Tuesday, October 20, 2009

COLLECTIVISM vs INDIVIDUALISM

UUD 45 Antidemokrasi ?

Paham ’kolektivisme (gotongroyong)’ versus paham ’individualisme

Akhir-akhir ini terjadi perdebatan pro dan kontra kembali ke UUD 1945 yang asli yang disahkan oleh sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Undang-undang dasar sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa, lebih tepatnya bagi eksistensi suatu negara dari suatu bangsa. Maka persoalan UUD 1945 Republik Indonesia, baik yang asli maupun yang telah diamandemen 4 kali, adalah masalah penting bagi kita bangsa Indonesia. Presiden SBY sendiri telah memberikan pandangannya mengenai tuntutan kembali ke UUD 45 yang asli. Kita menyambut baik semua pikiran dan pendapat yang diajukan secara terbuka melalui berbagai media, sebagai tanda kepedulian kita semua terhadap undang-undang dasar negara Republik Indonesia.

Seperti halnya semua UUD di semua negara, UUD 45 pun
tentu tidak sempurna. Perlu dilakukan amandemen terus menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Empat kali amandemen UUD 45 kita telah menyempurnakan sebagian isi undang-undang dasar tersebut, seperti : negara Indonesia adalah negara hukum. (Bab I, pasal 1 ayat 3); seorang presiden yang sama hanya boleh menjabat 2 kali masa jabatan (Bab III, pasal 7 ); anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN (Bab XIII, pasal 31, ayat 4), dsbnya.

Disamping penyempurnaan, amandemen juga mengubah sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari ”sistem demokrasi perwakilan” yang selama ini kita anut menjadi ”sistem demokrasi langsung”. Kepala kekuasaan eksekutif seperti presiden, gubenur, bupati tidak lagi dipilih oleh wakil-wakil rakyat melalui MPR, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu presiden, gubenur dan bupati. Perubahan sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari pusat sampai ke daerah ini pada hakekatnya telah melanggar salah satu sila dasar negara kita - Panca Sila dan Pembukaaan UUD 45 itu sendiri. Padahal, semua fraksi DPR yang melakukan perubahan tersebut sepakat untuk tetap menjadikan Panca Sila sebagai dasar negara dan juga sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 45. Bukankah kejadian ini merupakan suatu keanehan ? Persetujuan atas Panca Sila sebagai dasar negara dan Pembukaan UUD 45 tidak bisa lain harus menyetujui sistem demokrasi ”perwakilan rakyat, musyawarah dan mufakat” (Panca Sila 1 Juni 1945) dan prinsip ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” (Pembukaaan UUD 45). Apakah gejala ini bukan suatu sikap tidak terpuji lain kata, lain perbuatan ?

Satu pendapat mengatakan bahwa kelemahan mendasar UUD 45 yang asli terletak pada paham integralistik dengan penjelasan ” eksistensi institusi MPR ini yang dikatakan merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan karena itu memegang dan menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga memiliki kekuasaan tertinggi. Ketika MPR terbentuk, rakyat tak lagi memiliki kedaulatan sebab telah habis diserahkan kepada MPR dalam bentuk pemberian suara pada pemilu. Dengan dipilihnya Presiden oleh MPR, kedaulatan rakyat habis dipegang dan dijalankan oleh Presiden. Konsekuensinya Presiden memiliki kewenangan yang luas dan tak terbatas. ( Kembali ke UUD 45, Anti Demokrasi, Kompas, 10 Juli 2006).

Benarkah menurut UUD 45 presiden memiliki kewenangan yang luas dan tak terbatas ?.Apakah bukan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan tak bisa dikontrol ?Untuk memahami hal ini baiklah kita bandingkan bagaimana perbedaan UUD 45 yang asli dengan UUD 45 Amandemen dalam menetapkan kekuasaan eksekutif dari pusat hingga daerah.

Menurut UUD 45 yang asli :

• MPR terdiri dari anggota-anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat- yang dipilih oleh rakyat, ditambah dengan utusan-utusan daerah, golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

• MPR menetapkan Undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara;

• MPR memilih presiden dan wakil presiden.

Pemilihan presiden oleh MPR merupakan pelaksanaan sila demokrasi perwakilan rakyat, musyawarah dan mufakat dari dasar negara Panca Sila dan pelaksanaan Pembukaan UUD 45 “Kerayatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan”. Sebelum memilih presiden, MPR harus menetapkan GBHN yang harus dilaksanakan oleh presiden terpilih. Dengan demikian, selain berpegang kepada undang-undang dasar, kekuasaan presiden sebagai kepala kekuasasan eksekutif, juga dibatasi oleh GBHN. Bila menyeleweng dari UUD 45 dan GBHN, presiden dapat dikontrol dan ditegur, bahkan diberhentikan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

Menurut UUD 45 Amandemen :

• Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Disini rakyat digiring untuk memilih seorang presiden dan setelah menang, presiden tersebut hanya dibatasi oleh undang-undang dasar yang bersifat umum. Tidak ada lagi GBHN yang merupakan tujuan dan strategi bangsa selama 5 tahun. Dalam sistem ini, seorang presiden berhak menentukan kebijakan negara selama 5 tahun sesuai penafsirannya sendiri terhadap undang-undang dasar. Bila seorang presiden memanipulasi penyewengan kekuasaan yang diembannya, amat sulit menarik kembali mandat rakyat yang telah diberikan kepadanya seorang dan akan terjadi perdebatan berkepanjangan sampai masa jabatannya berakhir.

Dari kedua sistem pemilihan presiden ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa sistem pemilihan presiden secara langsung hasil amandemenlah yang cenderung memberikan “kewewenangan yang luas dan tak terbatas kepada seorang presiden. Maka amandemen tentang sistem pemilihan kekuasaan eksekutif dari pusat sampai ke daerah ini merupakan kemunduran dalam sistem ketatanegaraan kita.

Negara Indonesia adalah insitusi bersama yang mengayomi seluruh kepentingan bangsa Indonesia. Maka pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara Indonesia tentu juga harus mengayomi seluruh kepentingan bangsa Indonesia. Di jaman kapitalisme sekarang ini, kapital, apakah itu kapital global ataupun kapital nasional berusaha mempengaruhi kekuasaan negara agar dapat menguntungkan kepentingan mereka. Ini terjadi dimana-mana. Kita tahu bahwa adalah watak dari kapital yang selalu mencari untung tanpa mempedulikan kepentingan rakyat maupun lingkungan hidup. Pembatasan pengaruh buruk kapital pada negara hanya dapat dilakukan oleh masyarakat/rakyat yang terorganisasi.

Dewasa ini kapital global sangat gencar mengkampanyekan ideologi neo-liberal. Mereka mengusung pemilihan langsung kekuasaan eksekutif sebagai senjata ampuh dalam menghadapi kekuatan masyarakat/rakyat yang terorganisasi. Kaum neo-liberal merasa mendapat hambatan bila suatu negara menganut sistem pembentukan kekuasaan eksekutif melalui demokrasi perwakilan, karena mereka harus mempengaruhi banyak wakil-wakil rakyat yang tentu tidak semuanya akan dapat mereka pengaruhi. Maka dengan mempropagandakan sistem pemilihan langsung bagi pembentukan kekuasaan eksekutif, mereka dapat menceraiberaikan kekuatan masyarakat yang terorganisasi menjadi individu-individu yang terpisah satu sama lain bagaikan butiran-butiran pasir yang terceraiberai. Bersamaan dengan itu, kaum neo-liberal mengecam sistem pemilihan kekuasaan eksekutif Indonesia yang melalui MPR sebagai ”permainan elite politik”. Pemilihan presiden secara langsung, sama saja menyuruh rakyat memilih seorang diktatur, karena setelah sang calon menang dalam pemilu, maka ia akan menjalankan programnya sendiri. Hal ini berbeda dengan sistem pemilihan tidak langsung, dimana MPR kita yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang berjumlah ratusan itu, pertama-tama mendiskusikan dan menyusun GBHN, kemudian memilih presiden yang bertanggungjawab melaksanakan GBHN tersebut. Dengan mudah dadpat dilihat manakah yang lebih demokratis : rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada satu orang atau kepada ratusan wakil-wakilnya ?

Disamping menghancurkan sistem pemilihan tidak langsung kita, kaum neo-liberal juga mencoba menguasai rakyat dengan semacam organisasi yang sangat tergantung kepada individu, yaitu LSM. Maka dalam suatu masa menentang sistem otoritarian Orde Baru, kaum neo-liberal memberikan banyak bantuan bagi sejumlah LSM yang katanya untuk membantu melahirkan sistem demokrasi di Indonesia. Yang sebenarnya adalah kaum neo-liberal menggunakan kesempatan dimana rakyat Indonesia sedang menentang otoritarianisme Orde Baru, melancarkan liberalisasi sistem politik dan ekonomi Indonesia. Tak percaya ? Pelajarilah dengan seksama Letter of Intent yang ditandatangani antara IMF kepada Pemerintah Orde Baru, Januari 1998 ! Sayangnya sementara kaum intelektual kita tidak bisa membedakan antara ”demokratisasi” dengan ”liberalisasi”.!

Pertarungan antara kedua sistem pemilihan kekuasaan eksekutif ini merupakan pertarungan antara ’ideologi individualisme’ dengan ’ideologi kolektivisme’ alias gotongroyong. Tergantung kita, dimanakah kita akan berpijak. Sebagai suatu bangsa, kita tentu menginginkan bangsa Indonesia berhasil mencapai cita-citanya membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dan tujuan itu hanya dapat dicapai bila kedaulatan rakyat berada ditangan wakil-wakil rakyat, bukan ditangan seorang individu !

Marilah kita mengambil sikap menuntut agar dilakukan amandemen kembali terhadap ”UUD 45 Amandemen”. Apanya yang perlu diamandemen kembali ? Yaitu : kembali kepada sistem demokrasi perwakilan sesuai dengan Panca Sila dan Pembukaaan UUD 45 itu sendiri. Hanya dengan sistem pemilihan kekuasaan eksekutif melalui perwakilanlah rakyat dapat mengontrol pemerintah agar tidak menjadi kapital global seperti sekarang ini. Hanya rakyat Indonesia yang terorganisasi dengan baik melalui sistem demokrasi perwakilanlah yang akan mampu mengembalikan kedaulatan negara ketangan rakyat Indonesia !




Baca Selengkapnya

Wednesday, September 16, 2009

kiri

Apa sih yang Disebut Kiri Itu?
Oleh Andia, 23-01-2007

Kiri, adalah jika orang berdiri menghadap ke Timur maka di sebelah kirinya adalah Utara. Suka atau tidak suka. Dan di sebelah kanannya adalah Selatan, juga suka atau tidak suka.

Di Amerika, yang disebut kiri atau left berarti “The individuals and group who advocate the adoption of sometimes extreme messure in order to achieve the equality, freedom, and well-being of the citizens of a state”. (Perorangan atau kelompok yang membenarkan dipakainya sewaktu-waktu tindakan ekstrim untuk mencapai persamaan, kemerdekaan, dan kesejahteraan warga negara dari suatu negara). Dan berarti juga “The opinion of those advocating such messures as opposed to conservative opinion”. Jadi ringkasnya “kiri” itu kebalikan dari
“konservatif”.

Dahulu ketika kita dijajah, kaum kolonial Belanda mengonotasikan bahwa seseorang yang berpeci itu adalah “kiri” alias penentang pemerintah kolonial Belanda. Barangkali juga ada benarnya, sebab Alimin tokoh PKI yang memberontak tahun 1926 memakai peci, Soekarno yang dirikan PNI di tahun 1927 dan bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda, juga memakai peci.

Terjadilah suatu peristiwa di Sekolah Menengah Umum yang ketika itu masih disebut AMS (Algemeene Midelbare School) di Jogja. Seorang murid sekolah itu memasuki kelas memakai peci di kepalanya. Begitu dia duduk, gurunya yang Belanda itu menghardik: “Der af of deruit”. Artinya: “tanggalkan atau keluar”. Sudah tentu yang dimaksud adalah peci di kepala si murid. Dengan tenang si murid berdiri dan melenggang ke luar kelas. Murid itu bernama Moh. Yamin.

Sekitar 80 tahun yang lalu, Sarekat Islam dengan pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dalam suatu kongresnya melahirkan keputusan: “Berjuang melawan kapitalisme yang zalim”, dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto… memakai peci alias kopiah. Maka di mata Belanda kolonial, berpeci berarti kiri.

Dari kenyataan tersebut di atas, terbukti yang disebut kiri itu adalah pihak yang tidak betah pada keadaan yang berlangsung dan menghendaki perubahan untuk menjadi lebih baik. “Kehendak untuk menjadi lebih baik”, setiap orang bernalar sehat tidak akan mempersalahkannya.

Dan manakala si kiri itu naik ke pentas kekuasaan, manakala dia tidak melanjutkan kekiriannya, untuk senantiasa dengan sungguh mengupayakan perbaikan-perbaikan untuk lebih baik dari yang sudah dicapai, maka ia akan terperosok menjadi “kanan” dan kekananannya itu akan melahirkan “kiri” baru yang lebih baik, lebih arif, dan lebih santun dari yang sebelumnya.

Jika ada yang berpikir, bahwa “kiri” dan “kanan” itu bisa dipersatukan, atau disejajarkan, sungguh mengherankan. “Kiri” dalam arti yang menghendaki perubahan untuk menjadi lebih baik, adalah progresif. Sedangkan “kanan” yang menolak perubahan itu dan menghendaki tetap pada keadaan yang berlaku dan berlangsung, dengan segala perangkat legalnya sekalipun, akan menjadi “konservatif”, dan lambat laun ditinggalkan oleh kesadaran yang dari hari ke hari senantiasa bertambah maju.
Akan halnya orang yang merasa bisa mempersatukan “kiri” dan “kanan” apalagi dengan gagah-gagahan, sungguh patut dikasihani (“kasiaaan deh lu…,” kata ABG zaman sekarang). Sebab yang akan terjadi, kiri dan kanan melangkah bersama, begitu juga tangan kiri dan tangan kanan dua-duanya melonjor ke depan. Jalannya melompat-lompat. Itulah “vamvire” namanya.
Yang terjadi sejak ribuan tahun ialah “kanan” digantikan oleh “kiri” dan pada waktu si “kiri” yang menggantikan itu terpeleset menjadi “kanan”, lahirlah “kiri” yang baru.
Kedua-duanya punya eksistensi, perbedaannya ialah yang dominan dan yang belum dominan. Itulah proses kelangsungan. Tanpa itu, Monarki absolut tidak akan digantikan oleh Demokrasi. Tanpa itu, piringan hitam tak akan digantikan pita kaset, dan pita kaset oleh kepingan VCD, lalu maju lagi ke MP3 dan DVD. Kapal layar tak akan digantikan oleh kapal bermesin. Dari yang menuju kematian, lahirlah kehidupan. Itulah adat dunia, siapapun tak kuasa menyanggahnya.
Nyatanya, keberadaan “kiri” bermanfaat untuk kehidupan kita, sebab “kiri” menghendaki yang lebih baik daripada yang sedang berlangsung.

Baca Selengkapnya

Friday, August 28, 2009

SOSIALISME di negara dunia Modern

Sosialisme di Dunia Modern

Artikel Pilihan dari Suara Sosialis (bahasa Indonesia)
1. Dua Jiwa Sosialisme

Raja Inggris George V berkata bahwa ”Kita semua adalah sosialis dewasa ini.” Dan sejak itu, banyak orang lain yang memakai istilah itu.

Partai Buruh di Australia memiliki “Tujuan Sosialis”. Namun pemerintah Buruh sendiri (saat berkuasa) menjalankan sistem yang ada, dengan mengorbankan kaum buruh.

Negara-negara seperti bekas Uni Soviet dan Cina mengklaim dirinya sosialis, dengan menempatkan industri-industri di tangan negara dan menyingkirkan para kapitalis swasta, tapi yang berkuasa bukanlah kelas buruh sendiri, melainkan kelas baru, yaitu kelas birokrat.

Memang banyak negara dan partai beragam pernah membungkus dirinya dengan bendera sosialisme. Namun untuk mengerti secara lebih mendalam politik mereka, kita harus melihat isinya bukan hanya bungkusnya.

Coba kita lihat apa persamaan dari rejim-rejim dan partai-partai ini. Mereka memiliki dua persamaan. Yang pertama, adanya anggapan bahwa sosialisme berarti negara mempengaruhi
bentuk atau membentuk ulang kebijakan ekonomi. Sebelum tahun 70-an ada kecenderungan umum, yaitu meningkatnya campur tangan pemerintah dalam masalah-masalah ekonomi sampai mempengaruhi benteng-benteng pasar bebas seperti di Amerika Serikat. Dengan kecenderungan seperti itu banyak orang berpikir “sosialisme sedang meluas.”

Yang kedua, rejim yang mengaku “sosialis”, baik di Uni Soviet maupun di pemerintah Sosial Demokrat, menganggap bahwa perubahan sosial harus berasal dari atas, dan harus dilakukan oleh para elit masyarakat seperti politisi dan birokrat.

Ide sosialisme seperti ini, masyarakat yang didominasi oleh aparatus negara (state-run society) yang dikontrol oleh elit, adalah sebuah ide yang sudah tua. Filsuf-filsuf dari eranya Plato sampai Hegel telah memimpikan adanya sebuah masyarakat yang teratur, terlepas dari konflik dan kebingungan. Dan mereka, Plato dan Hegel, menginginkan orang-orang seperti merekalah yang memimpin masyarakat yang mereka dambakan itu.

Teori seperti itu sangat mudah digunakan oleh para tiran, yang berpura-pura progresif untuk mencapai ambisi politik.

Untung, tercatat dalam sejarah, ada banyak perlawanan masyarakat terhadap para tiran itu. Dari Spartacus dengan budak-budak pemberontaknya sampai perjuangan-perjuangan kelas pekerja di zaman moderen. Masyarakat biasa telah mengembangkan tradisi perjuangan demokrasi massa.

Yang perlu adalah digabungnya aspirasi sosialis untuk sebuah masyarakat yang harmonis dengan tradisi perjuangan demokratis arus bawah. Ini baru timbul setelah munculnya kelas pekerja moderen. Pemikir yang memperhatikan penggabungan kedua aspek itu adalah Karl Marx. Ia berpendapat bahwa kelas pekerja, karena mereka telah mempelajari kerja sama di dalam proses produksi, maka mereka dapat menggabungkan demokrasi yang radikal dengan sebuah program sosialis. Gabungan ini merupakan artian yang sebenarnya dari “diktatur proletariat” yang sering disalahartikan. Dalam gagasan Marxis, diktatur proletariat itu berarti kekuasaan kaum buruh sendiri dengan cara demokratis.

Seperti dia mengantisipasi rezim mengerikan yang menyebut dirinya “rejim komunis'“di abad XX, Marx menulis: “Kami adalah bukan para komunis yang ingin mengubah dunia menjadi sebuah barak raksasa.” Dengan menolak “komunisme” macam itu, malah ia mendesak: '“emansipasi kelas buruh merupakan tugas buruh sendiri.”

Di dalam Manifesto Komunis ia menjelaskan bagaimana buruh bisa membebaskan dirinya sendiri. Ia menulis, “langkah pertama dalam revolusi yang dilaksanakan oleh kelas buruh adalah dengan menaikkan posisi proletariat itu ke dalam posisi kelas yang memerintah, untuk memenangkan perjuangan demokrasi.”

Bagi Marx, isu kuncinya adalah kekuasaan politik buruh. Para buruh harus menempatkan industri di tangan negara. Tapi negara ini adalah negara mereka (kelas buruh). Negara itu tidak lebih atau kurang daripada “proletariat yang mengorganisasi diri sebagai kelas yang memerintah”.

Ide-ide ini dikubur oleh para “pendeta agung” sosialis Eropa (seperti Karl Kautsky) setelah kematian Marx. Lenin berjuang untuk menghidupkannya kembali, namun revolusi yang ia pimpin di Rusia tidak bisa diperluas saat itu, dan Stalin sebagai penerusnya justru melakukan hal-hal yang berlawanan dengan demokrasi kelas buruh.

Sistem yang diciptakan oleh Stalin ini telah dilawan secara berturut-turut oleh buruh di Hungaria 1956, Cekoslowakia 1968, Solidaritas Polandia, sampai akhirnya dijatuhkan oleh gerakan massa tahun 1989.

Sebagai kesimpulan, ada dua jiwa dalam sosialisme, ialah ide revolusi dari bawah yang selalu berlawanan dengan ide “sosialisme dari atas” yang dianut oleh partai-partai sosial-demokrat dan bekas rejim '“komunis”. “Suara Sosialis” menganut gagasan “sosialisme dari bawah”, yaitu sosialisme revolusioner dan demokratis.

2. Sifat-Sifat Dasar Sistem Kapitalis

Dalam sebuah perjuangan, kita harus tahu siapa kawan dan siapa lawan. Musuh kita adalah kapitalisme. Tetapi apakah kapitalisme itu?

Jawabannya mungkin tampak sederhana. Kapitalisme bukankah sebuah sistem dimana sejumlah individu yang kaya memiliki pabrik-prabrik dan perusahaan lainnya? Bukankah para kapitalis ini bersaing pada sebuah pasar bebas, tanpa perencanaan yang terpusat, dengan hasil bahwa sistem perekonomian sering jadi kacau dan acapkali mengalami krisis?

Jawaban untuk menghindari keadaan seperti itu juga tampaknya jelas, ialah menyita industri dari para individu itu (nasionalisasi), dan membiarkan negara untuk merencanakan ekonominya.

Menurut kebanyakan orang yang berhaluan kiri, hal-hal diatas dianggap merupakan inti dari ajaran Marxisme. Tetapi dewasa ini permasalahan-permasalahan diatas tidak dapat dilihat sesederhana itu. Pada satu sisi, banyak perusahaan di bawah sistim kapitalis dewasa ini tidak lagi dikontrol oleh para individu. Secara formal perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh para pemegang saham, tapi kenyataannya perusahaan-perusahaan raksasa seperti General Motors dijalankan oleh para pejabat perusahaan. Sedangkan bentuk perusahaan-perusahaan lainnya adalah perusahaan negara seperti BUMN di Indonesia. Namun kaum buruh juga dieksploitasi dalam perusahaan tersebut.

Di sisi yang lain, masyarakat yang telah meninggalkan kepemilikan swasta dan memilih rencana-rencana ekonomi yang terpusat tidak tampak menarik lagi saat ini. Negara-negara seperti di bekas Uni Soviet telah menteror kelas buruhnya, sedangkan para birokrat yang mengelola pabrik-pabrik. Dan pada akhirnya masyarakat itu juga mengalami krisis ekonomi dan politik.

Saat ini Cina mencoba mengambil alih beberapa aspek pasar bebas ke dalam kebijakan ekonomi mereka, karena takut tidak mampu untuk tetap bersaing dengan negara-negara kapitalis barat.

Jadi keseluruhan arti kapitalisme dan sosialisme, dan perbedaan-perbedaan diantara kedua sistem itu, perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dewasa ini.

Disini, ide-ide Karl Marx sangatlah penting. Dia sama sekali tidak menganggap kepemilikan alat-alat produksi oleh individu swasta merupakan masalah utama kapitalisme. Yang ia tolak adalah sebuah situasi dimana alat produksi dikontrol oleh minoritas -- dalam berbagai bentuk -- untuk mengeksploitasi mayoritas.

Eksploitasi semacam ini mengambil bentuk dalam hubungan sosial di tempat kerja. Yakni para pekerja yang tidak memiliki perangkat produksi, dan tidak memiliki komoditi untuk dijual sehingga mereka harus menjual tenaga kerjanya untuk gaji (wage labour system). Ini berarti mereka tidak memiliki kontrol dari hasil kerjanya. Dalam sebuah sistem ekonomi seperti ini, tidak ada kemungkinan untuk merencanakan perekonomian demi kepentingan masyarakat luas.

Justru sebaliknya, setiap kapitalis akan didorong oleh kompetisi untuk membangun usaha dengan mengorbankan orang lain. Seperti yang dikatakan Marx, 'Akumulasi! Akumulasi! itu adalah nabi-nabi baginya'. Ini berarti yang kuat memakan yang lemah, dan sistemnya akan turun secara drastis sampai mengalami krisis ekonomi.

Marx, menyebut kondisi seperti ini keterasingan (atau alienasi) pekerja, dan salah satu slogannya yang sangat terkenal adalah 'penghapusan sistem wage labour”.

Di dunia moderen, modal memiliki bentuk yang bermacam-macam. Di mancanegara terjadi swastanisasi perusahaan-perusahan milik negara. Negara-negara lain seperti Swedia atau Italia masih memiliki sektor negara yang besar, sedangkan di Cina dan Kuba perencanaan ekonominya masih dilakukan secara terpusat.

Tetapi di semua negara itu analisa fundamental Marx masih sangat relevan. Alat-alat produksi masih dikontrol oleh minoritas -- meskipun komposisinya sangat bermacam-macam dari para pengusaha individu melalui sektor swasta dan birokrat yang bekerja di sektor publik.

Para pekerja menjual tenaga mereka untuk mendapatkan gaji, dan tidak memiliki kontrol terhadap proses produksi atau barang-barang yang mereka hasilkan.

Produksi dilaksanakan dengan jalan kompetisi, baik dalam skop kecil, persaingan antar perusahaan maupun dalam skop besar atau nasional, antar negara, yang dipimpin oleh aparatus negara.

Kompetisi antar negara juga memiliki bentuk yang lain yaitu kompetisi militer. Bekas negara Uni Soviet selalu mendorong ekonominya berjalan secara efisien, karena harus bersaing dengan Amerika Serikat dalam hal persenjataan. Kaum buruh di Uni Soviet dihisap oleh birokrasi yang tengah berkuasa guna kompetisi militer tersebut. Kami menyebut bentuk ekonomi yang dijalankan oleh rezim Soviet itu “Kapitalisme Negara”.

Apapun bentuk kompetisi itu, hasilnya selalu sama: “Akumulasi! Akumulasi! itulah nabi-nabinya!” Sedangkan para pekerja adalah korbannya. Jadi apa yang perlu dilakukan? Jawabannya ada pada sistem sosialis yang sejati, yang berarti pekerja sendiri yang harus mengontrol proses produksi, dan memproduksi untuk kebutuhan manusia, bukan untuk kebutuhan kompetisi.

Kontrol pekerja terhadap produksi -- yang berkaitan erat dengan kontrol mereka secara demokratis terhadap negara -- dapat diterapkan di sebuah negara secara sementara. Namun seperti yang kita lihat, tekanan kompetisi berlangsung secara internasional. Maka untuk jangka panjang, sosialisme mesti diciptakan di tingkat internasional.

3. Apakah Orang Akan Bekerja Tanpa Insentif ?

“Mengambil dari setiap manusia sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya.”

Ini prinsip masyarakat komunis yang Karl Marx bayangkan. Dan sejak ia mengembangkan teori-teori sosialisnya, selalu ada saja para teoritisi sosial dari sayap kanan yang menganggap hal ini sebagai sebuah khayalan belaka. Menurut para teoritisi itu, insentif materiil adalah motivasi pokok setiap orang.

Banyak orang yang menerima pendapat ini. Jika kita melihat disekeliling, setiap orang tampaknya termotivasi karena uang. Siapa yang akan bekerja jika kalau tidak karena uang?

Namun tata laku masyarakat saat ini merupakan hasil dari perkembangan sejarah yang bersifat khusus.

Dalam sejarah manusia, tidak terdapat cukup kekayaan untuk menyediakan setiap orang agar hidup layak. Sehingga kehidupan yang bersifat barbar, dimana yang kuat memakan yang lemah, tidak bisa dihindarkan. Sedangkan orang yang paling kejam hanya memperhatikan diri sendiri, mengangkat diri sendiri diatas masayarakat kebanyakan, dan menjadi kelas yang berkuasa.

Hal ini tidak hanya tak bisa terhindarkan, melainkan ini juga sebuah proses yang penting. Hanya melalui timbulnya kelas yang berkuasa, sedikit surplus kekayaan dapat dikumpulkan ke dalam sejumlah tangan. Kelas yang berkuasa tidak hanya menggunakan surplus ini untuk konsumsi pribadi, tapi juga untuk mengembangkan produksi.

Kapitalisme adalah bentuk masyarakat berkelas yang tertinggi, karena kapitalisme adalah bentuk yang paling efisien untuk mengumpulkan surplus ekonomi ke beberapa tangan, dan kemudian memprosesnya kembali ke dalam bentuk pengembangan produksi.

Proses ini bersifat brutal dan opresif. Meskipun demikian kapitalisme dapat menimbulkan industri moderen yang dahsyat. Akibatnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, di tingkat global alat-alat industri yang ada mampu untuk menciptakan kekayaan yang cukup untuk memberi setiap orang kehidupan yang layak.

Kapitalisme tentunya tidak menggunakan kekuatan produksinya untuk itu. Penguasa-penguasa kita menggunakan kekuatan produksi tersebut untuk menghasilkan persenjataan atom, sementara jutaan manusia dilanda kelaparan. Itulah sebabnya revolusi sosial diperlukan.

Dalam masyarakat berkelas, kebanyakan masyarakat harus berjuang untuk hidup. Kebanyakan pekerjaan tidaklah nyaman, dan seringkali menghebohkan, selama revolusi industri saat anak-anak bekerja sampai 16 jam sehari. Hal ini juga terjadi di Indonesia moderen, misalnya banyak anak yang dipekerjakan di pabrik-pabrik melebihi jam kerja yang semestinya. Misalnya di pabrik Nike di Tangerang, kenyataan serupa masih bisa dijumpai.

Dibawah kapitalisme, kita tidak memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaga kita. Kita hanya memperkaya orang lain. Apakah mengherankan jika masyarakat bersikap sinis terhadap pekerjaan? Apakah mengherankan jika kita hanya melakukan pekerjaan jika seseorang menawarkan penghargaan materi yang cukup? Tetapi dunia kapitalis ini penuh dengan contoh-contoh yang menunjukkan bahwa jika diberi separo kesempatan, orang akan bertindak berbeda.

Umpamanya para sukarelawan yang bekerja tanpa upah untuk yayasan sosial, atau aktivist-aktivis LSM yang memberikan waktu luang mereka secara cuma-cuma, dan bekerja secara tekun untuk perubahan-perubahan sosial atau politik.

Potensi ini termanifestasikan dalam jumlah yang besar diantara kelas buruh di waktu revolusi. Di Russia, di bawah Lenin, para buruh sering bekerja secara sukarela tanpa mendapatkan upah agar menjaga ekonomi tetap berjalan selama blokade dari negara-negera imperialis. Hal serupa juga terjadi di Indonesia selama Revolusi, misalnya para pejuang tanpa pamrih memobilisasi massa untuk memerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Gerakan-gerakan revolusi juga menciptakan sebuah antusias baru untuk mentransformasikan teknik-teknik produksi. Contohnya perlawanan di Spanyol saat dimulainya perang sipil tahun 30-an. Meningkatnya fasisme telah menghancurkan industri lokal di Catalonia sebelum kemenangan pekerja merebut kekuasaan ke tangan mereka. Para buruh ini mendirikan kontrol industri mereka.

Mereka kemudian membangun kembali ekonomi yang telah hancur itu. Kondisi yang sulit seperti ini, berarti mereka hanya di tawari sedikit penghargaan. Namun mereka termotivasi, karena merekalah yang mengontrol produksi. Salah seorang pengamat mengatakan:

“Para ahli sangat terkejut terhadap keahlian para buruh dalam membangun mesin baru. Dalam waktu yang singkat, 200 hidraulik penekan yang berbeda dengan tekanan sampai 250 ton, 178 mesin bubut berputar, beratus-ratus mesin penggilingan dan beberapa mesin yang membosankan dibangun.”

Kejadian yang sama juga terjadi di Nikaragua tahun 80-an. Amerika Serikat memblokade alat-alat industri Nikaragua yang sebetulnya sangat tergantung dari alat-alat buatan AS itu. Para pekerja meresponnya dengan gerakan-gerakan yang bersifat inovatif. Mereka memikirkan cara-cara untuk mengganti alat-alat itu, contohnya peralatan kedokteran. Para pekerja itu telah menunjukkan kepandaian yang luar biasa, dan tentunya mereka bekerja bukan semata-mata kerena uang. Karena kondisi ekonomi yang sulit saat itu, nilai upah di industri Nikaragua jatuh. Orang bisa mendapatkan uang berlebih dengan berjualan di pasar gelap. Motivasi mereka adalah politik: mempertahankan revolusi Sandinista.

Dibawah kapitalisme, hal seperti ini merupakan pengecualian.

Tetapi kalau manusia diberi ekonomi yang bersifat kolektif sehingga mereka tidak kuwatir secara terus menerus tentang masa depan dan masa depan anak-anak mereka, kalau mereka sendiri menjadi pengontrol proses produksi, maka semua kehidupan di tempat kerja bisa ditransformasikan.

Ini adalah inti dari perspektif sosialis. Ketika para pekerja memiliki hubungan baru dengan produksi -- industri berada dibawah kontrol mereka, bukan hanya sebagai penggeraknya -- kreatifitas mereka juga akan muncul.

Produksi kekayaan akan melonjak. Jam kerja akan dikurangi dan dikurangi lagi, dan tempat-tempat kerja akan layak untuk manusia. Training akan diperbaiki dan pekerjaan menjadi jauh lebih bervariasi dan merangsang.

Dan anak-cucu kita akan menatap kita dengan perasaan kasihan dan tak percaya, ketika kita bercerita bagaimana orang di abad ke-20 harus membanting tulang hanya untuk mencari fulus.

4. Masalah Gender dan Politik Seksual

Diskriminasi terhadap perempuan cukup kasat mata.

Ketika perempuan masuk dunia kerja, sering mendapat pekerjaan yang paling susah di pabrik atau kantor, dengan upah yang paling rendah, sekaligus terus dibebani dengan kebanyakan tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mengasuh anak-anak.

Perempuan menderita pelecehan seksual dan pemerkosaan, sekaligus dalam media massa dari pornografi sampai ke iklan biasa mereka digambarkan sebagai makhluk yang cantik atau sensual saja, sepertinya tidak mempunyai ciri yang lain. Namun ironisnya, jika perempuan berhubungan seks terlalu bebas, pasti dicap “tanpa susila”. Kalau terjadi kecelakaan, susah mencari pengguguran yang masih dilarang di beberapa negeri, termasuk Indonesia.

Semua perempuan mengalami penindasan ini, dari yang berpangkat tinggi seperti Putri Diana sampai yang paling rendah seperti pengemis di pinggir jalan.

Namun penindasan tersebut dampaknya tidaklah sama kepada setiap perempuan. Meskipun di kalangan bisnis para eksekutif wanita masih merupakan minoritas, buat perempuan kaya toh ada cara untuk mengurangi beban ketertindasan yang tidak tersedia kepada perempuan miskin.

Pekerjaan rumah tangga atau pengasuhan anak-anak jelas tidak merupakan beban berat buat seorang wanita berada yang mempekerjakan beberapa pembantu. Pengguguran tidak menjadi masalah bagi yang mampu membayar ongkos perjalanan keluar negeri. Wanita-wanita miskin yang hidup melarat karena keluarga yang terlalu besar, merekalah yang terluka atau mati di tangan tukang abortus gelap.

Yang mempunyai duit lebih mudah menghindari pelecehan seksual atau pemerkosaan dengan naik taksi pada malam hari, lebih mudah luput dari perkawinin tanpa cinta atau dari keganasan rumah tangga, Perempuan kaya malah mendapat untung dari penindasan kaum miskin. Upah rendah yang dibayar kepada TKW Indonesia yang menjadi pembantu rumah-tangga di Hong Kong, misalnya, membuat si majikan lebih kaya lagi. Makanya penindasan perempuan kelihatannya jauh berbeda jika dilihat dari rumah mewah dibandingkan dengan gubuk melarat.

Sudah dari dulu, adanya pertentangan kelas menjadi masalah untuk gerakan emansipasi perempuan. Di Inggeris misalnya, gerakan feminis terpecah setelah Perang Dunia I. Sayap kiri yang dipimpin oleh Sylvia Pankhurst menjadi sosialis dan memperjuangkan hak-hak buruh perempuan di bilangan miskin kota London. Sedangkan ibunya Emmeline Pankhurst dan kakaknya Christobel Pankhurst memusatkan perhatian mereka kepada kepentingan golongan tengah dan menjadi orang sayap kanan.

Demikian pula, gerakan Women’s Liberation tahun 1970-an di barat telah terpecah-pecah. Sebagian menjadi sosialis dan/atau tetap radikal, sedangkan sebagian lainnya mancapai karir yang gemilang dan tidak menghiraukan lagi nasib perempuan rakyat kecil.

Untuk mengerti asal-muasal perkembangan ini, kita perlu menganalasa penindasan perempuan dengan lebih mendalam.

Sistem kapitalis membutuhkan dua macam sumber daya. Dari satu sisi membutuhkan modal, seperti pabrik-pabrik, dan kantor-kantor, bank-bank. Dari sisi lainnya memerlukan tenaga kerja yang sehat dan trampil – dan ini mahal. Aparatus negara menyediakan beberapa pelayanan yang penting seperti sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit dsb. Namun sebagian besar dari waktu, upaya dan uang yang diperlukan untuk mereproduksi tenaga kerja baru disediakan oleh keluarga masing-masing.

Inilah kunci pokok untuk mengerti penindasan yang dialami kaum perempuan. Sistem kapitalis mengandalkan pekerjaan tanpa upah yang dilakukan kaum ibu di dalam keluarga, untuk menhasilkan tenaga kerja baru. Segala unsur lain dari penindasan perempuan -- diskriminasi di tempat kerja, stereotip seksual, bahkan pelecehan dan pemerkosaan – berkaitan dengan dan memperkuat peranan rumah tangga ini.

(Di negeri-negeri yang masih sedang berkembang, tentunya ada situasi yang lebih kompleks disebabkan oleh adanya unsur feodal dan pengaruh tradisional lainnya. Padahal penindasan itu muncul sebelum timbulnya sistem kapitalis. Tetapi kapitalisme mengubah segala bentuk penindasan dan memanfaatkannya dengan cara baru.)

Makanya ada dua kesimpulan yang bisa ditarik:

YANG PERTAMA, kalau disimak secara obyektif, penindasan perempuan bukan berasal dari kepentingan kebanyakan laki-laki. Sebaliknya, seorang buruh laki-laki pasti akan beruntung jika upah istrinya dinaikkan. Bila kaum buruh perempuan memperjuangkan gaji yang lebih tinggi, perjuangan tersebut akan memberikan semangat kepada para buruh laki-laki untuk ikut berjuang. Dalam konteks keluarga, kaum laki-laki juga tidak beruntung jika istri-istri mereka harus kerja sampai tenaga mereka terkuras..

Betul, ada banyak laki-laki yang tidak melihat kenyataan ini, dan terus mengajukan prasangka-prasangka yang kolot. Tetapi ada juga banyak perempuan yang menerima prasangka-prasangka tersebut. Ini soal kesadaran, yang bisa berubah dalam konteks perjuangan sosial.

Lain halnya dengan kelas burjuis yang berkuasa (termasuk pemilik modal, pejabat tinggi, jendral-jendral dll, tetapi juga istri-istrinya). Mereka jelas beruntung dari penindasan perempuan rakyat kecil. Selama banyak wanita rakyat jelata bekerja habis-habisan dalam keluarga, para majikan terus mendapatkan tenaga kerja murah, baik dalam bentuk tenaga kerja pabrik/kantor, maupun dalam bentuk pembantu, tukang kebun dll yang begitu menggembirakan hati wanita kaya. Selama diskriminisi terhadap perempuan bertahan di tempat kerja, kaum buruh lebih sulit bersatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib, maka kaum majikan beruntung lagi.

YANG KEDUA, strategi yang lazim dipakai oleh golongan feminis di barat, yang berusaha menyatukan semua perempuan melawan kaum laki-laki adalah salah. Meskipun banyak laki-laki dari rakyat kecil masih berprasangka buruk, tetapi keadaan obyektif memuat faktor-faktor yang dapat mendesak mereka untuk membela hak-hak perempuan. Di sisi yang lain, meskipun tidak sedikit perempuan kaya yang bersikap “feminis”, tetapi situasi obyektif memuat banyak faktor yang mendorong mereka untuk mentolerir dan bahkan mengiyakan penindasan perempuan rakyat kecil.

Kaum sosialis menganut pembebasan perempuan. Kami bahkan menyokong reform-reform yang hanya meladeni kepentingan perempuan golongan atas dan golongan tengah. Namun pembebasan untuk massa perempuan kelas buruh dan rakyat kecil hanya mungkin bila mereka ikut serta dalam perjuangan kelas yang lebih luas.

Bila sebagai reaksi terhadap penindasan, golongon perempuan tertentu ingin mendirikan kelompok tersendiri di-mana laki-laki tidah boleh berpartisipasi, kami kelompok sosialis jelas membela hak mereka untuk melakukan itu. Tetapi kami menghimbau agar seluruh kelas buruh, dan semua rakyat kecil, bersatu dalam perjuangan melawan segala bentuk penindasan dan eksploitasi.

Kita juga harus melawan penindasan terhadap kaum homoseksual dan lesbian (gay). Kaum gay seringkali dikambing-hitamkan sebagai biang keladi dari masalah-masalah sosial, padahal justru mereka yang menjadi korban.

Penindasan terhadap kaum gay juga berkaitan dengan keperluan sistem kapitalis untuk memproduksi tenaga kerja dan struktur-struktur ideologis lewat keluarga “normal”. Orang yang tidak menyesuaikan diri untuk memainkan peranan sebagai laki-laki atau perempuan “normal” dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial. Prasangka ini tercerminkan pula dalam struktur-struktur sosial-budaya, dimana kaum gay dianggap tidak senonoh, dan bisa di-PHK, dipukul, bahkan dibunuh lantaran gaya hidup mereka yang lain.

Sebetulnya kita semua dirugikan oleh situasi ini, karena terpaksa kita harus hidup menurut pola tindak-tanduk yang kelewat sempit (konservatif). Makanya, semestinya kita menyambut dengan antusias munculnya organisasi gay dewasa ini yang memperjuangkan hak-hak mereka.

5. Akar Rasisme Moderen

Dewasa ini, ketika seorang berkata, “saya bukanlah seorang rasis”, sebentar kemudian bisa saja ia mengucapkan sentimen-sentimen yang memuakkan terhadap orang Asia, ataupun Aborijin.

Setelah munculnya anggota parlemen independen Pauline Hanson, rasisme malah menjadi tren. Kebanyakan warga Australia tidak mendukung Pauline Hanson, namun jajak pendapat memperlihatkan bahwa tidak sedikit orang Australia yang menentang kedatangan para imigran dari Asia. Di sejumlah tempat kerja bisa dijumpai seseorang mengatakan bahwa banyak orang Asia yang mengambil pekerjaan-pekerjaan dan rumah-rumah yang terbaik.

Ini bukan berarti kebanyakan pekerja adalah rasis fanatik. Kebanyakan orang memiliki pendapat dan perasaan yang beragam terhadap orang lain, beberapa diantaranya bersifat rasional dan lainnya berprasangka buruk. Rasis yang sebenarnya, dan politikus yang oportunis seperti perdana menteri John Howard merangsang prasangka buruk itu. Mengapa? Untuk menjaga pikiran kita agar lepas dari akar penyebab sebenarya dari masalah-masalah yang ada, seperti pengangguran, pemotongan untuk pelayanan sosial, pemukiman kumuh dll. Penyebab dari semua masalah itu ialah kapitalisme.

Kaum penguasa menggunakan isu rasisme untuk memecah belah kita, supaya kita tidak bisa secara efektif melawan mereka.

Darimana asal rasisme? Sebetulnya ini adalah hal yang relatif baru. Buruk sangka antar beberapa golongan sudah berumur tua, tetapi sejarah mencatat sedikit bukti tentang diskriminasi yang berdasarkan ras, atau warna kulit. In berlangsung belum begitu lama.

Orang Yunani dan Roma (kuno) membenarkan perang melawan bangsa lain dengan alasan bahwa siapa yang tidak bisa berbicara dengan bahasa Yunani atau Latin, maka mereka tidak menpunyai hak untuk menentukan diri sendiri. Namun, begitu orang itu mendapatkan kewarganegaraan Roma, maka asal “asing” mereka tidak menghalangi mereka lagi untuk mencapai status sosial yang seimbang.

Patung kuno menunjukkan bahwa beberapa raja Mesir adalah orang Nubian yang berkulit hitam. Pula beberapa penguasa Roma disertai dengan musuh terkenal mereka Hannibal adalah orang Afrika dan mungkin juga berkulit hitam.

Para penakluk dari Spanyol tahu benar bahwa negara mereka telah diperintah oleh orang Arab yang berkulit coklat, maka mereka membenarkan perbudakan atas suku Indian Amerika Selatan dengan alasan bahwa suku Indian tersebut adalah kafir, daripada sekadar masalah warna kulit.

Para pembaca “Othello” karya Shakespeare kadang-kadang berpikir mengapa pelaku-pelaku di karya itu tidak memperlihatkan rasisme terhadap Othello. Asalannya adalah karena di masa Shakespeare soal warna kulit belum berarti.

Jadi apa yang telah berubah? Jawabannya adalah imperialisme Eropa dan perdagangan budak.

Budak-budak pertama di perkebunan “dunia baru” adalah para narapidana dan orang-orang Indian Karibia, namun mereka semua mati secara berangsur-angsur dan akhirnya diganti oleh orang Afrika yang lebih kuat. Sekitar 30 juta orang Afrika diangkut menyeberangi samudra Atlantik melawan kemauan mereka, dan diperkenalkan pada sebuah kehidupan baru yang penuh kepedihan.

Di Asia dan kemudian di Afrika, kekuasaan Eropa secara brutal diterapkan pada masyarakat setempat, dan ekonomi mereka dieksploitasi untuk keuntungan modal barat. Untuk membenarkan perkembangan ini, maka para penguasa Eropa berargumentasi bahwa orang yang berkulit berwarna berkedudukan rendah. Para intelektual, jurnalis dan para pendeta mencoba menggagas untuk megegolkan teori ini menjadi hal yang bersifat umum dan bisa diterima oleh masyarakat luas.

Di banyak negara dunia ketiga saat ini, seperti Malaysia, Indonesia atau Fiji, ketegangan rasial antara kelompok-kelompok kulit berwarna sering kali timbul. Ini merupakan hasil dari politik penjajah Eropa, politik pecah-belah.

Akhirnya perdangangan budak dihentikan karena secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan, dan kolonialisme pun mengalami kemunduran. Namun sistem kapitalis menemukan cara-cara baru untuk membuat rasisme menguntungkan. Orang-orang berkulit berwarna bisa digunakan sebagai tenaga kasar, sedangkan prasangka-prasangka buruk tentang orang-orang berkulit berwarna, yang dimiliki oleh pekerja yang berkulit putih dipertahankan. Tujuannya adalah agar kelas buruh bisa terus dipecah-belah. Selama bertahun-tahun taktik seperti ini digunakan oleh para majikan di Eropa, Amerika dan juga Australia.

Penguasaan Eropa terhadap Australia berarti pembersihan penduduk bangsa Aborijin. Kemudian para pendatang mengembangkan kekuasaan mereka di daerah Asia-Pasifik. Sebagai akibatnya mereka bermusuhan dengan kaum pendatang dari Asia yang berkulit gelap.

Perbudakan juga dibawa ke Australia. Sebagai contoh, para petani besar dan pengusaha peternakan tidak diwajibkan membayar para pekerja Aborigin dengan uang tunai sampai abad ke-20. Dan lebih dari 60.000 budak didantangkan ke Queensland dari pulau-pulau di Pasifik antara tahun 1863 sampai 1904.

Saat ini, mayoritas kelas yang tengah berkuasa masih ragu-ragu untuk ikut memicu suasana rasis di Australia, karena Australia harus tetap berhubungan dengan negara-negara Asia. Australia juga butuh para imigran yang terampil, dan dengan standar hidup yang semakin merosot, negeri ini sulit untuk mendapatkan tenaga-tenaga itu dari Eropa. Maka para politisi sering menghendaki kita untuk bersikap toleran.

Meski begitu, tidak sedikit pekerja yang menjadi mangsa agitasi rasis. Ini bukan berarti mereka bodoh, melainkan karena mereka merasa cemas. Cemas akan masalah pengangguran, gaji yang menurun, pemotongan dalam palayanan sosial, dsb. Orang-orang Asia dan Aborijin sering menjadi kambing hitam. Rezim Soeharto juga menggunakan hal serupa, yaitu dengan memanipulasi isu suku, ras dan agama, untuk memecah-belah rakyat.

Makanya sebuah perjuangan yang efektif melawan rasisme harus disertai dengan perjuangan yang melawan aspek kapitalisme lainnya, seperti krisis ekonomi atau rezim politik otoriter.

6. Peranan Penting Kelas Pekerja

“Pertanyaannya bukanlah siapakah proletar ini atau itu, atau bahkan apakah semua proletar saat ini memikirkan akan tujuannya. Pertanyaannya adalah apa proletariat itu, dan apa yang harus dilakukan.” (Karl Marx, 1844)

Untuk banyak orang tampaknya aneh, kaum sosialis selalu mempermasalahkan peranan kelas buruh.

Bukankah kita (di barat) semua adalah kelas menegah dewasi ini? Di Australia, kebanyakan pekerja bisa memiliki rumah, komputer, TV, dan video yang bagus. Mana mungkin pekerja yang relatif makmur ini akan melawan sistem kapitalis? Argumen seperti ini sering digunakan untuk membingungkan dua perbedaan dalam memandang dunia.

Untuk para ahli sosiologi burjuis, posisi kelas kita tergantung pada standar hidup, atau anggapan subyektif kita sendiri, Kaum Marxis, di lain pihak memperhitungkan juga aspek lainnya, ialah dinamika sosial dan hubungan antar-golongan.

Kita melihat perbedaan antara mereka yang harus bekerja untuk hidup dan mereka yang mengontrak orang lain untuk bekerja.

Seorang Bill Gates atau Bob Hassan bisa segera jadi pensiun, dan akan hidup dengan enak dari keuntungan yang dihisapnya dari karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan yang dimiliki mereka. Tida ada pekerja yang bisa melakukan hal serupa itu, karena kaum buruh tidak memiliki alat produksi.

Bahkan banyak orang di barat yang dulu disebut sebagai kelas tengah professional, sekarang justru ikut organisasi-organisasi buruh dan mereka juga sering menggunakan taktik kelas buruh. Guru, dosen, pegawai negeri, dan perawat, semuanya telah atau sedang menjadi bagian dari kelas buruh (memproletarisasi). Pada awalnya mereka terkadang bingung tentang kelas mana mereka tergolong, namun lama-kelamaan mereka menyadari kenyataannya dan mulai berorganisasi dan berjuang melawan kaum majikan.

* * * * * *

Tetapi mengapa para marxis mendesak bahwa kelas inilah yang akan menghantarkan sosialisme?

Jika melihat disekeliling kita, tidak banyak pekerja yang memperlihatkan kecenderungan sosialisme. Malah banyak buruh yang beranggapan anti-sosialis. Dan kami tidak bisa mengklaim bahwa kelas pekerja kurang termakan oleh prasangka yang dilahirkan sistem kapitalis seperti rasisme atau sexisme.

Namun kaum sosialis tidak menengahkan anggapan subyektif sebagai pusat analisis dan strategi, melainkain * posisi obyektif * pekerja yang terdapat di jantung proses produksi – dan * potensi * mereka untuk berjuang dengan efektif. Aspek inilah yang merupakan kunci kemampuan, dan kecenderungan kelas pekerja untuk menghantarkan sosialisme.

Industri kapitalis mengumpulkan jutaan pekerja di seluruh dunia kedalam ratusan ribu tempat kerja – dan mengorganisasi mereka ke dalam tim-tim, line-line perakitan, sift-sift. Organisasi, disiplin dan kerjasama massal menjadi ciri-ciri keseharian kehidupan pekerja. Di sini sudah terlihat potensi sosial kelas pekerja, yang bertumbuh justru di jantung sistem produksi kapitalis sendiri.

Budiman Sujatmiko (ketua PRD) telah menegaskan: “Kaum buruh memiliki kekuasaan ekonomi, sehingga hal ini tetap menjadi prioritas PRD.” (Wawancara, Green Left, Maret 1998). Kami setuju dengan Budiman dalam hal ini.

Karena tekanan senantiasa dilakukan oleh majikan untuk menurunkan gaji dan membuat jelek kondisi kerja, kaum buruh juga dimotivasi dan didorong untuk berjuang. Itu terjadi di barat juga, walaupun kaum buruh di sini relatif makmur. Buruh barat yang mempunyai rumah, mobil dsb akan berjuang secara gigih jika kemakmuran ini terancam. Dan oleh karena kondisi obyektif tadi (organisasi dan kerjasama massal) para buruh mampu untuk berjuang secara massal dan berdisiplin, misalnya dalam bentuk serikat-serikat ataupun partai-partai.

Pengulangan perjuangan tersebut menuju ke pendirian organisasi-organisasi antar-perusahaan dan antar-sektor. Pada mulanya, perjuangan kelas biasanya sekedar mempertahankan gaji dan kondisi-kondisi lain di tempat kerja. Namun batasan ini bisa dilampaui.

Dalam setiap konflik antara buruh dan majikan muncul pertanyaan siapakah yang harus memutuskan pada pembagian produk yang dihasilkan. Kemudian timbul pertanyaan mengapa beberapa orang memiliki alat-alat produksi sekaligus hasil produksinya, dan yang lain (mayoritas orang) tidak memilikinya. Mengapa kelas-kelas ada.

Hanya sebagian para buruh yang manyadari semua unsur dari perjuangan mereka. Tapi kesadaran itu ada, dan di saat-saat perjuangan yang bersifat ekstrim, aspek-aspek ini cendurung muncul ke permukaan.

Sebagai contoh, ketika para buruh diberhentikan (PHK), karena majikan tidak membuat cukup keuntungan, pasti timbul pertanyaan-pertanyaan mengapa kebutuhan seorang majikan lebih penting daripada gaji para buruh yang sangat diharapkan.

Ketika perjuangan seperti aksi mogok berlangsung terus-menerus, pertanyaan akan kepemilikan alat-alat produksi disa mendapat perhatian yang besar. Apalagi dalam sebuah situasi revolusioner.

Dalam situasi serupa itu, yang menjadi soal penting adalah kemampuan kelas buruh untuk menduduki tempat-tempat kerja dan merebut alat-alat produksi. Pabrik-pabrik dan kantor-kantor dapat menjadi gelanggang untuk berdiskusi dan berdebat, dan mengambil prakarsa untuk meluaskan perjuangannya.

Kemudian tempat kerja bisa menjadi batu sendi dari masyarakat sosialis. Bila kaum pekerja berkumpul setiap hari di perusahaan yang sudah menjadi milik mereka, dan memilih manajemen sendiri secara demokratis, di saat inilah sebuah sistem ekonomi dimana kepentingan-kepentigan mayoritas akan terpenuhi.

7. Masalah Kekerasan dalam Revolusi Sosialis

Kata “revolusi” tidak jarang menimbulkan bayangan atau kekhawatiran yang mengerikan, jangan-jangan pemberontakan rakyat, atau kelas buruh, akan menyebabkan pertumpahan darah secara besar-besaran.

Kekhawatiran ini tentu saja dimanipulasi oleh kaum yang sedang berkuasa untuk menakut-nakuti rakyat agar kita tidak menentang penindasan dan pemerasan. Penguasa tersebut adalah orang munafik yang memang bersedia menggunakan kekerasan untuk menindas rakyatnya sendiri.

Contohnya banyak, termasuk pembantaian buruh di Chile tahun 1974, penyembelihan mahasiswa di Cina tahun 1989, atau peristiwa tahun 1965 di Indonesia. Di Barat, dimana lembaga-lembaga sosial bersifat lebih stabil, kebiadaban serupa lebih jarang terjadi, namun rezim-rezim di barat tak ragu-ragu untuk menyokong pembantaian serupa. Dan di negeri-negeri barat sendiri, kekerasan kadang-kadang juga dipakai tatkala pemerintah kehilangan kontrol atas rakyat.

Namun masalah kekerasan dilontarkan pula oleh banyak aktivis politik, yang betul-betul menginginkan perubahan sosial, tapi yang lebih mementingakan jalan damai. Dialog dengan aktivis ini kami anggap sangatlah penting.

Sistem kapitalis sebenarnya lebih keras daripada revolusi manapun yang dapat kita bayangkan. Setiap hari sebagian besar umat manusia mengalami kelaparan, walaupun ada sumber pangan yang memadai untuk memberi makan semua orang di dunia. Saban hari kapitalisme membunuh kira-kira 50.000 orang. Mereka mati karena kelaparan, atau kecelakaan di tempat kerja, atau karena pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Bahkan di Amerika Serikat, penyakit tbc sedang mewabah di New York, dimana banyak penduduk kulit hitam harapan hidupnya lebih pendek daripada penduduk di beberapa pelosok dunia ketiga.

Kaum sosialis ingin merubah sistem sosial yang penuh dengan kekerasan ini. Itu tidak mungkin terjadi tanpa pemberontakan bersenjata, karena kita sudah tahu dari pengalaman historis bahwa kaum pemilik modal tidak akan bersedia untuk menyerahkan kekayaan dan kekuasaan mereka kepada kelas buruh tanpa perlawanan.

Meski demikian, revolusi sosialis adalah cara yang terbaik untuk menghindari pertumpahan darah secar besar-besaran.

Nota bene, yang dimaksudkan tentu bukanlah revolusi ala Mao Tse-tung atau Pol Pot! Revolusi di Cina dan Kamboja itu sering digembar-geborkan sebagai revolusi “komunis”, tapi seperti sudah kami jelaskan dalam kolom-kolom terdahulu, bahwa rezim “komunis” ini sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisme negara. Revolusi tersebut berdasarkan perang gerilya yang sangat panjang dan berdarah. Perang gerilya sering didukung oleh kaum sosialis, seperti perjuangan nasional Indonesia tahun 1940-an yang tentu saja patut disokong oleh semua kaum progresif. Namun perang gerilya seperti ini bukanlah strategi Marxis.

Revolusi yang dijalankan oleh kelas buruh selalu berlangsung jauh lebih damai. Misalnya Kumune Paris tahun 1871, Petrograd (Rusia) tahun 1917, Barcelona (Spanyol) tahun 1936, Hongaria tahun 1956, dan Portugal tahun 1974. Di semua kasus ini kematian manusia sangatlah sedikit, sebelum kaum kapitalis melakukan kontra revolusi, ialah serangan balik untuk merebut kekuasaan dari kaum buruh. Kesediaan kelas buruh untuk membela diri memang menyebabkan peperangan yang cukup berdarah. Tapi bukankah kita boleh membela diri? Dan kontrarevolusi bisa juga terjadi setelah perubahan demokratis yang dilaksanakan dengan cara apapun.

Mengapa revolusi buruh berlangsung relatif damai? Kelas buruh memiliki kekuasaan sosial-ekonomi yang luar biasa, karena mereka hidup dan berjuang di jantung proses produksi. Oleh karenanya, kaum buruh mampu untuk membangun organisasi yang kuat, dan secara langsung mampu merebut alat produksi dari tangan kaum kapitalis.

Bahkan angkatan bersenjata susah untuk mengontrol gerakan buruh yang sadar dan militan, karena basis tentara sendiri sebenarnya juga terdiri dan berasal dari masyarakat kecil. Pemberontakan tersebut bukan saja hanya terjadi di jalanan namun juga di tempat kerja yang bisa direbut dan dipakai sebagai pangkalan. Di tempat kerja itu pula kaum buruh dapat mengkonstruksi lembaga demokratis baru untuk menggantikan aparatus negara sebelumnya. Untuk itu kaum buruh harus memiliki senjata untuk membela diri. Namun jika organisasi mereka cukup kuat, bisa jadi kekerasan tidak dibutuhkan sama sekali.

Dalam tulisannya tentang revolusi di Rusia, Trotsky membahas akan fenomena ini secara sangat terperinci:

“Setindak demi setindak kami telah telusuri perkembangan pemberontakan di Oktober 1917: ketidakpuasan massa buruh, kemarahan tentara tingkat bawah terhadap pemerintah, perjuangan kaum tani melawan tuan tanah, serta kepanikan golongan penguasa semakin meningkat ... Sesudah semua itu, adegan final revolusi ini mungkin terasa agak tawar... Boleh jadi pembaca merasa kecewa. Dimana huru haranya?... Kelas borjuis menanti lautan api, perampasan massal, pertumpahan darah dimana-mana. Padahal, yang bercokol adalah suatu kesunyian yang lebih seram buat kaum borjuis daripada segala teror alam ini. Dasar sosial di masyarakat bergeser tanpa bunyi, membawa rakyat ke depan, dan menghanyut serta menghapuskan kaum penguasa lama.”

Masalah kekerasan ini penting untuk para aktivis di Indonesia. Dari satu sisi, mereka sering menyangsikan kemungkinan perubahan politik secara damai, lantaran sistem politik Orba begitu represif. Namun dari sisi lainnya, mana bisa mereka melupakan trauma tahun 1965, dengan hancurnya PKI dan pembunuhan massal di mana-mana di Nusantara? Sehingga mereka mencari jalan damai yang sekaligus tidak betul-betul berharap bahwa perubahan damai itu bisa dicapai.

Tetapi PKI itu sebenarnya bukanlah partai marxis (melainkan stalinis), dan strateginya pada tahun 1960-an jauh dari skenario revolusi marxis. Perbedaanya banyak, sehingga tidak bisa dibicarakan secara terperinci di kolom ini. Di sini kami lebih memusatkan perhatian pada masalah strategi pemberontakan saja. Massa Bolshevik waktu itu bersenjata, dan mereka bukanlah pasifis serta tidak menempuh jalan “konstitusional” atau parlementer. Tapi fokus Lenin dan Trotsky juga tidak pada masalah “militer”, propaganda mereka tidak menggembar-gemborkan “perjuangan bersenjata” melainkan dengan mengemukakan peranan akan pentingnya mobilisasi massa buruh di tempat-tempat kerja. Ini bukan jalan damai yang mutlak dan sekaligus bukanlah jalan untuk menggunakan kekerasan, melainkan jalan revolusi sosial. Hasilnya, kaum Bolshevik mampu merebut kekuasan secara cukup damai.

PKI bagaimana? Menurut guru besar tentang Indonesia dari Cornell University, Ben Anderson, “PKI bertidak kontradiktif dalam menjalankan strateginya untuk memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan ... Namun partai yang mengaku Marxis-Leninist ini, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Mudahnya, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD. Semboyannya konflik, tapi persiapannya untuk mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai, lewat parlemen.” (dikutip dari “Suara Independen”, September 1997, hal 11.)

Dan konsekwensinya sudah kita tahu, bahwa jalan “damai” akibatnya pembantaian massal. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman yang mengerikan pada tahun 1965 ini adalah justru betapa relevannya pendekatan marxis saat ini.

8. Peranan Partai Revolusioner

Kaum sosialis tentu saja aktif dalam bermacam-macam kegiatan, gerakan dan organisasi. Namun satu prioritas yang tidak boleh luput dari perhatian adalah peranan organisasi sosialis sendiri.

Kelompok-kelompok di mancanegara yang berhubungan dengan "Suara Sosialis" kebanyakan tidak menamakan diri "partai", karena masih terlalu kecil. Sebuah partai ialah sebuah organisasi yang mempunyai massa pendukung dan mampu untuk memimpin perjuangan dalam skala besar. Bahkan organisasi kami di Inggeris, yang bernama Socialist Workers Party dan mempunyai ribuan aktivis, masih belum bisa memainkan peranan ini sepenuhnya. Tugas grup-grup sosialis saat ini adalah membangun partai revolusioner.

Mengapa kita perlu partai revolusioner? Bukankah perjuangan massal bisa timbul secara spontan? Jelas bisa, dan proses radialisasi politik juga bisa berlangsung secara spontan akibat penindasan dan eksploitasi yang dialami rakyat di mana-mana di dunia. Namun radikalisasi dan perjuangan belum pernah berkembang secara merata. Selalu ada pengikut yang lebih sadar, lebih militan, lebih radikal daripada pengikut lainnya. Sedangkan ada juga yang lebih konservatif, ragu-ragu, bahkan ada yang menentang perjuangannya dan mendukung status quo.

Akibat-akibat negatif dari ketidakmerataan tersebut kita bisa saksikan pada kerusuhan bulan Mei 1998 di Indonesia. Dalam kerusuhan massal yang terjadi kurang-lebih spontan itu, ada beberapa orang yang memiliki sikap politik progresif, misalnya dengan membakar potret Soeharto. Tetapi ada juga yang bersikap rasialis, dan unsur-unsur ini bisa dimanipulasi oleh rezim untuk membelokkan perjuangan rakyat ke arah aksi anti-Cina. Gerakan mahasiswa lebih bersatu dan efektif, tetapi juga tidak rata. Ada mahasiswa yang sangat berani dan pikiran politiknya sudah cukup radikal, namun ada juga yang ragu-ragu atau bahkan konservatif, sehingga kaum mahasiswa tidak mampu untuk memimpin perjuangan seluruh rakyat. Dan upaya beberapa kelompok lainnya, misalnya orang-orang LSM, tercabik-tercabik saja.

Dalam setiap gerakan sosial, termasuk gerakan buruh, selalu ada perdebatan dan persilisihan, serta konflik dan perpecehan. Tujuan partai sosialis adalah untuk menyatukan kelas buruh, dan menjadikannya pimpinan perjuangan seluruh rakyat di bawah program ekonomi, sosial dan politik sosialis.

Caranya bagamaina? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin ada baiknya kita menegaskan terlebih dahulu apa yang tidak dimaksudkan. Ada dua pola partai yang mengaku "sosialis" namun yang samasekali tidak memadai.

Yang pertama adalah partai tipe sosial-demokrat. Pada awal abad XX ada sejumlah partai, terutama di Eropa, berdasarkan kelas buruh (dengan dukungan juga dari golongan sosial lainnya). Partai-partai ini berusaha mewakili seluruh kelas buruh, termasuk buruh yang paling konservatif.

Akibatnya program politiknya banyak terpengaruhi oleh unsur-unsur konservatif dalam gerakan buruh, sehingga menjadi partai reformis yang menghalangi perjuangan revolusioner di Eropa seusai Perang Dunia I.

Karena penghianatan itu dan berdasarkan pengalaman kaum Bolshevik di Rusia, Lenin dan Internasional Komunis menganjurkan konsep baru dari partai sosialis (atau komunis). Partai tersebut mendasarkan diri kepada unsur-unsur yang lebih radikal dalam kelas buruh dan golongan tertindas lainnya. Partai revolusioner memobilisasi lapisan "pelopor" (vanguard) untuk meyakinkan dan memimpin lapisan lainnya. Karena program politiknya yang tidak mau berkompromis dalam masalah prinsip, partai "pelopor" tak urung menjadi partai minoritas sampai timbulnya situasi revolusioner. Namun dalam krisis yang mendalam seperti yang terjadi di Rusia tahun 1917, massa rakyat akan ramai-ramai menyeberang ke kubu revolusioner itu.

Sayangnya konsep partai "pelopor" tersebut di jungkirbalikkan oleh rezim Stalin. Di tahun 1930-an partai-partai komunis sedunia menjelma menjadi organisasi otoriter. Konsep "pimpinan" ditafsirkan dalam artian buruk, bahwa Komite Pusat (Central Committee) harus mendikte basis partai, dan partai harus mendikte kelas buruh. Ini adalah pola palsu yang kedua yang harus ditolak.

"Suara Sosialis" menganut konsep partai bolshevik dalam artian aslinya. Partai revolusioner mesti 100% demokratis, bukan saja sebagai prinsip moral, tetapi juga karena secara praktis gagasan marxis dan strategi revolusioner seperti kami telah jelaskan dalam kolom-kolom sebelumnya (revolusi demokratis, "dari bawah") hanya bisa diperjuangkan dengan cara demokratis. Tugas utamanya adalalah meyakinkan kebanyakan buruh dan kebanyakan rakyat tentang kebenaran teori dan praktek sosialis.

Partai revolusioner juga harus disiplin. Kadang-kadang tatakarya Bolshevik ini disebut "demokrasi sentralis". Yakni semua anggota partai mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapat dan berdebat, namum setelah mengambil sebuah keputusan, kita semua harus ikut melaksanakan keputusan tersebut. Dalam partai-partai komunis masa Stalin, prinsip ini juga mengalami distorsi sehingga pimpinan sering memperlakukan basis secara oteriter. Ini bukanlah pendekatan Lenin, dan juga bukan pendekatan gerakan kami dewasa ini. "Demokrasi sentralis" tersebut kami terapkan dengan cukup fleksibel. Jarang ada instruksi dari pimpinan, dan sangat jarang sekali ada anggota yang dikucilkan. Partai revolusioner harus mampu beraksi secara bersatu supaya efektif, namun kesatuan tersebut musti berdasarkan konsensus politik yang tinggi, dan ini hanya mungkin terjadi sebagai akibat dari diskusi dan perdebatan yang terbuka dan bebas.

Tidak adanya partai semacam ini telah menimbulkan kekalahan yang serius bahkan tragis dalam beberapa situasi revolusioner. Contohnya krisis di Chile tahun 1973, dimana organisasi buruh dipatahkan oleh pihak militer.

Kaum buruh terlalu percaya kepada Partai Sosialis yang dipimpin Salvador Allende dan Partai Komunis (yang sebenarnya leblih moderat daripada Partai Sosialis). Pemerintah Allende berkompromi dengan para jendral, dan kelas buruh tidak mempunyai partai revolusioner yang indepen, alhasil kaum buruh bingung dan seperti lumpuh dihapadan ancaman militer.

Di Indonesia baru-baru ini (Mei 1998) kita menyaksikan bahwa rakyat kesulitan untuk bersatu secara penuh dalam perjuangan anti-rezim. Namun jika ada partai revolusioner yang memiliki kader-kader yang aktif di setiap kampung, kampus serta tempat kerja, sentimen rasis anti-Cina pasti dapat diatasi. Mahasiswa dan buruh bisa menjalin hubungun yang erat. Gerakan pro-demokrasi dapat timbul sebagai sebuah pimpinan politik yang jauh lebih konsisten dibandingkan dengan tokoh seperti Megawati (yang tidur panjang saat penggulingan Soeharto) atau Amien Rais (yang pada awal mulanya berani memeberikan Soeharto kurun waktu 12 bulan untuk mengatasi krismon, dan kemudian cukup toleran juga terhadap Habibie). Dan barang tentu sebuah partai sosialis revolusioner akan menganjurkan program ekonomi, sosial serta politik yang lebih mendalam daripada yang disajikan Mega atau Amien sampai sekarang.

Seperti tercatat di atas, partai semacam ini tidak ada dimana pun di dunia, walaupun dua grup sealiran "Suara Sosialis", di Inggeris dan Yunani, sudah berhasil membangun organisasi yang lebih besar. Selama gerakan sosialis revolusioner masih agak kecil, kita harus sangat realistis dalam menentukan tujuan serta tugas yang ingin kita laksanakan dalam waktu dekat. Jelas, kelompok-kelompok sosialis selalu ikut dalam perjuangan kelas buruh dan rakyat dimana pun kita berada, serta menjalankan kegiatan solidaritas dengan perjuangan di negeri lain.

Selain itu, tugas kita adalah untuk menyebarluaskan gagasan marxis dan program politik sosialis. Sebagian dari upaya ini adalah berdialog dengan aktivis lain, termasuk dialog dengan teman-teman di Indonesia. Untuk itu kami bukan hanya ingin menyampaikan argumentasi kami kepada orang lain, misalnya dengan majalah Suara Sosialis, tetapi juga mengundang komentar dari para pembaca yang terhormat.

Baca Selengkapnya

Left 'n rEVOLution


Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner