Kaum Buruh-Kelas Pekerja Indonesia, Bersatulah!
Tempa Kualitas Perjuangan Kelas dan Berkuasalah!Pimpin Rakyat menuju Kesejahteraan!
Indonesia krisis pemimpin yang memahami dan bervisi untuk
mewujudkan cita- cita berdirinya Negara seperti yang tertulis jelas dalam
pembukaan UUD 1945. Banyak dari produk kebijakan hari ini jauh dari kebutuhan
dan kehendak rakyat. Baik yang di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Bahkan segala kebijakan public saat ini
cenderung menguntungkan kaum golongan kelas atas, yakni pengusaha besar dan
kaum pemodal. Kaum pemodal yang dimaksud ini adalah kapitalisme, yakni mereka
yang berupaya menyelenggarakan agenda-agenda liberalism (mekanisme pasar
bebas).
Liberalism salah satu tujuannya adalah melemahkan Negara
dengan cara deregulasi atau merubah semua perundang-undangan Negara yang
melindungi hak-hak sosial masyarakat dalam suatu Negara. Mengadu domba antar lembaga negara, memecah
belah persatuan dan kesatuan warga Negara, dll. Artinya jika pelaksana Negara
di kuasai oleh orang-orang yang pro terhadap kepentingan kapitalisme, maka
Negara merupakan instrument atau alat yang digunakan kaum liberalis untuk
menindas rakyat demi memeras dan mendapatkan untung sebesar-besarnya dari
rakyat.
Sejak era Orde baru scenario penguasaan negeri ini sudah
mulai dilancarkan. Pertama dibuatlah persepsi agar rakyat tak percaya
instrument hukum, tahap pertama itu terwujud. Maka terciptalah Amandemen
Undang-Undang yang digunakan untuk menderegulasi undang-undang yang berfungsi
melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kemudian dibubarkannya DPA (Dewan
Pertimbangan Agung) sebagai tempat harapan rakyat untuk memberikan masukan dan
pertimbangan kepada presiden terhadap segala hal yang mengenai hajat hidup
rakyat banyak. lantas MPR peran dan fungsinya dikerdilkan, sehingga tidak ada
lagi wadah penjaga demokrasi rakyat berjalan di republic ini. Kemudian perbankan
dijauhkan dari sector-sektor kehidupan rakyat kecil, agar petani nelayan makin miskin
dan melakukan urbanisasi ke kota-kota dimana pabrik dibuat dan disediakan kaum
kapitalis untuk mengakumulasikan modalnya (melipat gandakan keuntungan) dan
mengeksploitasi (memeras) tenaga para pekerja dengan politik upah murah. Sementara
di kota-kota sendiri bisnis rumahan dimatikan karena kalah dengan pasar-pasar
modern yang menjual produk-produk milik asing. Dengan terselenggaranya sistem
ini (kapitalisme), maka watak ekonomi rakyat yang awalnya produksi menjadi
penerima gaji (saja) sehingga kesejahteraan ekonominya bergantung kepada
majikan pemberi kerja dan dipermainkan oleh politik upah murah serta ancaman
pemecatan secara sepihak.
Sementara yang kalah dalam pertarungan ekonomi menjadi
gelandangan dan pengemis, pemulung dan lain-lain yang disebut sebagai sampah masyarakat. Sebagian
lagi bertahan hidup dengan mendirikan bangunan diatas tanah yang berbahaya seperti
bantaran kali. Yang disebut Tanah Negara (sehingga sering dicap sebagai
bangunan liar). Namun anehnya di lahan tersebut terdapat RT-RW,
listrik-air mengalir di daerah tersebut.
Kelurahan sebagai instrument Pemda mengetahui keberadaan RT-RW tersebut, PLN
sebagai perusahaan Negara memberikan ijin penyaluran listrik ke daerah
tersebut, seandainya tanah itu adalah tanah liar? Lantas siapa yang patut
disalahkan jika telah puluhan tahun mereka tinggal disana, beranak pinak? Di
titik inilah seharusnya Negara beserta pemerintahannya hadir untuk melindungi
dan memelihara rakyatnya.
Namun karena sistem berjalannya Negara adalah kapitalisme
yang memiliki serentetan agenda (neo)liberalism, maka pemerintahannya pun akan
menghasilkan produk kebijakan yang pro terhadap kepentingan kaum kapitalis itu
dan menjadikan rakyat kecil sebagai beban pembangunan (kaum kapitalis) sehingga
harus digusur-disingkirkan. Dari sinilah kita seharusnya mampu berpikir cerdas
menghadapi segala bentuk program pemerintahan yang bernama
pembangunan-perapihan-penertiban dan sejenisnya. Ditujukan untuk siapa proyek
pembangunan itu? Rakyat Indonesia sebagai pemilik utama tanah air ini, atau
kaum pemodal dengan kapitalisme sebagai mazhabnya?
Siapapun orangnya, jika dia menyelenggarakan program-program
yang jauh dari semangat cita-cita pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, maka
dipastikan dia adalah skrup kecil pelaksana agenda global, yang dapat disebut
sebagai agen kapitalisme international anti kesejahteraan rakyat banyak.
Baca Selengkapnya
Menurut
pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa
Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang
rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT.
Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea).
Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan
memperoleh tanah.
Sedangkan pengertiannya secara ilmiah
dalam ranah ilmu teknik pantai, reklamasi adalah suatu pekerjaan/usaha
memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong
dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan
pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar,
ataupun di danau.
Apa tujuan reklamasi?
Sesuai dengan definisinya, tujuan utama
reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi
lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk
kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek
wisata.
Dalam teori perencanaan kota, reklamasi
pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh
negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya
meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya
lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke
arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru.
Alternatif lainnya adalah pemekaran ke arah vertikal dengan membangun
gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah susun.
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia
ramai dengan isu aktifitas reklamasi yang melibatkan beberapa perusahaan
pengembang dan pemerintahan daerah tempat sasaran reklamasi tersebut. Setidaknya
terdapat dua isu tentang reklamasi yang sangat besar dalam pemberitaan media,
yakni reklamasi teluk Benoa di Bali dan reklamasi teluk Jakarta. Massifnya media
memberitakan isu tentang reklamasi di kedua tempat tersebut bukanlah sebuah opini
positif yang artinya dukungan besar dari masyarakat tentang rencana kegiatan (reklamasi)
tersebut. Justru banyak kelompok masyarakat yang menentang keras rencana
reklamasi itu. Pertanyaannya adalah kenapa reklamasi di tentang oleh rakyat? Jika
tujuan reklamasi secara teoritis adalah demi pemenuhan kebutuhan masyarakat
juga?
Jawabannya bukanlah menggunakan
pendekatan teoritis semata, karena perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap
reklamasi itu merupakan kenyataan yang akan dirasakan oleh rakyat itu sendiri
pada akhirnya. Jika mengacu kepada tujuan teoritis reklamasi maka akan kita
dapati pemanfaatan reklamasi adalah untuk kawasan pemukiman, perindustrian,
bisnis dan pertokoan, pertanian. Namun pertanyaan besarnya adalah : “apakah
daratan di Indonesia sudah tidak ada lagi untuk menyelenggarakan hal-hal
tersebut itu?”. Dari sinilah dapat kita ambil satu point penting kepentingan
pengusaha pengeruk uang rakyat (berorientasi hanya kepada keuntungan pribadi
dan segelintir orang saja) dibalik rencana reklamasi beberapa kawasan air di
Indonesia.
Dampak Reklamasi
Dalam melakukan reklamasi terhadap kawasan pantai, harus
memperhatikan berbagai aspek/dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan
tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain dampak lingkungan, sosial budaya
maupun ekonomi. Dampak lingkungan misalnya mengenai perubahan arus laut,
kehilangan ekosistem penting, kenaikan muka air sungai yang menjadi terhambat
untuk masuk ke laut yang memungkinkan terjadinya banjir yang semakin parah,
kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan yang semuanya harus
tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan. Dampak sosial budaya
diantaranya adalah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM (dalam pembebasan
tanah), perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat. Sementara
dampak ekonomi diantaranya berapa kerugian masyarakat, nelayan, petambak yang
kehilangan mata pencahariannya akibat reklamasi pantai. Wilayah pantai yang
semula merupakan ruang publik bagi masyarakat akan hilang atau berkurang karena
akan dimanfaatkan kegiatan privat. Dari sisi lingkungan banyak biota laut yang
mati baik flora maupun fauna karena timbunan tanah urugan sehingga mempengaruhi
ekosistem yang sudah ada. System hidrologi gelombang air laut yang jatuh
ke pantai akan berubah dari alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan
daerah diluar reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga
kemungkinan akan terjadi abrasi, tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir
atau rob karena genangan air yang banyak dan lama. Aspek sosialnya, kegiatan
masyarakat di wilayah pantai sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau
buruh. Dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga
berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada
laut. Selanjutnya adalah aspek ekologi, kondisi ekosistem di wilayah pantai
yang kaya akan keanekaragaman hayati sangat mendukung fungsi pantai sebagai
penyangga daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan
sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan
mengakibatkan berubahnya keseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem perairan
pantai dalam waktu yang relatif lama akan berakibat pada kerusakan ekosistem
wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai.
Dari berbagai tujuan (manfaat) secara teoritis pelaksanaan
reklamasi, ternyata menimbulkan beberapa dampak negative yang setidaknya terdapat
dalam beberapa point yakni Peninggian
muka air laut karena area yang sebelumnya berfungsi sebagai kolam telah berubah
menjadi daratan akibat
peninggian muka air laut maka daerah pantai lainya rawan tenggelam, atau
setidaknya air asin laut naik kedaratan sehingga tanaman banyak yang mati,
area persawahan sudah tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam, hal ini banyak
terjadi diwilayah pedesaan pinggir pantai.. Musnahnya
tempat hidup hewan dan tumbuhan pantai sehingga keseimbangan alam menjadi
terganggu, apabila gangguan dilakukan dalam jumlah besar maka dapat
mempengaruhi perubahan cuaca serta kerusakan planet bumi secara total.Pencemaran
laut akibat kagiatan di area reklamasi dapat menyebabkan ikan mati sehingga
nelayan kehilangan lapangan pekerjaan.. Kelangkaan
jumlah ikan segar di laut akan juga mempengaruhi harga komoditas hasil laut di
pasar, sehingga akan sangat merugikan masyarakat dalam jumlah besar, khususnya
masyarakat Indonesia.
Seperti yang terjadi di Bali misalnya, kawasan teluk Benoa dalam
Perpres No. 45 tahun 2011 wilayah Teluk Benoa yang dulunya merupakan zona L3 atau
konservasi, melalui penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 teluk Benoa kini masuk
dalam zona P atau penyangga. Dalam zona ini terdapat kegiatan kegiatan yang di
perbolehkan seperti kegiatan pariwisata, pengembangan ekonomi, pemukiman bahkan
penyelenggaraan reklamasi. Pada Intinya penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014
ini menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan
konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45
Tahun 2011. Serta mengubah kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi
zona penyangga, yang sejatinya kawasan darat Bali masih memiliki daya potensi
yang besar terkait pariwisata, pengembangan ekonomi (rakyat), pemukiman tanpa
harus mengurug kawasan air (konservasi) teluk Benoa. Lahirnya Perpres No. 51
tahun 2014 ini seolah menjadi jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya
reklamasi di Teluk Benoa. Dari penyimpangan maksud tujuan ini jelas terlihat
kepentingan politik kaum pengusaha-penguasa guna menguntungkan diri sendiri dan
menyengsarakan rakyat banyak dengan memanfaatkan kekuasaan uang dan jabatan.
Hal serupa juga terjadi dalam rencana reklamasi di Jakarta,
yakni pelanggaran administrative dalam hukum ketata negaraan yang dilakukan
kaum penguasa-pengusaha dalam hal ini adalah pemerintahan provinsi dan
pemerintahan daerah dengan perusahaan pengembang. Reklamasi yang terjadi
Jakarta, sangat jelas ilegalitasnya di mata hukum yang berlaku di Indonesia,
yakni terkait kewenangan pemberian ijin melakukan reklamasi oleh yang bukan
semestinya. Selama ini gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau
Ahok bersikukuh pelaksanaan reklamasi
di Jakarta berlandaskan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Namun dalam perkembangannya, terbit Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, dan Peraturan Presiden Nomor 122
Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hal ini
mengandung arti bahwa lahirnya Perpres no 54 tahun 2008 dan Perpres no 122
tahun 2012 mencabut atau membatalkan Kepres nomor 52 tahun 1995.
Maka mengenai adanya tiga aturan terkait reklamasi, aturan
yang berlaku adalah perpres yang terbaru, yakni Perpres Nomor 122 Tahun 2012. Berdasarkan
Pasal 16 perpres tersebut, menteri disebut sebagai pihak yang memiliki wewenang
dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan
strategis nasional tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan
reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah. Pemerintah yang
dimaksud dalam poin tersebut adalah pemerintah pusat. Masih dalam pasal yang
sama, di poin nomor 3 tertulis, pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu dan kegiatan reklamasi
lintas provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah ada pertimbangan
dari bupati/wali kota dan gubernur. Berdasarkan pengertiannya, kawasan
strategis nasional tertentu adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan
negara, pengendalian lingkungan hidup, dan atau situs warisan dunia, yang
pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. Dengan demikian,
berdasarkan aturan itu, kepala daerah, seperti gubernur, hanya sebatas
merekomendasikan tempat yang sebelumnya telah dipertimbangkan untuk dijadikan
tempat reklamasi, sementara itu, pihak yang berhak mengeluarkan izin lokasi dan
izin pelaksanaan reklamasi adalah menteri.
Maka jelas Pemprov DKI Jakarta menyalahi aturan terkait izin
reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan berpegangan pada Pasal 4 Kepres Nomor 52
Tahun 1995, karena sejatinya yang berwenang mengeluarkan izin reklamasi adalah
menteri terkait dan bukan oleh Gubernur. Bahkan Permohonan izin pelaksanaan
reklamasi yang diajukan Gubernur atau Bupati/Walikota kepada Menteri memberikan
empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama surat keterangan lokasi reklamasi dan
sumber material, kedua rencana induk, ketiga studi kelayakan dan terakhir
rancangan detail. Namun sebelum seluruh persyaratan itu dipenuhi Ahok
menerbitkan izin reklamasi pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra anak
perusahaan dari PT Agung Podomoro Land. Izin itu ditandatangani oleh Ahok
tanggal 23 Desember 2014. Dari sini dapat kita lihat bahwa reklamasi pulau G
adalah illegal dan menunjukkan tindakan melawan peraturan yang berlaku di
Indonesia. Selain menyalahi aturan kewenangan pemberian ijin melakukan
reklamasi, proyek reklamasi yang sudah berlangsung itu juga menyalahi prosedur
bertahap sebelum reklamasi dilakukan, yakni melakukan reklamasi sebelum daerah
memiliki peraturan daerah (Perda) tentang Zonasi laut yang hari ini masih belum
selesai dibahas di DPRD DKI Jakarta. Proyek reklamasi di teluk Jakarta jelas
telah melanggar ketentuan perundang-undangan karena tidak mengantongi izin
resmi dan lolos dari berbagai uji tes kelayakan dan solusi dampak. Ada kesan
proyek ini dilakukan dengan terburu-buru. Pertanyaannya, kenapa muncul kesan
perusahaan pengembang sangat terburu-buru melakukan reklamasi yang belum legal
di akhir masa jabatan Ahok sebagai gubernur Jakarta? Lantas diperuntukkan
kepada siapa proyek reklamasi ini nantinya? jika reklamasi ini bermaksud
menjadi solusi perumahan rakyat (di Jakarta), agaknya sangat tidak tepat,
karena masyarakat saat ini membutuhkan perumahan dengan harga ekonomis kelas
menengah kebawah, bukan hunian seharga miliaran rupiah. Adanya reklamasi
membuat daerah hasil tangkapan nelayan di Teluk Jakarta menjadi menjauh. Ikan
hasil tangkapan nelayan pun semakin sedikit, karena rusaknya ekosistem biota
laut dan akan berdampak kepada pemiskinan structural rakyat dari segi sempitnya
lapangan kerja, tertutupnya mata pencaharian, dan tingginya harga komoditas hasil
laut serta melemahkan ketahanan pangan nasional dari segi hasil laut. Seharusnya
pemerintah melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia, sesuai dengan
amanat dan tujuan berdirinya Negara Indonesia, yakni menuju keadilan social bagi
seluruh rakyat, bukan malah menciptakan kebijakan yang menyengsarakan rakyat
dan hanya menguntungkan kaum penguasa (korup-agen kapitalisme) dan pengusaha (kaum borjuasi) saja. Kelas
pekerja yang terhimpun dalam serikat-serikat buruh harus memberikan sikap
politik yang revolusioner, yakni menggagalkan rencana kaum borjuasi yang secara perlahan dan intens mengambil sumber daya dan melemahkan pembangunan kekuatan ekonomi kelas pekerja khususnya kaum nelayan. kelas pekerja harus mengambil alih kekuasaan dan membangun struktur pemerintahan rakyat yang diktator di tangan kelas pekerja, yakni untuk menghancurkan sisa-sisa tatanan kapitalisme yang berupa undang-undang dan kebudayaannya.
Mari lawan segala bentuk penindasan!
Massa Rakyat bersatu menghancurkan Kapitalisme dan birokrasi
korup!
Hidup Rakyat! Hidup kelas Pekerja!
Merdeka 100% !
Baca Selengkapnya