time its ruling intellectual force.”
[6] Engels, Origins of
the Family, Private Property, and the State (dalam bab “IX. Barbarism and Civilization):
“As the state arose from the need to keep class antagonisms in check, but also
arose in the thick of the fight between the classes, it is normally the state
of the most powerful, economically ruling class, which by its means becomes
also the politically ruling class, and so acquires new means of holding down
and exploiting the oppressed class.”