Friday, April 29, 2016

Sekilas Tentang Pemiskinan Rakyat

Kaum Buruh-Kelas Pekerja Indonesia, Bersatulah!
Tempa Kualitas Perjuangan Kelas dan Berkuasalah!Pimpin Rakyat menuju Kesejahteraan!
Indonesia krisis pemimpin yang memahami dan bervisi untuk mewujudkan cita- cita berdirinya Negara seperti yang tertulis jelas dalam pembukaan UUD 1945. Banyak dari produk kebijakan hari ini jauh dari kebutuhan dan kehendak rakyat. Baik yang di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.  Bahkan segala kebijakan public saat ini cenderung menguntungkan kaum golongan kelas atas, yakni pengusaha besar dan kaum pemodal. Kaum pemodal yang dimaksud ini adalah kapitalisme, yakni mereka yang berupaya menyelenggarakan agenda-agenda liberalism (mekanisme pasar bebas).
Liberalism salah satu tujuannya adalah melemahkan Negara dengan cara deregulasi atau merubah semua perundang-undangan Negara yang melindungi hak-hak sosial masyarakat dalam suatu Negara.  Mengadu domba antar lembaga negara, memecah belah persatuan dan kesatuan warga Negara, dll. Artinya jika pelaksana Negara di kuasai oleh orang-orang yang pro terhadap kepentingan kapitalisme, maka Negara merupakan instrument atau alat yang digunakan kaum liberalis untuk menindas rakyat demi memeras dan mendapatkan untung sebesar-besarnya dari rakyat.
Sejak era Orde baru scenario penguasaan negeri ini sudah mulai dilancarkan. Pertama dibuatlah persepsi agar rakyat tak percaya instrument hukum, tahap pertama itu terwujud. Maka terciptalah Amandemen Undang-Undang yang digunakan untuk menderegulasi undang-undang yang berfungsi melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kemudian dibubarkannya DPA (Dewan Pertimbangan Agung) sebagai tempat harapan rakyat untuk memberikan masukan dan pertimbangan kepada presiden terhadap segala hal yang mengenai hajat hidup rakyat banyak. lantas MPR peran dan fungsinya dikerdilkan, sehingga tidak ada lagi wadah penjaga demokrasi rakyat berjalan di republic ini. Kemudian perbankan dijauhkan dari sector-sektor kehidupan rakyat kecil, agar petani nelayan makin miskin dan melakukan urbanisasi ke kota-kota dimana pabrik dibuat dan disediakan kaum kapitalis untuk mengakumulasikan modalnya (melipat gandakan keuntungan) dan mengeksploitasi (memeras) tenaga para pekerja dengan politik upah murah. Sementara di kota-kota sendiri bisnis rumahan dimatikan karena kalah dengan pasar-pasar modern yang menjual produk-produk milik asing. Dengan terselenggaranya sistem ini (kapitalisme), maka watak ekonomi rakyat yang awalnya produksi menjadi penerima gaji (saja) sehingga kesejahteraan ekonominya bergantung kepada majikan pemberi kerja dan dipermainkan oleh politik upah murah serta ancaman pemecatan secara sepihak.
Sementara yang kalah dalam pertarungan ekonomi menjadi gelandangan dan pengemis, pemulung dan lain-lain  yang disebut sebagai sampah masyarakat. Sebagian lagi bertahan hidup dengan mendirikan bangunan diatas tanah yang berbahaya seperti bantaran kali. Yang disebut Tanah Negara (sehingga sering dicap sebagai bangunan liar). Namun anehnya di lahan tersebut terdapat RT-RW, listrik-air  mengalir di daerah tersebut. Kelurahan sebagai instrument Pemda mengetahui keberadaan RT-RW tersebut, PLN sebagai perusahaan Negara memberikan ijin penyaluran listrik ke daerah tersebut, seandainya tanah itu adalah tanah liar? Lantas siapa yang patut disalahkan jika telah puluhan tahun mereka tinggal disana, beranak pinak? Di titik inilah seharusnya Negara beserta pemerintahannya hadir untuk melindungi dan memelihara rakyatnya.
Namun karena sistem berjalannya Negara adalah kapitalisme yang memiliki serentetan agenda (neo)liberalism, maka pemerintahannya pun akan menghasilkan produk kebijakan yang pro terhadap kepentingan kaum kapitalis itu dan menjadikan rakyat kecil sebagai beban pembangunan (kaum kapitalis) sehingga harus digusur-disingkirkan. Dari sinilah kita seharusnya mampu berpikir cerdas menghadapi segala bentuk program pemerintahan yang bernama pembangunan-perapihan-penertiban dan sejenisnya. Ditujukan untuk siapa proyek pembangunan itu? Rakyat Indonesia sebagai pemilik utama tanah air ini, atau kaum pemodal dengan kapitalisme sebagai mazhabnya?
Siapapun orangnya, jika dia menyelenggarakan program-program yang jauh dari semangat cita-cita pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, maka dipastikan dia adalah skrup kecil pelaksana agenda global, yang dapat disebut sebagai agen kapitalisme international anti kesejahteraan rakyat banyak.

Baca Selengkapnya

Thursday, April 7, 2016

Reklamasi dan impian kelas borjuasi

Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah.
Sedangkan pengertiannya secara ilmiah dalam ranah ilmu teknik pantai, reklamasi adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau.
Apa tujuan reklamasi?
Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata.
Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. Alternatif lainnya adalah pemekaran ke arah vertikal dengan membangun gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah susun.
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia ramai dengan isu aktifitas reklamasi yang melibatkan beberapa perusahaan pengembang dan pemerintahan daerah tempat sasaran reklamasi tersebut. Setidaknya terdapat dua isu tentang reklamasi yang sangat besar dalam pemberitaan media, yakni reklamasi teluk Benoa di Bali dan reklamasi teluk Jakarta. Massifnya media memberitakan isu tentang reklamasi di kedua tempat tersebut bukanlah sebuah opini positif yang artinya dukungan besar dari masyarakat tentang rencana kegiatan (reklamasi) tersebut. Justru banyak kelompok masyarakat yang menentang keras rencana reklamasi itu. Pertanyaannya adalah kenapa reklamasi di tentang oleh rakyat? Jika tujuan reklamasi secara teoritis adalah demi pemenuhan kebutuhan masyarakat juga?
Jawabannya bukanlah menggunakan pendekatan teoritis semata, karena perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap reklamasi itu merupakan kenyataan yang akan dirasakan oleh rakyat itu sendiri pada akhirnya. Jika mengacu kepada tujuan teoritis reklamasi maka akan kita dapati pemanfaatan reklamasi adalah untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian. Namun pertanyaan besarnya adalah : “apakah daratan di Indonesia sudah tidak ada lagi untuk menyelenggarakan hal-hal tersebut itu?”. Dari sinilah dapat kita ambil satu point penting kepentingan pengusaha pengeruk uang rakyat (berorientasi hanya kepada keuntungan pribadi dan segelintir orang saja) dibalik rencana reklamasi beberapa kawasan air di Indonesia.
 Dampak Reklamasi
Dalam melakukan reklamasi terhadap kawasan pantai, harus memperhatikan berbagai aspek/dampak-dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain dampak lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi. Dampak lingkungan misalnya mengenai perubahan arus laut, kehilangan ekosistem penting, kenaikan muka air sungai yang menjadi terhambat untuk masuk ke laut yang memungkinkan terjadinya banjir yang semakin parah, kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan yang semuanya harus tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan. Dampak sosial budaya diantaranya adalah kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM (dalam pembebasan tanah), perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat. Sementara dampak ekonomi diantaranya berapa kerugian masyarakat, nelayan, petambak yang kehilangan mata pencahariannya akibat reklamasi pantai. Wilayah pantai yang semula merupakan ruang publik bagi masyarakat akan hilang atau berkurang karena akan dimanfaatkan kegiatan privat. Dari sisi lingkungan banyak biota laut yang mati baik flora maupun fauna karena timbunan tanah urugan sehingga mempengaruhi ekosistem yang sudah ada. System hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan terjadi abrasi, tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir atau rob karena genangan air yang banyak dan lama. Aspek sosialnya, kegiatan masyarakat di wilayah pantai sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut. Selanjutnya adalah aspek ekologi, kondisi ekosistem di wilayah pantai yang kaya akan keanekaragaman hayati sangat mendukung fungsi pantai sebagai penyangga daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan mengakibatkan berubahnya keseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem perairan pantai dalam waktu yang relatif lama akan berakibat pada kerusakan ekosistem wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai.
Dari berbagai tujuan (manfaat) secara teoritis pelaksanaan reklamasi, ternyata menimbulkan beberapa dampak negative yang setidaknya terdapat dalam beberapa point yakni Peninggian muka air laut karena area yang sebelumnya berfungsi sebagai kolam telah berubah menjadi daratan akibat peninggian muka air laut maka daerah pantai lainya rawan tenggelam, atau setidaknya air asin laut naik kedaratan sehingga tanaman banyak yang mati, area persawahan sudah tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam, hal ini banyak terjadi diwilayah pedesaan pinggir pantai.. Musnahnya tempat hidup hewan dan tumbuhan pantai sehingga keseimbangan alam menjadi terganggu, apabila gangguan dilakukan dalam jumlah besar maka dapat mempengaruhi perubahan cuaca serta kerusakan planet bumi secara total.Pencemaran laut akibat kagiatan di area reklamasi dapat menyebabkan ikan mati sehingga nelayan kehilangan lapangan pekerjaan.Kelangkaan jumlah ikan segar di laut akan juga mempengaruhi harga komoditas hasil laut di pasar, sehingga akan sangat merugikan masyarakat dalam jumlah besar, khususnya masyarakat Indonesia.

Seperti yang terjadi di Bali misalnya, kawasan teluk Benoa dalam Perpres No. 45 tahun 2011 wilayah Teluk Benoa yang dulunya merupakan zona L3 atau konservasi, melalui penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 teluk Benoa kini masuk dalam zona P atau penyangga. Dalam zona ini terdapat kegiatan kegiatan yang di perbolehkan seperti kegiatan pariwisata, pengembangan ekonomi, pemukiman bahkan penyelenggaraan reklamasi. Pada Intinya penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 ini menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45 Tahun 2011. Serta mengubah kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga, yang sejatinya kawasan darat Bali masih memiliki daya potensi yang besar terkait pariwisata, pengembangan ekonomi (rakyat), pemukiman tanpa harus mengurug kawasan air (konservasi) teluk Benoa. Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 ini seolah menjadi jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya reklamasi di Teluk Benoa. Dari penyimpangan maksud tujuan ini jelas terlihat kepentingan politik kaum pengusaha-penguasa guna menguntungkan diri sendiri dan menyengsarakan rakyat banyak dengan memanfaatkan kekuasaan uang dan jabatan.

Hal serupa juga terjadi dalam rencana reklamasi di Jakarta, yakni pelanggaran administrative dalam hukum ketata negaraan yang dilakukan kaum penguasa-pengusaha dalam hal ini adalah pemerintahan provinsi dan pemerintahan daerah dengan perusahaan pengembang. Reklamasi yang terjadi Jakarta, sangat jelas ilegalitasnya di mata hukum yang berlaku di Indonesia, yakni terkait kewenangan pemberian ijin melakukan reklamasi oleh yang bukan semestinya. Selama ini gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok   bersikukuh pelaksanaan reklamasi di Jakarta berlandaskan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Namun dalam perkembangannya, terbit Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, dan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hal ini mengandung arti bahwa lahirnya Perpres no 54 tahun 2008 dan Perpres no 122 tahun 2012 mencabut atau membatalkan Kepres nomor 52 tahun 1995.

Maka mengenai adanya tiga aturan terkait reklamasi, aturan yang berlaku adalah perpres yang terbaru, yakni Perpres Nomor 122 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 16 perpres tersebut, menteri disebut sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah. Pemerintah yang dimaksud dalam poin tersebut adalah pemerintah pusat. Masih dalam pasal yang sama, di poin nomor 3 tertulis, pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu dan kegiatan reklamasi lintas provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah ada pertimbangan dari bupati/wali kota dan gubernur. Berdasarkan pengertiannya, kawasan strategis nasional tertentu adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. Dengan demikian, berdasarkan aturan itu, kepala daerah, seperti gubernur, hanya sebatas merekomendasikan tempat yang sebelumnya telah dipertimbangkan untuk dijadikan tempat reklamasi, sementara itu, pihak yang berhak mengeluarkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi adalah menteri.

Maka jelas Pemprov DKI Jakarta menyalahi aturan terkait izin reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan berpegangan pada Pasal 4 Kepres Nomor 52 Tahun 1995, karena sejatinya yang berwenang mengeluarkan izin reklamasi adalah menteri terkait dan bukan oleh Gubernur. Bahkan Permohonan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan Gubernur atau Bupati/Walikota kepada Menteri memberikan empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama surat keterangan lokasi reklamasi dan sumber material, kedua rencana induk, ketiga studi kelayakan dan terakhir rancangan detail. Namun sebelum seluruh persyaratan itu dipenuhi Ahok menerbitkan izin reklamasi pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra anak perusahaan dari PT Agung Podomoro Land. Izin itu ditandatangani oleh Ahok tanggal 23 Desember 2014. Dari sini dapat kita lihat bahwa reklamasi pulau G adalah illegal dan menunjukkan tindakan melawan peraturan yang berlaku di Indonesia. Selain menyalahi aturan kewenangan pemberian ijin melakukan reklamasi, proyek reklamasi yang sudah berlangsung itu juga menyalahi prosedur bertahap sebelum reklamasi dilakukan, yakni melakukan reklamasi sebelum daerah memiliki peraturan daerah (Perda) tentang Zonasi laut yang hari ini masih belum selesai dibahas di DPRD DKI Jakarta. Proyek reklamasi di teluk Jakarta jelas telah melanggar ketentuan perundang-undangan karena tidak mengantongi izin resmi dan lolos dari berbagai uji tes kelayakan dan solusi dampak. Ada kesan proyek ini dilakukan dengan terburu-buru. Pertanyaannya, kenapa muncul kesan perusahaan pengembang sangat terburu-buru melakukan reklamasi yang belum legal di akhir masa jabatan Ahok sebagai gubernur Jakarta? Lantas diperuntukkan kepada siapa proyek reklamasi ini nantinya? jika reklamasi ini bermaksud menjadi solusi perumahan rakyat (di Jakarta), agaknya sangat tidak tepat, karena masyarakat saat ini membutuhkan perumahan dengan harga ekonomis kelas menengah kebawah, bukan hunian seharga miliaran rupiah. Adanya reklamasi membuat daerah hasil tangkapan nelayan di Teluk Jakarta menjadi menjauh. Ikan hasil tangkapan nelayan pun semakin sedikit, karena rusaknya ekosistem biota laut dan akan berdampak kepada pemiskinan structural rakyat dari segi sempitnya lapangan kerja, tertutupnya mata pencaharian, dan tingginya harga komoditas hasil laut serta melemahkan ketahanan pangan nasional dari segi hasil laut. Seharusnya pemerintah melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia, sesuai dengan amanat dan tujuan berdirinya Negara Indonesia, yakni menuju keadilan social bagi seluruh rakyat, bukan malah menciptakan kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan hanya menguntungkan kaum penguasa (korup-agen kapitalisme) dan pengusaha (kaum borjuasi) saja. Kelas pekerja yang terhimpun dalam serikat-serikat buruh harus memberikan sikap politik yang revolusioner, yakni menggagalkan rencana kaum borjuasi yang secara perlahan dan intens mengambil sumber daya dan melemahkan pembangunan kekuatan ekonomi kelas pekerja khususnya kaum nelayan. kelas pekerja harus mengambil alih kekuasaan dan membangun struktur pemerintahan rakyat yang diktator di tangan kelas pekerja, yakni untuk menghancurkan sisa-sisa tatanan kapitalisme yang berupa undang-undang dan kebudayaannya. 

Mari lawan segala bentuk penindasan!
Massa Rakyat bersatu menghancurkan Kapitalisme dan birokrasi korup!
Hidup Rakyat! Hidup kelas Pekerja!
Merdeka 100% !

Baca Selengkapnya
 

Left and Revolution © 2008. Design By: SkinCorner