oleh Ted Sprague
“Konsepsi materialis tentang
sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk
mendukung kehidupan manusia dan, di samping produksi, pertukaran barang-barang
yang diproduksi, merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam
setiap masyarakat yang telah muncul dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi
dan cara masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atau tatanan-tatanan bergantung
pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk
itu dipertukarkan. Dari sudut pandang ini, sebab-sebab akhir dari semua
perubahan sosial dan revolusi-revolusi politis mesti dicari, tidak dalam
benak-benak manusia, tidak dalam wawasan manusia yang lebih baik akan kebenaran
dan keadilan abadi, tetapi di dalam perubahan-perubahan dalam cara-cara
produksi dan pertukaran. Itu semua mesti dicari, tidak dalam filsafat tetapi
di dalam perekonomian satu epos tertentu.” (Engels, Anti-Duhring)
Sejarah Indonesia dan
perubahan-perubahan sosial di dalamnya tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa
melihat ke dalam perubahan-perubahan ekonomi yang telah dilaluinya di setiap
tahapan. Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang terhubungkan secara dekat dengan
perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya di abad ke-16. Oleh karena itu,
untuk memahami kapitalisme di Indonesia sekarang ini, kita harus kembali sejauh
jaman kolonial Belanda. Secara umum, kita dapat membagi tahapan sejarah
Indonesia seperti berikut: koloni Belanda (1600-1945), perjuangan kemerdekaan
(1945-1949), Orde Lama (1949-1965), Orde Baru (1965-1998), dan Reformasi 1998
dan sesudahnya (1998-sekarang)
Indonesia dan Kolonialisme
Belanda
Sampai awal abad ke-20, tidak ada
yang namanya Indonesia seperti dalam pengertian sekarang. Yang ada adalah
sekelompok pulau antara sub-benua India dan Australia yang tersatukan secara
longgar oleh ikatan kolonialisme Belanda. Kata “Indonesia” pertama kali
digunakan sekitar tahun 1850 oleh para peneliti Inggris yang menganjurkan
penggunaannya sebagai penamaan geografi, dan bukan sebagai rujukan
bangsa-negara. Hanya pada awal tahun 1920an nama Indonesia mendapatkan arti
politik. Sebelumnya, seluruh daerah yang mencakup Indonesia masa kini disebut
sebagai Hindia Timur Belanda.
Semenjak penjajahan Belanda
terhadap Indonesia, nasib Indonesia telah terhubungkan dengan perkembangan
kapitalisme dunia. Oleh karena itu kita perlu menggunakan periode ini sebagai
titik tolak analisa kita. 350 tahun kekuasaan Belanda atas Indonesia dapat
dibagi menjadi tahapan-tahapan ekonomi sebagai berikut:
a. Periode V.O.C (1600-1800)
b. Periode “Kekacauan” dan
“Ketidakpastian” (1800-1830)
c. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
(1830-1870)
d. Periode Liberal (1870-1900)
e. Tahun-tahun Etis (1900-1930)
f. Depresi Hebat (1930-1940)
Tahapan-tahapan ini bersesuaian
dengan perubahan-perubahan administratif, sosial, dan politik di Indonesia,
Belanda, dan seluruh dunia. Oleh karena itu mustahil untuk mempelajari
perkembangan ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari Belanda dan Eropa.
Pecahnya revolusi di Eropa (Pemberontakan Belanda, Revolusi Inggris, Revolusi
Prancis, dan lalu Revolusi Rusia) mengubah jalannya sejarah di Indonesia.
Indonesia dan Revolusi
Belanda
Sejarah kolonialisme di Indonesia
adalah sejarah eksploitasi kapitalis imperialis. Bahkan yang lebih penting
untuk dimengerti adalah bahwa penjajahan di Indonesia adalah yang pertama kali
dilakukan oleh kaum borjuasi. Tidak dikenal dan dilupakan oleh kebanyakan kaum
Marxis, revolusi borjuis yang pertama terjadi di Belanda dan bukan Inggris.
Pemberontakan Belanda pada abad ke 16 (1568-1609) mungkin adalah revolusi
borjuis “klasik” yang paling terabaikan. Walaupun Marx dan Engels hanya menulis
beberapa kalimat yang terpencar-pencar mengenai Pemberontakan Belanda, jelas
bahwa mereka mengakuinya sebagai salah satu momen penting dalam kebangkitan
borjuis yang historis. Pada tahun 1848, Marx menulis “Model dari revolusi 1789
[Prancis] adalah revolusi 1648 [Inggris]; dan model untuk revolusi 1648
hanyalah pemberontakan Belanda melawan Spanyol [Pemberontakan Belanda].”[1]
Lagi di volume pertama Kapital,
Marx menulis:
“Sejarah administrasi koloni
Belanda – dan Belanda adalah model negara kapitalis di abad ke-17 –
adalah ‘salah satu sistem pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan kekejaman
yang paling hebat.’ Tidak ada yang lebih karakteristik daripada sistem
penculikan mereka, guna mendapatkan budak-budak dari Jawa. Para penculik
dilatih untuk ini. Sang pencuri, penerjemah, dan penjual, adalah agen-agen
utama dalam perdagangan ini, sang pangeran-pangeran pribumi sebagai penjual
utama. Orang-orang muda diculik, dijebloskan ke penjara-penjara rahasia di
Sulawesi, sampai mereka siap untuk dikirim ke kapal-kapal budak ... Dimanapun
mereka memijakkan kaki, kehancuran dan penyusutan penduduk menyusul.
Banyuwangi, sebuah propinsi di Jawa, pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari
80.000 orang, pada tahun 1811 hanya 18.000. Perdagangan yang manis!”[2][Penekanan
dari penulis]
Marx menjelaskan bahwa “awal
penaklukan dan penjarahan Hindia Timur ... menandai fajar indah dari era
produksi kapitalis. Aktivitas ini adalah momentum utama dari akumulasi
primitif.”[3]
Merebut perdagangan Asia dari
tangan Spanyol dan Portugal yang telah menguasai samudera selama lebih dari
satu abad membutuhkan sebuah investasi yang besar. Bagaimana Belanda yang saat
itu penduduknya kurang dari satu juta mampu mengumpulkan kapital yang
diperlukan? Solusi dari masalah ini melibatkan sebuah konsep organisasi bisnis
yang baru: perusahaan saham-gabungan (joint-stock company), dan di sinilah
kapitalisme moderen pertama kali menemukan aplikasinya.
Seorang ahli sejarah Belanda,
George Masselman, menulis: “Ekonomi zaman pertengahan tidak membutuhkan
kapital, seperti yang dicontohkan oleh gilda-gilda pedagang yang menghambat
inisiatif pribadi dan kompetisi. Belanda yang sedang bangkit mengambil
pandangan yang berbeda: mereka menginginkan perdagangan sebanyak mungkin ...
Satu-satunya hal yang dapat menghambat seorang pedagang adalah kekurangan
kapital. Tentu saya dia dapat bekerja sama dengan pedagang lainnya dan
melakukan perdagangan bersama; atau dia dapat membujuk orang luar untuk menaruh
uang kepadanya, menawarkan kepada mereka sebagian dari laba.”[4] Inilah
awal dari perusahaan saham-gabungan kapitalis moderen. Contoh utamanya adalah
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan
Hindia Timur) yang dibentuk pada tahun 1602 dengan kapital sekitar 6,5 juta
guilders.[5]
VOC dibentuk ketika pemerintah
Belanda memberikannya sebuah monopoli untuk melakukan aktivitas kolonial di
Asia. Ini adalah perusahaan saham-gabungan multinasional pertama yang
mengeluarkan saham publik. Pada pembentukannya, VOC membuka bursa saham pertama
dunia, Bursa Saham Amsterdam, untuk memperdagangkan saham dan surat
obligasinya. VOC memiliki otoritas quasi-pemerintah dimana ia mampu melakukan
peperangan, merundingkan perjanjian perdamaian, mencetak uang, dan membentuk
koloni.
Secara efektif, Hindia Timur
selama dua abad tidaklah dijajah oleh Republik Belanda melainkan oleh sebuah
perusahaan saham-gabungan, VOC. Cukup indikatif bahwa selama periode tersebut
rakyat Hindia Timur menyebut penjajah mereka “kompeni” (dari nama VOC, Compagnie).
Selama 2 abad selanjutnya, VOC menjadi perusahaan dagang yang paling penting di
Eropa. Ia menciptakan monopoli di perdagangan rempah-rempah, terutama lada,
kayu manis, dan cengkeh. Selama 90 tahun pertamanya, VOC meraup dividen sebesar
18,7% setiap tahunnya.[6
Pemberontakan Belanda menandai
kebangkitan historis kaum borjuasi dan kolonialisasi Hindia Timur oleh VOC
adalah basis dari akumulasi kapital primitif dari apa yang bisa kita sebut
sebagai masyarakat borjuis pertama. Hasilnya jelas. Pada abad ke-17 Belanda
adalah negara paling maju di Eropa. Marx menulis diKapital: “Belanda, yang
pertama kali mengembangkan sistem kolonial, pada tahun 1748 telah berdiri di
puncak keagungan komersialnya ... Total kapital dari Republik [Belanda]
barangkali lebih besar daripada total keseluruhan kapital di benua Eropa.”[7]
VOC memasuki periode kemunduran
pada tahun 1692 dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1798. Republik Belanda
menanggung utang VOC, sebesar 134 juta guilders, dengan syarat bahwa VOC harus
menyerahkan semua asetnya di Hindia. Dengan ini, Republik Belanda memperoleh
sebuah koloni di Asia pada tahun 1798.[8]
Kemunduran VOC adalah manifestasi
dari kemunduran Republik Belanda pada abad ke-18. Ini seperti yang ditulis oleh
Marx: “Sejarah kemunduran Belanda sebagai negara komersial yang berkuasa adalah
sejarah ketaklukan kapital perdagangan terhadap kapital industri.”[9] Pada
abad ke-18, Belanda menyerahkan posisi hegemoninya ke Inggris. “Pada awal abad
ke-18, manufaktur Belanda telah kalah. Belanda berhenti menjadi negara utama
dalam perdagangan dan industri.”[10] Namun,
perannya sebagai pedagang uang tetap penting sampai abad ke-19, dimana Belanda
meminjamkan kapital yang sangat besar untuk Inggris. Kapital yang telah
diakumulasi oleh Belanda melalui perdagangan berfungsi sebagai basis
kebangkitan industri manufaktur di Inggris, seperti yang ditulis oleh Marx:
“Salah satu usaha bisnis utamanya, oleh karena itu, dari tahun 1701-1775,
adalah meminjamkan kapital yang sangat besar, terutama kepada musuh besarnya
Inggris. Hal yang sama sekarang terjadi antara Inggris dan Amerika Serikat.
Kapital yang besar, yang timbul hari ini di Amerika Serikat tanpa akta
kelahiran sama sekali, kemarin ada di Inggris yang dikucurkan dari darah
anak-anak.”[11]Jadi,
kebangkitan yang cepat dan pendek dari Belanda sebagai sebuah negara pedagang
kapitalis pada abad ke-17 adalah dasar untuk kebangkitan negara industri
kapitalis, terutama Inggris.
Tahun-tahun “Kekacauan” dan
“Ketidakpastian” (1800-1830)
Revolusi Hebat Prancis pada tahun
1789 melempar seluruh Eropa ke dalam satu kekacauan. Seluruh penduduk Republik
Beladan terjangkiti semangat Revolusi Prancis, dan pada tahun 1795 sebuah
revolusi popular pecah dan menyerukan pembentukan Republik Batavia yang pendek
umurnya (1795-1806). Selama periode yang pendek ini, semangat Revolusi Prancis
juga menjangkiti kebijakan kolonial dengan banyak gagasan, yang berdasarkan
kebebasan berusaha dan liberalisme, bermaksud membawa semangat liberté,
égalité, fraternité (kebebasan, kesamarataan, persaudaraan) ke rakyat
pribumi Hindia Timur Belanda. Akan tetapi, semua ocehan dan rencana untuk
memajukan rakyat pribumi, untuk membawa logika (reason) ke Hindia Timur yang
primitf, tidak lain adalah sebuah “kerajaan borjuis yang ideal”.
Republik Batavia berakhir ketika
Napoleon Bonaparte memasang sepupunya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Belanda
pada tahun 1806. Tahun 1815, Napoleon jatuh dan Belanda memperoleh kembali
kemerdekaannya. Inggris, yang memegang kendali Hindia Timur di bawah Raffles
tahun 1811, mengembalikannya ke Belanda pada tahun 1815.
Di dalam periode kekacauan dan
ketidakpastian ini, administrasi kolonial secara perlahan-lahan mengkooptasi
elit-elit penguasa lokal ke dalam administrasi. Dimana sebelumnya selama periode
kekuasaan VOC para elit lokal dibiarkan mengontrol subyek mereka sesuka hati
mereka, di bawah pretensi untuk melindungi rakyat Hindia dari perlakukan
semena-mena (untuk membangun masyarakat berhukum dan tertib) sebuah mesin
negara yang lebih ketat diimplementasikan di Hindia Timur Belanda dimana
penguasa-penguasa lokal secara efektif adalah karyawan bayaran dan dipilih oleh
pemerintah kolonial. Pemerintahan desa, vergadering, prinsip “yang sama
menguasai yang sama” (memasukkan kelas penguasa lokal ke dalam pemerintah
kolonial), semua ini didesain sesuai dengan kebutuhan ekonomi karena sistem
tanam paksa membutuhkan sebuah pemerintah yang kuat.
Sistem Tanam Paksa
Setelah Perang Jawa 1825-1830
yang berakhir dengan menyerahnya kerajaan Mataram, yang menandai penaklukan
penuh pulau Jawa, Belanda memperkenalkan sebuah sistem tanam paksa. Berbeda
dari sistem transaksi rempah-rempah sebelumnya, sistem Tanam Paksa , dimana
pemerintah kolonial mengorganisasi sebuah sistem produksi hasil bumi (cash-crop)
untuk ekspor, membawa evolusi industri perkebunan yang membentuk sejarah
Indonesia sebagai sebuah negara eksportis bahan mentah untuk abad selanjutnya.
Dari menjadi sumber bahan mentah untuk kapitalisme perdagangan, Hindia Timur
perlahan-lahan menjadi sumber bahan mentah untuk kapitalisme industrial.
Sistem Tanam Paksa – sebuah
sistem dimana Belanda memaksa petani Indonesia untuk menanam hasil bumi untuk
eskpor – adalah sebuah sistem yang memberikan basis untuk kemajuan ekonomi di
Belanda. Sistem ini adalah sebuah eksploitasi kolonial yang klasik. Tujuan
utamanya untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian (terutama di pulau
Jawa) guna kepentingan penbendaharaan Belanda. Sistem ini adalah satu
kesuksesan yang besar dari sudut pandang kapitalisme Belanda, menghasilkan
produk ekspor tropikal yang sangat besar jumlahnya, dimana penjualannya di
Eropa memajukan Belanda. Dengan kopi dan gula sebagai hasil bumi utama, seluruh
periode Sistem Tanam Paksa menghasilkan keuntungan sebesar kira-kira 300 juta
guilder dari tahun 1840-59.
Tabel I. Hasil dari Sistem Tanam
Paksa, 1840-1859 (‘000 guilder)[12]
1840-1849
|
1850-1854
|
1855-1859
|
|
Kopi
|
64827
|
77540
|
105599
|
Gula
|
-4082
|
3385
|
33705
|
Lain-lain (nila, cochineal,
kayu manis, merica, teh, tembakau)
|
13653
|
5610
|
3299
|
Total
|
74398
|
86535
|
142603
|
Kapitalis Belanda sama sekali
tidak tertarik untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian. Otoritas
kolonial menyediakan sedikit sekali kapital investasi, dengan hampir tidak ada
perkembangan dalam teknik produksi dan manufaktur.
Kaum tani dipaksa berjalan
berkilo-kilometer dari desa mereka ke tempat perkebunan kopi, dan kadang-kadang
harus meninggalkan desa selama berbulan-bulan, hidup di tempat penampungan
sementara dekat dengan area perkebunan kopi. Untuk perkebunan tebu, para petani
dipaksa mengubah ladang padi mereka (dan irigasi mereka) menjadi ladang tebu.
Para petani tidak hanya diharuskan mempersiapkan ladang, menanam, dan menjaga
perkebunan tersebut, mereka juga harus menuainya dan mengangkutnya ke pabrik
dengan cara dipanggul di atas pundak mereka karena kurangnya alat transportasi
dan binatang, dan kondisi jalanan yang tidak baik. Mereka juga sekaligus
bekerja di pabrik.
Sistem Tanam Paksa juga menyita
sejumlah besar tenaga kerja dari para petani untuk membangun infrastruktur yang
dibutuhkan untuk operasi sistem tanam paksa, termasuk membangun jalan dan
jembatan untuk transportasi hasil bumi, pengembangan fasilitas pelabuhan,
konstruksi perumahan untuk para pejabat, membangun pabrik dan gudang-gudang
untuk hasil bumi, membangun dam dan irigasi, dan bahkan benteng pertahanan.[13]
Eksploitasi dari sistem ini tidak
ada presedennya dalam sejarah penjajahan Belanda. Satu pejabat senior
mengatakan bahwa di bawah Sistem Tanam Paksa para petani dipaksa untuk
melakukan 4 atau 5 kali lebih banyak kerja daripada yang biasanya dituntut
sebelum 1830.[14] Kebanyakan
petani harus bekejra selama lebih dari 150 hari dalam setahun untuk cultuurstelsel.
Pembayaran yang diterima oleh petani sangatlah kecil dan mereka dipajak sangat
tinggi. Gubernur Jendral pada saat itu (1845-1851), Jan Jacob Rochussen,
memperkirakan pada tahun 1857 bahwa sekitar 2/3 pembayaran yang diterima oleh
petani diterima kembali oleh Pemerintah melalui berbagai macam pajak.[15] Kapitalisme
di Belanda dan Eropa sungguh bangkit dari keringat dan darah jutaan petani di
Hindia Timur.
Industri gula dikembangkan oleh
pemerintah koloni Belanda dengan bantuan “kontraktor” swasta Belanda dan para
priyayi, kepala desa (lurah), dan elit-elit lokal. Kecepatan pertumbuhan laba
gula (lihat Tabel I) cukup untuk menunjukkan cepatnya pertumbuhan industri ini
dan bagaimana ia mempengaruhi periode selanjutnya. Fabriek (pabrik)
gula menjadi pemandangan umum dari daerah pedesaan. Sekitar 100 pabrik milik
Eropa memproduksi lebih dari 130 ribu ton gula pertahun. Tebu-tebu ini ditanam
oleh lebih dari 100 ribu petani yang mengerjakan sekitar 12 ribu hektar tanah.[16]
Periode Liberal (1870-1900)
Sistem Tanam Paksa menyediakan
basis untuk periode ekonomi selanjutnya, yang disebut periode Liberal. Selama periode
sebelumnya, pemerintah menyuntik kapital yang besar untuk membangun perkebunan
hasil-bumi dan fasilitas-fasilitasnya, terutama gula dan kopi, dan juga
memastikan penyediaan tenaga kerja murah melalui kerja paksa. Sistem Tanam
Paksa sangatlah menguntungkan. Namun, sistem Cultuurstelsel yang
dijalankan pemerintah ini dipenuhi dengan nepotisme, dimana kontraktor
pemerintah, pengusaha penanam swasta, perusahaan ekspor-impor, dan pegawai
negeri Belanda semua mempunyai hubungan keluarga. Ini membawa kegusaran
kapitalis Belanda (dan kapitalis asing lainnya) yang berada di luar klik Jawa
ini, yang melihat keuntungan besar dari bisnis ini dan ingin sepotong darinya.
Inilah alasan sebenarnya mengapa Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870,
bukan karena kekhawatiran moral kaum imperialis Belanda terhadap kesengsaraan
yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia akibat sistem eksploitatif ini. Kita
dapat melihat ini dengan jelas di dalam nilai ekspor setelah Sistem Tanam
Paksa, yang tumbuh bahkan dengan kecepatan yang lebih pesat dan tidak lain
menandakan sebuah eksploitasi yang lebih ganas terhadap rakyat Hindia Timur
Belanda.
Banyak dari loncatan nilai ekspor
dan produktivitas ini adalah karena peningkatan teknologi yang mengijinkan
transportasi yang lebih baik dan pemrosesan yang lebih efisien. Beberapa orang
akan berargumen bahwa periode Liberal adalah tidak lebih eksploitatif daripada
Sistem Tanam Paksa karena para petani diperlakukan lebih manusiawi dan pada
saat yang sama produktivitas mereka dibuat lebih tinggi. Namun kita kaum Marxis
bukanlah kaum moralis kacangan. Kita melihat eksploitasi dari sudut pandang
nilai surplus yang disedot oleh kaum kapitalis dari kaum buruh dan tani, bukan
hanya besarnya kesengsaraan yang mereka alami. Walaupun tentu saja kesengsaraan
yang dialami oleh buruh dan tani Hindia Timur sangatlah keji dan memuakkan.
Oleh karena itu, dari sudut pandang ini, selama periode Liberal penindasan
rakyat Hindia Timur adalah lebih parah seperti yang ditunjukkan oleh statistik.
Tabel 2. Ekspor Hindia Timur
Menurut Komoditas, 1823-1938 (‘000 guilder)[17]
Periode
(rata-rata per tahun)
|
Gula
|
Kopi
|
Tembakau
|
Karet
|
Minyak
|
Total**
|
1823-25*
|
507
|
10358
|
120
|
13256
|
||
1826-30*
|
824
|
6221
|
59
|
9835
|
||
1831-35*
|
3371
|
10093
|
45
|
18513
|
||
1836-40*
|
10295
|
21907
|
136
|
42785
|
||
1841-45*
|
13476
|
24323
|
793
|
51187
|
||
1845-50*
|
18446
|
16021
|
712
|
48804
|
||
1851-55*
|
19986
|
26729
|
707
|
59502
|
||
1856-60*
|
32214
|
32740
|
1005
|
85945
|
||
1861-65*
|
32214
|
36616
|
1692
|
87425
|
||
1866-70*
|
33282
|
37052
|
3320
|
88479
|
||
1871-73*
|
46203
|
40717
|
8149
|
113479
|
||
1874-75
|
51234
|
69014
|
9895
|
128
|
59
|
173127
|
1876-80
|
56013
|
69922
|
20319
|
97
|
236
|
193723
|
1881-85
|
70842
|
50438
|
17111
|
274
|
47
|
190898
|
1886-90
|
58369
|
42481
|
25398
|
397
|
4
|
186338
|
1891-95
|
66862
|
51708
|
31603
|
184
|
1262
|
211344
|
1896-1900
|
65878
|
37204
|
37898
|
564
|
7717
|
227551
|
1901-1905
|
75764
|
24005
|
38703
|
1917
|
16200
|
279971
|
1906-1908
|
117511
|
16592
|
58574
|
7666
|
29392
|
388734
|
1909
|
167800
|
10100
|
46100
|
3300
|
30000
|
438000
|
1910
|
139600
|
11000
|
32500
|
6900
|
37700
|
422100
|
1911
|
132100
|
24100
|
72500
|
6800
|
46300
|
462900
|
1912
|
131700
|
28800
|
94700
|
21300
|
52400
|
543200
|
1913
|
152800
|
20400
|
90700
|
23900
|
113400
|
620500
|
1914
|
182600
|
21000
|
63700
|
26800
|
136800
|
640700
|
1915
|
213200
|
34700
|
73000
|
56500
|
141900
|
758200
|
1916
|
258800
|
21600
|
75800
|
96200
|
153000
|
856700
|
1917
|
212400
|
9100
|
13200
|
124100
|
158700
|
785100
|
1918
|
183600
|
3200
|
27700
|
73100
|
189500
|
675900
|
1919
|
763200
|
120000
|
121100
|
213300
|
349900
|
2162100
|
1920
|
1049800
|
51000
|
169400
|
164000
|
310200
|
2231300
|
1921
|
414900
|
26800
|
91000
|
68300
|
266000
|
1193000
|
1922
|
270900
|
41500
|
76600
|
88800
|
332400
|
1142400
|
1923
|
499200
|
29600
|
85400
|
169900
|
179200
|
1377900
|
1924
|
491100
|
65600
|
123600
|
199000
|
158300
|
1530600
|
1925
|
369500
|
68200
|
110500
|
582200
|
158000
|
1784800
|
1926
|
269600
|
70300
|
72900
|
480000
|
177100
|
1566100
|
1927
|
365300
|
74400
|
113900
|
417100
|
149900
|
1622300
|
1928
|
375800
|
81400
|
95600
|
278000
|
144100
|
1576600
|
1929
|
311600
|
69500
|
83300
|
237300
|
185200
|
1443200
|
1930
|
254300
|
35700
|
58600
|
172800
|
190100
|
1157200
|
1931
|
129300
|
24200
|
51100
|
82600
|
147100
|
747200
|
1932
|
99300
|
35200
|
46800
|
34000
|
98500
|
541400
|
1933
|
62100
|
25600
|
32000
|
37800
|
105000
|
467900
|
1934
|
45500
|
22500
|
37000
|
88800
|
99800
|
487300
|
1935
|
36000
|
18700
|
29300
|
70000
|
87400
|
445700
|
1936
|
34100
|
15900
|
37900
|
87800
|
97500
|
527700
|
1937
|
51100
|
26000
|
41100
|
298100
|
166600
|
951200
|
1938
|
45200
|
13700
|
38800
|
135400
|
164000
|
657800
|
* Data ekspor dari pulau Jawa dan
Madura. Catatan pemerintah kolonial untuk seluruh Hindia Timur hanya dimulai
pada tahun 1874. Sebelumnya, informasi hanya tersedia untuk Jawa dan Madura.
** Total nilai ekspor termasuk
produk-produk lain seperti rempah-rempah, beras, teh, nila, tembaga, timah,
dsb.
Dengan dihapuskannya Sistem Tanam
Paksa – yang ditandai dengan disetujuinya Peraturan Gula 1870 – aktor utama
dalam perkembangan industri perkebunan bergeser lebih ke perusahaan swasta dan
kapital luar. Kapitalis swasta dan kapitalis petualang masuk ke dalam industri
perkebunan Hindia Timur Belanda. Tahun 1925, sudah ada 121 perusahaan gula (suikerondernemingen)
yang beroperasi di Hindia Timur Belanda, dan jumlah total pabrik gula (suikerfabrieken)
yang dimiliki atau dikelola oleh perusahaan ini adalah 195.[18]
Pada tahun 1896, aliansi industri
gula diperkuat dengan dibentuknya Sindikat Pemilik Pabrik Gula di Hindia
Belanda (Algemeene Syndicaat van Suikerfabricanten in Nederlandsch Indie) yang
mengikutsertakan hampir semua perusahaan gula di koloni. Jadi, di dalam
industri perkebunan gula di Hindia Timur Belanda kita dapat menyaksikan evolusi
kapitalisme dari kompetisi bebas ke kapitalisme kartel. Mari kita lihat apa
yang ditulis oleh Lenin mengenai proses ini dalam bukunya yang terpenting Imperialisme:
Tahapan Tertinggi Kapitalisme:
“Tahapan utama dalam sejarah
monopoli adalah sebagai berikut: (1) 1860-1870, tahapan tertinggi, puncak dari
perkembangan kompetisi bebas; monopoli masihlah dalam tahapan embrionik yang
hampir tak terlihat. (2) Setelah krisis tahun 1873, sebuah periode perkembangan
kartel yang panjang; tetapi mereka masihlah pengecualian. Kartel-kartel ini
belumlah bertahan lama. Mereka masih merupakan fenomena transisi. (3) Boom
ekonomi pada akhir abad ke-19 dan krisis 1900-1903. Kartel-kartel menjadi salah
satu fondasi dari seluruh kehidupan ekonomi. Kapitalisme telah bertransformasi
menjadi imperialisme.”[19]
Dan benarlah, awal Periode
Liberal pada tahun 1870 menyaksikan puncak kompetisi bebas dalam industri
perkebunan dimana kapital swasta masuk membanjiri setelah dihapuskannya Sistem
Tanam Paksa. Pada akhir abad ke-19, kebanyakan perusahaan gula telah bersatu ke
dalam satu sindikat dimana sindikat ini “mencapai persetujuan dalam hal
penjualan, tanggal pembayaran, dll. Mereka membagi pasar di antara mereka
sendiri. Mereka menetapkan jumlah barang yang akan diproduksi. Mereka membagi
laba di antara berbagai perusahaan, dsb.”[20]
Kebanyakan perusahaan yang
beroperasi di Hindia Timur diorganisasi sebagai perusahaan saham-gabungan,
dimana mayoritas dari mereka berafiliasi dengan sebuah institusi finansial yang
unik yang bernama cultuurbanken, sebuah kapital finans yang dibentuk
untuk menyediakan investasi kapital bagi industri perkebunan di Hindia Timur
Belanda. Dominasi kapital finansial adalah karakter umum dari kapitalisme di
tahapan ini, dimana “kepemilikan kapital terpisahkan dari aplikasi kapital
dalam produksi, dimana uang kapital terpisahkan dari kapital industrial atau
produktif, dan dimana peminjam uang yang hidup sepenuhnya dari pendapatan yang
diperolehnya dari uang kapital terpisahkan dari para pengusaha dan dari semua
yang terlibat langsung dengan manajemen kapital. Imperialisme, atau dominasi
finans kapital, adalah tahapan tertinggi kapitalisme dimana pemisahan ini
mencapai proporsi yang luas.”[21]
Pada saat yang sama, kita juga
menyaksikan industri minyak dan karet masuk ke pulau-pulau di luar Jawa pada
awal tahun 1870. Ekspansi kontrol Belanda atas pulau-pulau luar-Jawa terjadi
bersamaan dengan kepentingan perkebunan tembakau, karet, teh, kopi, dan kelapa
di Borneo, Sulawesi, dan Sumatra Utara; tetapi daerah utama untuk aktivitas
perkebunan di luar Jawa adalah Pantai Timur Sumatra, yang berubah dari hutan
belantara yang tidak ada akhirnya pada tahun 1860an menjadi salah satu daerah
perkebunan utama di dunia pada tahun 1920an.
Sampai pada tahun 1870an, 80
hingga 90 persen dari total nilai ekspor Hindia Timur Belanda ditujukan ke
Belanda.[22] Ini
adalah hasil dari Sistem Tanam Paksa dimana pemerintahan Belanda bermaksud
memperluas produksi ekspor di Jawa dan mengorientasikan ini secara eksklusif ke
Belanda. Produksi dan ekspor di koloni ada di bawah kontrol ketat pemerintah.
Dengan berakhirnya Sistem Tanam Paksa dimana aktor utama dalam perkembangan
industri perkebunan semakin bergeser ke perusahaan swasta, dan juga dengan
pembebasan tarif, bagian ekspor ke Belanda jatuh secara signifikan sedangkan
ekspor intra-Asia meningkat. Pada permulaan abad ke-20, porsi ekspor ke Belanda
telah jatuh ke 30% sedangkan pada periode yang sama porsi ekspor ke Asia
(terutama Singapura, diikuti oleh Cina/Hong Kong, India, dan Jepang) meningkat
dari 13% pada awal 1870 ke 47% pada tahun 1908.[23] Sebagai
pelabuhan entri untuk perdagangan bebas, Singapura mengirim kebanyakan ekspor
Hindia Timur Belanda yang mendarat di pelabuhannya ke tujuan final di tempat
lain, terutama ke Amerika Serikat.
Perkembangan pesat dari industri
perkebunan bergerak bersamaan dengan perkembangan dominasi kolonial atas daerah
Asia Tenggara oleh Inggris (di Malaya dan Burma), Prancis (Indochina: Vietnam,
Laos, Kamboja), AS (Filipina), dan Belanda (Indonesia). Kemajuan dalam
transportasi dan komunikasi antara Asia Tenggara dan Eropa juga berkontribusi
pada perkembangan ini, terutama dibukanya Kanal Suez pada tahun 1869 dan
diletakkannya kabel bawah laut untuk telekomunikasi telegraf antara Eropa dan
Asia pada tahun 1860an dan 1870an.
Ekonomi koloni Asia Tenggara
moderen mencapai pertumbuhan yang tidak ada preseden antara tahun 1870an hingga
1920an, bersamaan dengan periode boom kapitalis. Setelah kekuasaan penuh
kolonial telah diamankan di daerah tersebut, kekuatan-kekuatan Eropa (Inggris,
Prancis, AS, Belanda) mengkonsolidasikan dua pilar ekonomi, yakni industri
perkebunan di Asia Tenggara Insular (Indonesia, Malaysia, dan Filipina), dan
daerah penghasil beras di Daratan Utama Asia Tenggara (Mekong di Indochina,
Chao Phraya di Thailand, dan Ayeyardwady di Burma) yang menyediakan bahan
makanan nasi untuk Asia Tenggara Insular dimana nasi tidak cukup karena
perkebunan yang meluas dan populasi yang meningkat. Secara singkat,
perkembangan ini dicapai di bawah sebuah sistem perdagangan dan finansial
internasional yang berpusat di Inggris pada saat itu.
Periode Etis (1900-1930) dan
Kebangkitan Nasionalisme Indonesia
Di senja abad ke-20, kaum moralis
dari borjuasi Belanda hati nuraninya sangat terusik dengan kemiskinan rakyat pribumi
Hindia Timur akibat eksploitasi kolonial Belanda, sehingga mereka meminta
peningkatan kesejahteraan moral dan material untuk rakyat Hindia Timur. Akan
tetapi, kebijakan etis sebenarnya hanyalah satu ekspresi dari kebutuhan
ekonomi, dan bukan karena kebaikan hati dari kaum borjuasi Belanda.
Keperluan untuk semakin menyedot
sumber daya alam Indonesia untuk memenuhi selera besar dari kapitalisme yang
sedang meledak di Eropa dan AS memaksa para penindas untuk menciptakan basis
dasar untuk ini. Mereka tidak bisa lagi hanya mengandalkan ekspatriat untuk
menjalankan koloni dengan industri perkebunan, ekonomi, dan pemerintah yang
semakin membesar. Makin banyak sekolah dibangun untuk rakyat pribumi guna
melatih mereka untuk menjadi buruh kereta api, dokter, kasir, guru, dan
administrator lokal, dsb. Kita sedang menyaksikan pembentukan embrio kaum
intelektual dan proletariat Indonesia.
Di tingkatan dunia, periode ini
ditandai dengan Perang Dunia Pertama dan Depresi Hebat. Karakter unik dari
periode ini adalah kontraksi impor dan ekspor ke Belanda dan Inggris, dan
ekspansi ekspor dan impor dengan AS dan Jepang. Ini menandai menurunnya
kapitalisme Inggris dan Belanda, dan bangkitnya kekuatan adidaya AS dan Jepang.
Seperti yang kita lihat di Tabel
2 di atas, ekspor karet dan minyak menanjak selama periode ini dan mencapai
puncaknya pada pertengahan 1920an, bersamaan dengan permintaan besar dari
industri mobil yang sedang meledak di AS. Produksi gula juga mencapai zaman
keemasannya pada tahun 1920an dimana Jawa adalah produsen ketiga terbesar dari
tebu gula setelah Kuba dan India.[24] Namun,
di balik boom produksi karet dan gula tersirat masalah over-produksi yang pada
akhirnya menyebabkan anjloknya harga karet dan sugar di dunia. Semenjak Depresi
Hebat, gula sudah bukan lagi komoditas ekspor utama di Indonesia, dan diambil
alih oleh karet dan minyak bumi. Karet tetap menjadi komoditas ekspor utama
Indonesia hingga paruh pertama 1960an. Ekspor minyak adalah komoditas ekspor
kedua setelah karet, tetapi porsi total ekspornya tetap kurang dari 20%, dan
minyak tidak akan menjadi komoditas ekspor utama hingga pada akhir 1960an.
Pergeseran dari gula ke karet sebagai komoditas ekspor utama negeri ini juga
menandai sebuah pergeseran dalam pusat pendapatan valuta asing dari Jawa ke
pulau-pulau luar-Jawa, terutama Sumatra dan diikuti oleh Kalimantan.
Satu karakter unik lainnya dari
periode ini adalah ekspansi ekspor ke AS setelah Perang Dunia Pertama, bukan
hanya dari Hindia Timur Belanda, tetapi juga dari daerah-daerah perkebunan
seluruh Asia Tenggara Insular (Filipina, Indonesia, dan Malaya). Dari akhir
Perang Dunia Pertama sampai 1920an, porsi total ekspor ke AS meningkat sangat
besar: di Filipina ini meningkat dari 37% pada tahun 1913 ke 75% tahun 1927, di
Hindia Timur Belanda dari 2% pada tahun 1913 ke 13% tahun 1920, di Malaya dari
14% pada tahun 1913 ke 44% tahun 1927.[25] Selama
periode yang sama, daerah ini juga meningkatkan impor dari AS. Ini menandakan
satu periode restrukturisasi imperialisme, dimana AS bangkit sebagai sebuah
negara super power yang baru dan Kerajaan Inggris Raya yang tua sedang menurun.
Pada awal abad ke-20, kita
melihat bangkitnya nasionalisme di kebanyakan koloni-koloni. Di satu pihak,
kekuatan imperialis telah menciptakan pasar bersama (common market) dan
mengukir perbatasan-perbatasan artifisial di koloni-koloni yang tidak punya
perbatasan sebelumnya, dan oleh karenanya dengan paksaan mereka menciptakan
kerangka untuk sebuah bangsa-negara; di pihak lain, identitas nasional
diciptakan di antara rakyat yang terjajah melalui perjuangan bersama melawan
sang penjajah. Hindia Timur, dengan 16 ribu pulaunya, 300 suku yang
berbeda-beda, dan 740 bahasa dan dialek – sebuah surga untuk antropologis –
disatukan oleh sebuah sejarah penjajahan oleh Belanda. Lapisan pertama yang
mengartikulasikan nasionalisme Indonesia adalah kaum intelektual muda yang
belajar di luar negeri yang membawa pulang dengan mereka semangat Revolusi
Prancis, semangat liberté, égalité, fraternité, semangat revolusi
borjuis-demokratik. Kekalahan pasukan Tsar Rusia oleh Jepang juga membantu
melunturkan mitos keperkasaan Eropa. Rusia saat itu dianggap sebagai satu
kekuatan Eropa yang dikalahkan oleh sebuah negara Asia yang sedang bangkit.
Gagasan lain yang menggoncang dunia pada periode tersebut adalah Revolusi
Rusia. Di tengah sturm und drang (topan dan badai) dari Perang Dunia
Pertama, sebuah negeri yang mencakup 1/6 dunia melaksanakan Revolusi
Proletariat yang pertama dan menjangkiti seluruh dunia, termasuk dunia koloni,
dengan semangatnya. Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920an adalah kekuatan
utama dari perjuangan nasionalis, dimana ia berdiri jauh lebih tinggi, secara
politik dan organisasional, dari elemen-elemen nasionalis lainnya. PKI
menyatukan perjuangan untuk pembebasan nasional dan sosialisme, sampai pada
kejatuhannya di pemberontakan 1926-27. Ketika PKI bangkit kembali, ia telah
menjadi alat birokrasi Stalinis dan telah memisahkan perjuangan pembebasan
nasional dan sosialisme dengan teori dua-tahapnya.
Kemerdekaan Nasional
Sejak penghancuran PKI secara
fisik pada tahun 1927, secara praktikal panggung gerakan nasionalis didominasi
oleh elemen-elemen borjuis-nasionalis seperti Soekarno dan Mohammad Hatta.
Kekalahan PKI pada tahun 1927 dan Depresi Hebat yang menyusul – yang memukul
Indonesia cukup keras karena ekonominya sangat tergantung pada ekonomi
internasional (dimana populasi meningkat dari 61 juta pada tahun 1930 menjadi
70 juta pada tahun 1940, pendapatan nasional jatuh dari 3,5 milyar guilder ke 2
milyar guilder[26])
– membuka satu periode semi-reaksi di Indonesia, dimana gerakan nasionalis
terpukul mundur secara politik dan organisasional. Sekitar 13 ribu penangkapan
terjadi dimana ribuan orang dikirim ke kamp konsentrasi Boven Digul yang
terkenal itu, yakni Siberianya Indonesia.
Gerakan nasionalis Indonesia
hanya mendapatkan momentumnya kembali setelah kekalahan Belanda di tangan
Jepang pada tahun 1942, menandai berakhirnya tiga-setengah-abad penjajahan
Belanda dan awal dari tiga-setengah-tahun penjajahan Jepang. Namun jenis
nasionalisme yang bangkit adalah nasionalisme borjuis yang secara ketat
dikendalikan oleh Jepang dalam kerangka Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya dengan slogan “Asia untuk Orang Asia”. Jepang mengasuh di bawah sayap
mereka pemimpin-pemimpin penting Indonesia, di antara mereka adalah Soekarno
dan Hatta, guna mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia untuk mesin perang
mereka dalam mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah mereka taklukkan dari
pasukan Sekutu. Pada saat yang sama, pemimpin-pemimpin lain yang menunjukkan
kecenderungan sosialis ditindas dengan kejam. Hanya organisasi-organisasi yang
disetujui oleh Jepang diperbolehkan eksis, seperti Putera dan Djawa Hokokai.
Organisasi-organisasi ini tidak lain adalah instrumen pemaksa dan pengontrol
Jepang.
Di belakang janji Jepang untuk
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia adalah satu usaha untuk mengendalikan
gerakan nasionalis, supaya bila Indonesia merdeka ia tetap akan berada di bawah
kekuasaan langsung mereka. Macam pemimpin nasionalis yang diasuh oleh Jepang
menunjukkan warna mereka yang sesungguhnya ketika momen-momen yang menentukan
datang. Bahkan setelah menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945,
Soekarno dan Hatta takut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa
berkonsultasi terlebih dahulu dengan Jepang. Mereka harus dipaksa oleh kaum
muda militan, yang tidak setuju kalau Indonesia mendapatkan kemerdekaannya
sebagai sebuah hadiah dari Jepang. Terutama dengan penyerahan tanpa syarat dari
Jepang, dimana ini berarti bahwa pasukan bersenjata Jepang di Indonesia akan
bertindak sebagai perwakilan dari kekuatan Sekutu yang ingin mengembalikan
koloni ini ke Belanda.
Setelah banyak negosiasi dan
keraguan, pada pagi hari 17 Agustus 1945, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, dan mulailah babak baru dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang
diperjuangkan di lapangan militer melawan kekuatan Sekutu dan di lapangan
politik antara kaum reformis dan kaum revolusioner. Kaum reformis, yang
dipersonifikasi oleh Hatta dan Sjahrir, merasa cukup dengan kemerdekaan
Indonesia di bawah jempol imperialisme, sedangkan kaum revolusioner, yang
dipersonifikasi oleh Tan Malaka dan front persatuannya Persatuan Perjuangan,
menuntut 100% Merdeka. Kaum revolusioner berjuang dengan berani melawan pasukan
Sekutu dan juga melawan pemimpin nasionalis seperti Hatta yang ingin
berkapitulasi pada kekuatan imperialis dan mengembalikan semua perusahaan dan
perkebunan Belanda, yang nota-bene berarti penundukan ekonomi Indonesia
terhadap Belanda. Kaum nasionalis borjuis ini mengirim pasukan mereka untuk
melawan milisi rakyat yang sedang berjuang mempertahankan negara mereka. Ribuan
pejuang muda yang berani, yang dianggap terlalu revolusioner, diburu dan
dibunuh oleh pasukan pemerintah, termasuk Tan Malaka pada tahun 1949.
Pada tanggal 27 Desember 1949,
setelah banyak pertempuran yang gagah berani, yang menewaskan lebih dari 200
ribu orang Indonesia, Belanda terpaksa mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun,
para pemimpin nasionalis telah menjual seluruh Indonesia dengan menyetujui
pengembalian seluruh perusahaan, tanah perkebunan, dan tambang-tambang Belanda
dan membayar 4,3 milyar guilder (atau senilai 10,1 milyar dollar pada tahun
2009) yang merupakan agresi militer Belanda di Indonesia selama 4 tahun. Ini
menaruh ekonomi Indonesia di bawah jempol kaum imperialis dan program 100%
Merdeka dikhianati.
Orde Lama
Ekonomi Indonesia digambarkan
sebagai “kemerosotan kronik” oleh Benjamin Higgins, penulis buku terkemuka
mengenai Ekonomi Perkembangan pada periode tersebut. Dia menyimpulkan bahwa
“Indonesia tentu harus dicatat sebagai kegagalan nomor satu di antara
negara-negara kurang berkembang.”[27]
Sultan Hamengkubowono IX pada
tahun 1966 menjelaskan situasi pada saat itu sebagai berikut: “Setiap orang
yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami sebuah situasi
ekonomi yang menguntungkan sungguh kurang melakukan studi yang intensif ...
Bila kita membayar semua utang luarnegeri kita, kita tidak ada valuta asing
tersisa untuk memenuhi kebutuhan rutin kita ... Pada tahun 1965 harga-harga
secara umum naik lebih dari 500 persen ... pada tahun 1950an anggaran negara
mengalami defisit sebesar 10 hingga 30 persen, dan pada tahun 1960an defisit
ini meningkat hingga lebih dari 100 persen. Pada tahun 1965, ini bahkan
mencapai 300 persen.”[28]
Kondisi sosial tidak lebih baik,
dengan kontras antara yang kaya dan yang miskin semakin menajam pada saat itu,
kendati pengumuman berulang-ulang dari pemerintah Soekarno mengenai cita-cita
masyarakat adil dan makmur. Ini digarisbawahi oleh kutipan berikut ini dari
seorang pengamat Indonesia selama pertengahan 1960an: “ ... jumlah
konsumsi barang mewah di Jakarta tampak meningkat ... tajamnya peningkatan
jumlah mobil, pada saat dimana transportasi publik semakin memburuk dengan
serius, memberikan indikasi mengenai kesenjangan ini ... setiap kali selalu ada
peraturan ekspor-impor baru untuk menghentikan impor barang-baran mewah, tetapi
entah bagaimana mereka tetap masuk.”[29]
Tabel 3. Indikator-Indikator
Perkembangan Ekonomi Indonesia, 1960-1965[30]
1960
|
1961
|
1962
|
1963
|
1964
|
1965
|
|
Produk Domestik Nasional (Rp
Milyar), Harga 1960
|
391
|
407
|
403
|
396
|
407
|
430
|
Pendapatan per kapita, %
perubahan
|
-1,6
|
1,7
|
-3,0
|
-4,0
|
0,3
|
3,2
|
Defisit anggaran dalam %
pengeluaran
|
17
|
30
|
39
|
51
|
58
|
63
|
Suplai Uang (M1), % perubahan
|
37
|
41
|
101
|
94
|
156
|
302
|
Inflasi (CPI, % perubahan)
|
20
|
95
|
156
|
129
|
135
|
594
|
Indikator ekonomi di atas selama
periode 1960-65 jelas menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sedang menukik secara
katastropik. Dalam 5 tahun, inflasi naik dari 20% hinggal 600%, defisit
anggaran naik dari 17% hinggal 63%. Penyebab segera dan langsung dari meningkatnya
inflasi, yang bagi buruh dan tani berarti menurunnya pendapatan riil mereka,
tidak sulit untuk ditemukan. Suplai uang mulai meningkat dengan cepat dari 40%
di awal 1960an sampai 300% pada tahun 1965. Peningkatan suplai uang ini
disebabkan oleh defisit anggaran, yang diatasi oleh pemerintah dengan mencetak
lebih banyak uang.
Narasi utama yang telah
dikeluarkan oleh kapitalis Barat adalah bahwa Soekarno, seperti kebanyakan
pemimpin-pemimpin Dunia Ketiga di zamannya, memberikan perhatian yang berlebihan
ke isu-isu politik dan mengabaikan isu-isu ekonomi; bahwa dia mempolitisasi
bangsa secara ekstrim dan sebagai akibatnya mengurangi pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, narasi ini tidak mempertimbangkan bahwa konsolidasi politik adalah
sebuah langkah penting yang harus diambil oleh Republik muda ini. Kekuatan
Sekutu telah menebar kekacauan di Republik, secara ekonomi dan politik.
Kebijakan imperialis pada saat itu adalah untuk memecahkan Indonesia menjadi
negeri-negeri yang lebih kecil dan lemah dengan mempromosi gerakan separatis di
seluruh nusantara. Banyak pemberontakan, yang kebanyakan disponsor dan didukung
oleh imperialis, meledak yang mengancam kesatuan nasional, yang bukan hanya
harus dihadapi secara militer tetapi juga secara politik. Usaha militer untuk
melawan kaum separatis adalah salah satu faktor utama yang membuat bangkrut
pemerintah.
Pemerintahan Soekarno mencoba
menyeimbangkan dua kekuatan utama: kekuatan komunis dan kekuatan tentara di
bawah jendral-jendral reaksioner. Di belakang kaum Komunis adalah kelas
pekerja, petani miskin, kaum miskin kota, dan banyak kaum intelektual, artis,
dan nasionalis kiri. Di belakang jendral-jendral reaksioner adalah pemilik
tanah kaya, nasionalis sayap kanan, dan terutama kekuatan imperialis. Kebijakan
setengah-hati dari pemerintahan Soekarno, yakni menyerukan frase-frase
revolusioner tanpa menyelesaikan revolusi sosialis, menghapus kapitalisme
secara penuh dan mengimplementasikan ekonomi terencana di bawah kontrol
demokratik buruh, dan di pihak lain penolakan dari PKI untuk merebut kekuasaan
karena mereka terikat kaki dan tangannya pada kaum borjuis nasional (di bawah
teori dua-tahap mereka), mengakibatkan kekalahan kelas pekerja. Di dalam sebuah
perjuangan kelas, hanya ada satu aturan: satu kelas harus menang dan kelas yang
lain harus kalah. Sebuah situasi perjuangan kelas yang tajam, seperti di
Indonesia pada akhir 1950 hingga pertengahan 1960, tidak bisa berlangsung
selamanya. Satu kelas harus kalah. Sikap keras kepala PKI untuk mengabaikan
perjuangan kelas dengan mengsubordinasikannya di bawah perjuangan nasional
menyebabkan kehancuran mereka. PKI tidak ingin mengenali perjuangan kelas,
tetapi perjuangan kelas mengenali PKI.
1965 dan Imperialisme AS
G30S adalah sebuah konter
revolusi yang menyebabkan pembalikan penuh di dalam politik Indonesia dan
dunia. Disini, negara terbesar keempat dengan partai komunis ketiga terbesar
setelah Tiongkok dan Uni Soviet, berubah dari sebuah negeri yang sangat
anti-imperialis ke sebuah partner AS yang penurut. Sebelum kudeta ini, duta
besar AS telah terpaksa mengirim pulang hampir semua personilnya dan menutup
konsulat-konsulat di luar Jakarta karena demonstrasi PKI yang militan. Buruh
menyita perkebunan-perkebunan dan sumur-sumur minyak yang dimiliki perusahaan
AS, dan Sukarno mengancam akan menasionalisasi mereka. Ancaman Indonesia
menjadi komunis adalah nyata dan peristiwa ini bisa mengubah wilayah Asia
Tenggara menjadi merah juga.
Sebuah laporan intelijen level
tinggi yang dipersiapkan pada awal September 1965 menulis bahwa “Indonesianya
Soekarto sudah bertindak seperti sebuah negeri komunis dan lebih bermusuhan
secara terbuka dengan AS dibandingkan kebanyakan negeri-negeri komunis
lainnya.” Laporan tersebut juga memprediksikan bahwa pemerintah Indonesia akan
didominasi secara penuh oleh PKI dalam dua atau tiga tahun, dan “kebangkitan
Indonesia ke komunisme akan menghantar pukulan yang berat terhadap politik
dunia. In akan dilihat sebagai sebuah perubahan besar dalam perimbangan
kekuatan-kekuatan politik internasional dan akan menyuntikkan sebuah nyawa yang
baru ke dalam tesis bahwa komunisme adalah gelombang masa depan.”[31]
Indonesia dianggap sebagai kartu
domino terbesar di Asia Tenggara. Dalam pidatonya tahun 1965, Richard Nixon
membenarkan pemboman Vietnam Utara sebagai satu cara untuk mengamankan “potensi
mineral yang besar” di Indonesia. Sejarahwan Dr. John Roosa menekankan bahwa
pasukan infantri yang mulai turun ke Vietnam pada bulan Maret 1965 akan menjadi
sia-sia bila kaum Komunis meraih kemenangan di sebuah negara yang jauh lebih
besar dan strategis, Indonesia. Kemenangan PKI di Indonesia akan membuat
intervensi AS di Vietnam sia-sia.[32]Robert
McNamara, sekretaris pertahanan di bawah Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B.
Johnson, berpendapat bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Vietnam
setelah pembantaian PKI di Indonesia.[33] Setelah
Indonesia, kartu domino utama di Asia Tenggara, telah diamankan secara baik,
politisi AS seharusnya menyadari bahwa Vietnam tidaklah sekrusial seperti yang
pertama kali dikira, begitu pendapat McNamara. Akan tetapi, pada saat itu,
peperangan di Vietnam telah mendapat logikanya sendiri, terpisahkan dari teori
domino. Kemenangan AS di Vietnam, setelah jatuhnya PKI, lebih dibutuhkan untuk
menjaga gengsi pemerintah AS dan menghindari rasa malu dari kekalahan dalam
perang, daripada untuk menghentikan komunisme di Asia Tenggara.
Seperti yang ditunjukkan di atas,
Indonesia adalah sangat penting bagi kaum kapitalis dunia karena kekayaan
alamnya. Setelah Perang Dunia II, AS telah menetapkan Indonesia ke dalam
lingkup pengaruh ekonomi Jepang; minyak, mineral, dan hasil bumi Indonesia akan
memasoki industrialisasi Jepang. Kekawatiran utama AS adalah keamanan Jepang,
yang akses murahnya ke sumber daya alam Indonesia dipercaya dapat menjaga
Jepang untuk tetap di kampnya. Ini dapat dilihat dari statistik ekspor setelah
1965, dimana Jepang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, dari sekitar 3-7%
pada tahun 1958-1962 hingga 50% pada tahun 70an dan 80an.[34]
Orde Baru
Orde Baru membawa sebuah
eksploitasi yang semakin parah. Dalam waktu 10 tahun, dari tahun 1971 hingga
1981, total nilai ekspor meloncat dari US$ 1,2 milyar hingga US$ 25,2 milyar,
sebuah loncatan tinggi sebesar 2100% dalam 10 tahun.[35]
Minyak dan gas bumi secara
konsisten mencakup lebih dari 50 persen total nilai ekspor hingga tahun 1987,
dengan Jepang sebagai tujuan ekspor utama.[36] Sekitar
80% dari ekspor minyak dan gas bumi menuju Jepang dan Amerika Serikat.[37]Periode
dari tahun 1971 sampai 1987 sering disebut sebagai periode migas.
Jepang adalah tujuan ekspor utama
dari produk-produk Indonesia, terutama dari awal 1970an hingga akhir 1980an,
dimana ekspor ke Jepang adalah sebesar 40 hingga 50%. Level ekspor ke AS
menyusul Jepang, dengan total gabungan ekspor ke Jepang dan AS sebesar 60
hingga 70% dari tahn 1971 sampai 1987.[38]Konsentrasi
ekspor ke AS dan Jepang ini mulai pada akhir tahun 1960an, yang bersamaan
dengan penghancuran rejim Soekarno dan kekuatan PKI pada tahun 1965-66. Ini sejalan
dengan kebijakan luar negeri AS untuk menempatkan Indonesia di dalam lingkup
ekonomi Jepang.
Dominasi ekspor minyak mulai
menurun setelah memuncak pada tahun 1981. Dari paruh kedua tahun 1980am, ekspor
minyak jatuh ke satu level yang hanya 1/3 dari level 1981. Penurunan ini
disebabkan terutama oleh anjloknya harga minyak dunia pada tahun 80an, atau
yang disebut dengan krisis minyak 1980, di mana harga minyak jatuh dari
puncaknya $35 per barrel pada tahun 1980 ke di bahwa $10 tahun 1986.
Menyusul penurunan tajam pada
tahun 1980an, ekspor minyak stagnan pada tahun 90an. Porsi eskpor migas jatuh
menjadi 20% pada akhir 1990an. Minyak perlahan-lahan kehilangan posisinya
sebagai komoditas ekspor utama. Menggantikan tempatnya, kita melihat
peningkatan hebat dalam ekspor kayu lapis pada awal 1990an, dalam ekspor
tekstil dan garmen pada pertengahan 1990an, dan dalam ekspor produk-produk
elektronik pada paruh kedua 1990an.[39] Indonesia
jelas menggantikan ekspor bahan mentahnya dengan ekspor produk-produk
industrial.
Tujuan ekspor juga berubah pada
akhir 1990an, dimana perdagangan produk-produk industrial dengan negara-negara
Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Tiongkok) selain Jepang dan negara-negara ASEAN
menjadi fundamental di dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Tren ekonomi
ekspor Indonesia dari paruh kedua abad ke-19 sampai abad ke-20 dapat diringkas
dengan skema berikut ini:
Periode
|
Komoditas Ekspor Kunci
|
Daerah Produksi Utama
|
Tujuan Ekspor Utama
|
Sampai 1870
|
Kopi
|
Jawa
|
Belanda
|
Sampai 1920an
|
Gula
|
Jawa
|
Asia Selatan dan Timur
|
Sampai pertengahan 1960an
|
Karet
|
Pulau-pulau luar Jawa (terutama
Sumatra)
|
AS
|
Sampai pertengahan 1980an
|
Minyak
|
Pulau-pulau luar Jawa (terutama
Sumatra)
|
Jepang
|
Sampai akhir abad ke-20
|
Produk manufakur
|
Jawa
|
Asia Timur dan ASEAN
|
Selama era karet pada tahun
1930an dan era minyak 1960an, produksi ekspor terkonsentrasi di pulau luar
Jawa. Namun, pada akhir 1980an, ada peningkatan ekspor dari Jawa, yang memiliki
tenaga kerja besar dan kapasitas untuk memproduksi barang-barang industrial
untuk ekspor.
Pertumbuhan Kelas Pekerja di
Indonesia
Indonesia mengalami pergeseran
komoditas ekspor kunci dari pertanian dan pertambangan ke berbagai macam barang
manufaktur. Pada akhir tahun 1980an, manufaktur sendirian telah berkontribusi
hampir 30% dari total pertumubuhan PDB, dibandingkan 10% kontribusi pada
pertumbuhan pada akhir 1960an.[40]Selama
periode 1986-1993, pertumbuhan lapangan pekerjaan di manufaktur skala besar dan
menengah meningkat 9% per tahun.[41] Selama
periode yang sama, pekerjaan di sektor pertanian mengalami penurunan. Jutaan
orang pindah dari pedesaan ke perkotaan. Lapisan proletariat baru ini, yang
terlempar dalam jumlah ribuan ke pabrik-pabrik, adalah salah satu kekuatan yang
menggoncang rejim Soeharto. Jumlah pemogokan yang tercatat pada tahun 1990an
meningkat pesat, dari 61 pada tahun 1990 ke 300 pada tahun 1994. Proporsi besar
dari pemogokan ini terjadi di manufaktur, terutaman di industri tekstil,
garmen, dan sepatu yang bergaji rendah.[42]
Tabel 6. PDB Non-migas dan
Lapangan Kerja menurut Sektor, 1976-2007 (persen dari total)[43]
PDB non-migas (%)
|
Lapangan Kerja (%)
|
|||||||
1976
|
1986
|
1997
|
2007
|
1976
|
1986
|
1997
|
2007
|
|
Pertanian
|
36,8
|
26,7
|
16,4
|
14,9
|
61,6
|
55,1
|
41,2
|
41,2
|
Sektor-sektor Lain
|
63,2
|
73,3
|
83,4
|
85,1
|
38,4
|
44,9
|
58,8
|
58,8
|
Manufaktur
|
10,6
|
17,8
|
28,4
|
26,9
|
8,4
|
8,2
|
12,9
|
12,4
|
Pertambangan
|
1,3
|
1,8
|
3,3
|
4,2
|
0,2
|
0,6
|
1,0
|
1,0
|
Listrik, Gas, dan Air Bersih
|
0,3
|
0,3
|
0,5
|
0,7
|
0,1
|
0,2
|
0,2
|
0,2
|
Konstruksi
|
5,9
|
6,3
|
8,5
|
6,7
|
1,7
|
2,7
|
4,8
|
5,3
|
Perdagangan, Hotel
|
21,5
|
19,7
|
19,2
|
18,6
|
14,4
|
14,3
|
19,8
|
20,6
|
Transportasi, Komunikasi
|
3,6
|
5,0
|
8,7
|
10,1
|
2,7
|
3,0
|
4,8
|
6,0
|
Keuangan
|
3,3
|
7,0
|
8,7
|
10,1
|
0,2
|
0,5
|
0,8
|
1,4
|
Pemerintah
|
6,7
|
8,6
|
5,6
|
4,4
|
3,4
|
4,6
|
4,7
|
3,7
|
Jasa lain
|
10,0
|
6,9
|
4,0
|
5,6
|
7,3
|
10,0
|
9,8
|
8,3
|
Dalam periode 21 tahun antara
tahun 1976 hingga 1997, PDB non-migas tumbuh rata-rata 7,5% per tahun. PDB
pertanian perlahan-lahan menurun dari 36,8% tahun 1976 hingga 16,4% pada tahun
1997, sedangkan PDB manufaktur meningkat dari 10,6% hingga 28,4%. Porsi lapangan
kerja dari sektor pertanian juga mengalami penurunan perlahan-lahan dari 61,6%
pada tahun 1976 ke 41,2% pada tahun 1997, sedangkan di sektor manufaktur ini
meningkat dari 8,4% ke 12,9% dalam jangka waktu yang sama. Disini kita lihat
bagaimana pekerja manufaktur menjadi semakin penting di Indonesia, dalam hal
jumlah dan juga kontribusinya ke PBD per kepala. Pada tahun 2007, walaupun
hanya mencakup 12,4% lapangan kerja, buruh manufaktur berkontribusi ke PBD
sebesar 26,9%, sedangkan sektor pertanian dengan 41,2% lapangan kerja hanya
berkontribusi 14,9% PBD.
Status pekerjaan di Indonesia
yang paling dominan adalah pekerja berusaha-sendiri yang mencakup 41% dari
total pada tahun 2007. Pekerja berusaha-sendiri bekerja sendirian atau dengan
bantuan dari anggota keluarga yang tidak dibayar. Oleh karena itu, pada
kenyataannya kedua kategori ini saling bertautan, menciptakan satu sektor
informal yang berjumlah total sekitar 60-70%, atau sekitar 60-70 juta rakyat
yang terpaksa menciptakan lapangan kerja mereka sendiri karena tidak ada
pekerjaan yang tersedia.
Tabel 5. Tren dalam status
pekerjaan, 1986-2007 (% dari total lapangan pekerjaan)[44]
Status
|
1986
|
1996
|
2003
|
2007
|
Berusaha sendiri
|
45,9
|
46,9
|
42,6
|
41,3
|
Pekerja keluarga/tidak dibayar
|
27,1
|
17,5
|
19,5
|
17,3
|
Total pekerja non-upahan
|
73,0
|
64,4
|
62,1
|
58,6
|
Pekerja upahan reguler
|
19,7
|
27,5
|
26,2
|
28,1
|
Pekerja upahan kasual
|
6,7
|
6,7
|
8,6
|
10,4
|
Total pekerja upahan
|
26,4
|
34,2
|
34,8
|
38,5
|
Bos/Majikan
|
0,7
|
1,4
|
3,0
|
2,9
|
Secara umum kita melihat
peningkatan jumlah pekerja upahan, reguler atau kasual, dari total 26,4% pada
tahun 1986 ke 38,5% pada tahun 2007, dan menurunnya jumlah pekerja sektor
informal (pekerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga/tidak dibayar) dari 73%
ke 58,6%. Setelah krisis 1997, ada penurunan sedikit dalam pekerja upahan
reguler ke 26% pada tahun 2003, tetapi lalu ini kembali ke level pra-krisis
pada tahun 2005 dan meningkat ke 28% pada tahun 2007. Kita dapat melihat bahwa
penurunan ini diserap oleh pekerja keluarga/tidak dibayar, dimana buruh yang
dipecat bergantung pada keluarga mereka untuk pekerjaan dan sebagai gantinya
diberikan ongkos hidup. Pekerja upahan reguler lebih umum dalam manufaktur dan
pelayanan jasa. Lebih dari 40% buruh di sektor non-pertanian adalah pekerja
reguler, dibandingkan dengan hanya 6% di pertanian. Kita juga menyaksikan
sebuah pergeseran ke lebih banyak pekerja upahan reguler di sektor pertanian,
dimana pada tahun 1986 hanya 0,3% dari pekerja pertanian adalah pekerja upahan,
pada tahun 2007 ini menjadi 5,8%.[45] Kaum
proletariat di Indonesia jelas sedang meningkat jumlahnya dan juga posisi ekonominya
dalam sistem kapitalis.
Industrialisasi dan pertumbuhan
kelas pekerja yang pesat juga telah menarik sejumlah besar kaum perempuan ke
dalam barisannya. Walaupun perempuan-perempuan muda ini dieksploitasi secara
brutal dan dipaksa pindah dari desa ke pabrik-pabrik, pekerjaan dan perjuangan
mereka telah mengubah kehidupan, status sosial, dan kepercayaan diri dari kaum
perempuan Indonesia yang dulunya dikenal penurut. Mereka bukan korban
eksploitasi dan ketidakadilan yang pasif. Namun mereka telah menjadi agen
perubahan sosial yang aktif, dan sering kali mereka lebih vokal dari rekan
laki-laki mereka. Tidak sedikit dari mereka yang telah menjadi pemimpin buruh
dan perjuangan.
Lapisan pekerja lainnya yang
cukup penting adalah buruh migran Indonesia. Pada tahun 2008, jumlah buruh
migran Indonesia adalah sekitar 5,8 juta, jumlah ini setara dengan setengah
jumlah buruh di sektor manufaktur medium dan besar.[46]Mayoritas
dari mereka adalah perempuan dan bekerja di sektor informal sebagai pembantu
rumah tangga. Sisanya bekerja di sektor pertanian dan industri sebagai buruh
harian. Buruh-buruh ini adalah sumber valuta asing yang penting, menghasilkan
sebesar US$ 5 milyar pada tahun 2006[47],
yakni dua kali nilai ekspor pertanian. Walaupun banyak dari mereka teratomisasi
karena watak dari pekerjaan mereka, mereka telah mampu membentuk
serikat-serikat buruh untuk berjuang demi hak-hak mereka.
Krisis 1997/1998 dan Reformasi
Tujuh tahun sebelum krisis
ekonomi 1997, ada influks kapital yang besar ke dalam sektor swasta, dari US$
314 juta pada tahun 1989 ke US$ 11,5 milyar pada tahun 1996, sebuah peningkatan
3500%.[48] Kapital
swasta yang besar ini, kebanyakan darinya adalah kapital jangka pendek yang
diinvestasikan ke sektor real-estate, menciptakan ekonomi gelembung yang
meledak pada saat krisis finansial Asia 1997. Krisis sangat parah. Dari
pertumbuhan pertahun rata-rata 7%, PDB riil berkontraksi hampir 14% pada tahun
1998. Rupiah anjlok dari Rp. 2.450 ke Rp. 14.900 terhadap dolar AS antara bulan
Juni 1997 dan Juni 1998. Pemerintahan kapitalis, dengan bantuan dari
reformis-reformis tulen, cepat membail-out bank-bank dan
perusahaan-perusahaan finansial yang berjatuhan. Sebagai akibatnya, hutang
publik pemeringah naik dari nol sebelum krisis menjadi US$ 72 milyar, sebuah
jumlah besar yang harus dibayar oleh rakyat pekerja.
Investasi Asing Langsung (FDI)
juga jatuh dengan tajam. MFDI sebesar US$ 5,6 milyar pada tahun 1996 berubah
menjadi keluarnya FI sebesar US$ 4,6 milyar pada tahun 2000. Kapital swasta
asing terus meninggalkan negeri sampai tahun 2004 dimana ini berdiri pada
negatif US$ 1,5 milyar. FDI mulai masuk kembali pada tahun 2005, dan pada tahun
2006 ini berjumlah US$ 4,1 milyar.[49]
Setelah krisis, pertumbuhan tetap
rendah dengan PDB riil tumbuh tidak lebih dari 5% pertahun selama 1997-2004,
dan sekitar 5,5% pada tahun 2005-2006, dan 6,3% pada tahun 2007.
Figur 1. Pertumbuhan PDB di
Indonesia[50]
Krisis ekonomi ini adalah jerami
yang mematahkan punggung unta. 32 tahun pembangunan terurai secara eksplosif.
Harga kebutuhan sehari-hari meroket. Supresi demokrasi menjadi semakin tidak
tertahankan, dengan inside 27 Juli 1997 – penyerangan markas Partai Demokrasi
Indonesia – menjadi titik balik. PDI dan Megawati menjadi titik persatuan untuk
perjuangan demokrasi.
Rejim Soeharto ditumbangkan oleh
massa. 32 tahun kediktaturan diremukkan dalam satu malam ketika jutaan rakyat
turun ke jalan dan memaksa Soeharto untuk mundur. Namun, Reformasi membawa apa
yang ditakdirkannya: reforma kosmetik dan bukan perubahan fundamental. Reforma
di periode krisis ekonomi hanya dapat berarti konter-reforma, dan ini yang
terjadi. Perusahaan-perusahaan milik negara diprivatisasi dan subsidi dihapus;
agenda neo-liberal diimplementasikan dengan ganas. Reformasi memang memberikan
ruang demokrasi, dan ini kendati para reformis. Namun, Reformasi juga membawa
lebih banyak kebebasan kepada kaum kapitalis untuk mengeksploitasi massa.
Setelah 12 tahun, menjadi jelas
bagi siapapun bahwa Reformasi gagal membawa perubahan fundamental ke dalam
masyarakat. Walaupun Reformasi menghantarkan satu pukulan besar ke rejim kapitalis,
memaksa Soeharto untuk mundur dan membuka ruang demokrasi – kendati ini adalah
ruang demokrasi borjuis -, ia gagal menyelesaikan problem fundamental yang
dihadapi oleh jutaan buruh, tani, nelayan, kaum muda, dan kaum miskin kota.
Kemiskinan masih tinggi. Persentasi populasi yang hidup dengan 1 dolar per hari
(kemiskinan ekstrim) pada tahun 1996 – puncak boom ekonomi Indonesia – adalah
7,8%, pada tahun 2006 angka ini menjadi 8,5%. Namun bila kita ambil garis
kemiskinan 2-dolar-perhari, maka kemiskinan pada tahun 2006 melonjak ke 53%.[51] Ini
berarti bahwa lebih dari setengah rakyat Indonesia hidup jauh di bawah PBD per
kapita $3900 (angka tahun 2008). 10% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 3%
kekayaan, sedangkan 10% penduduk terkaya mengkonsumsi 32,3%.[52]
Kegagalan Reformasi sangatlah
mencolok sehingga bahkan massa rakyat mulai mengidamkan “masa lalu yang baik”
di bawah Soeharto ketika kemiskinan lebih tertanggungkan dan ada semacam
kestabilan. Di bawah kedok demokrasi, tingkat eksploitasi sebenarnya justru
meningkat. Ini adalah logis, karena bagi kelas penguasa demokrasi berarti
kebebasan untuk menindas. Sebagai konsekuensinya, agenda neo-liberal telah
diimplementasikan lebih ganas dalam tahun-tahun belakangan. Banyak perusahaan
dan properti negara yang sedang diprivatisasi. Subsidi negara dihapus. Tidak
heran kalau rakyat letih akan situasi sekarang ini dan skeptis akan apa yang
telah dibawa oleh Reformasi 1998.
Resesi Dunia 2008/2009
Indonesia tidak dapat lari dari
pengaruh resesi dunia yang dipicu oleh krisis kredit perumahan di AS (Untuk
analisa yang lebih dalam mengenai resesi dunia, baca Dokumen Perspektif Dunia
2010). Di Indonesia, ekonomi pada tiga kuartal pertama tahun 2008 dipenuhi
dengan optimisme dan tumbuh di atas 6%, dan ketika resesi menghantam,
berkontraksi ke 5,2% pada kuartal keempat. Hampir seperti krisis 1997, Rupiah
mengalami 30% depresiasi terhadap dolar AS dalam dua bulan Oktober dan November
2008. Pasar saham kehilangan hampir setengah nilainya antara Januari 2008 (2627,3)
dan Desember 2008 (1355,4)
Namun, Indonesia pulih dengan
cepat dari resesi ini. Di paruh pertama tahun 2009, PBD Indonesia tumbuh 4,2%,
terbesar di Asia Tenggara sementara negara-negara lain di wilayah yang sama
mengalami penurunan PBD, Singapura -3,5%, Thailand -4,9%, dan Malaysia -5,1%.
Pada tahun 2009, Indonesia mempos pertumbuhan PDB sebesar 4,5%, dengan
pertumbuhan kuartal keempat yang impresif sebesar 5,4%. Selain itu, pada paruh
pertama 2009, Bursa Efek Jakarta rebound dengan cepat, ketiga tercepat
setelah Shanghai dan Mumbai. Pada akhir 2009, BEJ telah kembali ke nilai
sebelum krisis.
Ekonomi Indonesia tidak terpukul
oleh resesi separah negara-negara Asia Tenggara lainnya karena di dekade
terakhir pertumbuhannya telah berdasarkan pada konsumsi domestik, dan bukannya
perdagangan ekspor.
Figur 2. Konsumsi Domestik di
Indonesia[53]
Faktor lainnya adalah bahwa nilai
ekspor Indonesia hanyalah sekitar 25% dari PDB, sedangkan banyak negeri di Asia
memiliki rasio ekspor terhadap PDB yang jauh lebih tingga. Dengan menurunnya
pertumbuhan volume perdagangan global dari 8,1% pada 5 tahun terakhir sebelum
krisis menjadi 4,1% pada tahun 2008 dan -12,2% pada tahun 2009, negeri-negeri
yang bergantung pada ekspor terhantam segera dan lebih parah.
Figur 3. Bagian Ekspor dan
Pertumbuhan PDB – Asia Timur Berkembang[54]
Eksposure yang terbatas terhadap
krisis kredit perumahan AS juga melindungi sistem perbankan Asia dari shok awal
krisis finansial ini. Dari total US$ 1,5 trilyun default kredit dan kerugian
kredit yang tercatat di seluruh dunia semenjak Juli 2007, hanya US$ 39 milyar,
atau sekitar 2,7%, datang dari institusi finansial Asia – kebanyakan datang
dari Jepang dan Tiongkok.[55]
Selain itu, paket stimulus
pemerintah yang berjumlah US$ 7,1 milyar (Rp. 73,3 trilyun) pada tahun 2009
juga telah mendorong konsumsi domestik. Pemerintah Indonesia akan melanjutkan
paket stimulus sebesar Rp. 38,3 trilyun untuk tahun 2010.
Kesuksesan ini telah mendorong
pemerintah Indonesia untuk memproyeksikan pertumbuhan yang sangat optimis untuk
lima tahun ke depan. Pada akhir Summit Nasional bulan Oktober 2009 yang
dihadiri lebih dari 1300 pejabat dari pemerintah, kamar dagang asing, asosiasi
pemilik modal, dsb., Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa
mengatakan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan rata-rata ekonomi: 5,5-5,6
persen tahun 2010, 6,0-6,3 persen 2011, 6,4-6,9 persen 2012, 6,7-7,4 persen
2013, dan 7 persen 2014.
Namun ini bukan berarti bahwa
buruh Indonesia selamat dari krisis. Pada bulan Februari 2009, Rizal Ramli dari
think tank swasta Econit mengatakan bahwa dia mengestimasikan
perusahaan-perusahaan telah memotong 800 ribu pekerjaan semenjak tahun lalu.[56] Kebanyakan
pemecatan ini tercatat di industri manufaktur: tekstil, garmen, otomotif,
sepatu, dan kertas. Hingga akhir tahun 2008, sekitar 250 ribu buruh migran
telah dikirim pulang oleh majikan mereka.[57]
Kenyataan bahwa Indonesia pulih
dengan cepat dari krisis ini bukanlah alasan untuk perayaan bagi kaum buruh dan
tani. Brazil, Indonesia, India, Cina, dan Afrika Selatan (yang dinamai BIICS)
dijunjung sebagai negara-negara yang mendorong pertumbuhan ekonomi dunia
sementara seluruh dunia lainnya anjlok. Laporan terbaru dari OECD berjudul Going
for Growth 2010 memberikan sebuah “nasihat” kepada pemerintah Indonesia
untuk menghapus subsidi bahan bakar minyak. Pier Carlo Padoan, Deputi Sekjen
dan Ekonom utama OECD, mengatakan bahwa penghentian subsidi BBM adalah salah
satu kebijakan yang harus diambil oleh Indonesia: “India dan Indonesia masing-masing
menghabiskan 10% dan 20% dari belanja pemerintah untuk subsidi, sebagian besar
untuk subsidi energi. Bila harga BBM tetap rendah, tidak hanya pemborosan
konsumsi yang terjadi tapi juga dapat berdampak buruk ke lingkungan.”[58] Ini
adalah persiapan untuk pemotongan besar dalam pengeluaran publik yang
dibutuhkan untuk menyeimbangkan defisit yang diciptakan untuk membail-out bank-bank
dan perusahaan-perusahaan yang berjatuhan pada saat resesi ekonomi.
Selain itu, pada tahun 2009,
pemerintah mengeluarkan UU 39/2009 yang mempromosikan pembentukan Zona Ekonomi
Khusus untuk mendorong industri dengan melonggarkan aturan-aturan perburuhan
dan lingkungan hidup, dan menyediakan subsidi untuk perusahaan-perusahaan,
semua atas nama meningkatkan kompetisi di Indonesia. Semenjak diberlakukannya
UU tersebut, 48 daerah telah mendaftar untuk ZEK ini. Pemerintah berencana
untuk membangun lima ZEK di seluruh Indonesia hingga tahun 2012.[59]
Pada tanggal 1 Januari 2010,
Indonesia, dengan sembilan negara ASEAN lainnya, meratifikasi ASEAN-China Free
Trade Area (ACFTA) dimana ini akan mengurangi tarif lebih dari 7500 kategori
produk, atau sekitar 90% dari barang impor, hingga nol. ACFTA adalah area
perdagangan bebas terbesar dalam hal populasi, dengan sekitar 1,9 milyar penduduk,
dan ketiga terbesar dalam hal PDB nominal. Menyusul ACFTA adalah ASEAN-India
Free Trade Area (AIFTA) yang diharapkan akan jalan di Indonesia pada tanggal 1
Juni 2010, dan Indonesia akan berkomitmen mengurangi tarif impor sebesar 42,5%.
Kedua perjanjian perdagangan
bebas ini akan membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang murah dari
Tiongkok dan India, menghancurkan industri manufaktur dan pertanian Indonesia,
dan menciptakan perlombaan ke bawah yang lebih parah tidak hanya di Indonesia
tetapi juga di seluruh wilayah ASEAN-Cina-India. Perjanjian perdagangan bebas
ini akan menyakiti kaum buruh dan tani dari seluruh wilayah ini. Namun
solusinya bukanlah lebih banyak proteksionisme, karena perdagangan bebas dan
proteksionisme di bawah kapitalisme adalah dua sisi dari koin yang sama.
Kenyataannya, proteksionisme membawa kebijakan konter yang serupa dari
negara-negara lain, menyebabkan kontraksi tajam bagi perdagangan dunia dan
sebagai akibatnya sebuah kemerosotan global. Untuk negara-negara kurang
berkembang seperti Indonesia, kebijakan proteksionis dari negara-negara
kapitalis besar akan membuatnya kehilangan pasar ekspor dan menghancurkan
industri di dalam negeri, dan mendorong jutaan buruh dan tani ke pengangguran.
Menilik dari situasi ekonomi
global, yakni pemulihan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja, proyeksi
optimis dari pemerintahan SBY berdiri di atas pondasi yang rapuh. Walaupun
secara formal resesi telah berakhir, efek dari resesi ini akan berkepanjangan
dan pemulihan ekonomi tidak akan mulus. Pertama, resesi besar ini diatasi oleh
negeri-negeri maju dengan menyuntik sebanyak US$ 11 trilyun, atau 1/5 output
global, guna menyelamatkan ekonomi. Menurut IMF, hutang publik bruto dari
sepuluh negeri terkaya akan menjadi 106% dari PDB. Angka ini adalah 78% pada
tahun 2007. Defisit besar ini harus dibayar dengan memotong pengeluaran publik,
yang akan berarti sebuah penurunan dalam konsumsi domestik di kebanyakan
negeri-negeri kapitalis maju dalam tahun-tahun ke depan. Terlebih lagi, krisis
overproduksi di negeri-negeri kapitalis maju adalah parah, dengan kapasitas
produksi 30% lebih besar daripada kemampuan membeli konsumen. Ini berarti bahwa
pemulihan ekonomi di negeri-negeri maju akan berlangsung tanpa penciptaan
lapangan kerja. Selain mengurangi permintaan impor dari negeri-negeri Asia, ini
juga akan mengurangi investasi asing. Hampir 50% investasi untuk
perusahaan-perusahaan non-finansial di Indonesia datang dari kapital asing.
Sebagai akibatnya, kita telah mulai menyaksikan banyak rencana-rencana
investasi di Indonesia yang telah ditunda dan dibatalkan. Dengan penurunan
investasi dan permintaan asing, kita akan melihat penurunan di dalam level
produksi di Indonesia dan peningkatan tingkat pengangguran.
Era Baru
Krisis finansial 2008/2009 adalah
krisis yang terbesar semenjak Depresi Hebat 1929. Secara ekonomi, sosial, dan
politik, krisis ini akan meninggalkan sebuah bekas di dalam sejarah
kapitalisme. Dunia tidak akan pernah sama lagi. Indonesia, yang terikat erat
dengan kapitalisme global, tidak dapat lari dari krisis ini. Kapitalis seluruh
dunia berjuang untuk mengatasi kontradiksi dari sistem mereka. Mereka akan
memindahkan beban krisis ini ke pundak milyaran buruh dan tani.
Lebih dari 150 tahun yang lalu,
Marx dan Engels menulis di Manifesto Komunis: “Dan bagaimanakah borjuasi
mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran
sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut
pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih
sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih
luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang dapat mencegah
krisis-krisis itu.”
Inilah yang sedang dilakukan oleh
kaum kapitalis seluruh dunia. Pabrik-pabrik sedang ditutup dengan jutaan buruh
dipecat (“memaksakan penghancurah sejumlah besar tenaga-tenaga produktif”) dan
mereka yang masih beruntung memiliki pekerjaan mereka sedang dipaksa bekerja
lebih keras dan lebih lama dengan bayaran yang lebih rendah. Ada kemerosotan
dalam permintaan dunia dan kapitalis seluruh dunia dipaksa untuk membuka
lebih banyak pasar baru dan membesarkan yang lama (“merebut pasar-pasar baru
dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna”) melalui perjanjian-perjanjian
perdagangan bebas dan segala macam skema ekonomi. Namun, kapital telah merasuk
ke semua sudut dunia dan tidak ada lagi pasar yang baru yang bisa direbut.
Dalam 50 tahun terakhir, kapitalisme telah berhasil menghindari krisis besar
dengan membuka pasar-pasar baru (terutama di Cina, India, dan Rusia). Sebagai
konsekuennya, ini telah “membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas
dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang dapat mencegah
krisis-krisis itu.” Dan memang benar, sebuah krisis yang lebih besar sedang
menanti kelas penguasa.
Montreal, 6 Juli 2010
[1] Karl
Marx, “The Bourgeoisie and the Counter Revolution” Neue Rheinische ZeitungNo.
169, December 1848.
[2] Karl
Marx, Capital I (Moscow: Progress Publishers) 704.
[3] Marx, Capital
I 703.
[4] George
Masselman, The Craddle of Colonialism (New Haven: Yale University
Press, 1963) 57.
[5] Masselman
59.
[6] Masselman
466.
[7] Marx, Capital
I 705.
[8] Masselman
467-468.
[9] Karl
Marx, Capital III (Moscow: Progress Publishers: 1974) 333.
[10] Marx, Capital
I 707.
[11] Marx, Capital
I, 707
[12] R.E.
Elson, “Peasant Poverty and Prosperity Under the Cultivation System in Java,” Indonesian
Economic History in the Dutch Colonial Era, ed. Anne Booth, et al.(New Haven:
Yale University Southeast Asia Studies, 1990) 26.
[13] W.R.
van Hoevel, Reis over Java, Madura, en Bali, in het midden van 1847
[Journey through Java, Madura, and Bali in the Middle of 1847] (Amsterdam:
P.N. van Kampen, 1849-1851).
[14] Anon.
“Launy on the Situation in Java,” Tijdschrift voor Nederlandsch Indie1851,
13(2), 35-42.
[15] Fasseur
C., Cultivation System and Colonial Profits: Dutch Exploitation of Java,
1840-1860 (Leiden: Universitaire Pers, 1975).
[16] G.R.
Knight “The Peasantry and the Cultivation of Sugar Cane in Nineteenth-century
Java: A Study from Pekalongan Residency, 1830-1870,” Indonesian Economic
History in the Dutch Colonial Era(New Haven: Yale University Southeast Asia
Studies, 1990) 49.
[17] Hiroyoshi
Kano, Indonesian Exports, Peasant Agriculture, and the World Economy
1850-2000 (Athens: Ohio University Press, 2008) 34, 44, 52.
[18] Kano
165.
[19] Lenin, Imperialism:
The Highest Stage of Capitalism (Moscow: Progress Publisher, 1975) 22.
[20] Lenin
22.
[21] Lenin
56.
[22] Kano
29.
[23] Kano
39.
[24] Kano
162.
[25] Kano
130.
[26] Malcolm
Caldwell and Ernst Utrecht, Indonesia, An Alternative History(Sydney:
Alternative Publishing Co-operative Limited, 1979) 35.
[27] Benjamin
Higgins, Economic Development (New York: W.W Norton, 1969)
[28] Sultan
Hamengkubuwono IX, quoted in J. Panglaykim and H.W. Arndt, Survey of
Recent Developments, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 1966
[29] Castles,
L. Socialism an Private Business: The Latest Phase, Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 1965, No. 1, pp. 13-45
[30] Hal
Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press,
2000) 3.
[31] “The
Prospects for and Strategic Implications of a Communist Takeover in Indonesia”,
September 1, 1965. Prepared by the CIA, National Security Agency, Defense
Intelligence Agency, and the State Department’s intelligence section
[32] John
Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and
Soeharto Coup D’Etat in Indonesia (Madison: The University of
Wisconsin Press, 2006)
[33] Robert
McNamara, In Retrospect: The Tragedy and Lessons of Vietnam, 1995.
[34] Kano
79, 92.
[35] Kano
98.
[36] Kano
100.
[37] Kano
104.
[38] Kano
92.
[39] Kano
100.
[40] Chris
Manning, Indonesian Labour in Transition (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998) 62.
[41] Manning
108.
[42] Manning
215.
[43] Shafig
Dhanani et al., The Indonesian Labour Market (New York: Routledge,
2009) 25.
[44] Dhanani
27.
[45] Dhanani
29.
[46] Dhanani
36.
[47] Dhanani
36.
[48] Kano
20.
[49] Dhanani
39.
[50]Indonesia,
Biro Riset Ekonomi, Outlook Ekonomi Indonesia: Krisis Finansial
Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia(Bank Indonesia,
Januari 2009) 23.
[51] Dhanani
126.
[52] CIA
World Fact Book.
[53] Indonesia,
Biro Riset Ekonomi 23.
[54] The Asia Economic
Monitor - July 2009, (Asian Development Bank) 5.
[55] The Asia Economic
Monitor - July 2009 61.
[56] Adriana
Nina Kusuma and Tyagita Silka, “Indonesia growth slips in Q4, risks job
losses,” Reuters India, 16 February 2009.
[57] Dhanani
36.
[58] “RI
diminta stop subsidi BBM bertahap,” Bisnis Indonesia 30 Maret 2010.
[59] “Pemerintah
akan bangun 5 Kawasan Ekonomi Khusus,” tvOne [Yogyakarta]11 Maret 2010