Dokumentasi saya mencatat hal mengenai TPP ini pertama kali
muncul dalam agenda kunjungan Presiden Jokowi ke gedung putih, Amerika Serikat
untuk bertemu dengan Presiden USA, Barrack Obama. Kutipan kalimat Jokowi saat “berbincang
santai” dengan Obama seperti yang saya kutip dari BBC adalah sebagai berikut : “Butir
kedua pembicaraan yang disampaikan Presiden joko Widodo, bersama Presiden AS
Barack Obama sambil duduk santai depan tungku perapian itu adalah tentang
ekonomi. Disebutkan Jokowi, Indonesia adalah negara ekonomi terbuka dan
terbesar di Asia Tenggara. Lalu, kata Presiden, "dan Indonesia bermaksud
bergabung dengan TPP."
TPP adalah Trans Pacific Partnership, Kemitraan Trans
Pasifik, sebuah blok perdagangan bebas yang baru resmi diteken 5 Oktober lalu
sesudah perundingan selama lima tahun. Beranggotakan 12 negara: Amerika
Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Cile, Peru, dan
empat negara Asia Tenggara: Malaysia, Singapura, Brunei dan Vietnam. Blok
ekonomi TPP ini akan nyaris menghapuskan tarif perdagangan di 12 negara yang
mencakup 40% perekonomian dunia. Ini pasar yang teramat besar bagi
akumulasi capital Negara bercorak ekonomi liberal. Maka Nampak jelas bahwa roh
dari kesepakatan ini adalah perdagangan bebas yang tentu akan menghilangkan
peran dan fungsi Negara (pemerintah) dalam civitas ekonominya, karena pelaku
utama dari perdagangan bebas ini sejatinya bukanlah state to state atau
government to government tetapi kaum liberalis yakni berwujud investor “berkebangsaan”.
Kaum liberalis ini yang kemudian “menguasai” pemerintahan suatu Negara guna
dijadikan sebagai alat legitimasi kepentingannya. Dan TPP sebagai gagasan dari
sebuah Negara ini adalah salah satu wujud dari penggunaan Negara sebagai instrument
pelaksana idenya.
Dalam kesepakatan skema TPP, terdapat komponen Investor-State
Dispute Settlement (ISDS). ISDS adalah instrumen hukum internasional di mana
investor dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah sebuah negara bila
menilai bahwa kebijakan pemerintah bersangkutan menghambat investasi mereka.
Sekilas Pandang
Kondisi Ekonomi-Politik International
Bila kita kembali pada krisis 2008 sebagai sebuah periode
pengulangan dari krisis 1929, maka kita akan menemui hal-hal yang mirip. Saat
itu kapitalis yang berjudi di pasar bursa menikmati segala keuntungan.
Harga-harga saham mereka melejit. Sambil mengangkat sampanye, serta sambil
mengucapkan selamat di antara mereka sendiri, mereka berbahagia seakan-akan
kebahagiaan ini bisa bertahan selamanya. Namun, tiba-tiba bencana itu datang.
Wajah kebahagiaan mereka sontak berubah menjadi pucat. Sejak saat itu mereka
tidak lagi menikmati saat-saat indah. Meskipun kebijakan moneter dalam waktu
singkat mampu merangsang pertumbuhan, namun hal itu tidak mampu mengembalikan
pertumbuhan ekonomi sebelum depresi, bahkan angka pertumbuhan melejit turun ke
bawah. Tidak ada konsumsi; tidak ada daya beli. Seakan-akan manusia
ditenggelamkan kembali ke peradaban miskin pada masa yang telah lalu, dimana
kelaparan, gizi buruk, pengangguran, kemiskinan, mewabah seperti wabah pes yang
menjangkiti dunia.
Begitu pula pada krisis 2008. Krisis ini tidak hanya
menyeret perekonomian Amerika ke dalam jurang krisis melainkan juga menyeret
Inggris dan Jepang. Sejumlah langkah intervensi moneter yang sebelumnya sudah
dilakukan pada tahun 1929 diulangi kembali. Pihak otoritas keuangan memberikan
program uang murah untuk mem-bailout para kapitalis yang sedang jatuh ini,
berharap dengan membeli saham-saham yang sebelumnya sudah terjual mereka mampu
mendongkrak perekonomian mereka kembali. Seperti Hegel yang sering berkelakar,
bahwa sejarah mengulangi dirinya, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai
lelucon. Yah, ini adalah lelucon. Melainkan lelucon ini sering diulang-ulang
bahkan pada periode yang sama tahun 1789, 1917, 1929 dan diulangi lagi pada
2008 maka lelucon ini sudah tidak bisa dianggap lagi sebagai lelucon, namun
lebih tepat pada sebuah kekonyolan. Hal ini dibuktikan dengan timbulnya efek
domino diantara Negara-negara penganut ekonomi liberal akibat krisis
(finansial) yang terjadi di Amerika sebagai nahkoda kapitalisme international.
Uni Eropa Hari Ini
Bayang-bayang kekhawatiran akan masa depan Uni Eropa
nampaknya belum hilang dari kepala pakar ekonomi dunia hari ini. Baris-baris
kekhawatiran itu terlihat pada angka-angka pengangguran yang masih belum juga
turun. Negara-negara yang tergabung dalam Zona Eropa, terutama Yunani, berjuang
mati-matian mengurangi tingkat utang mereka yang sudah sampai seleher, dan
belakangan ini mencekik mereka. Jalan pengetatan anggaran, mulai dari menaikkan
pajak, PHK pekerja, serta memangkas jaminan-jaminan sosial, telah ditempuh.
Semua ini berakhir sia-sia dan hanya menciptakan kekacauan. Segala pemotongan
anggaran ini nampaknya belum cukup. Upaya mendorong investasi produktif dengan
memberi suntikan masif uang ke dalam perekonomian tetap tidak mampu
meningkatkan jumlah pekerjaan. Bisnis-bisnis terpaksa harus tutup. Banyak dari
orang Eropa terpaksa menganggur; dan sisanya terpaksa bekerja dengan upah yang
sangat rendah. Para orang tua dengan raut muka sedih mengawasi anak-anak mereka
terbang ke negara-negara lain mencari pekerjaan. Serta tidak sedikit dari
mereka harus membawa koper-koper besar, meninggalkan masa kecil mereka yang
bahagia karena rumah mereka disita. Inilah gambaran dari Uni Eropa hari ini,
yang tersandung dari satu krisis ke krisis lainnya, jauh dari harapan megah
yang dibayangkan oleh kaum kapitalis puluhan tahun yang lalu ketika mereka
menggagaskan Masyarakat Ekonomi Eropa.
Krisis ini yang pecah semenjak 2008 seperti yang juga
dikatakan oleh sejumlah ekonom borjuasi yang lebih cerdas seperti John Ing, CEO
Maison Placements Kanada, merupakan gladi resik bagi krisis selanjutnya yang
bahkan cakupan bisa jadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Ini sepenuhnya tak
terbantahkan. Penyatuan mata uang bersama yang digagas lebih dari 15 tahun yang
lalu telah menyeret satu per satu negara anggotanya seperti reruntuhan rumah
kartu. Impian yang sebelumnya mereka bangun akan Pax Romana telah
hancur dan tidak bisa dibangkitkan lagi darinya. Situasi ini seperti mengulangi
apa yang mereka bangun sebelum Perang Dunia II, dimana perekonomian dunia saat
itu terhuyung-huyung dan berakhir pada bencana besar kemanusiaan.
Masalah klasik yang akan terus dihadapi kapitalisme adalah
over produksi dan menurunnya daya beli masyarakat termasuk didalamnya adalah
kelas pekerja yang merupakan pasar produksi kapitalnya. Seiring nafsu liarnya
tentang kuantitas produksi dan politik upah murah demi memperbesar profit,
justru akan menghancurkan kedigjayaan kapitalnya. Maka langkah ilutif yang akan
dilakukan kapitalisme adalah memperluas pasar dan menguasai seluruh komponen
produksi dalam “aturannya”. Inilah mengapa tahapan tertinggi dalam kapitalisme
adalah imperialism dengan berbagai wujudnya. Kapitalisme yang disebut Marx
harus “bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan di
mana-mana”, atau dalam kata lain harus mengglobal – memberontak melawan
batas-batas negara bangsa yang sempit. Dengan berbagai skema – perjanjian
perdagangan bebas, pembentukan masyarakat ekonomi, dsb. kapitalisme mencoba
menanggulangi kontradiksi ini. Tetapi usahanya ini hanya menciptakan basis yang
lebih luas dan dalam untuk krisis kapitalisme yang lebih merusak, seperti yang
kita lihat hari ini. Maka pantas jika langkah solutif bagi Kapitalisme untuk
menanggulangi krisis yang berasal darinya merupakan tindakan ilutif yang saya
ibaratkan sebagai tindakan seseorang yang ingin menghilangkan dahaga dengan
meminum air laut.
Tiongkok menjadi “Naga”
penguasa Asia
Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, Ekonomi Tiongkok terus
meroket hingga kini patut dicap sebagai penguasa ekonomi di kawasan Asia raya,
sekaligus menjadi perusak dominasi kekuasaan AS di Asia. Tiongkok menjalankan
doktrin Bukharin tentang sebuah pembukaan terhadap kapitalisme yang terkontrol
yang dianjurkannya dalam perdebatan tentang Kebijakan Ekonomi Baru (New
Economic Policy, NEP) di Rusia pada dekade 1920-an. Wujud dari doktrin tersebut
adalah menciptakan kelompok kapitalis dalam kontrol Negara (pemerintahan partai
tunggal-partai Komunis Tiongkok) sebagai alat atau bagian dari integrasinya
terhadap hubungan international yang bertujuan untuk menghancurkan kekuasaan
ekonomi sekutu terkhususnya di kawasan Asia raya. (pertentangan ideologis?)
Matterialisme-Dialectica sebagai senjata kelas pekerja tentu
dapat melihat kontradiksi internal dalam penerapan doktrin NEP ini. Yakni,
meskipun kapitalis dapat terkontrol dalam kerangka pemerintahan sosialis, namun
porsi kekuatan kapitalis walau sekecil pun tetap melahirkan kontradiksi
antagonis, yakni pertentangan tak terdamaikan dengan kelas proletariat. Maka dalam
bentuk sebuah Negara dengan wilayah yang besar dan menerapkan ekonomi
kapitalistik didalamnya, Tiongkok tentu akan menghadapi masalah klasik dari Kapitalisme, yakni over produksi dan
menurunnya daya beli masyarakat, termasuk didalamnya adalah kelas pekerja
sebagai pasar dari produksi capital.
Lantas apa yang dilakukan “Kapitalisme” Tiongkok? Ekspansi
merupakan jawaban pasti dari penyakit kapitalisme tersebut. Tidak hanya produk
barang saja yang secara massif di sebarkan Kapitalis Tiongkok. Namun dengan
kekuasaan politiknya, kini Tiongkok berupaya mengekspansi kelas pekerjanya ke
segala wilayah yang terlihat sebagai “pasar” di mata kapitalisme. Sejarah pernah
mencatat bahwa Tiongkok pernah menerapkan kebijakan isolasi diri terhadap dunia
“luar”. Namun dengan berlakunya doktrin NEP, maka Tiongkok harus lebih aktif
menjalin hubungan dengan dunia “luar”, dengan tujuan tidak lain adalah “menguasai”
pasar Kapitalisnya. Sejatinya menurut matterialisme dialectia, langkah Tiongkok
merupakan peluang besar bagi perjuangan proletariat, karena Tiongkok sebagai Negara
berpopulasi tinggi dan hegemoni kebangsaan yang nyaris merata diseluruh bumi
telah menjadikan Tiongkok sebagai negeri dengan proletariat terbanyak di dunia.
Napoleon pernah berkata, “Ketika Tiongkok bangkit, dunia akan bergetar.” Sehingga
sekali proletariat Tiongkok yang perkasa sebagai kelas memasuki arena sejarah
badai revolusioner itu tidak akan dapat dihentikan.
Kembali ke Indonesia
dan Imperialisme sebagai tahapan tertinggi dari Kapitalisme
Berdasarkan kondisi kapitalisme yang belum sembuh dari
krisisnya yang terdalam sejak era 20an, maka berbagai upaya ekonomi-politik
terus digalakkan sebagai penawar dari kenyataan pahit bahwa kapitalisme
merupakan system usang yang terbukti gagal menciptakan kesejahteraan bagi umat
manusia. MEA (masyarakat Ekonomi Asean), CAFTA, WTO, EU (Europe Union), hingga
TPP adalah berbagai bentuk upaya “mengimperiumkan” suatu wilayah menjadi pasar
bagi kapitalisme.
Jika merujuk kepada TPP, maka akan kita dapati bahwa Gagasan
utama yang mendasari disusunnya skema TPP AS adalah kebijakan proteksi terhadap
aset-aset ekonomi dan produk-produk Amerika dalam persaingannnya dengan
negara-negara lain. Terutama dengan Tiongkok yang dipandang Washington sebagai
pesaing utama di ranah ekonomi dan perdagangan. Khususnya dalam merebut
pengaruh dan pangsa pasar di kawasan Asia Pasifik.
Yang menjadi isu strategis yang diusung Amerika adalah Intellectual
Property Right (IPR), Electronic Commerce dan Cross border data
flow (Arus informasi lintas negara), Badan Usaha Milik Negara (State
owned Enterprise), dan akses pasar bagi produk-produk tekstil dan garmen. Tak
heran jika The United States Trade Representative (USTR) hanya
bersedia membuka akses pasar kepada beberapa negara yang dipandang sebagai
sekutunya yang setuju dengan skema TPP AS seperti Selandia Baru, Brunei,
Vietnam, dan yang sekarang sedang diharapkan yaitu Indonesia. Dan tentu saja
kepada Meksiko dan Kanada yang selain sudah menjalin ikatan dengan Amerika
terkait TPP, juga merupakan sekutu strategis AS sejak era Perang Dingin. Aspek
lain yang ditekankan Amerika melalui skema TPP adalah, penekannya pada hubungan
dan kerjasama bilateral antar negara, dan menghindari kesepakatan-kesepakatan
strategis melalui forum multi-lateral. Sehingga bisa menekan negara mitra
dialognya baik secara offensive maupun defensive dalam rangka
mengamankan kepentingan-kepentingan strategis perdagangan Amerika. Amerika pada
dasarnya menggunakan skema TPP ini untuk melindungi atau menerapkan kebijakan
proteksi terhadap sektor-sektor sensitif seperti Gula, susu, gandum, dan
daging. Bisa dipahami jika Amerika sangat berkepentingan untuk mengamankan kebijakan-kebijakan
perekonomian di sektor pertanian dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik,
termasuk Indonesia. Bahkan saat ini, asosiasi-asosiasi pebisnis di sektor
industri dan jasa Amerika, juga punya pertaruhan yang cukup besar di
negara-negara kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, mengingat semakin menguatnya
pengaruh Tiongkok yang saat ini mengimbangi pengaruh Jepang dalam bidang
ekonomi dan perdagangan.
Dalam TPP yang dinakhodai Amerika Serikat, posisi tawar
Indonesia akan lemah. Indonesia tidak memiliki ruang negosiasi. Indonesia yang
bergabung belakangan setelah TPP disepakati oleh 12 negara pendiri kehilangan
momentum untuk ikut menyusun aturan main. Masuk sebagai anggota non-regime
maker akan membuat Indonesia tidak punya pilihan selain mengikuti standar
yang sudah ada yang dibuat berdasarkan kepentingan negara pendiri. Ikut ke
dalam blok perdagangan bebas kawasan yang diisi negara-negara produsen utama
dunia, akan membebaskan akses perusahaan asing sampai ke dalam kegiatan
pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai triliunan dolar AS
dari serapan APBN.
TPP menerapkan aturan nondiskriminasi dan ‘national
treatment’ bagi perusahaan asing. Artinya, setiap perusahaan dan negara, tidak
peduli kapasitasnya, dianggap punya posisi yang setara. Ini tentunya hanya
menguntungkan korporasi-korporasi manufaktur besar yang berasal dari negara
besar seperti AS, karena cuma harus berlomba dengan korporasi kelas teri dari
negara seperti Indonesia. Hasilnya sudah bisa diduga, negeri dengan 250 juta
penduduk ini hanya akan jadi pasar menggiurkan bagi korporasi asing.
Salah satu alasan pemerintah untuk bergabung ke dalam TPP
adalah untuk memulihkan perekonomian nasional. Sayangnya, strategi tersebut justru
akan jadi racun bagi kedaulatan ekonomi rakyat jika mengacu pada perjanjian
yang sudah ditetapkan 5 Oktober lalu. Negara anggota TPP seperti Indonesia
harus secara perlahan memprivatisasi BUMN. Jika seperti ini TPP tidak ada
bedanya dengan paket penyesuaian struktural IMF tahun 1998 lalu, di mana PT
Indosat, PT Garuda Indonesia, PT Telkom, PT Krakatau Steel, dan PT Semen Gresik
harus rela dijual ke pihak asing.
Indonesia mestinya belajar dari pengalaman ikut serta dalam
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang punya tujuan sama, menghilangkan
berbagai hambatan tarif. Meski di sana Indonesia berperan sebagai regime
maker, dampak buruk dari ACFTA yang resmi berlaku sejak 2010 langsung dirasakan
tahun berikutnya, perdagangan Indonesia dengan Cina defisit dua kali lipat.
Dari sisi rezim internasional, ada benarnya ketika menilai
TPP akan memberatkan Indonesia. Indonesia akan langsung berhadapan dengan
aturan, ketentuan dan syarat yang sudah dibuat sesuai kepentingan khusus negara
pendiri, terutama Amerika Serikat. Belum lagi jika menimbang 29 pasal dalam TPP
yang jelas-jelas ingin membebaskan segala hambatan perdagangan termasuk
memprivatisasi BUMN.
Pada tataran ini, Indonesia sebagai negara terbesar di
kawasan ASEAN dan Asia Tenggara pada umumnya, harus memandang tren ini secara
cermat dan penuh perhitungan. Karena di balik gagasan TPP untuk menggalang
dukungan dari negara-negara Asia Pasifik, sasaran sesungguhnya adalah untuk
membendung pengaruh dan kekuatan Tiongkok sebagai negara adidaya baru di
kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. (sudahkah menentukan
pertarungan blok ideologis?).
Apakah rencana keikutsertaan Indonesia dalam TPP ini juga
ternyata merupakan upaya kaum borjuasi nasional (sebagai agen dari kapitalisme
international) yang gagal dalam menciptakan masyarakat maju dan secara terus
menerus menghasilkan pundi pundi kekayaan baginya dikarenakan krisis
kapitalisme yang tak kunjung sembuh dan makin terjerembab ke lobang terdalam? Ini
merupakan realitas yang seharusnya menyadarkan kaum pekerja sebagai kelas untuk
bangkit dan melantangkan suara bahwa kapitalisme merupakan system yang terbukti
gagal mensejahterakan umat manusia. Tidak ada yang bisa lepas dari jerat
kapitalisme dunia, tidak di Eropa, tidak pula di Indonesia. Sekarang kita
melihat kejatuhan ekonomi di mana-mana. Kapitalisme telah mengikat seluruh
dunia di dalam fenomena globalisasi. Kejatuhan ekonomi di belahan dunia lain
akan mendorong kejatuhan di negeri-negeri lain. Semua ini mempersiapkan
sebuah panggung bagi perjuangan kelas skala dunia yang cakupannya jauh lebih
luas dan dalam.
Situasi dunia telah menunjukkan bahwa kapitalisme
menciptakan derita tanpa akhir bagi peradaban manusia, ia telah menunjukkan
batas-batas ketidakmampuan dirinya membawa maju masyarakat. Sistem ini harus
segera diakhiri bila peradaban manusia tidak ingin jatuh ke dalam barbarisme
yang paling mengerikan. Situasi dunia telah menghadirkan segala yang
dibutuhkan bagi sebuah revolusi sosialis. Yang dibutuhkan sekarang adalah
faktor subyektif, yakni kepemimpinan kelas pekerja, sebagai faktor yang sadar
untuk mendorong sistem yang sedang sakit ini ke dalam tong sampah sejarah serta
menggantikannya dengan sistem perencanaan ekonomi secara sadar yang dikontrol
oleh rakyat pekerja, yakni sosialisme.
*reff berbagai sumber.